[Profil] Perempuan Pejuang Lingkungan



Anilawati Nurwakhidin (Koordinator Tim Kampanye Zero Waste YPBB)



Sosoknya begitu sederhana dan wajahnya tanpa polesan make up. Dengan kerudung dan pakaian santai yang biasa dikenakan, senyumnya yang ramah tidak pernah lepas ketika kita menyapa. Perempuan kelahiran 3 Juni ini banyak menghabiskan hari-harinya di Bandung meski berdomisili dengan nenek dan kakeknya di Cimahi.  


Tidak pernah terpikir sebelumnya Anil akan menjadi seperti sekarang ini, sebagai aktivis lingkungan. Mengenang masa kecilnya, Anil mengaku tidak punya cita-cita, ingin jadi seperti apa. Hari-harinya dihabiskan dengan sekolah. Orang tuanya tidak terbiasa berdiskusi tentang visi hidup dengan anak-anaknya. Di sekolah, katanya, Anil tidak ikut kegiatan berorganisasi. Baru di dunia kampus, dia mengenal kegiatan berorganisasi walaupun sifatnya lebih ke sebagai kegiatan pengisi waktu. Yang terpikir saat itu adalah menjalani sekolah sesuai jenjangnya. Kemudian, setelah lulus kuliah, ya kerja. Kerja itu harus yang menjanjikan di masa tua (baca: pensiun), begitu ucapan orang tuanya saat itu. Meski kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, dulu namanya IKIP) yang lulusannya identik dengan menjadi guru, tapi Anil tidak berminat menjadi guru di pendidikan formal atau menjadi PNS sesuai keinginan orang tuanya. 

Sampai akhirnya pada tahun 2004, hati Anil terusik ketika mendengarkan siaran salah satu radio swasta di Bandung yang secara rutin menayangkan topik lingkungan. Ia pun menyadari, selama ini ia selalu mencari keterkaitan antara kondisi lingkungan yang ada dengan aktivitas kesehariannya. Di kesempatan lain, Anil menemukan informasi tentang kegiatan kereta kota dari YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, salah satu organisasi lingkungan yang fokus pada isu gaya hidup organis)  di mading kampus. Tidak menunggu lama, Anil langsung mendaftar dan terlibat dalam kegiatan relawan. Di sana, Anil mendapat suasana yang berbeda. Hal ini membuat Anil termotivasi untuk belajar dan bisa berperan sesuai dengan minatnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, Anil mengajukan diri menjadi staf YPBB. Anil menemukan sosok yang menginspirasi dan mengubah jalan hidupnya. David Sutasurya (Direktur YPBB) meyakinkan dirinya bahwa kalau kita mau serius di dunia ini pasti ada jalan. Saat itu kondisi YPBB sedang kesulitan pendanaan, tapi hal itu tidak menyurutkan Anil untuk tetap bergabung. Proses pembelajaran di YPBB dijalankan Anil secara bertahap dengan mengkoordinir teman-teman relawan. Untuk peningkatan kapasitas diri, Anil magang di lembaga lain dengan menjalankan peran yang berbeda seperti menjadi notulen, maupun memfasilitasi pelatihan. Sampai akhirnya Anil mendapat tanggung jawab yang lebih besar sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste.

Anil, duduk di depan, dengan kaus hijau, dalam pelatihan Cara Berpikir Sistem
yang diselenggarakan oleh KAIL

Menjalankan peran sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste, Anil belajar mengenal jenis-jenis orang yang “berbeda” dan sekaligus melihat bahwa di dunia ini, ada pilihan lain dalam beraktivitas. Adanya dukungan sesama koordinator menjadi penyemangat Anil dalam mengemban tugasnya. Suasana kerja, nilai-nilai di dalamnya dan adanya teman yang saling mendukung menjadi faktor penguat mengapa Anil bisa bertahan sampai enam tahun di YPBB. 

Ketika ditanya soal visi hidup, “Ini selalu menjadi bagian yang sulit dijawab”, kata Anil. “Secara gampangnya, saya cukup bahagia bila bisa kumpul dan senang-senang bersama. Saat ada masalah, ada teman untuk tempat bercerita, tukar pikiran dan menyebarkan semangat ber-zero waste. Juga bila hidup ini bermanfaat untuk orang lain”, lanjut Anil. Biasanya Anil sangat membutuhkan teman-teman yang bisa diajak ngobrolsebelum membuat keputusan apapun. Mungkin itu juga sebabnya Anil tidak bisa diam dan merasa efektif berpikir kalau sambil berbicara. Sampai ada salah satu teman yang memberi saran kepada Anil untuk mencoba mencatat apa yang Anil bicarakan, sebagai bentuk apresiasi tidak bisa diamnya Anil.

Yang paling menarik dari Anil adalah, ke mana pun dia pergi baik urusan kerja atau pun pribadi, Anil selalu mengkampanyekan gaya hidup organis. Di dalam tasnya tidak pernah ketinggalan satu paket botol minuman (tumbler), wadah makanan, sapu tangan kain dan tas kain bila sewaktu-waktu diperlukan. Jadi dalam membeli sesuatu diusahakan untuk tidak menghasilkan sampah (zero waste) atau paling tidak mengurangi sampah dari awal.

Kekonsistenan dan komitmen untuk menjalankan hidup yang tidak menghasilkan sampah atau tidak berdampak besar pada lingkungan ia coba untuk terapkan dalam kesehariannya. Misalnya kebiasaan menggunakan kendaraan umum, menolak menggunakan sedotan untuk minum, dan lain sebagainya. Kebiasaan ini juga ditularkan Anil ke beberapa teman kuliah yang sering kumpul bersama dan  awalnya tidak mengenal isu zero waste sama sekali. Sampai-sampai ada istilah yang cukup trend di kalangan aktivis lingkungan yaitu ‘dosa ekologis’. Lewat sikapnya ini Anil ingin menunjukan pada orang lain bahwa kita bisa hidup selaras dengan alam dan mengingatkan kepada kita bahwa daya dukung alam itu ada batasnya. Hidup nyaman dan bahagia pun bisa dicapai kalau kita bisa hidup zero waste.


Contoh lainnya, dia pernah mengirim berita di media sosial tentang sepatunya yang bolong dan terpaksa harus membeli sepatu baru. Usia sepatu tersebut sudah cukup lama dan sering tembus air bila hujan. Itu satu-satunya sepatu yang Anil punya. Ternyata, yang menanggapi kiriman berita tersebut sampai 32 orang. Juga hal lainnya seperti baju. Orang akan melihat baju yang dipakai Anil itu-itu saja. Padahal dibalik itu semua, Anil mencoba berkampanye untuk menggunakan atau memakai barang apapun selama mungkin, termasuk baju yang dikenakannya.

Maria Hardayanto (Penggagas Komunitas Engkang-Engkang dan Komunitas  Sukamulya)


Adakah yang pernah mendengar kue brownies ganyong dan tumpeng dari singkong? Ganyong sendiri adalah nama jenis tanaman lokal asli Jawa Barat dan disulap menjadi kue oleh bunda Maria. Biasanya dalam setiap kegiatan yang diikuti oleh komunitas binaan bunda Maria selalu ada kue tersebut, sebagai alternatif penganan lain dalam hal ketahanan pangan. 

Komunitas Engkang-engkang dan Komunitas Sukamulya adalah kumpulan ibu-ibu yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar rumah, baik dalam pengelolaan sampah, pemanfaatan pekarangan rumah (urban farming) dan pembuatan jenis makanan dari bahan-bahan lokal. Walau komunitas ini belum genap dua tahun tapi secara perlahan melangkah maju dengan caranya sendiri. Siapakah yang menjadi penggagas komunitas ini?

“Bunda”, begitu sapaan akrab bu Maria diantara para aktivis lingkungan di Bandung. Meskipun sudah berusia 51 tahun tapi ibu empat orang anak ini selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Kegiatan sebagai ibu rumah tangga mulai berkurang karena anak-anak sudah semakin besar dan kebanyakan mengambil pendidikan di luar kota, membangkitkan kembali gairah bunda untuk beraktivitas. Kalau kata orang, bunda itu seorang ibu yang sangat aktif dan tidak bisa diam. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain, bunda ikut arisan, pengajian dan terlibat dalam program PKK . Tapi bunda merasa masih ada yang kurang. Akhirnya ia mencari aktivitas lain, seperti menghadiri pertemuan zero waste community  dan kegiatan BILIC (Bandung Independent Living Center), dimana bunda bertemu dengan teman-teman difabel (istilah lain dari penyandang cacat). Dari situlah awal kebangkitan bunda menjalankan aktivitasnya. Untuk mendukung gerakannya, bunda banyak membaca literatur dari buku dan menjelajah dunia maya . Termasuk juga ide membuat brownies ganyong, ia dapatkan dari penjelajahannya tersebut.

Dalam membangun komunitas dampingannya, bunda mengalami pasang surut. Tapi itu semua tidak membuat bunda mundur. Mendukung lingkungan hidup secara nyata melalui pembuatan kompos skala rumah tangga, menanam sayuran segar dan membuat penganan non beras. Biasanya kalau ada program membuat kue, kue tersebut adalah hasil patungan anggota komunitas. Ada yang membawa telur, terigu, mentega, dsb. Jadi, program tersebut berbasis prinsip dari anggota, untuk anggota dan dinikmati oleh anggota pula. Juga mengolah hasil kebun yang hasilnya dikumpulkan untuk kepentingan komunitas.  Kesibukannya mendampingi komunitas Engkang-Engkang dan komunitas Sukamulya cukup menyita sebagian waktu bunda.

Kesenangannya mengulik dan mengupas suatu masalah ternyata sudah ada sejak duduk di bangku SMA. Termasuk keprihatinan bunda terhadap kondisi lingkungan kota Bandung. Misalnya masalah air PAM yang hanya keluar di malam hari dan orang-orang menunggui air tampungan sampai penuh. Juga adanya peristiwa Bandung lautan sampah di tahun 2005. Banyak orang yang memberi tanggapan, bahkan kritik pedas terhadap aparat pemerintah. Tapi agak berbeda yang ada dalam benak bunda. Beliau malah berpikir jangan-jangan sampah yang ada di TPA Leuwigajah dan menjadi bencana longsor itu salah satunya adalah sampah saya? Hal ini menjadi kegelisahan bunda. Sampai-sampai ia berlangganan salah satu media lokal Bandung karena ada tulisan dari (alm) bapak Otto Soemarwoto yang mengulas tentang gaya hidup. Bunda sangat termotivasi oleh tabloid yang mengulas tentang isu lingkungan dan event-event pameran lingkungan. Sampai akhirnya bunda mencari data lewat internet dan mendatangi satu persatu LSM lingkungan dengan melakukan diskusi dengan orang-orang yang dianggap bunda bisa menjawab kegelisahannya.

Orang-orang di sekitar komunitasnya banyak yang memberikan apresiasi bermacam-macam tehadap apa yang dilakukan bunda, tapi bunda tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Yang penting bunda bisa mengukur diri. Pada prinsipnya bunda ingin melakukan sesuatu hingga tuntas. “Makin saya menunda, maka lingkungan akan makin hancur”, begitu kata beliau.

Bunda mempunyai kesenangan tersendiri kalau bertemu dengan banyak orang. Dia merasa menemukan energi yang berbeda. Setelah diusut lebih jauh, ternyata dahulu bunda sempat demam panggung kalau berbicara di depan umum dan tidak tahu bagaimana cara membuat bahan presentasi, misalnya dalam bentuk power point. Akhirnya bunda minta diajarkan oleh  anak-anaknya dalam menuangkan semua ide yang ada ke dalam tulisan melalui blog. Sebelumnya bunda belum pernah membuat blog. Jadi, ia benar-benar belajar secara otodidak. Sampai sekarang ada enam blog yang dikelola bunda dengan genre yang berbeda, termasuk secara rutin menulis di blog bersama, Kompasiana. Tulisannya pun sering menempati posisi teratas karena temanya menarik dan mudah dipahami orang. Dari cerita bunda banyak pembelajaran untuk kita semua, bahwa kalau ada kemauan dan usaha keras, maka semua yang kita impikan akan tercapai.


(Melly Amalia)

[Pikir] Riwayat Gerakan Lingkungan

Gerakan lingkungan lahir pada abad ke-19, dibidani oleh mereka yang peduli pada kelestariannya. Awal gerakan lingkungan terjadi pada tahun 1890, John Muir dan Robert Johnson sukses melobi Kongres untuk melestarikan Yosemite sehingga lahirlah Yosemite National Park. Keduanya kemudian bergabung membentuk Sierra Club, salah satu organisasi lingkungan pertama dan leluhur bagi banyak organisasi lingkungan modern. Di tahun yang sama, Gifford Pinchot kembali ke Amerika setelah belajar Kehutanan di Prancis. Dia terkejut sekali melihat penghancuran sumber daya alam di Amerika. Dia kemudian menata sistem pengelolaan sumber daya yang berfokus pada tebang pilih dan dibuatnya Hutan Lindung Nasional.
Di usianya yang dini, gerakan lingkungan di dunia dipengaruhi amat kuat oleh Pinchot dan Muir-Johnson. Pinchot menekankan pada konservasi, yaitu penggunaan sumber daya dengan pengelolaan yang baik, sementara Muir menekankan pada preservasi, yaitu alam yang sungguh-sungguh terjaga dan tidak diganggu oleh aktivitas manusia. 
Pada masa Perang Dunia di abad ke-20, gerakan lingkungan sempat tenggelam dan tidak terperhatikan. Usai PD II dan terjadi transformasi masyarakat pertanian menjadi industri, gerakan lingkungan mulai menggeliat kembali. Salah satu fokus perhatian berbagai pihak waktu itu adalah karya tulis Rachel Carson yang berjudul Spring di tahun 1962. Saat itu, intensifikasi pertanian dilakukan secara masif. Rachel Carson mengulas dampak kimia pestisida untuk lingkungan serta bagi kesehatan mahluk hidup dalam bukunya.
Pada tahun 1970, setelah merebaknya berbagai bencana lingkungan buatan manusia; Senator Gaylord Nelson mengusulkan sebuah demonstrasi akar rumput dengan mengatasnamakan lingkungan. Akhirnya, Hari Bumi pertama berlangsung, membawa gerakan lingkungan ke tahap kedewasaan yang baru. Tantangan yang dihadapinya berubah dari jenis hingga skalanya. Dalam kurun waktu yang sama pula, filsuf Norwegia Arne Naess mulai mengenalkan gerakan lingkungan dengan konsep deep ecology. Konsep ini menyatukan konsep preservasi, ekologi dan spiritual.
Di Indonesia sendiri, keberadaan gerakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari isu politik. Pada masa Soekarno, pembangunan tidak diorientasikan pada aspek-aspek yang padat modal. Yang terjadi, justru Soekarno menolak dana asing yang menawarkan model pembangunan dengan mengenjot aspek ekonomi berbasis ekstraktif sumber daya alam. Dengan demikian, saat itu gerakan lingkungan boleh dikatakan tidak berkembang baik di Indonesia. Namun, pada periode tahun 1970-1980, setelah masa kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) beralih ke masa Soeharto (Orde Baru), gerakan lingkungan mulai berkembang di Indonesia.
Pola pembangunan yang diterapkan Soeharto berlaku kebalikan dari Soekarno. Pada kepemimpinan Soeharto, pihak asing mulai berinvestasi di Indonesia, terutama industri-industri ekstraktif. Persoalan-persoalan lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi dan menggenjot Gross Domestic Product (GDP), indikator perekonomian yang digunakan banyak negara di dunia. Istilah gerakan lingkungan di Indonesia, baru disebut dalam sebuah simposium tentang ‘15 tahun gerakan lingkungan Indonesia, menuju pembangunan berwawasan lingkungan’ di Jakarta, pada tahun 1972.
Periode gerakan lingkungan di Indonesia terbagi dalam 4 kurun waktu. Yang pertama, sekitar tahun 1970-1980, ditandai dengan masuknya agenda persoalan lingkungan dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 dan Repelita II (1974-1979). Hal ini terjadi karena tekanan internasional dari Deklarasi Stockholm tahun 1972 tentang Biosphere. Tindak lanjutnya adalah pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup oleh Pemerintah Indonesia. Tujuan pembentukan kementerian terkait di atas adalah mengusung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan efisien. Menteri pertamanya adalah Emil Salim, seorang ekonom lulusan University of Berkeley yang kemudian banyak mempelajari ilmu lingkungan. Emil mendorong munculnya LSM-LSM lingkungan di masa kepemimpinannya sekitar tahun 1978-1993. Pada masa itu, tiba-tiba ratusan organisasi lingkungan muncul di Indonesia, dari yang sebelumnya tidak ada.
Saat itu, organisasi lingkungan yang ada cenderung mengarah pada kegiatan pecinta alam, sekedar hobi maupun bersifat akademis. Sifat pemerintah yang represif membuat kehadiran organisasi berbasis massa saat itu harus berhati-hati. Bahkan untuk mencari atau membuat nama pun, sebuah organisasi lingkungan pun harus dipikirkan secara matang. Organisasi lingkungan tak boleh memprovokasi massa untuk melawan kebijakan Pemerintah, tapi mereka juga tak ingin dicap sebagai underbow partai ataupun kepanjangan tangan Pemerintah. Akhirnya, pada tahun 1980, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terbentuk, menjadi salah satu wadah gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam setiap aktivitasnya, WALHI mendorong organisasi-organisasi lain untuk mulai membentuk jaringan atau kelompok-kelompok kerja untuk Iingkungan. Jaringan kerja sama ini yang di kemudian hari menjadi atap bagi pemikiran gerakan lingkungan di Indonesia.
Gerakan lingkungan mulai memasuki periode kedua di Indonesia, yaitu periode tahun 1980-1990. WALHI mulai bermain di area advokasi. Beberapa kasus pengrusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia diperkarakan sampai ke meja hukum. Tuntutan pertama adalah kasus pencemaran lingkungan oleh PT. Indorayon.  Meskipun kalah, tuntutan ini merupakan satu loncatan besar untuk gerakan lingkungan di Indonesia. Itulah kali pertama, pada masa Orde Baru, sebuah lembaga dapat mewakili lingkungan atau masyarakat. Keberanian WALHI dalam menuntut PT. Indorayon patut diperhitungkan karena perusahaan tersebut didukung dan dimiliki oleh kerabat pucuk pimpinan pemerintah saat itu.
Sikap gerakan lingkungan hidup di Indonesia saat itu cukup jelas, tidak takut berseberangan dengan Pemerintah Orde Baru. Di saat bersamaan, gerakan lingkungan yang bekerja dengan mengacu pada kerangka kerja perundangan juga terus merangsek. Pada masa itu, dua undang-undang, yaitu UU No. 4 tahun 1982 mengenai Pokok Peningkatan Lingkungan Hidup serta UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian dalam Pembangunan Industri Berwawasan Lingkungan dikeluarkan. Penguatan perangkat Undang-undang diturunkan dalam PP No. 26 tahun 1986 tentang AMDAL.
Periode gerakan lingkungan di Indonesia yang ketiga adalah sekitar tahun 1990-1999. Dalam periode ini, Deklarasi Rio tahun 1992 tentang biodiversitas ikut diratifikasi oleh Indonesia dan kemudian terintegrasi dalam GBHN tahun 1993. Bappedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) terbentuk dalam kurun waktu ini, membawa angin segar bagi gerakan lingkungan di Indonesia.
Sementara itu, WALHI telah menuntut sembilan kasus pengrusakan lingkungan lainnya ke pengadilan. Kasus yang diperkarakan antara lain adalah pengrusakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar bermodal asing dan lokal, maupun oleh Pemerintah (kasus kebakaran hutan dan pengembangan lahan gambut sejuta hektar). Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yang dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi melawan PT. Freeport Indonesia. Dalam putusannya, Majelis hakim hanya sebagian mengabulkan gugatan WALHI dan mengakui bahwa PT Freeport Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemenangan ini menjadi catatan sejarah, bahwa lingkungan hidup dapat dimenangkan meskipun harus melewati perjalanan panjang. 
Masalah lingkungan mendapat perhatian serius dari hampir semua negara di dunia karena masalah dan krisis lingkungan tersebar di setiap negara dengan ragam dan derajat yang berbeda. Seluruh negara terlibat dalam mencari solusi terhadap persoalan tersebut. Agenda lingkungan yang awalnya menjadi isu minor kali ini masuk dalam isu dunia, dan dibicarakan dalam agenda politik internasional, mendampingi agenda keamanan dan ekonomi. Pada tahun 1992, diadakan Earth Summit di Rio dengan dihadiri oleh para kepala negara dan para perwakilan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pencapaian yang terpenting saat itu adalah kesepakatan akan Konvensi Perubahan Iklim yang berujung pada Protokol Kyoto. Konvensi Keragaman Biologis juga diratifikasi pada pertemuan ini. Meskipun begitu, terdapat banyak kritik bahwa perjanjian yang dibuat di Rio tidak terwujud karena berbenturan dengan isu lainnya seperti pemberantasan kemiskinan.
Memasuki periode keempat, di tahun 1999, gerakan lingkungan di Indonesia berada dalam kesesakan yang disebabkan oleh masa Reformasi. Saat itu, keadaan perekonomian Indonesia amat terpuruk dan lagi-lagi lingkungan dikorbankan untuk menjawab masalah kemiskinan secara cepat. Pada masa pemerintahan Megawati banyak terjadi alih fungsi lahan atas nama kemiskinan. Pembalakan hutan kembali marak, belum lagi ditambah dengan warisan masalah lingkungan dari masa Orde Lama.
Gerakan lingkungan pada periode ini mengalami tantangan yang lebih kompleks. Krisis lingkungan tidak hanya terjadi di tingkatan individu atau lokal seperti bencana lumpur Lapindo misalnya. Krisis lingkungan yang berskala global juga semakin nyata terasa di Indonesia, seperti perubahan iklim, degradasi lahan dan hutan, kelangkaan air serta berkurangnya daerah tangkapan ikan. Gerakan lingkungan di Indonesia bergantung pada sistem politik, ekonomi dan sistem militer yang diterapkan di negara ini. 
Bila dicermati, gerakan lingkungan dunia akhirnya bekerja dengan strategi yang berbeda. Para pemerhati lingkungan hidup bermain dalam kerangka undang-undang dan politis akademis seperti yang dilakukan dalam konvensi lingkungan atau pertemuan yang diselenggarakan oleh UNEP. Belum lagi tulisan seperti The Limits to Growth, Our Common Future, One Planet yang mengingatkan terbatasnya sumber daya yang kita miliki dan meningkatnya tekanan akibat kegiatan manusia pada sumber daya tertentu.
Gerakan lingkungan juga sering bermain di ranah aksi nyata dan langsung. Bisa berupa bentuk protes langsung dengan memblok jalan atau memeluk pohon, juga dengan bentuk yang lebih halus berupa membuat budaya alternatif yang baru. Strategi gerakan lingkungan yang terbaru juga disukai oleh orang-orang yang sudah jenuh dengan  gaya hidup modern dan konsumtif, kalangan yang peduli kesehatan dan berusaha berada sedekat mungkin dengan sumber makanan mereka serta kaum spiritualis yang memandang keberadaan yang Maha di setiap benda di alam ini. Contohnya konsep ecovillage dan kembali ke kelompok subsisten.
Di umurnya yang sudah cukup tua, gerakan lingkungan berharap jalan keluar yang damai dan tenang. Sama halnya ketika perbudakan akhirnya dihapuskan dan menghilangnya gerakan anti apartheid. Ataupun ketika gerakan perempuan berhasil memperoleh hak suara, dan gerakan perempuan pendukung hak suara kemudian menghilang setelah pergerakannya yang hampir 100 tahun. Tantangan yang dihadapi agar gerakan lingkungan dapat berakhir dengan damai masih cukup banyak. Tantangan itu berbeda dari tantangan gerakan perempuan atau anti perbudakan. Selama sistem perekonomian dunia masih menguntungkan para pemilik modal dan selama manusia hidup tanpa berusaha selaras dengan alam, tampaknya gerakan lingkungan harus tetap eksis. Setiap strategi yang digunakan baik adanya, dan dari sejarah perjuangannya, yang terpenting adalah menyesuaikan ide tentang pencarian solusi atas masalah dengan konteksnya. Kebijakan terus berubah, media kampanye dan penyadaran semakin kreatif, kategori permasalahan lingkungan semakin lebar, dan semuanya dapat menjadi peluang untuk mencapai akhir gerakan lingkungan hidup yang tenang. Perkara siapa yang menjadikannya peluang, siapa lagi kalau bukan kita?

(Hilda Lionata)

[Masalah Kita] Aktivis Ramah Lingkungan, Mungkinkah?

Aktivis, siapakah mereka?

Sesungguhnya, siapapun bisa menjadi aktivis. Bahkan, setiap orang yang melakukan aktivitas guna mendorong perubahan situasi maupun kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat maupun lingkungan dapat disebut sebagai aktivis. Hanya saja, terminologi aktivis saat ini menjadi sempit pada dunia aktivis yang suka melakukan protes di jalan-jalan atau di depan gedung wakil rakyat. Aktivis dipandang sebagai sesuatu yang radikal, beringas dan seram.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aktivis adalah orang yang mampu menggerakkan orang lain untuk bertindak. Aktivis memiliki kemampuan mengatur orang lain (organisatoris), dan dianggap sebagai tokoh dan pelopor di bidangnya. Salah besar jika selama ini aktivis hanya ada pada lingkup dunia mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa saja yang bisa berperan sebagai aktivis. Seorang ibu rumah tangga pun bisa menjadi seorang aktivis, ketika kriteria yang disebut di atas telah dilakoni oleh ibu rumah tangga tersebut.
Menjadi seorang aktivis adalah sebuah pilihan. Seseorang tergerak untuk menjadi aktivis, karena ada sentuhan di dalam sanubarinya untuk melakukan sesuatu. Pun untuk menjadi aktivis, sesungguhnya tak perlu berpatokan seperti para tokoh-tokoh aktivis yang karismatik, sering tampil berorasi di hadapan massa atau piawai dalam mengatur strategi sebuah gerakan massa. Dengan langkah-langkah kecil yang  dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik, Anda sudah menjadi seorang aktivis.
Esensi seorang aktivis terletak pada komitmennya untuk mengabdi kepada masyarakat dan lingkungan. Seseorang menjadi aktivis karena ia tergerak ketika melihat ketidakadilan dalam sebuah sistem. Seorang aktivis senantiasa tergerak untuk memperjuangkan hak-hak para korban yang mengalami ketidakadilan. Korban dapat berasal dari apa saja, misalnya : pengungsi korban perang atau bencana alam, lingkungan hidup, atau masyarakat miskin kota.
Seorang aktivis memandang bahwa hidup ini bukanlah semata-mata lahir-bersekolah-bekerja-menikah-punya anak-lalu mati, tetapi ia melihat bahwa hidup itu hendaknya memiliki makna. Dan ia memaknai hidupnya dengan cara berbuat sesuatu bagi orang lain. Seorang aktivis memandang bahwa segala ilmu dan kekayaan yang ia miliki tak akan berarti apa-apa jika tidak disumbangkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Oleh karena itu, menjadi seorang aktivis hendaknya dimulai dari kehendak diri yang terdalam. Menjadi aktivis bukanlah sekedar latah karena melihat teman-teman sekelas aktif di organisasi tertentu. Menjadi aktivis bukan karena terlihat keren berorasi di hadapan massa. Menjadi aktivis adalah karena kita ingin memaknai hidup ini dengan melakukan sesuatu bagi sesama, terutama mereka yang mengalami ketidakadilan dan ketertindasan.

Awal sebuah aktivisme

Apakah aktivis itu hanya melulu mahasiswa? Tentu tidak. Meski sesungguhnya, dunia aktivisme dimulai di dalam lingkungan kemahasiswaan. Lingkungan di mana seseorang mengalami gemblengan sebuah kawah candradimuka untuk terjun berkarya di dalam masyarakat. Dunia kampus menyiapkan para mahasiswa untuk berlaga dan bersaing di dalam masyarakat. Dunia yang terdiri dari lingkungan pekerjaan, lingkungan hidup (alam) dan masyarakat.
Pendidikan di kampus, hendaknya tidak sekedar menanamkan ilmu dari segi intelektual kepada para mahasiswa. Namun, lebih dari itu, kampus hendaknya menanamkan sikap pengabdian bagi masyarakat. Bahwa ilmu yang mereka dapatkan di universitas, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri di masa depan. Ilmu adalah sesuatu yang dapat dikembangkan, disumbangkan demi kebaikan bersama.
Pengabdian masyarakat, itulah hakikat aktivis. Aktivis adalah mereka yang secara sukarela membagi ilmu dan keterampilan mereka demi kemajuan masyarakat. Berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, aktivis menyuarakan hak-hak rakyat. Para aktivis mendorong perubahan ke arah kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Para aktivis menentang ketidakadilan, ketertindasan dan keterbelakangan kaum tertentu.

Aktivis Ramah Lingkungan

Di dunia ini terdapat berbagai jenis aktivis, mulai dari aktivis pendidikan, perempuan, anak jalanan, hingga aktivis yang menyuarakan isu-isu lingkungan hidup. Pembagian jenis aktivisme itu salah satunya berdasarkan minat, latar belakang dan keahlian seseorang. Seorang aktivis lingkungan hidup misalnya, memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai isu pencemaran dan pelestarian lingkungan hidup daripada pengetahuan tentang mediasi konflik. Sebaliknya, aktivis hak asasi manusia adalah orang yang memiliki keprihatinan dan pengetahuan lebih banyak mengenai isu ketidakadilan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dibanding pengetahuan tentang lingkungan hidup.
Seyogianya, dunia aktivisme memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Seorang aktivis lingkungan hidup hendaknya menjalin kerja sama dengan aktivis yang memiliki keprihatinan berbeda. Meski berbeda, terkadang ada isu-isu yang saling bertindihan, seperti contoh berikut ini :
Sudah sering kita menyaksikan, para aktivis pendorong perubahan kebijakan dewan rakyat berdemonstrasi di depan gedung perwakilan rakyat yang megah di satu pojok ibu kota. Ketika demonstrasi selesai, kondisi di depan gedung perwakilan rakyat kotor dan berantakan. Puntung rokok di mana-mana, sampah kemasan minuman maupun kertas pembungkus nasi terserak di mana-mana. Tidakkah para aktivis tersebut menyadari, bahwa ada dampak lain dari aktivitas mereka yang mungkin akan menindas pihak-pihak tertentu? Ironi, bahwa kelompok aktivis yang justru berupaya menghilangkan ketertindasan sosial justru menciptakan ketertindasan bagi lingkungan hidup dengan membuang sampah begitu saja.
Para aktivis berdemo di gedung MPR
Sumber foto : http://sakajogja.multiply.com/journal/item/39

Contoh lain yang pernah disaksikan oleh penulis sendiri adalah ketika para pengungsi Aceh korban kekerasan aparat pada fase DOM (Daerah Operasi Militer) maupun pasca tsunami. Beberapa pengungsi mencari perlindungan sementara di sebuah area taman nasional. Para aktivis pembela hak asasi pengungsi sibuk beraktivitas mendampingi para pengungsi, tanpa menyadari bahwa tempat yang digunakan pengungsi sebagai rumah sementara mereka adalah sebuah taman nasional. Mereka mendampingi pengungsi dalam hal kesehatan hingga pendidikan. Dalam bayangan para aktivis pembela hak asasi pengungsi, momen pengungsian adalah suatu peristiwa yang hanya sementara sifatnya.
Akan tetapi fakta berbicara lain. Pengungsi seperti menemukan rumah dan tanah yang baru. Dari tenda terpal, mereka mengganti naungan dengan kayu-kayu yang ditebangi dari pohon-pohon di taman nasional. Mereka menjadikan kayu-kayu dari pohon-pohon tersebut sebagai bahan bakar untuk mengasapi dapur dan menghangatkan diri di malam hari. Padahal, lahan taman nasional sesungguhnya tak bisa dihuni oleh manusia, karena ia merupakan habitat satwa-satwa liar yang mungkin membahayakan kehidupan para pengungsi itu sendiri.
Baik pengungsi maupun aktivis pembela hak asasi pengungsi kurang mempedulikan fakta bahwa menebangi pohon di wilayah taman nasional adalah kegiatan terlarang. Aktivis pembela pengungsi lebih peduli pada penyembuhan trauma mental pengungsi akibat kekerasan atau lebih peduli untuk mengejar ketinggalan pendidikan anak-anak pengungsi dibanding anak-anak sekolah lainnya.
Berdasarkan dua gambaran tentang dunia aktivis di atas, muncul istilah ‘aktivis ramah lingkungan’. Aktivis ramah lingkungan, adalah aktivis manapun yang mempertimbangkan isu lingkungan sebagai dasar aktivitasnya. Ia bisa saja mengambil peran aktivis pendorong perubahan kebijakan pemerintah, namun ia juga mempertimbangkan isu-isu lingkungan sebagai dasar baginya untuk mengambil sikap dan berpihak. Seorang aktivis ramah lingkungan tak hanya berpatokan pada satu isu yang dibelanya. Ia mempertimbangkan dampak dari isu yang dibelanya terhadap isu lain, seperti isu lingkungan hidup, yang akan menjadi terpinggirkan atau tertekan.
Dalam prakteknya, masih sangat jarang terlihat para aktivis memerhatikan isu lingkungan hidup dalam segala aktivitasnya, demikian papar Ari Ujianto, direktur Yayasan Desantara dan mantan staff Urban Poor Consortium (UPC). Jangankan turut memerhatikan isu lingkungan hidup di lapangan, bahkan di kantor para aktivis tersebut, aspek-aspek pelestarian terhadap lingkungan pun masih diabaikan. Misalnya, penggunaan kertas secara berlebihan atau menggunakan air minum kemasan dalam gelas.
Hal di atas bisa jadi menunjukkan tendensi ketidakpedulian terhadap isu lingkungan hidup. Akan tetapi, menurut Ari Ujianto, faktor di atas bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan. Para aktivis belum paham benar apa dan bagaimana bertindak terhadap isu lingkungan. Hal ini juga dikuatkan oleh David Ardes Setiady, aktivis KAIL yang bergerak di bidang pengembangan para aktivis dan pernah berkecimpung di advokasi para buruh. Ia baru mengenal isu lingkungan hidup pada saat kuliah, dan setelah mengenalpun, kesadaran untuk berperilaku sesuai aspek lingkungan hidup pun masih rendah.
Kalau bilang peduli dengan lingkungan, saya akan bilang peduli. Sering kali saya jadi merasa bersalah ketika mengetahui dampak lingkungan dari apa yang saya lakukan. Kalau kepedulian keluar, baru sebatas berbagi informasi dengan lingkaran terdekat tentang isu lingkungan. Terus terang, saya merasa kesulitan dalam membagikan informasi tersebut karena belum sepenuhnya paham.” papar David Ardes. Ari Ujianto merasakan hal yang sama. Beliau merasa kesulitan dalam menyebarkan prinsip ramah lingkungan di komunitas kantornya, karena masalah kebiasaan yang sulit diubah.
Namun demikian, beberapa organisasi kemasyarakatan non-lingkungan hidup, seperti UPC yang diketuai oleh Wardah Hafidz dan KAIL yang dikoordinir oleh Any Sulistyowati, telah menjalankan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan, dengan meminimalkan penggunaan kertas, tidak menggunakan minuman kemasan plastik hingga mengonsumsi penganan lokal yang dikemas tanpa plastik sebagai konsumsi di setiap kegiatan.
Contoh lain, seperti yang dilakukan oleh Eka Prahadian Abdurahman, kepala divisi kesehatan kantor Caritas Medan, Sumatera Utara. Beliau mengatakan,
Bagi kami, isu lingkungan hidup penting untuk diintegrasikan dengan isu-isu lain, seperti isu Drugs & HIV. Untuk isu pengurangan dampak buruk narkoba (Harm Reduction) dan HIV, kami mengalami benturan antara isu lingkungan dengan program layanan jarum suntik steril, karena banyak meninggalkan limbah jarum bekas penggunaan narkoba, tanpa ada sistem pengelolaan limbah yang baik di lapangan. Solusi yang dicari untuk program ini adalah melakukan pertukaran jarum suntik steril (Needle Exchange Program) artinya setiap pengguna jarum suntik yang ingin memperoleh jarum suntik baru diwajibkan membawa limbah bekasnya untuk mengurangi limbah di lapangan, lalu limbah yang sudah dikumpulkan diserahkan ke rumah sakit untuk dimusnahkan di insinerator. Hanya kita tidak tahu persis apakah proses ini juga berdampak pada kerusakan lingkungan.
Memang sudah ada beberapa aktivis dan organisasi-organisasi yang menjalankan prinsip ramah lingkungan seperti UPC dan Kail, itu karena penggerak di dalamnya sadar sungguh tentang aspek keberlanjutan lingkungan hidup atau dekat dengan organisasi lingkungan hidup yang ada dan pernah berjejaring dan bekerjasama dalam satu kegiatan. Prinsip ramah lingkungan ditularkan melalui kebiasaan, perilaku dan dalam jejaring kerjasama.
Meski tersendat, tetapi langkah-langkah kecil telah dilakukan. Yayasan Desantara misalnya, tak lagi membeli air minum kemasan melainkan memasak sendiri air minum mereka. Bahkan UPC yang tidak lagi memiliki kantor yang berwujud bangunan, secara implisit telah menyatakan sikap ramah lingkungan. Dengan tidak memiliki bangunan kantor, berarti meminimalkan aktivitas menghasilkan sampah. Langkah-langkah kecil berbasis ramah lingkungan ini dimulai dan ditularkan perlahan-lahan dari satu orang yang peduli ke semakin banyak orang.

Aktivis Lingkungan

‘Aktivis lingkungan’ sedikit berbeda dengan aktivis ramah lingkungan. Orang yang menjadi aktivis lingkungan adalah mereka yang mendedikasikan waktunya untuk memperjuangkan isu lingkungan. Ada beragam cara dipilih dalam menjadi aktivis lingkungan, antara lain melalui pendidikan, pengelolaan komunitas yang ramah lingkungan, advokasi kebijakan terkait isu lingkungan, dan sebagainya.
Tim YPBB mempersiapkan kampanye Zero Waste
Sumber foto : Tim YPBB / Anilawati N.

Menurut Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para aktivis lingkungan hidup, yang terdiri dari kendala dari dalam dan dari luar diri sang aktivis. Kendala yang berasal dari dalam diri adalah tiadanya visi jangka panjang dalam memperjuangkan isu lingkungan hidup. Beberapa aktivitas dijalankan secara reaktif dan sporadis, tanpa diakhiri refleksi dan dokumentasi untuk pembelajaran di masa depan. Dan mungkin, karena sifatnya yang masih reaktif dan sporadis inilah perjuangan aktivis lingkungan sering mengalami pasang dan surut, gaung perjuangan lingkungan hidup terdengar di setiap penjuru daerah, tetapi sifatnya hanya sekedar seremonial belaka hingga terlihat mirip dengan situasi sebuah pesta, heboh di saat acara berlangsung, namun adem ayem setelahnya.
Kendala dari luar diri aktivis lingkungan antara lain adalah beberapa orang menganggap bahwa kegiatan aktivis lingkungan tidak cukup layak untuk ditekuni dalam jangka panjang. Salah satu alasannya adalah, karena masih ada orang menganggap aktivis lingkungan tidak memiliki pendapatan yang cukup baik dibanding orang-orang yang bekerja secara kantoran. Selain itu, organisasi yang mewadahi para aktivis lingkungan juga belum terlihat memiliki visi jangka panjang bagi internal organisasinya, sehingga hal itu dapat menimbulkan rasa ketidakpastian dari para anggotanya.

Penutup

Dari uraian di atas, tampak kerucut masalah terletak pada dua hal. Pertama, perlunya koordinasi lintas bidang di dalam dunia aktivis. Melalui komunikasi dan koordinasi, tiap-tiap aktivis akan memiliki gambaran yang menyeluruh tentang fenomena sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup daripada sekedar mengetahui gambaran sempit tentang isu yang ia bela. Dengan komunikasi antara para aktivis lingkungan hidup dengan aktivis non-lingkungan hidup, hambatan berupa ketidaktahuan dan ketidakpedulian untuk menjadi aktivis ramah lingkungan dapat diatasi.
Kedua, perlunya visi jangka panjang bagi aktivis lingkungan hidup untuk terus menggulirkan perjuangan mereka membela lingkungan hidup. Jika visi jangka panjang tentang keberpihakan terhadap lingkungan hidup telah terbentuk, ia tentu dapat diintegrasikan, dikomunikasikan dan diselaraskan dalam forum-forum komunikasi antar aktivis lintas bidang. Sehingga, isu-isu ramah lingkungan dapat pula diintegrasikan bersama isu-isu lain bagi tercapainya perubahan kehidupan seluruh umat manusia tanpa terkecuali, ke arah yang lebih baik. Semoga.

(Navita Kristi Astuti)

[Opini] Pelanduk yang Mati Suri

Tujuh tahun berlalu ketika Bandung mendapat bencana memalukan yaitu  longsornya tanah di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu merupakan bencana sampah terbesar di Indonesia yang mengakibatkan korban meninggal 143 jiwa dan puluhan orang lainnya luka-luka.
Berita tentang bencana akibat kelalaian manusia tersebut diliput oleh seluruh media yang ada di Indonesia. Warga Jawa Barat gelisah karena sampahnya tidak diangkut, khususnya mereka yang berdomisili di kota Cimahi, kabupaten Bandung dan kota Bandung. Puncak bencana terjadi ketika Bandung dijuluki sebagai Bandung Lautan Sampah, sampai-sampai presiden Susilo Bambang Yudoyono turun tangan memberikan ultimatum.
Tetapi ketika akhirnya TPA baru, yaitu TPA Sarimukti dioperasikan, apakah warga Jawa Barat mengubah perilakunya dalam hal membuang sampah? Sayangnya tidak. Apakah sistem pengolahan sampah berubah? Tidak juga. Apakah regulasi yang lebih tepat sasaran digulirkan? Ya. Namun sayang, tidak dijalankan.
Kota Bandung, kota molek hingga mendapat julukan Parijs van Java telah berubah menjadi kota yang sangat kumuh. Semrawut dan macet. Penyebabnya tidak hanya sampah tapi pembangunan hantam kromo tanpa mengindahkan kaidah. Tanpa mempedulikan kualitas hidup warga kota.
Trotoar yang seharusnya nyaman digunakan pejalan kaki dan penyandang disabilitas berubah menjadi area pedagang kaki lima (PKL) yang merasa berhak menggunakan setiap ruang publik. Tidak hanya PKL, seiring digalakkannya kampanye penghijauan, pemegang otoritas merasa sah-sah saja menanami trotoar dengan bermacam tanaman hias dan pohon pelindung. Namun, di sisi lain hak para pejalan kaki terabaikan. Dalam bahasa Betawinya, “Mau jalan di selokan kek, naik ke atas pot tanaman kek  atau mlipir rebutan jalan sama sepeda motor dan mobil kek, gue gak peduli!”
Arah kebijakan tentag penghijauan menjadi tidak jelas, apakah untuk warga kota atau sekedar memenuhi ambisi pejabat pemerintahan  dalam meraih penghargaan? Untuk diketahui bersama, pimpinan tertinggi Bandung mempunyai semboyan : “Tiada hari tanpa menanam pohon dan menerbangkan burung!”
Rupanya, demi menanam jutaan pohon, di manapun tempatnya mereka tak peduli. Pokoknya tanam saja. Kebijakan mengenai area penanaman pohon semakin membingungkan karena kawasan Bandung Utara yang merupakan daerah resapan justru dijual pada kaum kapitalis untuk membangun bermacam bangunan. Mulai dari rumah makan, perumahan hingga sekolah bertaraf internasional.
Mengapa pembangunan diarahkan ke wilayah Bandung Utara, bukannya wilayah Bandung Selatan agar terjadi pemerataan pembangunan? Hal tersebut  banyak dipertanyakan para penggiat lingkungan di Bandung. Dengan masifnya pembangunan Bandung Utara maka masalah banjir di wilayah Bandung Selatan tidak akan pernah terselesaikan. Alih-alih melindungi wilayah Bandung Selatan dari banjir, daerah hulu yang letaknya di Bandung Utara justru semakin gencar mengirim longsoran tanah dan sampah yang terbawa oleh aliran air.
Ditengah hiruk pikuk ketidakjelasan arah pembangunan yang berkelanjutan di Kota Bandung, kemanakah para penggiat lingkungan? Mereka ada, bahkan cukup intens bertemu dalam sebuah forum, yaitu Forum Hijau Bandung (FHB) dimana mereka bisa saling berbagi dan melengkapi.
Sayangnya itu semua tidak cukup. Intensitas kerusakan alam lebih cepat dibandingkan kecepatan gerak para penggiat lingkungan. Sebagian dari mereka bahkan  baru mengenal isu lingkungan sebatas seremoni. Pandangan para penggiat lingkungan di Bandung belum menyentuh urgensi  lingkungan keberlanjutan.
Tidak hanya mereka, jajaran pejabat dan mayoritas warga kota Bandung pun belum memahami esensi pelestarian lingkungan. Isu pelestarian lingkungan hanya dimaknai sebagai menanam pohon dan menerbangkan burung. Tanpa mempedulikan bahwa kelak pohon pelindung akan tumbuh sebesar minimal diameter  60 cm sehingga tidak bisa ditanam hanya dengan jarak 30 cm. Tanpa mempedulikan bahwa burung-burung yang diterbangkan adalah hasil ternakan sehingga akan kembali ke pemiliknya.
Sampah pun dengan  entengnya dibuang sembarang tempat. Perhatikan jalan-jalan utama kota Bandung yang tak pernah sepi dari sampah. Tindakan tak bertanggung jawab telah menyerahkan beban sampah pada pemulung, tukang sapu jalan dan air selokan. Seolah-olah semua orang beranggapan bahwa sampah akan lenyap dengan sendirinya.
Penggiat lingkungan dan murid-murid sekolah yang aktif baru bergerak seputar bersepeda bareng dan mengumpulkan sampah bersama-sama. Baik di jalan-jalan raya maupun di sungai Cikapundung, sungai terbesar yang mengalir di tengah kota Bandung. Padahal ada sekitar 47 anak sungai di kota Bandung, tempat dimana warga kota membuang sampahnya, mulai dari sampah rumah tangga hingga peralatan rumah tangga yang tak terpakai (kursi, kasur, dan bantal).
Seironis itulah lingkungan kota Bandung. Aneh. Entah mengapa warga kota Bandung yang terkenal kreativitasnya  tiba-tiba menjadi mandul ketika harus mencari solusi pelestarian lingkungan kota Bandung.
Akhir cerita bisa diduga, tiap pihak saling menyalahkan. Penggiat lingkungan menyalahkan pejabat kota yang dinilai menyalahgunakan otoritas. Pejabat kota menyalahkan penggiat lingkungan yang dituduh menghalangi “niat baik”. Sedangkan warga kota yang belum paham permasalahan lingkungan bagaikan pelanduk yang mati suri di tengah gejolak. Padahal, energi untuk saling menang sendiri atau saling mementingkan ego kelompok dapat digunakan untuk memberikan  edukasi pada masyarakat. Setidaknya mereka dapat melakukan tindakan termudah tapi paling esensial yaitu : bertanggung jawab terhadap sampahnya.


(Maria Hardayanto)

[Media] No Impact Man : Antara Inspirasi dan Idealisme


Judul : No Impact Man
Tahun : 2007
Genre : Dokumenter
Pemain : Colin Beavan, Michelle Conlin, Isabella Beavan
Produksi : An Eden Wormfeld films, Shadowbox Film and Laura Gabbort Film Production
Produser : Julia Parker Benello, Diana Barrett dan Dan Cogan
Editor : William Haugse A.C.E dan Matthew Martin
Durasi : 1 jam 29 menit
Bahasa : Bahasa Inggris dengan subjudul dalam bahasa Indonesia

Film ini merupakan kisah perjalanan seorang warga Amerika Serikat, Colin Beavan yang mencetuskan gerakan untuk tidak menghasilkan dampak terhadap bumi. Semua perjalanan gagasannya ini didokumentasikan dalam film dan buku yang berjudul No Impact Man.

Beavan yang juga seorang penulis merasa sangat prihatin dengan gaya hidup orang Amerika yang sangat konsumtif dan serba mewah. Ia mencoba hidup dengan nilai-nilai yang diyakininya benar. Cara yang ia tempuh bukan dengan membahas perlindungan beruang kutub ataupun mempermasalahkan es yang tengah mencair di kutub utara, tapi lebih ke bagaimana kehidupan manusia di kota, yang beraktivitas tanpa meninggalkan dampak buruk terhadap lingkungan.  

Proyek ini awalnya disampaikan ke istrinya, Michelle, yang kecanduan menonton televisi dan hobi belanja. Meski merasa berat dan tersiksa, Michelle mendukung gagasan suaminya. Apalagi proyek ini akan dilakukan selama 5-12 bulan dan diujicobakan pada keluarga mereka sendiri, terhadap Michelle dan anak mereka, Isabella.
Satu persatu kebiasaaan buruk dalam keluarganya yang mempunyai dampak terhadap lingkungan perlahan dikurangi, bahkan ditinggalkan. Misalnya, dengan tidak menggunakan tisu toilet, berjalan kaki atau bersepeda untuk mengurangi emisi karbon, mengurangi pemakaian plastik, mengganti popok sekali pakai dengan popok kain, dan sebagainya. Ke pasar pun membeli produk lokal sebagai kepedulian melestarikan tanaman lokal. Mereka juga membeli cacing untuk membuat kompos di rumah.

Di dalam film tersebut juga terdapat adegan dimana Beavan dan keluarga melakukan sarapan terakhir di sebuah rumah makan dan berkomitmen tidak akan makan di rumah makan yang jarak tempuhnya lebih dari 250 mil dari rumah. Yang tak kalah menariknya, Michelle terpaksa menahan keinginannya untuk minum kopi espresso, karena kopi tersebut bukan produk lokal.

Secara bertahap proyek ini dilakukan dengan cara belajar sambil melakukan. Beberapa masalah muncul, ketika Michelle ingin menambah anak dan menginginkan pembagian tugas yang seimbang untuk pekerjaan domestik antara Michelle dan suaminya. Ada rasa marah dan frustasi pada diri Michelle. Sampai ketika proyek keluarga mereka memasuki bulan keenam, saat menuju ke tahapan hidup tanpa listrik. Apakah Anda dapat membayangkan hidup tanpa listrik? Beavan tetap menggunakan panel surya untuk aktivitas yang membutuhkan suplai listrik, seperti mengetik perkembangan proyek keluarganya di laptop dan mengunduhnya di blog pribadinya. Prinsip Beavan adalah, apapun bisa dilakukan tanpa merusak alam.

Dengan proyek yang dijalankannya itu, Beavan menjadi terkenal dan diwawancara oleh berbagai media baik dari dalam maupun luar negeri. Banyak komentar yang menyatakan tak setuju dengan apa yang dilakukannya, tapi ada juga yang termotivasi. Meski sempat pesimis, Beavan bersemangat menjadi relawan di beberapa tempat dan belajar banyak hal dengan beberapa teman yang sudah melakukan gerakan lingkungan yang berkelanjutan.

Dua minggu menjelang berakhirnya proyek ini, Beavan diundang ke beberapa sekolah untuk berbagi pengalamannya tentang hidup tanpa dampak lingkungan. Hasilnya, tak kurang dari 200 orang mahasiswa Universitas New York termotivasi untuk mencoba hidup tanpa dampak lingkungan dalam waktu seminggu. Salah satu jawaban Beavan yang cukup menyentuh yaitu jawaban atas pertanyaan berikut, “Jika saya akan menjalankan hidup tanpa dampak lingkungan, manakah yang sebaiknya saya pilih, tidak menggunakan kantung plastik atau tidak menggunakan gelas plastik?”. Jawaban Beavan cukup sederhana dan bahkan di luar ekspektasi orang-orang, yaitu “Jika saya hanya akan melakukan satu hal, saya memilih menjadi relawan di organisasi lingkungan. Karena di sana ada komunitas”.

Beavan merupakan salah seorang yang mampu menginspirasi orang-orang lain yang menghuni planet ini. Memang, kisah Beavan sepertinya sangat sulit untuk dilakukan. Bahkan, bila segala hal di dalam film itu benar-benar dijalankan, mungkin bisa membuat frustrasi orang yang menonton film ini. Anggapan terlalu idealis, sok menyayangi lingkungan, terlalu mengada-ada dan lain sebagainya pasti akan terlontar. Tapi setidaknya, kita bisa mencoba terlebih dahulu untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan. Ada beberapa hal bisa dilakukan, ada yang sulit, serta sama sekali tidak dapat dilakukan, namun semuanya itu butuh proses.

Sayangnya, film ini masih menyisakan tanda tanya. Bagaimana hidup Beavan sekeluarga setelah proyek ini selesai? Apa saja yang sampai saat ini masih dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan? Apa pengaruh publikasi proyek ini terhadap lingkungan sekitar?  

Film ini sangat menginspirasi dan WAJIB ditonton oleh mereka yang ingin melakukan perubahan bagi dunia. Kalau kita mau berubah dan konsisten terhadap perubahan yang kita pilih, kita pun bisa menginspirasi orang lain untuk berubah. Dari hal-hal yang kecil saja, yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif dalam membangun gerakan lingkungan yang berkelanjutan.



(Melly Amalia)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...