Editorial Edisi 2

Perjuangan perempuan telah berlangsung sepanjang sejarah. Cukup banyak momentum dibuat untuk mengenang perjuangan tersebut. Masyarakat Internasional merayakan Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret. Di Indonesia, Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April, meskipun maknanya kerap direduksi dari mengenang perjuangan Kartini untuk emansipasi perempuan menjadi sekedar ajang aksi dengan berkebaya. Pada Pemilu, 5 April 2004 yang akan datang, untuk pertama kalinya setiap partai harus mencalonkan sedikitnya 30% perempuan.

Karena itulah dalam edisi khusus Pro:aktif kali ini diangkat berbagai artikel dengan tema seputar perempuan. Pertama, dalam masalah kita diulas Mengapa hanya sedikit perempuan yang menjadi aktivis? Artikel ini dijawab dalam artikel yang kedua yaitu Pergulatan dan dialektika Ibu-ibu Aktivis. Berlanjut dalam Profil ditampilkan bagaimana Ibu-ibu aktivis tersebut memaknai keibuan mereka. Media kali ini mengangkat setidaknya dua media yang terkait dengan isu perempuan. Pertama sebuah resensi film berjudul Jual-Beli perempuan dan Anak produksi Yayasan Jurnal Perempuan dan kedua, sebuah ulasan jurnal bertema Perspektif Gender dalam Pendidikan, yang diterbitkan juga oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Dalam ulasan mengenai Pendidikan Politik Melalui Komik dapat dilihat bahwa masih terdapat bias gender dalam pemilihan tokoh-tokohnya. Terkait dengan pemilu, kami bagikan pula pengalaman jalan-jalan seorang staff Kail dalam mengkoordinir fasilitator untuk voters education untuk perempuan di beberapa kota di Indonesia bulan Pebruari dan Maret 2004 yang lalu. Dan akhirnya dalam opini ditampilkan Diskursus Pekerja Perempuan dan Upah Rendah, sumbangan dari Maria Clara Neti Veronica dari CSIS.

Tak lupa kami sajikan kegiatan-kegiatan Kail dalam bagi-bagi cerita dan agenda. Bagi anda yang sudah lelah beraktivitas, dan merasa kaki anda pegal-pegal, jangan lewatkan tips untuk Mengatasi kaki pegal dan telapak kaki pecah-pecah. Akhirnya, setelah anda cukup santai, silakan buka rubrik pikir yang mengangkat masalah perbedaan gaya belajar dan pengaruhnya pada perbedaan tindakan kita.

Selamat membaca,
Redaksi

[PROFIL] Profil Ibu Menurut Aktivis Perempuan

Selama ini umumnya Konsep Ibu hanya melekat pada seorang perempuan, dan dikaitkan pada fungsi-fungsi tradisionalnya serta kemampuan mempunyai anaknya. Sharil Thurer dalam bukunya: The Myths of Moherhood (1994) memaparkan bagaimana budaya manusia telah mengintervensi konsep ibu yang baik/ideal ini, serta apa dampaknya bagi perempuan. Ada yang dimaknai dan didefinisikan oleh perempuan sendiri, tapi ada juga yang didefinisikan dan dikonstruksikan oleh mereka yang bukan perempuan untuk perempuan.
Bagaimana Konsep Ibu menurut aktivis perempuan yang juga sekaligus ibu? Bagaimana dalam budaya saat ini ibu-ibu, para aktivis kita ini mendefinisikan ke-ibu-an mereka? Apa yang mereka idealkan dari konsep ini? Berikut ini rangkuman wawancara Kail dengan tujuh orang aktivis yang juga ibu dari Jaringan Mitra Perempuan.

Pratiwi: Siapa saja bisa disebut ibu, kalau dia punya rasa cinta, rasa sayang, open, punya kemampuan memelihara (roh, jiwa, badan), yang dengan sendirinya akan lembut, murah hati. Maka Keibuan dan Pengibuan tidak hanya melekat pada perempuan (secara fisik), tapi juga bisa ada di laki-laki. Kemampuan dan fungsi untuk memelihara dan merawat, yang menjadi sifat yang melekat pada ibu, bisa juga dimiliki oleh laki-laki, dimiliki oleh mereka yang tidak menikah dan tidak punya anak, tua maupun muda. Ibu yang baik adalah ibu yang mempunyai cinta, yang bisa mengekspresikan cintanya pada kehidupan nyata dengan perbuatan nyata dan menularkannya dengan memberi contoh berbuat baik pada orang sekitar (menjadi panutan) dalam menyebarkan cinta.

Lim: Yang disebut ibu tidak harus merupakan ibu biologis, dan tidak harus mencurahkan kasih sayang hanya ke anaknya sendiri (relasinya tidak monopoli ke anaknya saja); dan tidak harus hadir dalam sebuah "keluarga". Tapi lebih merupakan relasi kasih sayang dan saling mengisi. Ini bisa dilakukan oleh baik oleh perempuan maupun laki-laki, melampaui batas usia, dan tidak harus sudah pernah menikah. Panggilan "ibu" juga bisa dilekatkan pada orang kita kita hormati dan karenanya kita rasa layak dipanggil sebagai ibu. Keberhasilan menjadi seorang ibu adalah kalau berhasil mengantar anak kita untuk menjadi orang, yaitu dari kualitas manusianya.
Yati: seorang ibu bertanggung jawab pada keluarganya, yang besarnya sama dengan suaminya. Yang kedua ia sebagai warga negara, menyumbangkan apa yang ia miliki demi kesejahteraan negara, masyarakat dan lingkungan sekitar di mana ia berada. Konsep ke-ibu-an lebih merupakan sesuatu yang menciptakan suatu keadaan (fisik dan non fisik) yang lebih indah, lebih sejahtera, lebih harmonis. Ciri ini tidak hanya melekat pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Dalam konteks keluarga, ibu tidak harus punya anak. Ia bisa menikmati diri dan memiliki dirinya sediri, dengan tetap memikirikan kepentingan orang lain. Seorang ibu tetap harus peduli dengan lingkungannya, karena ia harus menciptakan kesejahteraan, keharmonisan dan membuat orang lain bahagia dan tenang; tanpa menegasi pribadiya sendiri. Tetap harus ada waktu untuk dirinya sendiri.
Wati: Ibu adalah orang yang mengayomi, seorang perempuan yang mengasuh. Seseorang juga bisa dipanggil ibu karena punya karisma tertentu, yang dikagumi karena kepakarannya atau karena pengetahuannya. Konsep ibu pertama-tama dilihat lebih ke arah sifat, yang sangat erat berhubungan dengan biologisnya (perempuan), karena dia sudah melahirkan anak. Tapi dalam perkembangannya, ke-ibu-an lebih merupakan sifat -sifat yang dari segi afektif dan kognitifnya; meskipun Ia tidak menikah dan tidak punya anak. Sebagai sebuah sebutan, "ibu" melekat pada jenis kelamin perempuan, walaupun sebagai sebuah sifat dan ciri-ciri, bisa juga dimiliki dan dipelajari oleh laki-laki.
Menurut Yani, istilah ibu itu melekat pada perempuan, yang punya anak (baik anak kandung maupun bukan) dan menjalankan fungsinya sebagai ibu. Ia mengandung, melahirkan, merawat anak dan mendampingi anak. Fungsi keibuan ini sebetulnya bukan hanya dijalankan oleh perempuan (ibu), tapi juga oleh laki-laki (bapak). Yang ditekankan di sini adalah funsi nurturing (merawat, mencintai, mengasihi, membimbing, dsb) yang dijalankan dan ikatan emosianal yang dibangun dengan orang yang di-nurture itu. Ibu yang ideal adalah ibu yang sayang dan mencintai anaknya sepenuh hati serta mengabdikan dirinya pada anak dan keluarganya. Di sini dituntut pengorbanan, tapi dia tetap harus punya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sendiri serta mengaktualisasikan diri. Sebisa mungkin ia proporsional menjalankan fungsinya sebagai ibu dari anaknya dan fungsinya di tempat lain. Proporsional di sini berarti seimbang, di mana ukurannya bisa berbeda antara ibu yang satu dengan ibu yang lainnya.

Ambar mendefinisikan seorang ibu itu sebagai orang yang melahirkan anak, menyusui, dan sebagai efek psikologisnya memiliki kepedulian terhadap anak. Dia menambahkan juga bahwa sifat caring dan kepedulian serta peka terhadap orang lain itu juga bisa dilatih, sehingga bisa juga dimiliki oleh laki-laki. Si ibu itu menjadi satu-satunya tumpuan seseorang (anak) dan menjadi tempat mengadu. Walaupun ibu itu juga memiliki dirinya sendiri (bukan hanya milik anak dan suaminya). Ibu yang ideal adalah yang bisa bebas mengaktualisasikan diri, dan mengembangkan potensinya; sekaligus bisa menempatkan peran-perannya sebagai identitas diri. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dia bahwa anak dan suaminya tidak pernah menghalangi bagian dirinya yang lain, yang tidak sebagai ibu dan istri, tapi sebagai seorang individu, untuk bisa menggunakan kebebasannya. Keberhasilan seorang ibu bagi Ambar adalah kalau ia dicintai dan mencintai anak-anaknya.

Sri: Ibu adalah seorang istri yang punya suami, punya pendamping, dan mungkin punya anak atau tidak. Dia melengkapi suaminya, saling memberi dan bersama-sama bertanggungjawab untuk kehidupan keluarga. Ibu juga harus bisa menjadi teladan bagi anaknya, menjadi panutan, mandiri dan pandai mengendalikan ekonomi, serta bisa mengambil sikap. Panggilan "ibu" juga bisa diberikan bagi perempuan yang tidak menikah, sebagai penghormatan karena ia mempunyai posisi atau jabatan, atau karena usianya. Ibu yang sukses adalah ibu yang bisa menghantarkan anak-anaknya menyelesaikan tugasnya, menjadi anak yang punya kepribadian yang baik, antar anak bisa hidup rukun dan cara hidupnya baik.

Ketujuh aktivis perempuan ini menginterpretasikan dan mendekonstruksi konsep dan simbol “Ibu”. Menurut mereka yang kebetulan memiliki anak, pengalaman keibuan yang paling berkesan dan penting adalah relasinya dengan anak. Tapi pemaknaan terhadap konsep ini serta relasinya dengan suami dan anak, dipahami secara lebih luas dan inklusif. Hampir semua berpendapat bahwa sifat-sifat keibuan ini tidak hanya dan tidak otomatis melekat pada perempuan secara biologis, tapi juga bisa dipelajari dan melekat pada laki-laki. Pemaknaan yang paling menonjol dari fungsi pengibuan ini adalah Cinta Kasih pada kehidupan, yang mau tidak mau berkaitan dengan pemeliharaan bagi keberlangsungan sang kehidupan itu sendiri.

Keberhasilan ataupun konsep ideal tetang ibu ini memang tidak mungkin diukur secara kuantitatif. Bahkan beberapa dari mereka sepakat untuk tidak membuat definisi dan kriterianya, karena setiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Ukuran itu tidak bisa dipaksakan pada orang lain, apalagi dipaksakan dari luar diri si ibu itu sendiri. Gambaran ibu yang ideal itu sendiri berkembang dan mengalami perubahan dari masa ke masa.

Tidak ada yang dapat menilai keidealan seorang ibu. Semua akan dimaknai ulang sesuai dengan pengalaman eksklusif masing-masing.

[PIKIR] Beda Cara Belajar Beda Tindakan


Cara belajar setiap orang berbeda satu sama lain. Selain dipengaruhi oleh faktor genetis, cara belajar kita juga dibentuk oleh faktor lingkungan yang turut membentuk kebiasaan kita antara lain melalui aturan-aturan sekolah, keluarga dan masyarakat. Perbedaan cara belajar ini pada akhirnya akan mempengaruhi cara kita bertindak dan menanggapi sesuatu. Banyak konflik terjadi akibat perbedaan cara belajar ini, misalnya konflik antara anak dan orang tua; antara suami-istri; antara pemerintah dengan rakyat maupun antara aktivis pendamping lapang dengan masyarakat dampingannya. Karena respon anak tidak sesuai dengan harapan orang tua maka orang tua berpikir bahwa anaknya nakal, pembangkang dan susah diatur. Karena lebih suka menjawab soal dengan caranya sendiri, seorang murid lantas dianggap bodoh oleh gurunya dan karena tidak membuat tanggapan sesuai harapan seorang gadis menganggap kekasihnya sudah tidak mencintainya lagi. Masih banyak lagi permasalahan dan konflik yang muncul akibat perbedaan cara belajar ini.

Tulisan ini mengangkat model cara belajar kombinasi yang diteliti oleh Dr. Anthony F. Gregorg. Model ini adalah salah satu model yang paling efektif untuk memahami perbedaan cara belajar. Model ini dibangun dari kombinasi cara kita memandang persoalan (persepsi) dan cara kita menyusun informasi yang kita terima.

Cara Memandang Persoalan (Persepsi)
Kita memandang dunia berdasarkan persepsi kita. Persepsi itu tidak sama untuk setiap orang. Persepsi ini akan mempengaruhi kita dalam memahami sesuatu dan mengambil tindakan atas sesuatu. Ada dua kualitas persepsi yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu persepsi konkret dan persepsi abstrak.

Kualitas persepsi konkret memungkinkan kita langsung menyerap informasi yang diterima oleh panca indera. Kita melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Kita tidak mencari makna yang tersembunyi di balik suatu peristiwa atau mencoba menggali penyebab-penyebab dari suatu permasalahan.

Kualitas persepsi abstrak memungkinkan kita menggali lebih jauh makna dari suatu peristiwa, membuat visualisasi maupun mencari ide-ide baru di luar hal-hal yang secara langsung ditangkap oleh panca indera. Bagi orang yang menggunakan persepsi abstrak, segala sesuatu tidak selalu tampak seperti kelihatannya.


Cara Penyusunan Informasi
Penyusunan informasi adalah cara kita menggunakan informasi yang kita terima. Menurut Gregorc cara penyusunan informasi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sekuensial (urut, runtut, teratur) dan acak (random).

Kemampuan sekuensial memungkinkan kita berpikir secara logis. Informasi akan disusun secara teratur dan bertahap. Mereka yang dominan kemampuan sekuensialnya, biasanya melakukan perencanaan sebelum melakukan tindakan.

Kemampuan acak menyusun informasi secara serabutan dan tidak teratur. Kemungkinan ada beberapa hal yang terlewati. Bagi mereka yang dominan kemampuan acaknya terkesan spontan, tidak berpikir panjang dan yang penting bagi mereka adalah selesai, sementara tahapan penyelesaian tidak menjadi masalah.

Model Kombinasi Gregorc
Gregorc memodelkan cara belajar sebagai kombinasi cara memandang persoalan dan cara menyusun informasi. Kombinasi tersebut dikenal sebagai: Sekuensial Konkret (SK), Sekuensial Abstrak (SA), Acak Konkret (AK) dan Acak Abstrak (AA).
Keempat kemampuan ini ada pada setiap orang, hanya kadarnya untuk setiap tipe berbeda-beda. Berikut ini adalah karakteristik dominan dari keempat model cara belajar tersebut.

1. Sekuensial Konkret
Orang-orang yang dominan kemampuan sekuensial konkretnya biasanya ulet, tradisional, sangat cermat, stabil, dapat diandalkan, konsisten, berpegang pada fakta dan teratur. Mereka sangat baik dalam menerapkan gagasan-gagasan dengan cara yang praktis, efisien dan ekonomis. Mereka biasanya tepat waktu. Mereka juga memiliki kemampuan untuk melahirkan gagasan konkret dari sesuatu yang abstrak. Biasanya mereka bekerja secara sistematis, bertahap mengikuti jadwal dan detil. Mereka suka melakukan sesuatu secara rutin dan teratur. Dengan kebiasaan ini, mereka akan kesulitan menghadapi lingkungan yang berantakan, obrolan yang tidak jelas arahnya serta mengikuti perintah yang tidak jelas.

2. Sekuensial Abstrak
Orang-orang yang dominan kemampuan sekuensial abstraknya biasanya analitis, obyektif, berpengetahuan luas, teliti, rapi, logis, tenang dan hati-hati serta sistematis. Mereka sangat baik dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian, misalnya menggambarkan urutan peristiwa dalam suatu urutan yang logis, menggunakan fakta untuk membuktikan atau menyanggah teori dan menganalisis gagasan. Mereka mengumpulkan data-data sebelum mengambil keputusan dan menyelesaikan segala sesuatu sampai tuntas. Mereka akan frustasi jika waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tidak cukup, mengulang-ulang pekerjaan yang sama, berpikir sentimentil atau harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan gagasan dalam kurun waktu yang lama.

3. Acak Konkret
Orang-orang yang dominan kemampuan acak konkretnya biasanya bertindak dengan cepat, mengikuti kata hati, selalu ingin tahu, realistis, memiliki daya cipta, inovatif, naluriah dan sangat berani. Mereka memiliki banyak gagasan kreatif dan melihat banyak alternatif solusi dan cara-cara baru untuk menyelesaikan persoalan. Mereka mampu mengilhami orang lain untuk bertindak. Mereka mau mengambil resiko dan dapat mengambil keputusan dengan cepat. Keputusan ini sebagian besar didasarkan pada nalurinya dan bukan berdasarkan perhitungan yang cermat akan data dan fakta yang mendukungnya. Mereka akan frustasi jika tidak memiliki pilihan, harus membuat laporan formal, menghadapi hal-hal rutin, mengulang sesuatu yang pernah dilakukan maupun menjelaskan alasan dari keputusan/jawaban tertentu.

4. Acak Abstrak
Orang-orang yang dominan kemampuan acak abstraknya biasanya peka, penuh belas kasih, cepat memahami, imajinatif, idealis, sentimentil, spontan dan fleksibel. Mereka memiliki karunia untuk mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh dan menciptakan suasana damai dengan orang lain. Mereka menyadari kebutuhan orang lain dan mudah menjalin persahabatan. Mereka menganggap penting perasaan dan emosi serta menaruh perhatian pada tema serta gagasan. Mereka mempelajari sesuatu dengan caranya sendiri dan mengambil keputusan berdasarkan perasaan. Mereka akan frustasi jika harus menjelaskan alasan mengapa mereka melakukan/memutuskan sesuatu, berkompetisi, menerima kritikan dan berfokus hanya pada satu hal setiap saat.

Apa gunanya mengetahui perbedaan cara belajar?
Banyak konflik ditimbulkan oleh perbedaan cara belajar. Misalnya seorang ibu yang sekuensial konkret akan merasa anaknya yang acak konkret sebagai anak yang semaunya sendiri dan susah diatur. Bagi orang sekuensial konkret, hidup teratur dan rapi sangat menyenangkan, sementara buat orang acak konkret menjadi rapi dan teratur adalah sesuatu yang menyebalkan dan membebani. Dengan memahami cara belajar sang anak, si ibu dapat lebih memahami bahwa untuk memenuhi tuntutannya sang anak membutuhkan usaha yang luar biasa keras. Dengan demikian ia akan lebih toleran terhadap kesemrawutan-kesemrawutan kecil yang sesekali dilakukan anaknya.

Konflik lain yang mungkin timbul adalah antar pasangan. Seseorang yang acak abstrak lebih menggunakan perasaannya dalam melakukan sesuatu dan bagi mereka perhatian terhadap orang adalah sangat penting. Jika orang ini memiliki pasangan sekuensial abstrak, mungkin ia akan berulangkali merasa kecewa akan tingkah laku pasangannya yang kurang perhatian, kurang tanggap akan perasaannya dan selalu menuntut argumen yang rasional dari setiap keputusan yang diambil. Sementara itu pasangannya akan merasa ia terlalu menuntut, tidak rasional dan kurang mempercayai cintanya. Dengan memahami perbedaan cara belajar, pasangan ini akan lebih maklum dengan apa yang dilakukan oleh pasangannya dan tidak selalu mengartikan sikap-sikap yang tidak sesuai dengan harapan sebagai ekspresi tidak mencintai maupun sengaja membuat kesal/mengecewakan.

Contoh yang lain adalah antara guru dengan murid. Sistem pendidikan zaman sekarang cenderung menggunakan pendekatan disiplin dan cara berpikir yang runtut untuk memahami pengetahuan. Pendekatan ini menguntungkan anak-anak yang memiliki kombinasi dominan sekuensial konkret dan sekuensial abstrak. Anak-anak yang sekuensial konkret akan dengan mudah mengikuti keteraturan aturan-aturan sekolah. Sementara anak-anak yang sekuensial abstrak dapat dengan mudah mengikuti pelajaran yang membutuhkan analisis. Sedikit sekali perhatian diberikan untuk seni dan cara berpikir kreatif yang cocok untuk anak-anak acak abstrak dan aca konkret. Bagi anak-anak dengan cara berpikir acak, sekolah formal adalah belenggu yang membosankan. Beberapa mereka memperoleh cap sebagai anak nakal atau anak bodoh. Padahal sebenarnya belum tentu demikian. Mereka menjadi demikian karena cara belajar yang diterapkan di sekolah tidak cocok dengan cara belajar mereka. Sekolah menjadi siksaan. Guru-guru yang memahami perbedaan cara belajar ini akan lebih toleran terhadap sikap anak-anak ini dan berusaha mencari cara kreatif untuk mengakomodasi perbedaan cara belajar ini.

Contoh lain yang mungkin relevan untuk kita sebagai aktivis, misalnya perbedaan cara belajar antara seorang pendamping lapang dengan masyarakat lokal dampingannya. Jika seorang pendamping memiliki cara belajar dominan sekuensial abstrak, mungkin tidak cocok untuk mendampingi masyarakat yang konkret dan acak. Orang sekuensial abstrak cenderung banyak bicara untuk menjelaskan hal-hal yang diketahui dan seringkali dengan bahasa yang sulit dimengerti. Masyarakat yang tidak terbiasa berpikir panjang akan kesulitan mengikuti apa yang diterangkan oleh sang pendamping dan akhirnya mengangguk-angguk tetapi kurang mengerti atau malah mengantuk. Akhirnya program yang direncanakan tidak berjalan karena masyarakat tidak paham. Orang yang sekuensial abstrak juga kurang mampu berempati pada sesama, sehingga seringkali kurang tanggap akan kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Sehingga jika orang tipe ini menjadi pendamping kemungkinan ia akan kesulitan memahami keinginan dan perasaan yang berkembang di masyarakat dampingannya.


Bagaimana kita bersikap terhadap perbedaan cara belajar?
Masih banyak lagi contoh persoalan atau konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan cara belajar ini. Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan ini?

Pertama, kita perlu menyadari cara belajar kita sendiri. Dari sana kita dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kita. Setelah itu, kita perlu menyadari, menerima kenyataan dan menghargai perbedaan cara belajar setiap orang. Dengan bekal itu, kita dapat menyesuaikan diri dan bahkan memanfaatkan perbedaan-perbedaan itu.

Misalnya jika kita dalam satu kerja tim, maka pembagian tugas dapat disesuaikan dengan cara belajar setiap anggota. Orang yang sekuansial abstrak mendapat tugas untuk membuat analisis atau membuat konsep kegiatan. Orang yang sekuensial konkret diberi tugas untuk melaksanakan program sebagai koordinator. Orang-orang yang acak abstrak dapat diminta bekerja di bidang yang mengurus orang-orang sementara mereka yang acak konkret dapat diminta masuk dalam tim kreatif. Harapannya mereka semua akan menikmati pekerjaannya. Dengan demikian tim dapat menghasilkan kinerja terbaiknya dan konflik dapat dihindari.

Contoh lain adalah dalam relasi antara pasangan hidup. Memahami cara belajar masing-masing membuat kita tahu hal-hal apa yang membuat pasangan kita bahagia atau stress. Dengan demikian kita dapat lebih mudah memilih hadiah yang cocok atau merancang acara liburan bersama yang pas. Kita lebih mengetahui apa saja yang membuat pasangan kita senang dan sebaliknya. Saling memahami dapat lebih mudah dilakukan dan kompromi dapat lebih mudah tercapai.

Jadi, sudahkah anda mengenali cara belajar anda?

(Any Sulistyowati)

Referensi:
Tobias, Cynthia Ulrich. Cara Mereka Belajar. Jakarta: Fokus Pada Keluarga, 2000.
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum Learning. New York: Dell Publishing, 1992. (Edisi Indonesia diterbitkan oleh MIZAN).


[MASALAH KITA] Mengapa hanya sedikit perempuan yang menjadi aktivis?


David kuliah di Jurusan Biologi, di mana 70% mahasiswanya adalah perempuan, tetapi dari sekitar enam tahun masa studinya, hanya sekali perempuan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Biologi. Setelah itu ia membuat LSM yang memiliki program relawan, yang mayoritas perempuan. Dari ratusan relawan yang kemudian direkrut menjadi staff, yang kemudian berkomitmen dan bertahan lebih dari lima tahun semua laki-laki. Ia juga berkawan dengan banyak aktivis yang juga perempuan, dan sayangnya… setelah menikah, mereka berhenti. Fenomena apakah ini?

Fenomena serupa ternyata tidak hanya terjadi pada dunia aktivis saja, namun juga terjadi dalam panggung politik bangsa kita, di mana mayoritas penduduknya juga perempuan. Sampai-sampai dalam pemilu tahun 2004, setiap partai harus memiliki calon perempuan minimal 30%.
Meskipun ada pesimisme apakah perempuan-perempuan itu benar-benar memiliki perspektif gender, sebagai langkah awal keputusan ini perlu disambut baik. Hal serupa terjadi di sektor ekonomi, pendidikan, agama dan teknologi. Beberapa institusi internasional telah membuat aturan keseimbangan gender di organisasinya. Demikian juga beberapa perusahaan internasional yang selama ini dianggap wilayah kerja laki-laki, misalnya perusahaan-perusahaan tambang, mulai mengutamakan peluang kerja bagi perempuan-perempuan. Meskipun demikian tetap saja, sektor-sektor tersebut didominasi oleh laki-laki. Apakah tidak ada perempuan yang cukup berkualitas untuk mengisi posisi-posisi penting di sektor-sektor tersebut?

Gadis Arivia dalam bukunya Filsafat berperspektif Feminis menuliskan hal serupa juga terjadi di dunia filsafat. Filsafat yang tercatat dalam sejarah sejak zaman Yunani, hampir semua laki-laki. Dalam buku tersebut, ia menuliskan bahwa hal tersebut tidak berarti perempuan tidak berkualitas atau tidak mampu berfilsafat, melainkan sengaja dipinggirkan dari panggung filsafat melalui aturan main yang ada.

Bagaimana dengan peluang yang terbuka luas, misalnya di sektor ekonomi dan politik tadi? Jawabannya, hidup kita tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan politik. Demikian juga ketika seorang perempuan membuat keputusan untuk terlibat/tidak terlibat dalam satu kegiatan, misalnya memilih pekerjaan. Keputusannya tidak akan semata-mata ditentukan oleh faktor ekonomi dan peluang yang ada. Dalam melakukan pilihan aksi, seorang aktivis perempuan dipengaruhi oleh banyak hal. Sedikitnya ada tiga faktor yang memiliki pengaruh cukup besar bagi pengambilan keputusan seorang aktivis perempuan, yaitu: keluarga, budaya dan agama.

Keluarga
Entah itu nasib, takdir atau pilihan bebas, banyak perempuan yang mengutamakan keluarga di atas karirnya. Banyak sekali perempuan yang berhenti berkarir setelah menikah, sibuk dengan pekerjaan domestik dan melupakan perannya dalam kehidupan sosial. Karir mereka identik dengan sukses suami dan anak-anak mereka. Seringkali jika sang suami dan anak-anak gagal, perempuan yang disalahkan karena dianggap tidak becus sebagai istri dan ibu.

Nilai inilah yang banyak menghantui banyak perempuan, ketika mereka harus mengambil pilihan-pilihan hidup, misalnya pekerjaan. Yang paling menjadi pertimbangan seringkali adalah apakah pekerjaan ini cocok untuk kehidupan anak-anak dan suami mereka, dan bukannya apakah pekerjaan ini cocok untuk mereka. Hidup mereka berpusat pada suami dan anak-anak, dan bukannya pada panggilan mereka sendiri.

Sangat bagus, jika ada perempuan yang akhirnya dapat mengkombinasikan pilihan hidupnya dengan kepentingan suami dan anak-anaknya. Membagi hidup secara seimbang antara karir dengan keluarganya. Sayangnya, sangat sedikit perempuan yang dapat hidup dengan cara ini.

Budaya
Budaya merupakan faktor kedua yang mempengaruhi keputusan seorang perempuan. Kalaupun keluarga intinya (suami dan anak-anak) mendukung pilihannya, belum tentu ia berani menghadapi cermin sosial yang berasal dari masyarakat yang lebih luas. Pertama, mungkin akan ada tekanan dari keluarga besar, ayah, ibu, mertua, nenek, kakek, paman, bibi dkk. Kedua, kalaupun keluarga besar sudah ok, masih ada tekanan dari tetangga/masyarakat tempat tinggal/kerja nya.
Tekanan ini dapat dilancarkan dengan berbagai alasan, misalnya care, peduli atau sayang sampai takut tersaingi alias sirik. Meskipun tampaknya berbeda, sayangnya keduanya berujung sama, peminggiran perempuan dari pilihan hidup dan karyanya.

Agama
Agama merupakan faktor yang paling sulit dilawan dalam konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan. Misalnya, ketika Megawati akan menjadi presiden, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa yang diangkat ke permukaan bukannya apakah ia sungguh-sungguh memiliki kapasitas sebagai presiden, tetapi jenis kelaminnya. Karena dalam agama Islam yang harus menjadi pemimpin adalah laki-laki.

Dalam banyak agama besar, hak untuk menjadi pemimpin dan mendalami agama masih didominasi oleh laki-laki. Gereja Katolik masih melarang perempuan menjadi imam. Demikian juga dengan agama Islam. Agama Budha di banyak negara juga menerapkan pola yang sama, yang menjadi biku adalah laki-laki.

Lalu apa yang harus dilakukan?
Lepas dari segala analisis yang rumit-rumit mengenai penyebab segala hal tersebut, perempuan tetap harus mengambil sikap. Sebagaimana juga laki-laki dan semua orang, perempuan paling berhak atas pilihan hidupnya, atas masa depannya, atas pilihan karirnya. Pilihan-pilihan itu hendaknya didasarkan pada potensi maksimal perannya sebagai bagian dari umat manusia, panggilan/perutusan uniknya untuk berkarya di dunia ini. Bukannya, ditentukan oleh keluarga, masyarakat atau bahkan agama.

Pertama-tama, ia harus menjernihkan dan mendengarkan suara hatinya, menemukan arah hidupnya, apa perannya sebagai manusia. Kedua, ia butuh keberanian untuk menghadapi cermin sosial. Berani berkata tidak, untuk sesuatu yang menghambat pelaksanaan visi dan misi hidupnya. Tentu saja ini sulit, apalagi pada tahap awal. Karena itu langkah ketiga menjadi penting, yaitu menemukan komunitas sevisi. Dalam komunitas sevisi, perempuan akan menemukan dukungan dalam bentuk persahabatan, sharing pengalaman, pengetahuan atau bahkan sekedar tempat curhat. Ini akan menguatkan perjalanan beratnya melaksanakan misi hidup. Yang terakhir dan terpenting adalah hidup dengan komitmen. Karena tanpa komitmen yang kuat segala cita-cita akan sia-sia. Komitmen juga berarti kesediaan menanggung resiko akibat pilihan-pilihan yang diambilnya, misalnya stereotipe dari masyarakat, konflik dengan keluarga dan bahkan mengorbankan hidupnya sendiri untuk cita-cita yang lebih besar.
(Any Sulistyowati)


[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yang melanda negeri ini, yang makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa dan teror kekerasan; kesadaran dan gerakan masa rakyat yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para ibu yang tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik dengan memakai isu domestik untuk memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yang dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di berbagai wilayah di negeri ini, yang berpuncak pada tragedi Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki untuk bergerak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit kembali, bersama-sama bergerak menantang teror, rekayasa dan kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan dan dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan agama serta budaya.

Kail berkesempatan mewawancarai 7 orang ibu yang aktif dalam JMP (Jaringan Mitra Perempuan) tentang pergulatan dan tanggapan mereka dalam menyiasati konstruksi sosial (melalui keluarga, budaya dan negara) mengenai Ke"ibu"an mereka, khususnya dalam menjalankan peran mereka sebagai aktivis.

Konstruksi sosial mengenai “Ibu”
Dari ketujuh responden, konstruksi sosial keluarga-lah yang pertama-tama mereka alami dan paling berpengaruh bagi pembentukan gender mereka, yang tercerap dalam wacana, pikiran, pemahaman, sikap dan tindakan mereka baik secara pribadi maupun sosial. Dari keluargalah (terutama dari ibu dan relasinya dengan ayah dan kakek mereka), mereka belajar untuk menjadi seorang perempuan, dan kelak menjadi seorang istri dan ibu. Ajaran, larangan dan nilai-nilai yang disosialisasikan kadangkala tidak eksplisit, tapi menjadi contoh hidup yang harus mereka teladani. Dari ketujuh responden ini kebetulan lima dari mereka kebetulan berasal dari Jawa Tengah (orang Jawa), sehingga budaya Jawa yang patriarkhis mendominasi skenario hidup mereka. Dua orang lainnya yang beretnis Tionghoa juga mengungkapkan bagaimana tradisi menjadi unsur yang dominan dalam konstruksi sosial mereka.


Sumber gambar: Kompas, 1 Oktober 2003, halaman 2.

Pada konteks Indonesia, negara mengambil alih pendefinisian makna warga negara perempuannya. Pada masa Orba, perempuan diideologikan dengan bahasa yang mempesona dan diberi peranan mendukung dalam (proyek) pembangunan. Pengideologian ini berhasil membentuk identitas perempuan dalam berbagai bentuk pemuliaan semu dengan ciri utamanya adalah kepatuhan. Konstruksi keibuan ini merupakan perpaduan konsep budaya Jawa dan Belanda (Sears, Laurie. Introduction: Fragile Identities, dalam Sears, L (Ed). Fantasizing The Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. 1996. Hal 33). Selama ini negara cenderung memanipulasi konsep perempuan sebagai "istri", " ibu", atau keduanya, tergantung kebutuhan. Misalnya melalui Dharma Wanita, peran perempuan jelas-jelas secara struktural dianggap sebagai pendukung karir suami, seolah-olah perempuan tidak memiliki pekerjaan dan karir sendiri. Demikian pula mobilisasi massa perempuan untuk mensukseskan program pembangunan, baik secara sukarela maupun paksaan, melalui program PKK, Posyandu dan Keluarga Berencana.
Konstruksi sosial tentang perempuan, khususnya sebagai istri dan ibu ini disadari betul oleh para aktivis ini, dan banyak dari mereka yang menginternalisasinya selama ini. Misalnya, Bu Pratiwi harus siap dengan resiko dicerca atas pemberontakannya sebagai aktivis sebagai konsekuensi dari menjadi bagian dari keluarga yang termasuk birokrat.

Pergulatan dan Dialektikanya
Konstruksi sosial yang ditanamkan ternyata membawa dampak yang berbeda dan ditanggapi secara berbeda pada masing-masing individunya. Beberapa dari mereka bahkan seringkali dihinggapi rasa bersalah dan merasa bukan perempuan, bahkan menjadi "sakit jiwa" karena konsep ke-ibu-an yang dikonstruksikan bagi mereka.

Bagi Bu Pratiwi misalnya, konstruksi ini membuat dia frustasi dan sempat merasa bukan perempuan (sempurna) karena tidak bisa mengurus rumah dan tidak bisa masak; karena konsep perempuan ideal yang selama ini diajarkan adalah bahwa perempuan mesti bisa mengurus urusan rumah, memasak, mencuci dan menjahit. Perasaan ini makin kuat ketika belum kunjung punya anak. Tapi setelah ada perubahan pandangan, ternyata hidup menjadi perempuan dirasakan lebih nyaman, tidak ada keharusan yang ditentukan dari luar, sehingga tidak menjadi kaku. Proses perubahan paradigma itu membuat ia lebih menerima orang apa adanya. Perubahan ini diperoleh dari kecintaannya pada buku, lewat pergaulan dengan teman-teman aktivis perempuan, lewat pergaulan dengan JMP dan dengan mengobrol. Suami Bu Pratiwi yang orang Kalimantan, sedikit banyak juga berperan dalam proses penerimaan diri dan perubahan paradigma ini. Budaya dan pribadi sang suami yang tidak mengambil peran stereotipe dan kaku tentang seorang suami dan bapak, walaupun dengan kekeraskepalaannya sendiri, telah membangun sebuah dialektika tersendiri bagi kehidupan keluarga mereka sebagai sesama aktivis.
Bu Lim, sebaliknya, dengan suami yang sangat patriarkhis, mengalami pergulatan yang lebih berat untuk berdialektika dengan pemahaman barunya tentang relasi perempuan dan laki-laki. Aktivitas dan perjuangannya sebagai aktivis perempuan tidak berarti dia bisa mengubah atau mempengaruhi suaminya semudah itu. Perlu ada strategi dan negosiasi tertentu sehingga sedikit demi sedikit mereka berproses bersama menuju relasi yang lebih setara. Pengakuan akan eksistensi diri dan perjuangannya hanya bisa dicapai dengan strategi yang tidak frontal, tidak dengan marah-marah, tapi justru dengan kepekaan dan pengenalan diri pasangannya, fleksibilitas dan kelincahan berbahasa.
Strategi dan negosiasi yang cerdik ini juga diterapkan oleh Yani dalam menghadapi suaminya yang patriarkhis dan cenderung tidak setia. Hanya dalam hal pendidikan anak, mereka bisa mencapai kesepakatan, dan hal inilah yang menjadi titik berangkat bagi Yani untuk mempertahankan keluarganya. Pengalamannya hidup dalam konstruksi keluarga Jawa yang patriarkhis dan feodal, yang ia internalisasi pada paruh waktu kehidupan rumah tangganya, ternyata membuat ia merasa menjadi "sakit jiwa", terguncang dan capek sekali. Ia malah menjadikan dirinya orang lain, menjadi terasing dari dirinya sendiri. Kesempurnaan peran istri yang ia jalankan dari idealisasi konsep istri dan ibu yang dikonstruksikan budaya, keluarga dan negara tidak membuat ia terlepas dari korban ketidakadilan dari suaminya dan keluarganya. Pengalaman menyakitkan ini untungnya tidak ia tanggapi dengan berputus asa dan pasrah saja. Didukung oleh rekan-rekan aktivisnya, ibunya dan terutama keyakinan dan kemauan dirinya, Yani bisa mengubah pengalaman ketertindasannya menjadi momen untuk memberdayakan kembali dirinya. Proses jatuh bangun yang ia alami tidak menyurutkan langkahnya untuk terus bertahan dan membantu orang lain untuk berjuang juga. Kunci dari proses pendewasaannya adalah kerelaan dan kerendahan hati untuk memberi kesempatan bagi dirinya dan orang lain untuk mendapatkan yang terbaik, kerendahan hati untuk belajar dan tetap memiliki harapan. Semuanya berasal dari kekuatan Iman dan Kasih.
Lain lagi dengan Bu Wati, dialektika relasinya dengan suami dan anak, serta dengan keluarga kedua belah pihak terjadi lewat percakapan yang muncul karena kebutuhan praktis. Misalnya masalah pembagian peran dalam rumah tangga serta tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Beruntung memang, suaminya relatif mudah diajak berkompromi dan berproses bersama, walaupun proses ini tidak terlepas dari konflik dan tegangan. Masalah aktivitas di luar rumahnya yang menuntut mobilitas tinggi telah dinegosiasikan jauh sebelumnya dengan suaminya, sehingga tidak lagi menjadi potensi konflik di kemudian hari.
Perasaan bersalah seringkali kali menjadi bagian dari diri Bu Ambar ketika konstruksi itu ia internalisasi. Otonomi diri dianggap identitik dengan egoisme, dan itu berlawanan dengan kasih - yang seharusnya dimiliki oleh seorang ibu. Tuntutan-tuntutan yang diberikan pada seorang ibu dirasakan olehnya terlalu berat dan membebani, merasa terbelenggu, tertekan dan merasa "diperbudak". Kesadaran akan ketidakadilan gender akibat konstruksi budaya khususnya, mulai dirasakan lewat bacaan dan cerita tentang perempuan Jawa; terutama juga lewat pengalaman konkretnya. Selanjutnya kesadaran itu mulai disosialisasikan lewat tulisan-tulisan dan lewat aktivitasnya di JMP.
Perasaan bersalah juga hinggap di hati Bu Sri, karena ia tidak bisa memasak. Tapi ini harus ia bayar dengan mengkompensasikan dengan kesempurnaan pekerjaan rumah tangga lainnya dan dengan memberikan pekerjaan memasak ini pada pembantunya. Ketakutan kalau-kalau ia tidak bisa membahagiakan suaminya serta ketakutan untuk menentukan, serta keharusan untuk berbasa-basi makin dirasakan melelahkan. Keterlibatannya di JMP telah membawa perubahan, termasuk cara berelasi dengan suaminya. Ia menjadi lebih berani untuk menentukan sikap, lebih terbuka dan bisa mengambil posisi sebagai pribadi. Perubahan ini dirasakan lebih membebaskan, tidak lagi tertekan; bisa mendengarkan orang lain dan menghargai mereka. Selain itu juga belajar menerima perbedaan dan tidak memaksakan kehendak, lebih inklusif dan tidak feodal. Yang penting bagaimana aktivitas di luar rumah tidak membuat keadaan di rumah menjadi berkonflik.

Bagi para ibu yang aktivis ini, perjuangan visi mereka sebagai aktivis tidak terlepas dari proses dialektika mereka dalam rumah tangga mereka sendiri. Keberhasilan mempengaruhi dan membawa perubahan yang lebih baik dalam relasi mereka sendiri, tidak berarti bahwa sekarang giliran mereka untuk mendominasi atau sewenang-wenang, tapi justru lebih pada penghormatan, kesetaraan dan penerimaan serta keterbukaan akan orang lain.

Akhir Kata….
Pilihan menjadi seorang aktivis tidaklah mudah. Dilahirkan menjadi seorang perempuan dalam budaya dan sistem yang patriarkhis juga tidak mudah. Maka, menjadi perempuan sekaligus aktivis menjadi kesulitan dan tantangan tersendiri, apalagi jika ia memperjuangan keadilan dan perubahan bagi ketertindasan kaumnya sendiri. Konflik dan pergulatan yang dihadapi membutuhkan proses panjang dan kerjasama dari pasangannya, dari masyarakat dan perlu dukungan dari institusi negara, budaya dan juga agama. Siasat dan strategi yang tidak konfrontatif, kreatif dan fleksibel dibutuhkan dalam usahanya untuk mendekonstruksi simbol dan pemaknaan konsep yang terlanjur dianggap kodrat selama ini.

Upaya transformasi dan perubahan paradigma ini hanya mungkin ditempuh dengan berjejaring dan membangun solidaritas bersama dalam gerakan bersama: perempuan dan laki-laki. Semuanya mungkin untuk dilaksanakan dan bertahan, karena ada roh yang menggerakkan mereka. Seperti yang dikemukakan Pratiwi, bahwa ia melakukan semuanya ini karena dorongan hati, serta kepedulian terhadap manusia. Kepedulian ini juga yang menggerakkan Wati, karena ia ingin lebih banyak orang yang punya kepedulian terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, sehingga tercipta dunia baru yang lebih adil. Visi ini diteguhkan oleh semangat dan ajaran yang ia yakini, yaitu tentang Kasih dan pengampunan.

Semoga saja semangat kasih yang demikian kuat didengungkan dan dimaknai dalam rekonstruksi konsep ke-ibu-an para aktivis ini juga bergema dan menyemangati kita dan para aktivis lainnya, tidak hanya terbatas pada relasi antar perempuan dan laki-laki, tapi juga relasi kita dengan alam lingkungan kita!

(Intan Darmawati)

[OPINI] DISKURSUS PEKERJA PEREMPUAN DAN UPAH RENDAH

GLOBALISASI DAN PEKERJA PEREMPUAN

Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi pekerja perempuan. Dampak positif glo
balisasi berimplikasi pada kesadaraan kesetaraan gender. Dengan adanya tuntutan globalisasi akan profesionalisme, dan merebaknya teknologi canggih, kaum perempuan berpeluang memanfaatkan potensi diri untuk karier mereka, misalnya melalui usaha-usaha pendidikan, perluasan jaringan pergaulan profesional, pengasahan keterampilan dan lain sebagainya. Melalui usaha-usaha pengembangan diri yang konstruktif dan kreatif, perempuan mampu berkompetisi secara sehat dalam dunia kerja dengan menggunakan ide-ide, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan mampu memanfaatkan informasi dan teknologi dengan baik dan tak kalah militan/taktisnya dengan pria.

Dampak negatif globalisasi bagi pekerja perempuan terbukti karena banyaknya perempuan digunakan oleh investor/pengusaha sebagai pekerja karena keuntungan-keuntungan. Perempuan dipandang sebagai angkatan kerja yang bisa digunakan dalam industri ekspor dan impor, seperti industri garmen, tekstil, sepatu, perkebunan, penjualan eceran/grosir dan sebagainya. Mereka ini antara lain bisa diupah murah dibanding dengan pekerja pria, tidak perlu diberikan tunjangan suami, tidak terlalu banyak menuntut, tidak terlalu kritis, luwes, raji
n bekerja. Oleh karena itu pekerja perempuan dianggap lebih menguntungkan. Selain itu pekerja perempuan lebih cocok untuk dipekerjakan di lapangan kerja yang sudah ditentukan oleh beberapa investor berdasarkan paradigmanya yang masih bias gender.

Dikotomi Gender dalam Industri
Paradigma beberapa investor yang masih bias gender tersebut, merupakan isu yang masih bisa dibenarkan apabila pihak pekerja perempuan merasa bahwa stereotipnya sebagai perempuan merupakan kodrat, sehingga mereka enggan mengeksplorasi diri mereka untuk menjadi lebih asertif dan kreatif. Oleh karena itu, upah rendah yang diperoleh oleh pekerja perempuan merupakan konsekuensi logis karena kemampuan yang sangat minim (unskilled labour) dan enggan mengembangkan potensi diri.

Tetapi, isu tersebut bisa menjadi hal yang kontroversial apabila diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan didasarkan atas prasangka yang bias gender, dan bukannya karena berbedanya sifat pekerjaan, bobot pekerjaan dan waktu kerja. Sehingga perlu solusi yang menguntungkan kedua pihak dalam hubungan kerja.

Prasangka yang didasarkan pada bias gender yang biasa berlaku dalam masyarakat secara makro, termasuk lingkungan bisnis adalah sebagai berikut :


Pada dasarnya, perempuan distereotipkan seperti tabel di atas karena pengkondisian dari lahir, dan sebenarnya yang membedakannya dengan pria hanyalah dari hal alat-alat reproduksinya saja. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian tentang dua anak kembar perempuan. Sejak lahirnya pada usia tertentu (dini) dipisah, yang seorang dikondisikan seperti layaknya perempuan dan seorangnya lagi dikondisikan seperti laki-laki. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa hal-hal di luar alat-alat reproduksinya, masih bisa dipertimbangkan sebagai hal yang bisa setara dengan laki-laki, seperti otak/kecerdasan, sifat, perilaku, sikap ataupun tindakan. Perempuan bisa juga setangkas dan setaktis laki-laki.

Di samping pengakuan stereotip perempuan seperti tabel di atas, beberapa hal yang turut mempengaruhi pola pikir dan perlakuan diskriminatif para investor/pengusaha tersebut terhadap pekerja perempuan adalah :

Dalam giliran kerja (shift), pekerja perempuan pada umumnya tidak bisa bekerja lembur hingga jauh malam bahkan menjelang pagi. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang berlaku bahwa perempuan tidak baik kerja malam ataupun pagi, kondisi tubuh perempuan tidak memungkinkan untuk melakukan kerja demikian dan sebagainya.
Kompetensi perempuan lebih bersifat tidak kentara dibanding pria sehingga tidak mudah untuk dikuantifikasikan. Kompetensi yang kualitatif tersebut adalah kemampuan menjalin hubungan yang baik antarpribadi, ketelitian, kecekatan, kerajinan dan sebagainya yang seringkali diabaikan dalam unsur-unsur Penilaian Karya (Performance Appraisal). Hal itu menunjukkan bahwa adanya pengabaian keunggulan kemampuan pekerja perempuan di sisi lain keunggulan kemampuan pekerja laki-laki.
Sifat pekerjaan paruh atau penuh waktu dapat mempengaruhi jumlah upah yang dibayarkan atas dasar prosentase waktu kerja.
Sepanjang masa kerja perempuan, ada waktu-waktu tertentu yang dianggap mengurangi produktifitasnya dan termasuk hal yang dianggap merugikan perusahaan, yaitu cuti haid, cuti bersalin.
Masih berlakunya pola pikir bahwa pekerja perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Oleh karena itu mereka tidak mendapatkan tunjangan suami yang merupakan pelengkap dari upah mereka. Dalam kenyataannya, banyak pekerja perempuan bekerja untuk diri sendiri, orang tua, anak-anak atau saudaranya. Mereka merupakan tulang punggung keluarga karena berbagai hal, antara lain suami meninggal, cerai atau ditinggal pergi oleh suami.

Dengan demikian, merupakan suatu tanggung jawab moral bagi para investor/pengusaha tersebut untuk tetap bisa menyadarkan dan berusaha memperbaiki pola pikir dan kondisi mereka, misalnya: melalui pelatihan, pembelajaran melalui bimbingan senior, bonus, pinjaman lunak, penyediaan tempat kerja dan fasilitas yang ergonomis, serta usaha positif lainnya.

Fakta-fakta Pekerja Perempuan dan Upah Rendah, Isu pekerja perempuan sebagai kaum marginal dan warga nomor dua, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara-negara berkembang dan maju.

Isu pekerja perempuan merupakan isu global yang sudah ada sejak pra dan pasca revolusi industri yang kemudian melahirkan wujud-wujud globalisasi. Sampai saat ini isu pekerja perempuan merupakan isu yang perlu dicari penyelesaiannya karena terkait dengan doktrin agama-agama, peraturan-peraturan atau UU negara yang masih mengandung bias gender dalam budaya masyarakat yang patriarki.


Isu pekerja perempuan dengan upahnya yang rendah merupakan isu yang dibahas dalam berbagai penelitian oleh lembaga atau orang-perorang yang teorganisir. Hasil-hasil penelitian itu antara lain menunjukkan masih adanya kasus diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan akibat bias gender.

Di Indonesia, banyak sekali kasus-kasus diskriminasi tersebut, banyak pekerja perempuan yang mendapatkan upah rendah sehingga sangat sulit untuk menutupi kebutuhan hidupnya secara layak.

Dalam penelitian Molly Jacobs (Low-Wage Women : The Demographic Determinants of their Wages, Duke University, Durham, North Carolina, 31 May 2003), disebutkan bahwa 59% angkatan kerja perempuan di Jerman masih memperoleh upah yang rendah. Hampir 70% angkatan tersebut bekerja dalam ranah kerja feminin, seperti klerikal, penjualan, ataupun bidang jasa yang terkait. Pekerjaan seperti Guru, Sekretaris dan Pramuniagapun cenderung mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerjaan yang sama bagi pria.

Margarita Dimitrova , dalam makalahnya menggambarkan kondisi upah secara keseluruhan sektor bagi pekerja perempuan dan pria di Amerika (http://www.aubg.bg/home/students/MDD000/otb%20paper.doc) sebagai berikut : (gambar 15)

Di samping upah yang diterima pekerja perempuan di atas lebih rendah dari pekerja pria, pekerja perempuan juga tidak difasilitasi asuransi dan tunjangan lainnya untuk keluarga mereka.
Dua hal ini merupakan sebagian dari sekian banyak fakta yang menggambarkan adanya diskriminasi upah bagi pekerja perempuan, dan pekerja perempuanlah yang harus menanggung bebannya.

Usaha-usaha Perbaikan bagi Pekerja Perempuan
Beberapa landasan pola pikir dan tindakan yang bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi pekerja perempuan oleh para investor dan pimpinan/pengusaha, yaitu :

1. Filosofis
Para investor/pengusaha harus mengambil tindakan afirmasi atas isi Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi PBB Desember 1979 yang terkait, seperti Hak-hak Ekonomi yang meliputi hak yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan ekonomi dan sosial, antara lain :
a) hak untuk mendapat latihan kejuruan, bekerja, memilih jabatan dan pekerjaan dengan bebas, serta memperoleh kemajuan dalam keahlian dan kejuruan, tanpa perbedaan antara wanita yang berstatus belum atau sudah menikah,
b) hak untuk mendapatkan upah dan perlakuan yang sama dengan pria dan perlakuan yang sama berkaitan dengan pekerjaan yang sama nilainya (Deklarasi PBB 1967, pasal 10).
c) berhak menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi (Konvensi PBB 1979 pasal 14).

2. Praktis
Para investor/pengusaha harus memiliki niat baik dan berusaha memperjuangkan terlaksananya perbaikan kondisi pekerja perempuan. Beberapa cara yang bisa ditempuh, antara lain :

a) Audit SDM perlu dilengkapi dengan pelaksanaan kampanye penghapusan diskriminasi upah akibat bias gender, dan bukan akibat sifat pekerjaan, serta bobot pekerjaannya yang berbeda.
b) Merekonstruksi peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan perusahaan dalam hal pembayaran upah dan tunjangan, misalnya kenaikan upah yang layak, tunjangan suami, pinjaman dengan bunga lunak, bonus, penyediaan transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas kerja yang aman dan nyaman.
c) Menyelenggarakan program pendampingan kerja, pendidikan dan pelatihan.
d) Membangun jaringan kerja kemitraan dengan lembaga-lembaga yang peduli/peka gender, seperti LSM Perempuan dan lembaga lainnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai warga negara yang peduli dengan masalah perempuan. Dengan demikian secara sinergi, antara investor/pengusaha, LSM, dan bahkan pemerintah diharapkan dapat lebih efektif mengeliminir beban perempuan.

Merujuk pada esensi hubungan manusiawi, bahwa siapapun berhak atas perlakuan keadilan dan kemanusiaan, maka perempuan sebagai bagian dari masyarakat global perlu diperjuangkan hak-haknya sesuai perannya. Itu semua tugas yang harus dipikul bersama dan diperjuangkan demi kesejahteraan dan kesetaraan bersama.

Maria Clara Neti Veronica (Staf Personalia, CSIS Jakarta)

[MEDIA] Jual-Beli Perempuan dan Anak - Resensi Film

Judul : Jual-Beli Perempuan dan Anak.
Tahun : 2003
Produksi : Yayasan Jurnal Perempuan
Produser dan Sutradara : Gadis Arivia
Jurnalis : Deedee Achriani, Gadis Arivia, Himah Solihah

Isu perdagangan perempuan dan anak semakin serius dibahas. Pemerintah, khususnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menanggapi isu ini dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdaganangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, dan saat ini sedang merancang Undang-Undang Penghapusan Trafiking. Sementara itu di tingkat masyarakat, berbagai organisasi dan lembaga turut menangani isu tersebut dengan melakukan penelitian dan sosialisasi. Yayasan Jurnal Perempuan salah satu lembaga yang selama ini bergerak untuk pemberdayaan perempuan, melakukan peliputan ke Kalimantan Barat dan pulau Batam untuk mendokumentasikan berbagai bentuk dan kasus perdagangan perempuan dan anak. Hasilnya dikemas dalam bentuk film dokumenter berdurasi sekitar 60 menit dan dalam format warna hitam putih.

Bentuk-bentuk perdagangan perempuan dan anak yang diliput adalah penjualan bayi, jual beli anak dan perempuan untuk tujuan seks komersial, buruh migran tak berdokumen resmi, dan pengantin perempuan pesanan untuk laki-laki warga negara asing. Melalui film ini dapat disimak kisah para korban, menyorot akar permasalahan yang menyebabkan mereka terjebak menjadi korban, dan harapan para korban untuk bangkit sebagai survivor. Ada pula serangkaian wawancara dengan para calo, mucikari, pekerja LSM yang menangani kasus-kasus perdagangan, dan pejabat daerah, sehingga bisa ditangkap pemahaman yang menyeluruh mengenai rantai perdagangan dan sikap para pihak yang terlibat.

Film ini sangat bagus untuk ditonton karena tidak saja artistik dalam penggarapannya, tetapi juga merupakan film dokumenter yang cukup komprehensif mengangkat isu perdangangan dari perspektif korban dan cocok digunakan sebagai alat penyadaran atau kampanye penghentian perdagangan perempuan dan anak. (Sinta Situmorang)

[MEDIA] Perspektif Gender dalam Pendidikan









Penulis :Nurul Azkiyah, Budi Rajab, Gaby Weiner, Budie Santi, Gaguk Margono, Gadis Arivia, Eko Bambang Subiantoro, M.B. Wijaksana

Penerbit :Yayasan Jurnal Perempuan

Tebal :171 halaman

Terbit :Mei, 2002

Pendidikan merupakan hal yang esensial dan krusial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam negara yang mengakui demokrasi seperti misalnya Indonesia, di mana idealnya kesetaraan gender juga diakui secara moral dan bertanggung jawab. Namun masalahnya adalah bahwa pendidikan praksis yang selama ini berjalan pada dasarnya terbentuk atas konstruksi sosial yang sudah berakar dalam tatanan masyarakat yang bisa gender atau seksis. Padahal, suatu bangsa akan menjadi bangsa yang beradab dan berharkat apabila tolak ukurnya bahwa bangsa tersebut terdidik tanpa terkecuali., dalam hal ini perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki peluang dalam mengenyam pendidikan untuk saling bahu membahu membangun bangsa dan negara.

Dalam Jurnal Perempuan No. 23 ini membahas mengenai “Perspektif Gender dalam Pendidikan”, di mana para penulisnya memetakan pemikiran masing-masing yang sama-sama ditujukan pada focus utamanya pada masalah ketidaksetaraan kesempatan pendidikan perempuan dan laki-laki dalam berbagai pendekatan dan kasus yang berbeda.

Gadis Arivia dalam prolognya menegaskan bahwa kontribusi perempuan sangat penting dalam bidang pendidikan, mengingat bahwa dalam setiap sendi pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lainnya diperlukan partisipasi perempuan, apalagi populasi perempuan di Indonesia lebih banyak dibandingkan populasi laki-laki. Demikian halnya, Indonesia yang merupakan negara berkembang memprioritaskan pembangunan negara sebagai titik sentralnya.

Analisis data kuantitatif tahun 1980-1998 dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik oleh Nurul Azkiyah dipaparkan dalam tulisannya yang berjudul “Keterkaitan Pendidikan Formal Perempuan dan Dunia Pembangunan”. Dalam penelitiannya tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa korelasi antara pendidikan perempuan dengan pembangunan sosial menempati peringkat tertinggi, korelasi dengan pembangunan ekonomi menempati peringkat kedua, namun korelasi dengan pembangunan politik sangat kecil. Korelasi yang sangat kecil tersebut ternyata disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kuat serta interpretasi agama yang seksis sehingga asertivitas dan progresifitas perempuan terhambat. Sehingga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah perlunya peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan dan sumber daya lainnya serta dekonstruksi interpretasi agama yang bias gender (misalnya Al-Qurán).

Membahas masalah kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam bidang-bidang tersebut di atas tidak akan lengkap tanpa kita mengingat kembali pada sejarah dari sosok pejuang wanita yang bernama R.A. Kartini. Budi Rajab, dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan” mengawalinya dengan mencoba flash back pada sejarah R.A. Kartini, yaitu sosok perempuan bersahaja yang pernah hidup dalam apa yang kita namakan Indonesia ini. Beliau seorang perempuan yang hidup pada zaman yang sarat akan budaya patriarki dan bergulat serta berjuang dalam memberikan penyadaran bagi kaummnya untuk eksis sebagai perempuan yang sebenarnya mampu untuk setara dengan kaum pria dalam mengenyam pendidikan, menentukan sikap, dan mengambil keputusan dalam hidup (mempunyai hak memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri). Selain, penokohan R.A. Kartini, Budipun melengkapi wawasan pembacanya dengan pemikiran dan kritikan tokoh-tokoh pendidikan lainnya, seperti Ester Boserup dan Kate Young, bahkan konsep Gramsci mengenai eksistensi ideologi patriarki karena berlakunya konsep hegemoni. Di samping itu yang cukup memberikan makna dalam proses kesadaran dengan pendekatan filsafat pendidikan, adalah Paulo Freire dengan Ivan Illich yang mengkritisi sistem pendidikan sekolah yang secara hegemonis dominatif merupakan penyelewengan yang dilakukan untuk menindas dan bahkan sebagai sarana doktrinasi propaganda ideologi untuk memperkuat kekuasan pemerintah yang bercokol.

Dalam dunia pendidikan formal, bagi kita tidak asing lagi dengan istilah kurikulum. Kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep pendidikan formal. Hal ini dikarenakan di dalam kurikulumlah materi-materi ajaran oleh para pendidik dikumpulkan, diklasifikasikan, disusun, diprioritaskan, dan disampaikan kepada murid-muridnya.
(Maria Clara Neti Veronica)

[MEDIA] Pendidikan Politik Melalui Komik



Pasca reformasi , ajang pemilu sering digunakan untuk meluncurkan banyak inovasi baru untuk melakukan pendidikan politik rakyat, salah satunya dalam hal media penyampaiannya. Dalam lingkup media cetak, komik menjadi pilihan menarik. Pasalnya, rakyat kebanyakan masih belum akrab dengan informasi naratif.

Pemilu tahun juga diwarnai berbagai usaha untuk melakukan sosialisasi pemilu sekaligus melakukan pendidikan politik dalam bentuk komik, misalnya yang dilakukan oleh Unisosdem dan Rindang Banua . Unisosdem memproduksi komik berjudul “Ketika Harus Berdemokrasi”, Rindang Banua memproduksi komik yang berjudul “Jangan Bingung !!!”.

Komik menyajikan ilustrasi visual yang berperan mengurangi beban memahami informasi, sekaligus menambah daya tariknya. Penyampaian informasi dalam kalimat pendek-pendek dan transformasi hubungan antar konsep menjadi sebuah alur cerita, bila dilakukan dengan baik, akan sangat membantu pembaca dalam untuk memahami informasi yang disampaikan.
Di sisi lain semua nilai positif itu memberikan pekerjaan tambahan, terutama dari segi seni ilustrasi dan membuat cerita. Untuk itu kita perlu membangun kerjasama yang baik dengan para seniman. Ketidakmauan membangun kerjasama dengan seniman telah cukup banyak menghasilkan komik-komik yang sarat informasi namun miskin dalam seni penyampaian (alias “garing”).

Dari segi penggarapan visual kedua komik ini tampil cukup baik. Komik Unisosdem memang tampak lebih rapi, namun ini hanya perbedaan gaya saja dan efektivitasnya kemungkinan tidak terlalu jauh.

Unisosdem tempaknya berusaha menyampikan informasi yang lebih konseptual, yaitu sebelas pilar demokrasi, sehingga dapat berperan memberikan pendidikan politik yang lebih luas dan berdampak panjang. Sedangkan, Rindang Banua lebih fokus pada sosialisasi sistem pemilu.

Pilihan Unisosdem untuk menyajikan informasi yang lebih konseptual membuat lebih sulit untuk konsisten pada penyampaian informasi secara pendek-pendek. Pada beberapa halaman, informasi disampaikan dalam kalimat yang panjang sehingga lebih sulit dipahami. Seharusnya ini dapat dihindari dengan melakukan distribusi informasi yang lebih merata di sepanjang alur cerita.

Hal yang agak disayangkan dari kedua komik ini adalah kurangnya keseimbangan gender dalam menampilkan tokoh-tokohnya. Masih nampak kuat dominasi tokoh lelaki. Demikian pula, latar belakang budaya yang ‘Jawa Tengah Sentris’, bahkan pada komik Rindang Banua yang sebenarnya mengambil lokasi cerita maupun penyebaran komik di Kalimantan. Atau, mungkin ini memang cerminan dari kondisi bangsa dan negara kita selama ini ?

Terlepas dari berbagai permasalahan ada, komik-komik ini adalah inisiatif yang layak disambut dan dipelajari bersama. Ini penting untuk terus meningkatkan kemampuan para aktivis dalam melakukan komunikasi publik, yang semakin disadari pentingnya agar kita sebagai aktivis tidak terjebak pada permainan “one man show” lagi.

------------
1 Unisosdem : Uni Sosial Demokrat adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat peduli politik di Indonesia, yang bertindak sebagai mitra masyarakat demokrasi bagi semua kelompok, baik yang berorientasi politik maupun non politik yang peduli dan memperjuangkan terwujudnya demokrasi di segala bidang kehidupan
2 Rindang Banua : Yayasan Perhimpunan Rindang Banua adalah yayasan yang didirikan oleh sekelompok orang di Jakarta dengan latar belakang beragam agama dan suku, tetapi memiliki kepedulian terhadap Masyarakat Kalimantan.

[TIPS] Mengatasi Kaki Yang Pegal dan Telapak Kaki Yang Pecah-pecah

Sebagai aktivis yang mempunyai aktivitas dan mobilitas tinggi, kita kerapkali tidak punya waktu untuk memperhatikan diri kita sendiri. Perjalanan ke lapangan dan perjalanan lain yang biasa kita tempuh sebagai bagian dari konsekuensi aktivitas kita, tanpa kita sadari mempengaruhi kesehatan kita, yang selanjutnya bisa berdampak pada kinerja kita juga.
Kaki, sebagai salah satu bagian tubuh kita yang sangat menunjang aktivitas kita sebagai aktivis patut kita beri perhatian juga. Setelah perjalanan jauh, dalam kondisi cuaca yang kering dan berdebu, ataupun hujan, kaki kita seringkali menjadi capek, telapaknya pecah-pecah, lembab ataupun berkeringat sehingga mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk mengurangi rasa pegal dan pecah-pecah, ada sedikit tips yang mungkin bisa bermanfaat bagi rekan-rekan.

Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan:
Air suam-suam kuku dalam baskom atau ember
Amplas untuk kaki atau batu apung
Sikat gigi bekas
Kain lap kering
Garam
Caranya:
1. Masukkan garam secukupnya pada air suam-suam kuku dalam baskom, lalu celupkan kaki selama 10 menit. Kalau mau, bisa sambil menghidupkan dupa atau aroma terapi lainnya sehingga kita terbantu untuk bersantai/rileks. Selain menggunakan aroma terapi siap pakai yang dapat dibeli di toko-toko, aroma terapi bisa dibuat sendiri dengan membakar kulit jeruk.
2. Angkat kaki kiri, lap dengan kain kering dan amplas tumit dan bagian kaki yang pecah-pecah. Kemudian sikat sela-sela kuku yang mungkin diselipi tanah atau kotoran. Lakukan yang sama dengan kaki yang satunya. Untuk membantu mempercepat pemulihan, pijat telapak kaki dan betis dengan lotion kaki.

Terapi ini dilakukan agak sering untuk yang kondisi kakinya agak parah (kira-kira 3 hari sekali), dan diperjarang frekuensinya seiring dengan membaiknya kondisi kaki.

Selamat mencoba!
(intan)

[JALAN-JALAN] Pendidikan Pemilih untuk Perempuan

Menjelang Pemilu 2004 yang lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator pelatihan untuk pemilih perempuan di Makassar, Manado dan Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.

Menjelang pemilu 2004 yang lalu, saya berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, sebagai koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat tahap, di 23 kota dan 1090 lokasi di seluruh Indonesia.

Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan untuk para calon fasilitator) yang diadakan di tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pelatihan ini melibatkan sekitar 150 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan menjadi fasilitator lokal dan panitia lokal serta sosialisator pada pelatihan-pelatihan tahap selanjutnya.

Saya sendiri berkesempatan untuk memfasilitasi di Makassar, di mana para pesertanya berasal dari daerah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku dan Maluku Utara, serta Papua. Hanya ada satu orang peserta laki-laki di antara 49 orang peserta perempuan dari berbagai usia dan latar belakang. Keberagaman ini sungguh memperkaya dinamika proses pelatihan, terutama ketika penggalian dan pemetaan masalah serta kebutuhan. Perbedaan wawasan dan kepekaan akan persoalan gender untungnya bisa dijembatani melalui sesi ini, sehingga peta permasalahan yang muncul sungguh bisa menjadi bahan yang signifikan dan membantu dalam sesi selanjutnya, yaitu ketika mereka menyusun kriteria untuk partai politik dan calon legislatif; serta diharapkan dapat menjadi tawaran agenda untuk mereka perjuangkan.

Walaupun masalah yang muncul ada yang berbeda, tapi ada beberapa masalah, terutama yang menyangkut kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara spesifik muncul dan menjadi keprihatinan utama di masing-masing wilayah. Masalah-masalah di satu wilayah ternyata juga punya kaitan dengan wilayah lainnya. Misalnya masalah HIV/AIDS dan prostitusi di Papua, tidak terlepas dari permasalahan di Minahasa. Keprihatinan bersama ini pada gilirannya menggugah kesadaran dan kebutuhan akan pentingnya solidaritas dan terbentuknya jaringan kerjasama para perempuan, serta terbangunnya komunitas basis perempuan.

Selain di Makassar, saya juga memfasilitasi proses pelatihan di Manado dan Tahuna. Saya merasa pelatihan ini disambut dengan antusias oleh para peserta di ketiga kota yang saya terlibat langsung tersebut. Demikian pula dengan yang dialami kawan-kawan fasilitator mitra di 20 kota lainnya. Jadwal dan materi yang padat tidak mengendorkan semangat atau membuat mereka menyerah. Mereka tetap semangat sampai akhir sesi, dengan keinginan yang kuat untuk bisa mensosialisasikan kembali apa yang mereka peroleh ke komunitas mereka masing-masing. Memang sepulang dari pelatihan ini setiap peserta bertanggungjawab untuk mensosialisasikan materi pelatihan ini ke minimal 60 orang.
Di Tahuna, sebuah kota di Kepulauan Sangihe, para perempuan yang hampir semuanya adalah ibu-ibu, antusiasmenya tidak kalah dengan mereka yang ada di Manado dan Makassar. Walaupun pada awalnya banyak yang masih takut untuk berbicara, tapi mulai sesi pemetaan masalah, mereka mulai berani bicara dan mengemukakan pendapat.

Untuk menjamin berlangsungnya proses yang sungguh-sungguh partisipatif dan dari perspektif peserta, metodologi pelatihan menjadi sangat penting. Alur pelatihan dibuat dengan mulai dari peta masalah dan kebutuhan lokal (dan perempuan); lalu dikaitkan dengan signifikansinya dengan Pemilu. Kemudian dilanjutkan dengan sesi tentang Pemilu 2004 itu sendiri dan Kepentingan Perempuan di dalamnya. Setelah itu mereka merefleksikannya berdasarkan pertimbangan etis politis. Dari semua itu, mereka memperoleh bekal untuk membuat kriteria ideal partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg). Berdasarkan kriteria inilah mereka kemudia bersama-sama belajar menganalisis parpol dan caleg; sehingga mereka bisa menentukan pilihannya secara bebas dan kritis. Tentunya, peluang dan tantangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan membuat strategi jangka pendek maupun jangka panjang.

Pendidikan Pemilih ini dalam jangka panjang bertujuan mempersiapkan perempuan dalam pendidikan politik. Pelatihan yang mengambil tema "Suara Perempuan untuk Perubahan" ini memang ingin konsisten dengan tujuannya, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi.

Secara keseluruhan, pelatihan ini boleh dikatakan berhasil, walaupun di sana-sini ada keterbatasan dan kelemahannya. Apalagi respon yang hangat dan penuh semangat dari para peserta, terutama yang di daerah-daerah, telah menjadi pemacu semangat juga bagi para fasilitator yang telah menempuh perjalanan jauh. Semoga saja pendidikan dan penyadaran seperti ini tidak berhenti sebatas program apalagi hanya sebuah proyek saja!

(Intan)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...