EDITORIAL PROAKTIF ONLINE DESEMBER 2015

Kita mengenal sebuah pepatah lama, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Sebaliknya, kita juga mengenal banyak penyakit psikosomatis di kehidupan modern ini. Artinya banyak penyakit fisik yang dialami sebetulnya merupakan ekspresi penyakit mental. Jadi dengan mental yang sehat, tubuh pun menjadi lebih sehat dan kuat. Meskipun mulai menjadi perhatian, persoalan kesehatan mental belum sepopuler kesehatan fisik. Banyak orang masih mengabaikan persoalan-persoalan mental ini karena dianggap bukan masalah, tabu atau malah ketika mengalami persoalan mental justru ditutupi karena dianggap negatif.

Mengingat pentingnya kesehatan mental ini, Proaktif edisi Desember 2015 ini mengangkat tema tersebut. Berbagai artikel disajikan, mulai dari bagaimana potret kondisi kesehatan mental di berbagai negara, bagaimana para aktivis menghadapi dan menyikapi persoalan kesehatan mental serta berbagai cerita dan berbagai tantangan dan kiat-kiat seputar penyelesaian persoalan mental melalui rubrik-rubrik berikut ini.

Dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan berbagai fakta seputar kesehatan mental, berbagai tantangan yang dihadapi berikut usulan langkah-langkah penyelesaiannya di tingkat global. Di tingkat yang lebih mikro, penulis rubrik Masalah Kita mengulas soal burn-out pada aktivis dan kiat-kiat penanggulangannya. Tantangan penyelesaian persoalan kesehatan mental ternyata tidak sederhana. Mental blocking yang menghambat kesehatan emosi diulas di dalam rubrik Opini.

Bagaimana cara-cara memelihara dan meningkatkan kesehatan mental diulas dalam rubrik Tips. Selain itu, masih ada Rubrik Media mengangkat tentang musik dan lagu sebagai media pelepas ketegangan dan rubrik Jalan-jalan yang memaparkan berbagai tempat dan kegiatan untuk melepaskan ketegangan sekaligus menyalurkan bakat dan kegemaran.

Dalam Rubrik Profil disajikan informasi mengenai dua organisasi yang bergerak untuk pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan, yaitu LBH APIK dan Hotline Surabaya. Kedua organisasi ini berfokus antara lain pada proses penyembuhan mental korban akibat trauma kekerasan yang mereka alami di masa lalu. Semoga tulisan-tulisan di atas memberikan inspirasi bagi anda sekalian untuk memelihara dan menjaga kesehatan mental. Selamat menutup tahun ini dan menyongsong tahun 2016.

Selamat berbahagia!
Redaksi

[PROFIL] LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan)

Oleh: Melly Amalia

Semakin hari kita semakin sering mendengar, melihat dan membaca dari berbagai media, baik televisi,koran atau media sosial berita tentang korban kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan bayi pun ada yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terdekatnya, seperti pengasuh, pembantu bahkan orang tuanya sendiri. Kekerasan yang dialami korban seringkali menimbulkan berbagai permasalahan mental yang ditanggung oleh korban dalam jangka waktu lama setelah tindak kekerasan terjadi.

Mari kita ulas sedikit tentang kekerasan terhadap anak dan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja baik secara fisik, seksual, penganiayaan emosional/psikologis, atau pengabaian terhadap anak. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan pada perempuan secara fisik, non fisik (seksual) atau psikologis/jiwa, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. ( Disarikan dari berbagai sumber)

Salah satu penyebab kekerasan adalah kondisi mental pelaku yang tidak sehat. Sebaliknya kekerasan ini juga potensial menimbulkan persoalan mental bagi para korban kekerasan. Jika kondisi ini berlanjut maka terjadilah yang disebut sebagai lingkaran setan kekerasan. Diperlukan penanganan khusus baik bagi pelaku dan korban kekerasan agar mental mereka dapat sembuh kembali.

Maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan menjadi perhatian banyak pihak, salah satunya ditandai dengan munculnya lembaga yang memberi perhatian dan bantuan terhadap korban kekerasan. Profil Proaktif Online kali ini memperkenalkan LBH APIK, sebuah lembaga yang khusus menangani korban kekerasan pada perempuan dan anak-anak. Mari kita simak profil organisasi tersebut dalam tulisan di bawah ini yang disarikan dari website mereka.

LBH APIK adalah lembaga yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan demokratis, serta menciptakan kondisi yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. LBH APIK memberikan bantuan hukum untuk perempuan berdasarkan nilai-nilai keadilan, kerakyatan, persamaan, kemandirian, emansipasi, persaudaraan, keadilan sosial, non sektarian dan menolak kekerasan serta memenuhi kaidah kelestarian lingkungan.

LBH APIK Jakarta dibentuk oleh APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), yang didirikan oleh tujuh orang perempuan pengacara pada tanggal 4 Agustus 1995. Sejak 21 Februari 2003 LBH APIK Jakarta secara resmi telah menjadi Yayasan LBH APIK Jakarta, berdasarkan Akte Notaris Rusnaldy No.112/2003.

Visi LBH APIK Jakarta yaitu terwujudnya masyarakat yang inklusif, setara, adil, dan berkelanjutan melalui perubahan sistem hukum. Sedangkan misinya adalah menyediakan layanan hukum bagi perempuan pencari keadilan, mengupayakan perubahan hukum ditingkat substansi, struktur, dan kultur dan membangun gerakan sosial untuk keadilan bagi perempuan. Untuk mencapai visinya, LBH APIK melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1) melakukan pembelaan hukum bagi perempuan pencari keadilan yang lemah secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya di dalam dan di luar pengadilan,
(2) memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada lapisan masyarakat dan aparat penegak hukum baik dalam penanganan korban maupun upaya pencegahannya,
(3) melakukan advokasi perubahan kebijakan baik terhadap substansi, struktur, maupun budaya hukum di masyarakat,
(4) melakukan kajian kritis serta penyusunan, pembuatan, penyebarluasan serta pendokumentasian berbagai info tentang penegakan hak-hak perempuan dan informasi mengenai cara-cara penyelesaiannya,
(5) melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi dan lembaga serta mendorong terbentuknya organisasi dan lembaga dengan visi misi serupa,
(6) melakukan penguatan kelembagaan, dan
(7) melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan yayasan.

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh LBH APIK di antaranya adalah pelatihan penanganan kasus korban kekerasan, pemenuhan akses keadilan bagi perempuan korban disabilitas, dll. Selain berkegiatan, LBH APIK juga menerbitkan buku, lembar informasi, buletin, dan melakukan penelitian terkait perempuan. Selain di Jakarta, LBH APIK juga terdapat di Aceh, Medan, Jogja, Semarang, Mataram, Pontianak, Kalimantan Timur, Manado,Palembang, Padang, NTB, dan Makasar.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang LBH APIK, silahkan menghubungi :
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta 
Jl. Raya Tengah No.31 RT 01/09, Kramat Jati, Jakarta Timur 13540
Telepon. 021 87797289, Fax 021 8779 3300
Email: apiknet@centrin.net.id,
website: http://lbh-apik.or.id/

Bila anda atau orang yang anda kenal mengalami kekerasan, jangan merasa takut atau malu untuk segera berani bertindak dan melaporkan. Anda berhak mendapatkan keadilan dan berani bersuara. Sudah banyak lembaga yang bersedia menerima dan menampung keluhan atau masalah anda. Pekerjaan rumah kita masih panjang untuk melakukan penyadaran dan pendidikan tentang anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.

***

[PROFIL] Yayasan Hotline Surabaya (YHS)

Oleh: Melly Amalia

Konseling psikologis adalah salah satu media yang dapat kita akses ketika kita memiliki persoalan mental. Hotline Surabaya adalah salah satu organisasi yang menyediakan layanan tersebut dengan fokus kepada perempuan dan anak, khususnya korban kekerasan seksual. Berikut ini adalah tulisan yang disarikan dari website organisasi tersebut.

Hotline Surabaya adalah sebuah organisasi nirlaba yang berdiri sejak tahun 1989. Pada awalnya, Hotline Surabaya merupakan divisi sosial Harian SURYA yang memberikan pelayanan konseling psikologis melalui surat, telepon, tatap muka dan konsultasi di rubrik “Hotline” SURYA. Pada tahun 1992 YHS menjadi sebuah yayasan mandiri dengan nama Yayasan Hotline Service Surya (YHSS) terlibat dalam kampanye penanggulangan HIV&AIDS khususnya untuk kelompok beresiko tinggi di kalangan pekerja seks di Surabaya. Di akhir tahun 1999 YHSS berubah nama menjadi Yayasan Hotline Surabaya dan berpisah dengan harian SURYA menjadi satu LSM mandiri yang punya kepedulian terhadap kesehatan reproduksi perempuan, khususnya perempuan yang berpenghasilan rendah di Surabaya.


Pada tahun 2004 YHS mulai masuk pada isu anak setelah menemukan masalah yang kompleks pada pelacuran, bahwa banyak hak anak yang terabaikan. YHS masuk melalui pencegahan dan penanganan traficking dan eksploitasi seksual anak. YHS menganggap anak di bawah usia 18 tahun memiliki kemungkinan mendapatkan pola asuh yang salah serta tindak kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan seksual, serta penelantaran dan hak-haknya sebagai anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, untuk dilindungi dan berpartisipasi dilanggar. Semua itu tidak bisa diterima dan ditoleransi terutama tindak eksploitasi seksual.

Yayasan Hotline Surabaya mempunyai Shelter (rumah singgah) untuk anak-anak korban eksploitasi seksual yang diberi nama Omah Sahabat Arek (OSA) yang berarti Rumah Sahabat untuk Belajar dan Transformasi. Rumah Singgah ini berfungsi sebagai Community Center for Learning dengan kegiatan-kegiatan rutin sebagai berikut: Perpustakaan Komunitas untuk anak-anak, Diskusi Film, Membaca Buku, Terapi dengan Tulisan, serta karate praktis untuk melatih anak-anak memiliki perlindungan diri apabila mengalami kekerasan seksual. Selain itu di diadakan pula diskusi dan Konseling Kelompok serta layanan konseling pribadi yang dilakukan oleh konselor dari YHS dan Psikiatri dari Rumah Sakit Dr. Soetomo.

Saat ini, ada dua program besar yang dijalankan oleh Yayasan Hotline Surabaya yaitu :
  1. Program pelatihan anak rentan, penarikan dan rehabilitasi anak korban eksploitasi seksual. Mengadakan program anti-trafficking sejak tahun 2000 melalui kampanye publik, penarikan dan reintegrasi ke dalam keluarga. Yayasan Hotline Surabaya berjaringan dengan berbagai pihak dalam mengatasi masalah eksploitasi seksual pada anak, di antaranya adalah lembaga perlindungan anak, dinas sosial, dinas pendidikan, kepolisian, lembaga pendidikan, dll. Peran Yayasan Hotline Surabaya bertindak fasilitator pemberdayaan anak, orangtua dan komunitas serta pemerintah. 
  2. Program HIV & AIDS. Program yang dijalankan pertama-tama adalah konsultasi psikologi melalui telpon, tatap muka, surat menyurat. Ribuan klien yang masuk sebanyak 90% perempuan berusia 15-30 tahun dan masalah yang dihadapi adalah seksualitas yakni soal keperawanan dan mastubasi. Berdasarkan data ini Hotline mengadakan program remaja (jurnalis dan HIV-AIDS). Studi yang dilakukan menemukan bahwa program pencegahan melalui Komunikasi Perubahan Perilaku kalau mau efektif maka perlu ada pelayanan kesehatan. Lalu tahun 2003 mendirikan Klinik Kesehatan Reproduksi Esensial dengan satu pintu pelayanan untuk ibu anak, infeksi saluran reproduksi dan kontrasepsi. Yayasan Hotline Surabaya juga merespon masalah-masalah yang terkait dengan pekerja seks. 

Dalam memberikan layanan dan bantuan Yayasan Hotline Surabaya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Kesadaran: bahwa semua staf dan semua yang terlibat pada program anak Yayasan Hotline Surabaya menyadari masalah eksploitasi seksual anak dan risiko yang dihadapi; 
  2. Pencegahan: melakukan praktek terbaik untuk mencegah eksploitasi seksual anak; 
  3. Dokumentasi dan Laporan: untuk menjamin tidak adanya eksploitasi seksual terhadap anak, maka semua proses dan peristiwa penting didokumentasikan dan dicetak sebagai buku agar masalah dan tindakan yang telah dilakukan bisa dipelajari pihak lain yang mendukung; 
  4. Memberi Respon: situasi eksploitasi seksual ada yang belum diantisipasi. Karena itu kalau ada kejadian yang tidak terduga, seluruh staf yang terlibat harus memberi respon positif (sekali pun tidak ada dalam uraian tugas yang ada). 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Yayasan Hotline Surabaya
Jl. Indrapura No. 17, Surabaya - 60176, Jawa Timur, Indonesia
Telp : (031) 356 6232 | Fax : (031) 356 6233
Website : http://www.hotlinesurabaya.or.id/
Email : yhs@hotlinesurabaya.or.id
Konseling Telepon : (031) 352 6118 - 352 6119

[PIKIR] Kesehatan Mental Dunia

Oleh: David Ardes Setiady
 
Sepotong Realitas Kesehatan Mental Dunia 



Sumber : www.dreamstime.com
Dunia yang kita tinggali saat ini, kian hari kian kompleks, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum berhasil meminimalkan mudarat dengan memaksimalkan manfaat penggunaannya bagi kesejahteraan kemanusiaan. Ditambah kondisi geopolitik, serta sistem perekonomian global yang masih tidak adil karena keberpihakan kepada pemilik modal besar. Variabel-variabel tersebut berinteraksi dalam kehidupan masyarakat dunia dan berdampak kepada kondisi kesehatan mental anggotanya. Bagaimana cara pandang kita terhadap dunia saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap peristiwa yang terjadi saat ini. Perilaku para pemimpin dunia dan keputusan politik yang diambil dalam menyikapi isu global, pada satu sisi berakibat pada benturan identitas pada masyarakat di bawahnya, seperti konflik sosial antara warga pendatang dengan warga asli (native) yang telah lebih dahulu. Isu terorisme yang juga telah berkontribusi terhadap meningkatnya prasangka sosial terhadap identitas Islam dan Arab, terutama karena pemberitaan media mainstream yang tidak berimbang.

Umumnya, ketika krisis ekonomi terjadi, tingkat depresi dan bunuh diri cenderung naik, seperti yang juga terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis ekonomi. Di sisi lain, persepsi masyarakat tentang kebutuhan mengalami peningkatan, di mana kebutuhan primer tidak lagi sebatas pangan-sandang-papan saja, namun merambah pada gadget (produk teknologi) yang sebetulnya berada pada lapis kedua (sekunder) ataupun ketiga (tersier). Kemudian, peristiwa politik dan hukum yang disiarkan melalui media publik (televisi, koran, radio, internet, dll) turut membentuk semacam pesimisme komunal tentang harapan akan peningkatan kesejahteraan. Belum ditambah aspek pendidikan yang masih dalam tahap reformasi (pembenahan) di tingkat masyarakat, bahwa pendidikan yang harusnya lebih diutamakan berbasis pada nilai-nilai kehidupan dan moral, bukan pada teknis kompetensi yang sejauh ini belum terbukti berkontribusi positif bagi perkembangan mental anak-anak masa kini.

Kondisi-kondisi di atas telah meningkatkan potensi terjadinya penyakit mental seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, penggunaan narkoba, anti-sosial, bunuh diri. Secara umum, permasalahan kesehatan mental dunia adalah jumlah tenaga medis untuk menangani penyakit mental tersebut belum mencapai proporsi yang berimbang, di mana hanya ada satu persen tenaga kesehatan global yang menangani penyakit mental. Untuk negara-negara berkembang, hanya ada 1 psikiater per 100.000 orang, sementara pada negara-negara maju, ada 1 psikiater untuk 2.000 orang (bds jurnal Mental Health Atlas WHO 2014).

 WHO sebagai badan dunia yang menangani masalah kesehatan membuat sebuah Action Plan 2013 – 2020 untuk kesehatan mental dunia, di mana organisasi tersebut mencanangkan beberapa goal berskala global untuk memberikan ruang bagi seluruh manusia untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Sehat mental mengartikan seseorang mampu menyadari potensinya, mampu menangani stres dalam hidup, bekerja dengan produktif, dan berkontribusi terhadap komunitas mereka (Margareth Chan, Dirjen WHO). Ada 4 sasaran yang ditetapkan oleh WHO, yakni :
  1. Kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental, 
  2. Undang-undang untuk kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas, 
  3. Strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan, 
  4. Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti. 
Dari rumusan rencana aksi yang dibuat oleh WHO, dapat kita tarik ke belakang, bahwa identifikasi persoalan kesehatan mental di dunia berkaitan erat dengan kebijakan pemerintahan dalam menangani kesehatan mental. Ada semacam ketimpangan dalam pengambilan keputusan terhadap kesehatan mental, atau dapat dikatakan bahwa belum ada penanganan yang cukup serius dari pemerintahan di seluruh dunia terhadap penyakit mental. Hal ini dapat dilihat dari perundang-undangan yang dibentuk oleh masing-masing negara masih secara parsial menyasar kepada isu kesehatan mental. Jaminan kesehatan bagi gangguan mental sejauh ini belum sepenuhnya diberikan oleh negara, bahkan pada kebanyakan negara berkembang, gangguan mental tidak dianggap sebagai salah satu yang dilindungi oleh jaminan kesehatan.

Sumber : deliveringhappiness.com

Melihat minimnya tenaga kesehatan jiwa yang ada di dunia, apalagi di Indonesia, dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk) berdasarkan data bulan Februari yang dipaparkan oleh Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Selasa (10/2) dalam lokakarya Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM.

Untuk menanggulangi dan mengantisipasi kesehatan mental masyarakat, usulan kebijakan yang dibuat oleh WHO mungkin sudah mencakup arah yang perlu untuk dilakukan oleh pemerintah, sejalan dengan sasaran yang dicanangkan dalam rencana aksi tersebut. Di antaranya:

a. Penguatan kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif untuk kesehatan mental

Penguatan kepemimpinan mengarah kepada upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan (?) (stakeholder) dalam menyusun kebijakan sistem pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya merangkul organisasi non pemerintah (non-governmental organization) dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang memiliki gangguan mental.

b. Menyediakan kesehatan mental yang terintegrasi, komprehensif dan jaminan pelayanan sosial yang berbasis komunitas

Akses terhadap pelayanan kesehatan menjadi langkah kebijakan berikutnya, di mana salah satu sarana yang telah diidentifikasi adalah mengembangkan pelayanan kesehatan dan sosial yang berbasis komunitas, serta diintegrasikan dengan rumah sakit umum. Perawatan kesehatan mental juga diharapkan mencakup perawatan kesehatan fisik karena keterkaitan faktor risiko kesehatan yang tidak selalu langsung diketahui.

c. Mengimplementasikan strategi implementasi untuk promosi dan pencegahan

Promosi dilakukan dalam bentuk penyuluhan kesehatan mental kepada seluruh warga masyarakat bertujuan untuk memberikan akses sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Selain itu, penyuluhan memiliki tujuan yang lebih besar, yakni pencegahan. Pencegahan terhadap gangguan mental mungkin perlu berfokus pada kebijakan yang antidiskriminasi dan penyuluhan untuk memperbaiki stigma dan pelanggaran hak asasi yang berkaitan dengan gangguan mental. Selain itu, pencegahan bunuh diri juga harus termasuk ke dalam prioritas, melihat terjadinya peningkatan tren bunuh diri di kebanyakan negara. Kecenderungan bunuh diri dikaitkan dengan lemahnya sistem pengawasan, salah kaprah antara bunuh diri dengan kecelakaan yang mematikan, serta kecenderungan kriminalisasi pada beberapa negara.

d. Penguatan sistem informasi, penelitian, dan bukti untuk kesehatan

Kecenderungan penelitian lebih banyak dilakukan oleh negara-negara yang memiliki pendapatan tinggi dan hal ini dipandang perlu dikoreksi agar negara-negara berkembang dapat menyusun strategi dalam menanggapi kebutuhan dan prioritas kesehatan mental. Dalam kerangka global, negara-negara di dunia harus mengembangkan sistem informasi yang mudah diakses oleh siapa pun, terutama untuk mendistribusikan data ataupun hasil penelitian ke banyak orang. Dengan sistem informasi yang baik, penelitian dapat dilakukan dengan lebih baik karena melibatkan lebih banyak responden. Untuk itu, data-data hasil penelitian perlu dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin dan usia dan juga ke dalam kategori-kategori yang mencerminkan beragam kebutuhan di subpopulasi, termasuk kebutuhan individual.

Dengan 4 usulan kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi WHO, dapat ditarik kontekstualitasnya terhadap situasi masing-masing negara dalam menyikapi persoalan kesehatan mental yang ada.

Referensi literatur :
- The Mental Health Action Plan’s 2013 – 2020, World Health Organization (2013)
- https://ugm.ac.id/id/berita/9715-minim.psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani

[MASALAH KITA] Ketika Burnout Melanda Aktivis

Oleh: Navita K. Astuti

Pada masa sekarang, masalah-masalah kesehatan baik pada raga dan jiwa semakin bermunculan dan jumlahnya terus meningkat. Hal ini diduga disebabkan oleh perkembangan zaman yang mengakibatkan perubahan gaya hidup, memicu persaingan yang kian ketat di antara sesama manusia hingga melebarkan kesenjangan sosial di masyarakat. Hidup yang kian kompleks mempengaruhi kesehatan jiwa dan raga manusia.

Jika raga yang terserang penyakit, dapat didiagnosa secara medis, bagaimana dengan jiwa? Permasalahan mental seringkali menjadi lebih pelik, karena sifatnya intangible – tidak terlihat dari luar diri, meskipun dapat dilakukan diagnosa setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan. Karena permasalahan mental tidak terlihat langsung penyebabnya dan lebih kompleks untuk dipahami, umumnya masyarakat yang kurang paham memberi label pada permasalahan mental sebagai sesuatu yang negatif dan memalukan. Padahal, setiap orang tanpa kecuali dapat dihinggapi permasalahan mental. Dari yang kadarnya sangat rendah sampai yang tinggi hingga tak sadarkan diripun, persoalan kesehatan mental sesungguhnya merupakan pertanda bagi seseorang untuk memberi perhatian lebih pada kesejahteraan batin dirinya sendiri.

Sumber: socialgadgetnews.com
Seseorang secara fisik disebut sehat karena ia menjalani gaya hidup sehat dan memberi asupan makanan yang sehat bagi tubuhnya. Ia mudah terserang penyakit ketika tidak memberi kecukupan bagi tubuhnya, di antaranya, asupan makanan sehat maupun olahraga dan istirahat yang cukup. Di sisi lain, seseorang yang sehat secara mental, memberi kecukupan ruang bagi batinnya untuk berpikir positif, penuh syukur dan reflektif terhadap pengalaman hidupnya.

Ketika batin seseorang merasa terlalu ‘penuh’ dengan aktivitas yang dilakukannya, ia bisa mengalami kelelahan. Lelah secara mental terlihat dari sikap maupun gerak-gerik seseorang. Hal itu bisa saja disadari atau tidak disadari. Namun dari gejala yang muncul, biasanya memperlihatkan bahwa orang tersebut mengalami kelelahan secara mental atau istilah klinisnya : burnout. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1974, untuk menggambarkan perasaan kegagalan dan kelesuan akibat beratnya beban atau tuntutan terhadap seseorang. Stamm, B (2005) menyatakan dalam jurnal penelitian ProQuol Manual, bahwa burnout adalah perasaan tanpa harapan dan kesulitan melakukan sebuah pekerjaan. Perasaan negatif tersebut muncul perlahan pada seseorang, yang berujung pada keputusasaan karena apapun yang dilakukan seolah-olah tak memberi hasil. (Sumber : www.wikipedia.com)

Gejala yang umum terjadi pada seseorang yang mengalami burnout antara lain : tidak ada motivasi untuk melakukan apapun, menyendiri, tak ingin berjumpa orang lain, hingga pada kondisi ekstrem, seperti histeris atau hiperaktif. Dengan kadar yang bermacam-macam, ketika dilanda burnout, ada orang yang dapat menanggulangi masalahnya dengan cepat, namun ada yang sampai berlarut-larut hingga menjadi depresi berkepanjangan.

Dunia aktivisme tak luput dari masalah burnout. Setiap aktivis memiliki keberpihakan tertentu yang ia perjuangkan. Perjuangan seorang aktivis, bisa jadi terasa berat, karena kebanyakan hal yang ia perjuangkan justru adalah sesuatu yang melawan arus dari yang umum terlihat di dalam masyarakat. Perjuangan seorang aktivis yang mendobrak kenyamanan banyak orang juga menjadi terasa berat. Dalam hal ini, beratnya beban atau tuntutan lahir bukan dari atasan atau banyaknya pekerjaan, melainkan dari tantangan yang muncul dari perjuangan demi keberpihakan itu sendiri.

Dedy Kristanto dari Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, memiliki kepedulian pada pentingnya hak asasi manusia (HAM) dan identitas seorang manusia, yang di banyak tempat masih terabaikan. Beliau memperjuangkan agar hak asasi manusia lebih dihargai di lebih banyak tempat yang mampu ia jangkau, termasuk di Sorong Selatan, Papua, tempatnya aktif berkegiatan saat ini. Namun, tantangan yang ia miliki adalah pemahaman masyarakat mengenai pentingnya HAM terlihat masih sangat kurang. Terutama ketika ia sendiri masih menyaksikan pihak penguasa melegitimisasi tindakan penyiksaan, pembunuhan, pembantaian massal, dan sebagainya. Ia mengalami kelelahan batin dalam upayanya menyadarkan keadilan HAM, karena harus berhadapan dengan historical block atau rekayasa sejarah yang dibangun demikian kuat oleh rezim pelanggar HAM di masa lalu. Rekayasa sejarah tersebut menimbulkan dampak di masa kini, yaitu suatu kesalahan yang dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat serta menjadi nilai sosial yang tak terbantahkan.

Sumber: vemale.com
Sebut saja Tati (bukan nama sebenarnya), aktivis di wilayah Agats di Papua, memiliki kepedulian option for the poor. Dengan kepeduliannya itu, bersama organisasinya, ia memperjuangkan kesejahteraan secara lebih merata di tanah Papua. Perjuangannya tersebut bentrok oleh tantangan adanya korupsi dari lembaga mitra yang seharusnya menjadi teman seperjuangan dalam mendobrak kepedulian option for the poor, ditambah lagi dengan adanya keruwetan manajemen internal yang semakin memperuncing tantangan yang ia hadapi.

Mita (bukan nama sebenarnya), seorang aktivis sekaligus seorang ibu rumah tangga dengan segudang tanggung jawabnya baik di rumah maupun di organisasi, memiliki kepedulian untuk berbagi hal-hal yang bermanfaat kepada orang banyak. Kepeduliannya itu ternyata harus berhadapan dengan kesulitan mengatur waktu , terutama ketika dihadapkan pada deadline dan pekerjaan yang menumpuk, dan di sisi lain memiliki kewajiban mengurus rumah tangga. Banyaknya tuntutan kegiatan tidak sebanding dengan tenaga yang ingin disumbangkan.

Setiap aktivis memiliki variasi tantangan atas perjuangan terhadap kepeduliannya. Kadang kala tantangan itu terasa seperti sebuah jalan panjang yang membosankan. Kadang kala tantangan itu seperti mengarungi lautan berombak yang mengancam nyawa. Semua tantangan yang dihadapi dapat membawa aktivis pada pengalaman psikis burnout atau lelah secara mental.

Burnout pada aktivis terjadi ketika ia merasa sia-sia pada perjuangan yang telah dilakukan. Ia tidak memiliki motivasi apapun untuk memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi keberpihakannya selama ini. Gejala yang timbul atas kelelahan psikis pada para aktivis bervariasi. Dedy Kristanto mengalami perasaan tidak mau bertemu dengan orang lain. Tati, tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu terkait pekerjaan. Sementara Mita merasakan tidak bersemangat untuk melakukan apapun.

Gejala burnout yang sangat mungkin dijumpai selain yang dituturkan oleh para aktivis di atas, bisa bervariasi dari skala kecil, hingga paling ekstrem, seperti mulai dari perasaan lelah, lesu, bangun pagi terasa berat, melamun sepanjang hari, hingga histeris dan tak sadar akan dirinya sendiri. Seperti halnya sebuah bangunan yang baru habis terbakar dan meninggalkan kerangka yang masih berdiri tegak, itulah yang terjadi pada seseorang yang mengalami burnout. Ia kehilangan separuh dari dirinya. Ia merasa tidak utuh sebagai seorang manusia. Oleh karena itu, jangan sepelekan gejala-gejala yang dialami.

Sumber: topcareermagazine.com
Namun demikian, setiap manusia dikaruniai akal budi untuk memecahkan setiap permasalahan yang mendera hidupnya. Setiap aktivis memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi kelelahan mental yang dialaminya. Mita menyatakan, ia menjauh sejenak dari persoalan-persoalan yang membuat dirinya lelah secara mental. Ia memberi waktu bagi pribadinya untuk menyegarkan diri dengan suasana berbeda, misalnya dengan memasak, jalan-jalan atau bermain bersama anak-anak Sementara Dedy Kristanto, menyalurkan kelelahannya dengan meditasi, membaca buku dan berolahraga. Tati mengatasi burnout-nya dengan kembali kepada fokus dan tujuan. Ia mencoba memikirkan terobosan baru bagi kebuntuan yang dihadapi serta membicarakan permasalahannya dengan orang-orang yang dipercaya mampu membantunya menguraikan masalah yang sedang ia hadapi.

Jadi, burnout yang dialami sesungguhnya dapat diatasi oleh diri sendiri. Dari penuturan para aktivis di atas, ada beberapa langkah mengatasi gejala burnout perlu digarisbawahi:
  • Pertama, beri waktu untuk mengistirahatkan diri. Beri kesempatan pada diri untuk berefleksi atas capaian-capaian yang telah diraih. Atau, beri waktu untuk menikmati hal-hal lain yang tidak terkait pekerjaan, seperti : mendengarkan musik, berjalan-jalan di taman, atau bermain bersama anak-anak atau orang-orang terdekat. 
  • Kedua, kembali pada tujuan atau visi dan misi keberpihakan. Dengan berpegang pada tujuan, kita dapat mengevaluasi segala hal yang telah dikerjakan. Kadangkala seseorang begitu terpaku mengejar hasil, namun tidak melihat proses yang sudah dijalani, dan bagaimana proses-proses tersebut telah menempa banyak aspek di dalam diri. 
  • Ketiga, berbagi permasalahan dengan orang lain. Ketika seseorang menutupi permasalahan dirinya rapat-rapat, di situlah letak masalahnya. Ia hanya berputar-putar di dalam diri sendiri tanpa solusi. Berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi dengan orang lain, justru akan memudahkan kita untuk mencari jalan keluar. Orang lain dapat melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda, dan memberi inspirasi pada kita. Beban permasalahan menjadi lebih ringan.
Aktivis adalah ujung tombak perubahan dan keberpihakan masyarakat. Kelelahan fisik maupun psikis sangat mungkin menerpa, diakibatkan oleh tantangan yang muncul dari perjuangan yang dilakoni. Namun, dengan memperhatikan setidaknya ketiga langkah di atas, semoga para aktivis akan kuat dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul.

[OPINI] Mental Blocking vs Kesehatan Emosi

Oleh: Anastasia Levianti 

Pernahkah Anda merasakan amarah luar biasa terhadap seseorang? Apakah amarah itu mendorong Anda melakukan tindakan tertentu secara intens? Pernahkah Anda merasa sangat suka terhadap seseorang atau sesuatu, sehingga ketagihan ingin terus bersamanya secara berlebihan? Atau, pernahkah Anda merasakan ketakutan besar sehingga Anda menghindari hal tersebut setiap kali berhadapan dengannya? Satu jawaban Ya, menunjukkan Anda memiliki mental blocking.

Mental blocking adalah sebuah kondisi mental yang terbatas atau terhalang, sehingga aktivitas mental tidak lancar. Batasan atau halangan itu terbentuk akibat pengalaman masa kecil, yang tanpa sadar, Anda hayati menyakitkan. Misalnya, anak yang ditinggal tidur sendiri tanpa ditemani, merasa ketakutan, dan mengalami serangan panik, akan tumbuh menjadi pribadi yang takut, tidak nyaman, dan gelisah saat berada sendirian tanpa teman, tanpa melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu, atau tanpa sesuatu hal lain yang dapat ia jadikan sandaran. Situasi ketidakpastian membuatnya resah. Ia lalu mencari-cari sumber ketenangan dari luar, berupa teman, bacaan, kegiatan, dan lain sebagainya. Tanpa ia sadari, ia melekat (terpaku, menempel erat, sulit lepas) pada kebutuhan akan rasa aman-nyaman.

Mental blocking dan kelekatan ini beragam macamnya. Apapun itu, hal tersebut menjebak Anda dalam pemahaman keliru atas peristiwa baru yang dihadapi pada masa sekarang. Contohnya, seorang staf terluka oleh kritik dari pimpinannya. Ia merasa pimpinan terlalu fokus menyoroti hasil kerjanya, seperti mencari-cari kesalahan. Ia merasa bagaimanapun hasil kerjanya, tidak pernah sempurna, dan selalu saja ada perbaikan yang harus ia lakukan. Dalam contoh ini, peristiwanya adalah bawahan menerima saran-kritik dari atasan. Namun bawahan menghayatinya secara berlebihan, yaitu sebagai kritikan yang terus menerus dan tidak mungkin pernah absen, sampai ia kelelahan karena diri tidak pernah sempurna. Saran-kritik atasan, mencungkil mental blocking bawahan, dimana ia sendiri sebetulnya (nyata terjadi, tapi tidak disadari / diakui) selalu merasa ada cacat yang tidak dapat disembuhkan.

Jebakan mental blocking-kelekatan hampir selalu muncul dan mencemari cara seseorang merasa, berpikir, dan bertindak. Saat menghadapi situasi negatif di kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti bencana alam dan ketidakadilan, jebakan tersebut menjadi tenaga pendorong dari respon yang muncul, yaitu antara lain mengabaikan, menyerang, atau memperbaiki. Respon mengabaikan muncul karena diri tidak merasakan getaran emosi terhadap situasi di hadapan. Diri terpisah, atau berjarak, dengan situasi. Pendapatnya sekedar basa-basi. Andaikata pun muncul perasaan, yang ia kira rasanya kuat, itu sebetulnya adalah pikiran tentang perasaan, bukan perasaan sesungguhnya. Ia pikir, ia merasa marah, sehingga melontarkan kritik pedas. Atau ia pikir, ia merasa iba, sehingga menyatakan bela sungkawa. Bagaimanapun, tindakannya hanya sampai tataran pikiran, sebatas diskusi, atau tulisan, tidak ada aksi nyata untuk memulihkan situasi negatif yang ia hadapi, sebagaimana orang asing yang sekedar memberi petunjuk praktis tentang cara mengobati luka kepada seorang anak yang jatuh dan menangis kesakitan, tanpa bersegera mendatangi anak dan menolong mengobatinya. Tanpa sadar ada mental blocking yang membuatnya tidak peka dan tidak lancar bertindak.

Respon menyerang muncul karena diri merasa tidak nyaman, mual, marah, dan rasa penolakan lainnya. Diri tegang, dan terdorong segera mencari penyaluran. Tindakannya menyerang, atau melawan situasi di hadapan. Ia menghakimi secara keras figur yang bertanggung jawab atas situasi negatif, dengan mengedepankan idealisme atau norma secara menggebu dan kaku. Ia anggap ia bertindak benar sebagai penolong atau pahlawan. Ia tidak sadar, bahwa caci maki dan perlawanan yang ia nyatakan sebetulnya adalah mekanisme pertahanan diri atas mental blockingnya yang tersembunyi, yang mekanismenya berupa pengkambinghitaman orang lain. Pada saat itu, diri tidak sadar akan keberadaan mental blocking, atau masih menolak, dan tidak siap mengakui bahwa diri sesungguhnya terluka. Seumpama orang bercermin, dan melihat bayangan dirinya yang buruk di cermin, lalu tidak terima dan marah berlebihan pada inakurasi cermin, bahkan sampai memecah cermin untuk menghilangkan bayangan buruk yang tampak, demikian jugalah orang yang terluka oleh pihak lain, tidak sadar akan mental blocking tersembunyi, dan cenderung meghakimi orang lain sebagai biang keladi. Tindakan heroiknya pun menjadi destruktif. Seperti masuk ke dalam lingkaran setan, ia terjebak dalam jatuh-bangun upaya keras yang melelahkan jiwa, dan tidak merasakan pertumbuhan dalam hasil kerjanya.


Respon memperbaiki didorong oleh getaran rasa belas kasih pada kondisi negatif yang dihadapi. Getarannya tidak menggebu dan terburu-buru, karena tidak ditunggangi oleh kepentingan mental blocking untuk mencari penghiburan atau membangun pengukuhan diri. Sebaliknya, getaran rasa belas kasih bersifat halus dan lembut, murni-jernih tanpa keraguan, menuntun tindak dengan lancar dalam menghadapi situasi yang secara kasat mata termasuk kacau balau, satu langkah demi satu langkah bergulir, dan menghadirkan proses tumbuh kembang atau menghasilkan buah perbaikan yang nyata. Tindakan konstruktif jauh dari riya-riya keramaian, maupun ekspansi untuk pemekaran ego atau harga diri. Proses perbaikan berlangsung alami dan kebanyakan secara diam-diam, hasil perbaikannyalah yang menunjukkan eksistensi.

Mari kita telusuri 3 contoh pengalaman hidup berikut ini. X1 (37 tahun, ibu rumah tangga) merasa terusik saat menyadari kesenjangan kesejahteraan antara dirinya dengan yang lebih miskin. Ia merasa kasihan dan ingin berbagi. Ia berpikir untuk memberi pelajaran Bahasa Inggris, Calistung, Prakarya, dan fasilitas perpustakaan sederhana bagi anak-anak kampung di sekitar rumahnya. Ia juga berpikir untuk menyelenggarakan pelatihan pengolahan sampah secara mandiri bagi warga kampungnya. Namun ia terhambat untuk merealisasikan pikirannya. Ia takut memulai. Enggan dan malas. Khawatir privasi dan kepentingan pribadi terusik. Ia membiarkan konflik terjadi dalam diri, antara aktif berbagi dengan lingkungan miskin dengan menjaga stabilitas kehidupan keluarga sendiri. Saat menyusun perencanaan aktivitas berbaginya, muncul perasaan bersemangat, juga bangga, seolah ia sudah berbuat baik dan benar. Ia enggan mendalami kesulitan eksekusi rencana, lalu berhenti sampai rencana kasar. Ia berpikir, konflik akan bergulir dan kehidupan secara alamiah akan menentukan penyelesaiannya. Ia yakin angannya akan diwujudkan suatu saat nanti, bila situasi mendesak, atau kesempatan disodorkan, atau saatnya sudah tiba. Kini yang ia lakukan adalah fokus mengurus rumah dan keluarga secara mandiri, sambil tetap menjaga kontak seperlunya saja dengan warga kampung. Ia merasa aman, mantap, kokoh, dan mulai melirik kembali perwujudan angannya. Tetap belum muncul jawaban lebih rinci. Tetap enggan mendalami. Biarkan. Komentar: X1 melekat pada kebutuhan akan rasa nyaman, dan ketakutan akan sakit pertumbuhan. Kelekatan membatasi ruang geraknya. Alih-alih bertindak, ia sibuk dengan aktivitas berpikir, yang tidak esensial. Tindakannya belum berbuah signifikan.

X2 (37 tahun, karyawan swasta) menghadapi perubahan lingkungan kerja, dari kepala departemen sebuah perusahaan elektronik skala nasional di pusat kota ke staf perusahaan kecil milik perorangan di daerah pedalaman. Selama 2 bulan pertama, ia tidur di jok mobil. Ruang pribadi berAC menjadi ruang tengah rumah kecil beratap seng tanpa kipas dan AC. Intinya, perusahaan lama memberikan kenyamanan lebih dalam segala hal (jabatan, fasilitas, penghormatan, pengakuan prestasi, dipercaya). Menghadapi situasi itu, perasaan yang dominan muncul adalah menolak. Ia terpikir untuk kembali ke perusahaan lama walaupun itu berarti menyerah sebelum maju berperang. Namun ia tidak langsung bertindak mengikuti perasaan dan pikirannya. Ia memutuskan untuk diam sejenak, mengembalikan posisi diri ke titik nol atau netral, mengembalikan seluruh alam sadar akan tujuan semula, menyadari sepenuhnya mengapa semua ini perlu dilakukan, dan melihat bahwa mundur bukanlah solusi untuk melangkah ke depan. Ia pun menerima kenyataan di tempat baru. Ia melakukan introspeksi diri. Ia tunjukkan kemampuan terbaik, terus belajar dan mengembangkan diri. Hasilnya, ia survive dan berkembang pesat. Meskipun sekarang, kenangan masa indah jaman dulu datang saat sedang meghadapi kesulitan atau masalah. Komentar: X2 berorientasi pada kebutuhan akan rasa nyaman dan pengakuan. Orientasi ini mengarahkan perhatiannya pada pilihan-pilihan tertentu. Hanya saja, ia tidak langsung memilih dan bertindak sesuai orientasinya. Ia memutuskan diam, dan menempatkan diri sebagai pengamat, dimana orientasi menjadi salah satu objek pengamatan, di samping hal-hal lain yang juga ada. Tanpa dibatasi kelekatan, ia bebas memilih tindakan sesuai tujuan. Pola orientasi-mawas diri-refleksi-bertindak objektif terus berulang. Hal ini menunjukkan ada mental blocking yang belum sembuh benar, yang sejauh ini ia abaikan, agar tidak fatal mengganggu aktivitas kehidupannya.

X3 (33 tahun, Penanggung Jawab Komisi Penyiaran Indonesia di salah satu propinsi) pernah kecanduan alkohol dan narkoba. Ia berpisah dengan keluarga selama 3 bulan untuk menjalani proses rehabilitasi. Hambatan utama yang ia rasakan adalah ketidakpercayaan orang terdekat bahwa ia bisa sembuh, sementara ia berharap mendapat dukungan dari mereka. Ia berpikir keras dalam rangka berupaya sembuh dan membuktikan kepada mereka bahwa ia bisa dipercaya. Proses jatuh bangun ini membuatnya depresi, merasakan keterpurukan yang medalam, dan kehilangan banyak tenaga. Untuk mengatasi keterpurukannya ini, ia mengulangi lagi upaya koreksi diri, serta secara terus menerus melakukan doa dan kontemplasi untuk memahami tujuan dan langkah hidup perwujudannya. Ia juga tegas memutuskan hubungan dengan kenangan masa lalu, memusatkan perhatian pada keberadaan diri saat sekarang, mengakui kelemahan diri yang ada, mengenali dan gembira mengembangkan kelebihan yang ada, serta memaafkan dan menerima perilaku orang lain secara apa adanya. Ada kalanya solusi lancar dijalankan. Namun ada kalanya juga godaan untuk berhenti melakukan solusi kuat menghasut. Ia masih berjuang menjalankan solusi secara konsisten untuk mewujudkan tujuan hidupnya. Komentar: X3 serupa dengan X2, dimana tindakannya berpola orientasi-mawas diri-refleksi-bertindak objektif. Keduanya memilih untuk mengabaikan mental blocking, sehingga langkah perbaikan masih dapat dilakukan, meski kadang terhambat atau tertatih-tatih.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, perlukah mental blocking dihilangkan? Dan bila perlu, bagaimanakah caranya? Mental blocking berdampak pada tafsir keliru atas peristiwa di hadapan karena terbatas tempurung masa lalu. Apabila jebakan mental blocking disadari saat ia muncul, diri menerima dan mengakui jebakan ini, sehingga kondisi emosi bersifat netral atau obyektif, maka dampak negatif tersebut dapat diantisipasi kemunculannya. Namun apabila tidak, maka dampak negatif akan muncul terus menerus, bertumpukan, sehingga menimbulkan kondisi emosi negatif, atau sulit bahagia. Pada saat seseorang frustrasi berkepanjangan dengan kehidupannya, ia perlu minta bantuan terapis (dengan kompetensi teknik regresif), untuk menghilangkan mental blocking tersembunyi dalam diri.

Adakah upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar mental blocking tidak kembali muncul atau tidak bertambah kuat? Tanda utama dari munculnya mental blocking adalah adanya kondisi emosional kaku (perasaan sangat kuat, sulit ditahan, berdaya-desak, sehingga hampir selalu mendorong tindakan, yang dilakukan secara berlebihan, sehingga menimbulkan dampak merusak atau negatif). Saat tanda tersebut dialami, langkah utama yang dapat dilakukan diri adalah menyediakan waktu dan tempat sesegera mungkin untuk berdiam diri. Selama diri diam, intensitas rasa dan ketegangan awalnya akan meningkat, lalu lambat laun mengendap, mencuatkan getaran saripati yang alamiah menuntun tindak.

Langkah diam dipaparkan dalam versi lain oleh seorang bhiksu, yang masa kecilnya sering diserang panik intensif, namun saat usia 30-40 tahun dinilai Goleman memiliki kecerdasan emosional sangat tinggi, dimana getaran rasanya setiap saat serupa dengan getaran rasa seorang ibu yang baru saja melihat anak pertamanya lahir. Menurut bhiksu tersebut, ada 3 macam respon saat diri mengalami perasaan negatif (panik, takut, marah, dan lain-lain, yang intinya tidak diinginkan untuk dialami, atau segera ingin diusir hilang). Tiga respon itu adalah (1)tidak fokus, melupakan atau mengabaikan, namun lalu mengalihkan diri dari situasi di hadapan ke kegiatan hiburan, (2)fokus menganalisa masalah dan mencari solusi, (3)menyadarinya, dan dibolehkan tetap ada, lalu dirangkul untuk bersama dengan bagian diri yang lain untuk tetap berhadapan dengan situasi hidup di depan mata. Respon pertama dan kedua menempatkan diri sebagai budak dari perasaan, karena setiap kali perasaan muncul, ia memerintahkan diri untuk menanganinya saat itu juga, entah dengan cara mengusir perasaan segera melalui aneka hiburan, ataupun berhenti mengerjakan tugas dan menelaah perasaan itu dulu hingga tenang. Sementara respon ketiga menempatkan diri sebagai tuan atas perasaan yang dialami, yang menuntun rasa untuk tetap berani menghadapi situasi.

Pertanyaan yang akhirnya muncul hanyalah, “Maukah diri ini diam satu jenak, mengayomi rasa negatif, lalu menuntunnya berhadapan dengan situasi nyata?” Satu perilaku, diulang dengan perilaku kedua, dilakukan ulang terus dalam setiap kesempatan, lambat laun akan menjadi kebiasaan, dan menghasilkan kondisi emosi yang sehat.



Referensi/ Daftar Pustaka:
  1. Tolong Saya-Saya Lelah Karena Merasa Tidak Sehat, terjemahan dari Help Me-I'm Tired of Feeling Bad, by Paul Vereshack, M.D. 
  2. Refleksi harian penulis

[TIPS] Cara Memelihara dan Meningkatkan Kesehatan Mental

Oleh: Any Sulistyowati

Di kehidupan modern yang penuh tekanan, banyak orang menderita penyakit psikosomatis. Penyakit ini sebetulnya merupakan sebuah ekspresi penyakit fisik yang dipengaruhi oleh persoalan psikologis (mental). Masalahnya banyak penderita psikosomatis tidak menyadari bahwa permasalahan fisik yang mereka alami sebetulnya dipengaruhi oleh persoalan mental. Banyak dari mereka yang bolak balik ke dokter, mengkonsumsi obat tanpa pernah menyentuh penyebab persoalan yang sebenarnya.

Sebagai aktivis, banyak tekanan yang kita hadapi dalam menjalankan misi hidup kita. Berbagai tekanan tersebut potensial menyebabkan berbagai persoalan kesehatan mental. Padahal kesehatan mental ini sangat penting untuk kualitas hidup kita. Tanpa kualitas hidup yang bagus, kekuatan kita untuk membuat perubahan menjadi melemah. Kita tidak dapat secara penuh memberikan diri kita untuk perubahan yang kita cita-citakan.

Kesehatan mental berperan sangat penting dalam hidup kita. Tanpa kesehatan mental, kualitas hidup kita akan merosot tajam. Kesehatan mental akan lebih baik jika disirami dengan emosi positif. Emosi positif dibangun dari cara berpikir positif. Cara berpikir positif lahir dari cara pandang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan.

Berikut ini adalah beberapa tips memelihara dan meningkatkan kesehatan mental:

Sayangi diri sendiri

Banyak kasus persoalan kesehatan mental terkait dengan penerimaan diri. Kita tidak bahagia dengan hidup kita. Kita merasa ada banyak yang salah dan kurang dalam diri kita. Kita membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain dan mengganggap orang lain lebih beruntung, lebih hebat dan lebih berbahagia daripada kita. Semua ini adalah virus-virus yang menjadi sumber penyakit mental. Langkah pertama untuk menghalau virus-virus tersebut adalah melihat diri kita apa adanya. Betapa luar biasanya diri kita ini. Betapa banyak hal yang baik yang ada padanya yang selama ini kita abaikan. Betapa banyak hal yang tidak kita syukuri karena kita lebih silau pada cahaya yang ada pada orang lain ketimbang di dalam diri kita sendiri. Itulah yang disebut sebagai konsep diri positif. Konsep diri positif adalah satu langkah penting untuk membangun kesehatan mental. Bagaimana cara membangun konsep diri positif? Pertama fokuskan diri pada kekuatan-kekuatan kita, kesenangan-kesenangan kita. Jujurlah pada kebutuhan-kebutuhan diri kita. Terima dan penuhi dengan rasa sayang kebutuhan-kebutuhan itu. Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain atau terlalu fokus pada keinginan untuk menyenangkan dan memenuhi harapan orang lain. Percayalah bahwa diri kita memiliki kebijaksanaannya sendiri.


Berdamai dengan realitas

Masalahnya tidak semua yang kita inginkan dapat terpenuhi. Terlebih apabila pemenuhan keinginan tersebut perlu melibatkan orang lain. Mereka juga memiliki kehendak bebas untuk mendukung atau tidak mendukung kita, memenuhi atau tidak memenuhi harapan kita. Ketika hal ini terjadi, maka yang perlu dilakukan adalah berdamai dengan realitas. Penting sekali bagi kita untuk tetap merasa damai dan bahagia dengan diri kita apapun situasi yang terjadi di luar sana. Larut dalam kekacauan situasi di luar tidak akan menolong diri kita sendiri dan apalagi orang lain. Meskipun mungkin kita tidak memperoleh yang kita inginkan atau tidak satupun orang yang menolong kita, setidaknya kita tetap dapat menolong dan mendukung diri kita sendiri dengan tetap fokus pada kedamaian dan kebahagiaan kita.

Menerima dan melepaskan emosi negatif

Ketika harapan kita tidak terjadi atau kita tidak memperoleh yang kita inginkan tentu mendorong kita untuk merasa kecewa, putus asa, sedih, marah dan berbagai emosi negatif lainnya. Semuanya ini adalah normal. Yang tidak normal adalah ketika kita menekan, menolak, menutup emosi-emosi tersebut sehingga seolah-olah tidak ada atau hilang. Ketika itu dilakukan sebetulnya emosi-emosi tersebut tidak hilang, ia hanya terkubur di bawah sadar kita dan bertumpuk seperti uap panas di dalam ketel tertutup. Ketika ia terkubur dan jumlahnya semakin banyak, tekanannya pun semakin kuat dan sewaktu-waktu dapat meledak dalam bentuk ledakan emosi atau muncul dalam bentuk lain seperti berbagai penyakit psikosomatis.

Cara yang lebih sehat menangani emosi negatif adalah dengan menerimanya sebagai bagian dari diri kita. Menyayanginya karena ia telah hadir dan memperkaya hidup kita. Berterima kasihlah karena emosi tersebut telah mengajarkan sesuatu pelajaran berharga dalam hidup kita. Setelah semua itu, barulah emosi tersebut dapat kita lepaskan. Kita tidak dapat melepaskan dengan sukarela sesuatu yang tidak kita terima, miliki dan akui keberadaannya. Ketika emosi telah kita lepaskan, kita tetap dapat mengingat peristiwa terkait emosi tersebut, hanya saja muatan emosinya sudah hilang atau berkurang. Yang ada hanyalah rasa sayang dan syukur pada diri kita dan kehidupan yang luar biasa kaya ini.

Ada banyak cara untuk melepaskan emosi negatif. Di antaranya adalah dengan berdoa, menangis,mendengarkan musik, membuat karya seni, serta mengikuti berbagai bentuk terapi, seperti hipnoterapi, egostate-terapi, emotional freedom technique (EFT) dan banyak lagi. Apapun metode yang anda pilih, pilihlah yang cocok untuk anda masing-masing.


Lepaskan keyakinan-keyakinan penghambat kebahagiaan

Masalahnya melepaskan emosi negatif seringkali tidak mudah. Saat kita ingin melepaskan emosi, pikiran kita mulai melayang-layang dan memutar film kenangan kehidupan masa lalu yang menjadi sumber emosi negatif, seperti kemarahan, kebencian, ketakutan dan banyak lagi, serta film masa depan yang menjadi sumber kecemasan/kekuatiran dan ketakutan.

Ketika hal tersebut terjadi, kita tercerabut dari fokus hidup di saat ini menjadi larut dalam impian masa depan dan kenangan masa lalu. Ketika hal ini terjadi, yang perlu kita lakukan adalah berjarak dari pikiran kita dan memposisikan diri sebagai pengamat atas pikiran tersebut. Amati bagaimana pikiran-pikiran itu berseliweran dan memunculkan berbagai emosi yang terkait dengan berbagai peristiwa yang dimunculkan oleh pikiran-pikiran tersebut. Amati pikiran-pikiran itu dan simpulkan beberapa keyakinan yang menyebabkan pikiran-pikiran tersebut muncul.

Ketika kita menemukan beberapa keyakinan tesebut, periksalah apakah keyakinan-keyakinan tersebut memang kita butuhkan dalam hidup kita yang sekarang? Atau justru akan menghambat perkembangan hidup kita? Kita bebas untuk memilih untuk menyimpan keyakinan tersebut atau melepaskannya dan menggantinya dengan yang baru yang lebih sesuai dengan tujuan hidup kita.

Jika kita telah menentukan sikap, terapkan secara konsisten di dalam hidup kita. Hidup dengan keyakinan yang baru memang tidak mudah. Seringkali kita terjebak dan kembali menganut keyakinan lama. Semua ini normal dan perlu latihan panjang untuk menjadikannya kebiasaan alami hidup kita.



Ambil waktu untuk kegiatan yang bermakna

Salah satu cara untuk membangun emosi positif adalah dengan mengambil waktu untuk kegiatan-kegiatan yang bermakna. Kegiatan-kegiatan ini berbeda-beda untuk setiap orang. Ada orang yang melakukan meditasi, berjalan-jalan di alam, menghabiskan waktu bersama orang-orang yang disayangi, berbuat amal, mengikuti berbagai kegiatan sosial dan menyalurkan hobi.

Apa pun bentuk kegiatannya, pastikan melalui kegiatan tersebut anda mengalami stress-release (melepas ketegangan), dan bukannya menambah ketegangan. Dengan mengambil waktu untuk kegiatan-kegiatan yang bermakna, kita akan merasa hidup kita lebih berarti dan kita lebih merasa positif terhadap diri kita dan hidup kita.

Demikianlah beberapa kiat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mental. Berhasil tidaknya kiat-kiat tersebut dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mental kita akan sangat tergantung pada diri kita sendiri. Bersediakan kita mempraktekkan kiat-kiat ini dalam hidup kita sehari-hari? Berapa lama kita mau mempraktekkannya? Sebagaimana kebiasaan hidup positif lainnya, keberhasilan baru akan lahir dan perlu dibangun dari praktek dalam kurun waktu yang panjang.

***

[MEDIA] Musik Sebagai Media Pelepas Ketegangan

Oleh: Any Sulistyowati

Dalam kehidupan, kita mengalami pasang surut situasi emosi. Ada masa-masa membahagiakan, ada masa-masa sedih dan mengecewakan. Semua itu adalah bagian dari dinamika kehidupan yang perlu kita jalani. Telah banyak media dikembangkan manusia untuk mengekspresikan dan melepaskan emosi. Salah satunya adalah lewat musik.

Musik dan lagu sebagai media untuk penyembuhan jiwa telah dikenal sejak lama. Sejak zaman dahulu kala sampai saat ini, musik telah dikenal sebagai media untuk mengekspresikan dan melepaskan emosi, baik positif maupun negatif. Banyak karya seni luar biasa lahir dari ekspresi emosi jiwa penciptanya. Banyak di antara karya-karya tersebut yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dan tetap dapat dinikmati hingga kini.

Selain sebagai ekspresi atau melepas emosi jiwa penciptanya, karya-karya seni itupun seringkali digunakan oleh banyak orang dari masa ke masa. Banyak orang menggunakan musik untuk mengekspresikan emosi mereka, misalnya mengekspresikan kegembiraan dan juga untuk melepaskan emosi negatif misalnya dalam bentuk berbagai ketegangan yang berkecamuk di dalam dada. Ketika kita sedih, kita menghibur diri dengan mendengarkan lagu-lagu yang membangkitkan semangat dan kegembiraan. Setelah mendengarkan musik, hati kita yang suram menjadi cerah kembali. Hati yang cerah akan membawa kegembiraan di dalam hidup kita. Kegembiraan itu akan membuat kita lebih bersemangat untuk menghasilkan karya-karya terbaik di dalam hidup kita.

Di zaman modern ini, berbagai koleksi musik dapat dengan mudah kita peroleh, termasuk musik untuk penyembuhan jiwa. Cara termudah dan murah antara lain dengan mengakses versi gratisan di internet. Di internet, tersedia berbagai contoh musik, baik yang berupa musik instrumental maupun koleksi lagu-lagu yang dapat kita nikmati sebagai media untuk melepaskan emosi negatif dan membuat kita lebih tenang dan siap menjalani kehidupan yang lebih membahagiakan.

Banyak musik instrumental yang digunakan sebagai pengiring meditasi, yoga, relaksasi dan penenang pikiran. Musik instrumental tersebut dapat berupa iringan instrument satu atau beberapa jenis alat musik atau dikombinasi dengan suara alam, seperti aliran air, deburan ombak, desiran angin, suara burung dan sebagainya. Carilah musik instrumental yang cocok untuk anda karena setiap orang memiliki kebutuhan dan selera yang berbeda-beda. Untuk itu anda perlu mendengarkan, merasakan dan kemudian memilih yang paling tepat untuk anda.

Berikut ini adalah beberapa link untuk mendengarkan musik instrumental yang dapat digunakan untuk menghilangkan stress, relaksasi, penyembuhan dan menenangkan pikiran:

Relaxation music for stress relief and healing meditation dari Well Being Academy https://www.youtube.com/watch?v=-llW_qCHzic

Zen Spirit: Japanese Music Relaxing Songs and Sounds of Nature
https://www.youtube.com/watch?v=S7JcGThpR4E&spfreload=10 dari www.meditationrelaxclub.com

Relaxing Instrumental Asian Music: Chinese Meditation Music, Ehru, Guzheng, Koto, Oriental Music
https://www.youtube.com/watch?v=JuwJfDr36Kc dari NuMeditationMusic

Indian Meditation Music: Yoga Music, Calm Indian Flute Music, Relaxing Background Music for Yoga 
https://www.youtube.com/watch?v=HHtVyGhrPm0&spfreload=10 dari NuMeditationMusic

3 HOURS Long Tibetan Singing Bowl Meditation Chakra Healing | Third Eye | Brow Chakra https://www.youtube.com/watch?v=Y6QTdvbu0uI dari Spiritual Moment

Reiki Zen Meditation Music: 3 Hours Healing Music Background | Yoga - Zen - Massage - Sleep – Study
https://www.youtube.com/watch?v=erFGyuBVBVc dari Spiritual Moment

Arelia - Music for healing depression, and balancing emotions (3rd chakra)https://www.youtube.com/watch?v=wc8QJt9K3B4

Selain musik instrumental, ada pula lagu-lagu yang dapat didengarkan sebagai media pelepas ketegangan. Salah satu koleksi musik dan lagu yang menjadi favorit saya adalah koleksi lagu-lagu dari Karen Drucker. Karen Drucker adalah seorang artis Amerika yang berfokus pada penggunaan musik untuk penyembuhan, menginspirasi orang dan pemberdayaan. Anda dapat mengenalnya lebih jauh di blognya http://www.karendrucker.com/.

Karen Drucker (http://www.karendrucker.com)
Lirik lagu-lagu Karen sangat sederhana dan mudah dihafal. Musiknya pun mudah diikuti. Lagu-lagunya kebanyakan bertema perdamaian, cinta dan penerimaan diri, penguatan, pemberdayaan dan pembebasan pribadi, keheningan, ketenangan, syukur, relaksasi, perasaan berkelimpahan, kebahagiaan dan masih banyak lagi. Kalau kita mendengarkan lagunya, kita akan merasa diri kita atau hidup kita lebih baik. Semasa hidupnya Karen telah meluncurkan 15 album. Sebagian dari lagu-lagunya dapat diunduh di youtube dengan kata kunci “Karen Drucker”. Beberapa yang terkait dengan penyembuhan jiwa, antara lain:

Healing song: https://www.youtube.com/watch?v=sAocwPRVFsg,

In the stillness: https://www.youtube.com/watch?v=UHxfM4PnRb8,

If you can breathe you can heal: https://www.youtube.com/watch?v=wy8qs_WFOaA&list=PL9zuCOzWjFbm6z_cXDlHYLzRLk5uZKEfD

Demikianlah beberapa contoh musik penyembuhan yang dapat diakses melalui internet. Selamat menikmati musik. Selamat menjelajahi internet. Selamat berbahagia!



***

[JALAN-JALAN] Lepaskan Stres Anda di Sini

Oleh: Agustein Okamita

Stres merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar yang dihadapi oleh manusia saat ini. Penyebab stres bisa berasal dari berbagai sumber, misalnya pekerjaan, uang, kesehatan, kekhawatiran hubungan, maupun media. Dengan begitu banyaknya sumber stres, orang mulai sulit menemukan waktu bersantai dan melepaskan diri dari stres. Ketika orang mulai mengalami stres kronis, hal itu akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya secara negatif.

Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobi merupakan salah satu cara yang baik untuk mengurangi stres. Ketika mengerjakan sesuatu yang menjadi passion atau hobi, kita akan mengerjakannya dengan gembira. Kegembiraan itu membuat pikiran kita lebih segar (fresh) dan menolong untuk berpikir lebih jernih dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan. Hobi dapat dilakukan sendirian maupun bersama-sama dalam sebuah kelompok atau komunitas. Melakukan kegiatan bersama-sama banyak manfaatnya, antara lain membuat kita bisa saling berbagi dengan teman-teman.

Di kota Bandung, banyak sekali komunitas yang dapat menjadi wadah bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobi atau passion mereka. Di antaranya adalah:

Komunitas Merajut Bandung 

Komunitas Merajut Bandung berawal dari beberapa para perajut yang berkumpul sebulan sekali untuk merajut bersama. Setiap kali berkumpul, mereka berbagi teknik merajut yang baru dan saling mengajar satu dengan yang lain. Dengan mempelajari berbagai teknik merajut, para perajut ini mengembangkan kemampuan merajut mereka dan tidak terpaku pada satu teknik merajut saja. Mereka juga menerima para perajut pemula di dalam kelompok, sehingga para pemula ini dapat belajar cara merajut dari teknik yang paling mudah untuk dikuasai. Setelah kemampuan merajut mereka semakin baik, mereka juga bisa mengajari orang lain untuk merajut.

Seiring kemajuan teknologi informasi dan media sosial, para perajut ini kemudian membuat sebuah grup di Facebook dengan nama Komunitas Merajut Bandung. Grup ini terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar merajut bersama-sama di dalam komunitas. Sekarang kelompok ini dikenal dengan nama Komunitas Merajut Bandung (KMB), sesuai dengan nama grup di Facebook tersebut. Selain membuat grup, KMB juga membuat laman (page) di Facebook untuk memberi wadah bagi para perajut yang ingin memasarkan hasil rajutan mereka secara online.

Selain melakukan kegiatan merajut bersama, Komunitas Merajut Bandung juga menyelenggarakan beberapa acara baik yang bersifat lokal maupun nasional. Beberapa acara yang sudah dilaksanakan adalah Festival Rajut Indonesia (tahun 2012) dan Festival Rajut Bandung (2013). Kedua acara ini diselenggarakan di Bandung. Di Festival Rajut tersebut para perajut dapat memamerkan dan menjual hasil-hasil karya mereka. Melalui acara ini, masyarakat umum juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan merajut. Di sana masyarakat dapat melihat bahwa merajut merupakan salah satu hobi yang positif dan yang dapat menghasilkan karya-karya yang indah dan bermanfaat.

Komunitas Merajut Bandung juga ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh para perajut sedunia, seperti WWKIP (World Wide Knitting and Crochet In Public), di mana para perajut berkumpul di tempat-tempat umum untuk merajut. Merajut adalah salah satu cara yang cukup efektif untuk stress releasing.

Jika Anda bertanya kepada para perajut, apa arti merajut bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Craft Yarn Council dalam #StitchAwayStress Campaign mereka, maka Anda akan mendapatkan berbagai jawaban seperti:

  • Merajut itu menenangkan 
  • Merajut memungkinkan Anda untuk menyelesaikan berbagai hal 
  • Merajut itu terapi 
  • Merajut dapat membantu Anda melalui situasi stress, trauma atau sedih 
  • Merajut membuat Anda menyadari bahwa Anda bisa mengendalikan sesuatu 
  • Merajut itu menghibur 
  • Menyenangkan untuk melihat suatu bentuk yang terjadi/muncul dan mengetahui bahwa Anda membuat kemajuan 
  • Merajut memberikan Anda sesuatu yang Anda dapat kendalikan 
  • dan lain-lain. 

Contoh Rajutan. Foto koleksi pribadi penulis
Sebagai tambahan, kegiatan merajut bersama memotivasi setiap perajut untuk menyelesaikan proyek-proyek rajutan mereka dan belajar teknik merajut yang tidak mereka kuasai sebelumnya, dibandingkan ketika kegiatan merajut dilakukan seorang diri. Selain itu, sambil berkumpul bersama untuk menyalurkan hobi dan passion, para perajut juga bisa berbagi kegembiraan dan --untuk sementara-- bisa mengambil jarak dengan berbagai persoalan kehidupan. Setelah berhasil mengambil jarak dari persoalan mereka, mereka diharapkan dapat melihat persoalan hidup dengan cara pandang yang lebih baik yang berdampak pada menurunnya tingkat stres mereka.

Jendela Ide

Jendela Ide adalah wadah berkumpulnya berbagai komunitas yang mayoritas anggotanya terdiri atas anak-anak dan remaja, untuk menyalurkan hobi, bakat, dan passion mereka. Di Jendela Ide, mereka belajar bermain musik, bernyanyi, melukis, craft, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Selain berkegiatan, anak-anak juga berinteraksi satu sama lain. Dalam mempelajari berbagai hal di Jendela Ide, anak-anak didampingi olehbeberapa orang dewasa yang berperan sebagai fasilitator.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jendela Ide memang berfokus pada anak-anak dan remaja. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain visual art, body movement, musik, dan lain-lain. Selain menyelenggarakan kegiatan rutin, Jendela Ide juga mengikutsertakan anggotanya untuk tampil dalam berbagai acara, salah satunya di Festival Anti Korupsi yang diselenggarakan di Bandung pada bulan Desember 2015. Pada acara yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, Jendela Ide berpartisipasi dengan mengikutsertakan Suara Anak. Suara Anak adalah sekumpulan anak yang menciptakan dan menyanyikan beberapa lagu ciptaan mereka sendiri. Dalam menciptakan lagu dan berlatih menyanyi, mereka didampingi oleh para fasilitator Jendela Ide.

Suara Anak Jendela Ide di Festival Hutan 2015 THR Juanda Bandung
Foto: koleksi pribadi penulis
Jendela Ide memiliki misi menjadi ruang bagi dialog antar pemuda dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, budaya dan politik, demikian juga anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mereka berorientasi pada pribadi manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jendela Ide berusaha agar anak dan remaja dapat menggunakan kemampuan mereka dan mengembangkan informasi yang diterima, sehingga informasi yang tidak hanya 'dikenal', tapi menjadi sesuatu yang dipelajari, mempertanyakan, dan dapat menjadi bahan untuk hidup mereka untuk memahami secara kritis. Selain itu mereka juga memberikan kesempatan untuk mengambil peran aktif dalam menentukan nilai-nilai dalam kehidupan mereka.

Jendela Ide memang tidak secara spesifik mencantumkan stress releasing sebagai tujuan dari komunitas mereka. Akan tetapi setiap kegiatan yang dilakukan di Jendela Ide dapat memunculkan kegembiraan sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat stress. Kegiatan di Jendela Ide memberi ruang kepada anak-anak dan remaja untuk mengekspresikan dirinya dan untuk belajar menemukan cara-cara yang sesuai bagi dirinya untuk bergembira dan mengurangi tekanan-tekanan dalam hidup.

Tempat-tempat untuk Membantu Melepaskan Stress 

Di kota Bandung juga banyak tempat yang dibuat sebagai sarana untuk mengurangi stress. Dua di antaranya adalah HanAra Wellbeing Center dan Yoga Leaf. HanAra Well-being Center yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto 68 Bandung ini menawarkan berbagai program yang efektif untuk membantu membersihkan meridian tubuh dari setiap penghalang sehingga memungkinkan kehidupan energi (Chi) untuk bebas mengalir. The HanARa Way adalah proses yang sederhana dan dapat diverifikasi dirancang untuk mengisi ulang energi kehidupan tubuh, yang jika dilakukan setiap hari akan mengaktifkan kembali kecerdasan tubuh bawaan kita di penyembuhan diri yang berkelanjutan. 

Masyarakat umumnya mengenal yoga sebagai aktivitas latihan utama asana (postur) yang merupakan bagian dari hatta yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif, biasanya hal ini dilakukan dengan latihan pernapasan, olah tubuh dan meditasi, yang telah dikenal dan dipraktekkan selama lebih dari 5000 tahun. Selain manfaat-manfaat di atas, yoga juga dapat membantu untuk melepaskan stress. Di Yoga Leaf, kita bisa mempelajari teknik-teknik dan gerakan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh fisik dan teknik – teknik pernapasan dan meditasi yang dapat memberikan ketenangan pikiran.

Selain tempat-tempat yang disebutkan di atas, ada banyak pilihan tempat yang dapat membantu mengurangi kondisi stres yang Anda alami. Demikian juga, terdapat sangat banyak komunitas di Kota Bandung yang bermanfaat untuk menyalurkan hobi dan secara tidak langsung membantu untuk mengurangi stres, di antaranya komunitas olah raga bela diri, komunitas olah raga bersepeda, komunitas yoga, komunitas pencinta bunga, dan lain-lain. Kita bisa mencari dan memilih untuk ikut dalam komunitas yang sesuai dengan hobi kita, atau membuat komunitas sendiri bersama orang-orang yang dekat dengan kita.


***

Editorial Pro:Aktif Online Agustus 2015

http://www.kidnesia.com/Kidnesia/
Potret-Negeriku/Warisan-Nusantara/
Mengibarkan-Bendera-Merah-Putih
Salam kemerdekaan!
Salam Informatif dan Transformatif!

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang merdeka, Pro:aktif Online ingin ikut mengambil bagian dalam mengisi kemerdekaan ini dengan menyajikan berbagai informasi yang memberikan perubahan positif bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat terjadi itu dimulai dari bagian terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Untuk itu, Pro:aktif Online edisi Agustus 2015 ini mengambil tema "Keluarga". Dalam edisi ini, kami mengangkat berbagai isu seputar keluarga.

Konsep keluarga mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Mulai dari keluarga besar di masa lalu, sampai keluarga inti di masa sekarang. Saat ini keluarga dianggap sebagai satuan terkecil di masyarakat. Di dalam keluarga terjadi proses transfer nilai-nilai yang ingin diwujudkan di masyarakat. Nilai-nilai tersebut yang diharapkan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

Keluarga banyak berperan dalam kemunculan para aktivis. Banyak aktivis yang tumbuh dan berkembang karena inspirasi dan dukungan keluarganya. Banyak pula aktivis yang justru tumbuh karena berbagai masalah yang dihadapi di dalam keluarganya..

Rubrik Profil Pro:aktif Onlinekali ini mengangkat profil keluarga aktivis Antonius Sartono (Black) dan Elisabeth A.S. Dewi (Nophie). Hasil wawancara penulis dengan keluarga ini dirangkum dalam sebuah tulisan menarik tentang bagaimana keluarga aktivis ini membagi waktu untuk menjalankan kegiatan keluarga dan aktivisme mereka.

Dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan tentang perubahan definisi dan bentuk keluarga dari masa ke masa serta peran penting keluarga dalam proses penemuan panggilan hidup seorang aktivis.

“Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang,” demikian salah satu kalimat yang disampaikan oleh penulis rubrik Masalah Kita. Dalam rubrik ini, penulis menceritakan pengalaman masa kecilnya bersama kedua orang tuanya yang menjadi aktivis. Selain kisah suka dan duka, penulis menceritakan bagaimana aktivitas kedua orang tuanya menginspirasinya sehingga menjadi seorang aktivis seperti sekarang ini.

Terbentuknya sebuah keluarga bukan semata-mata disebabkan oleh takdir. Ikatan suami dan isteri di dalam keluarga terjalin karena komitmen dan visi bersama. Penulis Rubrik Opini menguraikan mengenai pentingnya visi bersama di dalam keluarga. Ia juga mengungkapkan bahwa visi bersama di dalam keluarga juga perlu diarahkan menjadi sebuah visi transformatif. Visi transformatif merupakan sebuah visi yang mampu menempatkan peran setiap anggota keluarga di tengah lingkungan dan masyarakat, guna mendukung perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Bagi seorang aktivis yang banyak melakukan kegiatan, pengelolaan waktu secara efektif merupakan salah satu kunci keberhasilan. Bagaimana cara aktivis mengelola waktu mereka? Bagaimana agar mereka bisa menjadi aktivis profesional sekaligus sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan pribadi dan hubungan dengan anggota-anggota keluarga? Dalam rubrik Tips, penulis membagikan kiat-kiat pengelolaan waktu yang lebih efektif.

Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang cara pemanfaatan media sebagai sarana parenting di era internet dan rubrik Jalan-jalan yang menceritakan bagaimana para aktivis mengisi waktu luang mereka dan tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi bersama keluarga.

Semoga setiap rubrik yang kami sajikan dalam edisi ini dapat menginspirasi terjadinya perubahan baik dalam paradigma maupun di dalam cara kita mengisi kemerdekaan yang sudah kita jalani selama ini.

Selamat menikmati!

[PROFIL] Dinamika Keluarga Aktivis: Dialog, Komitmen, Pengaturan



Mbak Nophie dan Mas Black

Aktivis, umumnya punya segudang kegiatan. Ketika seorang aktivis memutuskan untuk berkeluarga, akan muncul berbagai dinamika baru terkait urusan keluarga dan kegiatan-kegiatannya. Apakah aktivis harus selalu memilih salah satu antara keluarga atau aktivitismenya? Dapatkah pasangan aktivis menjalankan kedua peran sekaligus, mengelola keluarga dan tetap menjadi aktivis?

Kali ini, Pro:aktif Online mengangkat profil keluarga Elisabeth A.S. Dewi "Nophie"dan Antonius Sartono‘Black’, pasangan suami istri dengan dua orang anak, yang berbagi kepada KAIL tentang pengalaman hidup mereka dalam berkeluarga sekaligus menjalankan peran sebagai aktivis . Berikut petikan wawancaranya:

Sebelum menikah, Mbak Nophie dan Mas Black sudah memiliki banyak aktivitas. Menyadari hal itu, apakah ada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat sebelum memutuskan untuk menikah?
Nophie (N):Mmm... tidak ada kayaknya ya, sambil jalan saja
Black (B):Sebelum menikah, kami sudah saling tahu, bahwa kami masing-masing sudah beraktivitas di mana-mana. Maka terjadi dialog antara kami, yang merupakan dialog dengan kesadaran, bahwa kami memang tidak bisa meninggalkan aktivitas yang dulu. Sekarang tinggal menyiasatinya saja, sambil prosesnya berjalan. Yang menjadi lebih enak adalah kami beraktivitas di bidang yang hampir sama, jadinya bisa saling melengkapi. 

N: Lebih mengalir, kami jalani saja, lalu dilihat ada kebutuhan-kebutuhan apa. Ketika sudah punya anak, ada kebutuhan mengatur jadwal: siapa yang menemani anak, siapa yang mengurus ini dan itu, macam-macam. Pada akhirnya, kami harus bersiasat bikin skala prioritas. Tapi tidak ada yang melarang, mengekang. Ya diatur saja. Kalaupun sampai dua-duanya harus pergi karena ada tugas, seperti sekarang, kebetulan kami berdua panitia Sinode, maka kami bersiasat dengan keluarga besar. Eyang atau bude mana yang mau dititipi atau menemani anak-anak. Melibatkan keluarga besar, mau tidak mau.

B: Saya kira keberuntungan orang Indonesia salah satunya itu, kami masih punya keluarga besar yang “mengerti” aktivitas kami, menerima, walaupun dengan bahasa yang lain, tapi mereka tahu kami beraktivitas seperti apa. Intinya keluarga besar sangat terbuka untuk membantu dalam pola pengasuhan anak-anak.

N: Dan anak-anak, ketika mereka sudah bisa diajak berdiskusi, ya kami ajak diskusi. Mereka tahu apa yang kita lakukan. Kami ada di mana, dengan siapa, itu mereka tahu. Dan kadang-kadang ada waktunya juga kami beri pilihan kepada anak-anak, mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, nanti kondisinya begini, begini, begini. Siap atau tidak. Kalau tidak siap, ya sudah, di rumah saja. Kalau siap, ya ayo ikut. Sebenarnya dari anak-anak masih kecil ya, zaman kami baru punya anak pertama, kalau kami harus pergi berdua, ya anak-anak kami bawa. Digendong ya digendong, sambil pelatihan. Jadi dari kecil anak-anak sudah tahu keadaannya. Dari kecil sudah melihat aktivitas kami, jadi mungkin.. hmm, saya tidak tahu mereka suka atau tidak suka ya, tapi tampaknya, mereka bisa menyesuaikan dirilah dengan irama aktivitas orang tuanya.

Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak supaya mereka dapat memutuskan mau ikut pergi atau tidak?
N: Jelaskan kondisinya seperti apa kalau kami tahu keadaannya. Tapi kalau kami tidak tahu ya kami jelaskan seburuk mungkin kemungkinannya. Lalu mereka mikir. Kami tidak pernah memaksa, karena kami tidak mau dipaksa juga.

Usia berapa anak-anak mulai diajak bicara?
N: Mulai dari usia sekolah, karena mau tidak mau urusannya dengan akademik. Ketika sudah sekolah, kami berusaha untuk tidak membuat mereka bolos. Mereka harus tahu bahwa ketika sudah bersekolah prioritas mereka itu sekolah. Kecuali kepepetbanget mesti ikut, mungkin terjadi sekali dua kali lah sepanjang mereka sekolah, karena tidak ada pilihan lain dan jauh. Lalu mereka ikut. Tapi mereka sudah tahu konsekuensinya. Tantangan (istilah untuk PR sekolah) akan menumpuk, review (ulangan)  akan lewat, kami beritahu. Tapi waktu anak-anak belum sekolah, terutama ketika mereka masih disusui, mau tidak mau mereka ikut. Ketika sudah lepas ASI, mereka sudah mulai diberi pilihan.

Kalau dalam bayangan Mbak Nophie dan Mas Black, pengaturan dalam keluarga aktivis idealnya seperti apa?
B: Di dalam keluarga ada pembagian peran. Orang tua tetap punya peran orang tua, anak tetap punya peran anak, pada proses perjalanan itu terjadi sebuah dialog, dalam arti, ada kepentingan orang tua dan ada kepentingan anak.  Ini yang dijadikan proses diskusi untuk mengambil keputusan. Dalam konsep ideal saya, kepentingan anak maupun kepentingan orang tua ini bisa disepakati bila terjadi dialog.  Jadi pertama, perlu adanya dialog. Kedua, tidak ada pemaksaan. Ketiga, pilihan bebas. Saya boleh atau tidak pergi beraktivitas, itu dikembalikan pilihannya kepada masing-masing. Keempat, kesepakatan pada  jadwal yang dibuat. Mungkin juga orang lain lihat kami aneh. Keluarga kok diatur dengan jadwal. Tapi ya memang dengan begitu di keluarga kami prosesnya bisa berjalan.
Kalau keluarga lain, pengaturannya mungkin berbeda. Kadang-kadang ada orang tua yang satu aktivis, satu lagi bukan. Saya tidak tahu apakah itu keputusan mereka untuk memilih, satu tetap menjadi aktivis dan satu tidak lagi menjadi aktivis atau bagaimana.  Tapi untuk keluarga kami, kalau membuat janji salah satu (beraktivitas) di rumah (saja) kayaknya tidak bisa.

N: Tentang menjadi ibu. Dari hasil ngobrol dan studi saya tentang motherhood, yang paling sering melanda ibu-ibu adalah perasaan bersalah. Ketika mereka harus pergi meninggalkan anak mereka, karena alasan harus bekerja atau apapun, mereka seringkali didera perasaan bersalah. Nah, buat saya itu sangat tidak ideal. Maka saya mencoba tidak punya perasaan begitu. Karena buat saya, saya pergi bukan buat apa-apa kok.  Beda kalau saya pergi, misalnya, mabuk mabukan, lupa daratan, lupa lautan, mungkin jadi wajar ada perasaan bersalah itu. Tapi saya pergi karena saya bekerja, saya beraktivitas. Suami dan anak-anak tahu saya ada di mana, saya sedang apa. Kami saling tahu. Jadi buat saya tidak penting ada rasa bersalah.  Karena begitu kita merasa bersalah, anak juga akan tahu. Lalu adalah istilahnya, terjadi konflik-konflik batin sebagai orang tua. Buat saya yang ideal adalah, kalau kita sebagai orang tua pergi, tidak perlu merasa bersalah. Karena yang kita lakukan itu baik kok. Mungkin tidak baik untuk anak kita pada saat itu karena merasa ditinggalkan. Tapi kita berbuat baik untuk orang lain. Somehow, saya tidak tahu gimana caranya, saya merasa, ketika saya melakukan kebaikan untuk orang lain, saya juga sedang melakukan kebaikan untuk anak saya, secara tidak langsung. Jadi saya mau menambahkan poin itu.
Ambil contoh, orang lain pernah bertanya, di keluarga kami kok nggak pernah telpon-telponan sih, nggak pernah bertanya lagi apa. Itu tidak penting buat kami. Karena kami sama-sama tahu dia lagi ada di mana, sedang apa. Buat kami itu cukup. Tidak ada telpon artinya aman. Kalau ditelpon, malah jadi deg-degan, ada apa nih. Kenapa demikian, karena kami sudah saling percaya. Anak percaya ibu, ibu percaya bapak, bapak percaya sama anak-anak. Ya sudah, tinggal jalan aja.

Pernahkah ada situasi di mana, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, ada pihak-pihak yang perlu mengalah, misalnya pekerjaan ditinggalkan, atau anak mau tidak mau mesti ikut ayah atau ibunya pergi bertugas?
 N:Oh ya, jelas, ada. Saat anak sakit, kalau sudah anak sakit, bubar semua rencana. Lepas. Jadwal tidak ada artinya. Kalau pasangan sakit, ya sudahlah ya, sudah besar, yang penting dia beristirahat cukup. Tapi kalau anak sakit, tidak bisa. Atau kalau anak-anak ada acara di sekolah. Kalau orang tua tidak datang, mereka merasa sangat sedih. Mereka bilang, “Ya udah deh, nggak apa-apa nggak ada ibu dan bapak, tapi aku sedih.” Nah kan, ya kita juga harus mengerti. Ya sudah, akhirnya, kegiatannya nanti ditunda atau berubah jadwal atau diatur ulang, tapi kemudian kami datang untuk kepentingan anak. Mau tidak mau ya harus fleksibel juga.

B: Saya kira kata lain dari fleksibel ya “berkorban”. Dalam konteks “keluarga aktivis”, sebetulnya kunci yang harus muncul ya rela berkorban. Seperti tadi, anak sakit, ya mau tidak mau semua kegiatan harus dilepaskan, dijadwalkan ulang lagi. Saya kira salah satu syarat perkawinan ya rela berkorban juga ya, menurut saya. Tidak bisa tidak, gitu. Apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak.  Saya rasa ini salah satu hal yang penting juga: rela berkorban.

N: Dan jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Karena kalau kita terlalu berpikir apa kata orang, pusing juga kita ya. Kadang-kadang ukuran orang itu beda dengan ukuran kita. Ukuran kebahagiaan, ukuran kesuksesan, beda-beda ya. Misalnya, kebahagiaan kita adalah bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, ya, beda kan. Ya cuekin aja.Karena kalau mikirapa kata orang, stres juga kita. Padahal, tinggal prioritasnya dikompromikan. Mana yang jadi lebih penting, itu dikompromikan. Hasil dari kompromi itu sendiri yang dijalankan.

Apakah Mbak Nophie dan Mas Black juga berasal dari keluarga yang orang tuanya aktivis?
B: Orang tua saya bukan aktivis, tapi PNS, pekerja. Dalam konteks pergi bertugas, dua-duanya memiliki jam terbang  tinggi. Bapak saya di bidang teknik, yang harus pergi pagi pulang malam, ibu saya seorang pendidik, dari pagi sampai sore. Kalau disebut aktivis seperti kami ya bukan, tapi memang dari dulu saya biasa lihat, bapak pulangnya sore atau malam.

N: Kalau bapak ibu saya kalau mau dibilang aktivis, ya aktivis sih, terutama aktivis di gereja ya. Bapak ibu dulu tim dari ME (Marriage Encounter), jadi mereka memberikan retret ME ke mana-mana. Zaman dulu mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, sering banget pergi. Lalu mereka juga aktivis kharismatik, sering juga ke mana-mana. Bapak saya dulu guru, pendidik, ibu saya ibu rumah tangga yang sibuk: berdagang, merias pengantin, menjadi penjahit. Karena saya keluarga besar, sudah biasa diasuh oleh banyak orang. Atau mengasuh diri sendiri. Dan saya merasa menjadi kaya dengan pengalaman, karena saya jadi tahu berbagai jenis orang dan situasi. Makanya anak-anak kami juga sekarang dicobakan dengan model seperti itu.  Masuk rumah nenek yang ini, di bude yang ini, yang itu. Bertemu orang mulai dari yang sangat biasa sampai yang sangat luar biasa. Mereka “terkontaminasi”, dengan sifat banyak orang,  dalam artian yang mudah-mudahan positif.

Dari pola pengasuhan keluarga yang diterapkan Mbak Nophie dan Mas Black ,apa imbasnya ke anak-anak?
N: Kalau kata orang lain, anak-anak kami mandiri ya. Kalau pakai ukuran yang rata-rata, mereka boleh dikatakan mandiri, karena mereka sudah biasa mengatur diri sendiri. Misalnya, kalau kamu lupa bawa baju ke rumah eyang, ya otomatis kamu tidak punya baju ganti. Mereka harus belajar resiko dan segala macamnya.

B: Kedua dari segi wawasan, mau tidak mau karena mereka berdua ikut ngobrol sama bapak ibunya. Memang lalu menjadi PR lagi bagi bapak ibunya untuk menerangkan istilah-istilah yang sebenarnya kita tahu dia belum tahu artinya apa. Jadi ada tambahan pekerjaan sih sebenarnya untuk kami. Macam-macam, sebab kami tidak menyangka juga kalau dia ikut menangkap pembicaraan kami. Meskipun saat itu dia kelihatannya lagi menggambar, misalnya. Kelihatannya sih baca buku, tapi ternyata kupingnya kebuka ya. Misalnya, pas pulang dia tiba-tiba bertanya, “Human trafficking tehapa?”. Itu yang menjadi resiko untuk kami, karena kami yang sudah memasukkan dia dalam “aktivitas orang dewasa”. Saya kira begitu. Orang sering bilang, nih anak umur berapa, kelas berapa, kok omongannya kayak gini. Mudah-mudahan sih tidak menjurus ke dewasa sebelum waktunya.. hahaha..

Adakah pengalaman paling mengesankan berkaitan dengan pengaturan sebagai keluarga aktivis atau sebagai keluarga aktivis?
N: Saya pernah lagi naik trem di tengah kota Melbourne, lalu ada orang manggil saya, “Mbak Nophie! Eh,  mbak,  masih ingat nggak, kita pernah ketemu waktu itu di Garut, lalu mbak Nophie ngasihtraining, bawa bayi, pakai ransel gitu. Saya tidak pernah lho, mbak,  lihat trainer bawa bayi pakai ransel. ” dan lalu dia cerita segala macam. Lucu ajaya, pengalaman unik. Orang mungkin tidak ingat materi yang saya saya sampaikan. Tapi saya membawakan training, sebagai trainer yang bawa bayi, buat dia menjadi hal yang mengesankan, sampai dia tidak lupa. Lalu bertemu berapa tahun setelahnya, di negara lain, dia masih ingat pengalaman itu. Dan kemudian orang tersebut bilang, “Saya mau lho, mbak, suatu saat seperti Mbak (Nophie).”
Buat saya sebagai seorang ibu, saya diingat. Setidak-tidaknya saya mencoba, mematahkan anggapan bahwa feminis itu tidak punya kepedulian terhadap keluarga, feminis itu terlalu mandiri, feminis itu tidak perlu laki-laki, feminis itu lesbian, feminis itu keluarganya hancur. Saya sebisa mungkin mematahkan lah anggapan negatif tersebut. Bahwa seorang feminis ternyata bisa kokpunya anak, punya suami dan baik-baik aja. Bisa kok tetap heteroseksual.
Buat saya, motheringitu harus menyenangkan, jangan jadi beban.
Saya kemarin baru mengobrolkan hal ini dengan anak saya sebelum melepas dia campingbeberapa hari, “Kalau saya diberi umur panjang, sepanjang hidup ibu, ibu akan jadi ibu. Dan seumur hidup kamu, kamu akan jadi anak. Jadi kalau kita nggak fun, kita nggak enjoy, capek bangetkan. Jadi ya enjoy aja, gitu.”

B: Pengalaman bertemu orang-orang. Kayak Nophie tadi, saya ngomong apa, mereka masih ingat. Buat saya, di balik ketemu orang-orang itu, saya jadi diingatkan oleh banyak orang, untuk menjalani yang saya omongkan. Pengalaman bertemu orang-orang ini jadi semacam “pagar”, untuk umpan balik bagi saya. Kadang-kadang orang mendengar apa yang saya omongkan, “Wah ini bisa jadi inspirasi.”. Padahal sebenarnya kelihatannya waktu itu cuma ngobrol biasa saja. Saya kira itu, berbagi pengalaman hidup, proses, karena kita hanya bisa berbagi pada tataran itu.

Menurut Mbak Nophie dan Mas Black, hal apa yang perlu diingat dan diperhatikan oleh semua keluarga aktivis, atau oleh aktivis yang berniat berkeluarga?
N: Kita itu manusia biasa, dengan segudang aktivitas, dengan segudang rencana, dengan segudang mimpi yang kita punya. Kita tetap manusia dengan keterbatasan. Tetapi keterbatasan itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah kita, tapi kita harus pintar-pintar bersiasat, berstrategi dengan keterbatasan kita dan jangan menganggap itu sebagai beban. Kalau beban, ujungnya akan berat ke kita. Having fun saja. Karena kita beraktivitas untuk manusia, bersama manusia. Manusia itu punya banyak dinamika, punya banyak hal yang tidak bisa kita duga, termasuk anak, pasangan dan keluarga besar kita, akan banyak dinamika, up and down-nya. Jangan stres. Bagaimana  kita bisa beraktivitas kalau kita stres? Nikmati saja, jalani saja. Jangan pernah merasa kita harus sempurna. Tidak.  Jadi kalau ada yang tanya, “saya ibu yang baik tidak ya, saya ibu yang benar tidak ya”. Jawabannya, tidak ada tuh, ibu yang baik, ibu yang benar. Semuanya tergantung, mau pakai definisi mana, tolok ukur siapa. Semua itu kan balik lagi ke kita. Selagi anak senang, pasangan bahagia, semua baik-baik saja, ya sudah. Di tengah segala keterbatasan, kalau kita diskusikan, pasti ada jalannya.

B: Kalau menurut saya, cuma dua. Pertama, kerendahan hati dan kedua, kesediaan untuk berkorban. Kalau dua hal ini tidak dimiliki, pasti akan muncul pertengkaran, terjadi kesalahpahaman, kecurigaan. Ini kan bibit dalam proses berkeluarga ya, kalau kita mengobrolkan bibit, proses dalam berkeluarga ya, kalau tidak diperhatikan pasti amburadul. Kerendahan hati ya, misalnya sekarang saya mesti mengasuh anak, karena dia harus pergi. Lain waktu dia yang harus di rumah, mengurus anak-anak, giliran saya yang pergi. Rela berkorbannya ya tadi, misalnya saya sudah punya rencana, tiba-tiba harus batal karena anak sakit, misalnya. Dalam prosesnya, ya itu tadi, saling menutupi itu bukan saling menutupi kelemahan, tapi saling melengkapi.

N: Dan tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih tidak hebat ya. Bukan berarti yang di rumah lebih tidak hebat, yang pergi lebih hebat. Tidak. Karena yang di rumah juga “sakit kepala” juga, ngurus segala macam, dari A-Z.

B:  Satu lagi, yang kita perjuangkan, budaya kesetaraan. Ke mana-mana kita bicara soal kesetaraan, ya harus diaplikasikan, harus dipraktekkan. Ya seperti ini, kesetaraan itu begini. Tidak ada yang satu di atas, satu di bawah. Atau setara, tapi saling menutupi semuanya. Tidak begitu.

N: Dan itu kesetaraannya sampai di anak-anak, bukan hanya di kami saja. Karena generasi kami kan, generasi saya dan Black adalah generasi yang ngomongke mana-mana. Hasilnya kelihatan atau tidak itu di anak-anak kami. Itu juga salah satu tambahan pekerjaan kami ya. Kebetulan anak kami sepasang, laki-laki dan perempuan. Mereka punya tidak kesetaraan? Mereka punya atau tidak kesetaraan, punya tidak kesadaran, bahwa, nggak ada yang lebih hebat atau nggak ada yang lebih nggak hebat? Begitu.

Hmmm.. ini pertanyaan penutup, sekaligus konfirmasi. Jadi dinamika yang paling mewarnai keluarga aktivis itu kebanyakan soal pengaturan waktu, atau ada yang lain?
B: Yang paling mewarnai sebenarnya adalah dialog. Dialog itu kadang-kadang dengan nada tinggi, nada sedang, nada rendah. Biarpun misalnya dengan kesal apa ya, tapi tetap ada semacam pemberitahuan, konfirmasi. Ada berita, meskipun dengan nada tinggi, tapi konsepnya pemberitahuan.
N: Kalau menurut saya, komitmen ya.  Seperti saya bilang tadi, kalau yang satu sedang pergi, satu lagi di dalam, ya yang di dalam harus membereskan semuanya kan. Bukan hanya masalah waktu ya. Karena, misalnya, Black yang harus di rumah ya, artinya Black juga kan harus mengatur antara komitmen pekerjaan dia di manapun dengan urusan di rumah. Itu juga butuh komitmen kan, anak-anak butuh di mana, perlu diatur. Karena kami tidak mau menghentikan segala macam aktivitas mereka hanya karena aktivitas kami. Buat kami itu tidak adil sama sekali. Misalnya,“Karena kami harus pergi maka kamu tidak bisa les renang.” Tidak, tidak boleh begitu. Semuanya harus berjalan. Menantangnya di situ. Aktivitas kami dua-duanya jalan, tapi aktivitas anak-anak tidak boleh terabaikan. Nah itu komitmen, pengaturan, melibatkan orang. Siapa yang mau dilibatkan. Kita punya ojek pribadi yang bisa menemani anak-anak berkegiatan, yang kami sudah percaya sekali. Semua harus diatur.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...