[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 22 / APRIL 2019


Salam Transformasi!

Pro:aktif Online kembali hadir di tengah pembaca sekalian. Dalam edisi kali ini, KAIL membawakan tema “Ekonomi Baru: Peluang dan Tantangannya”. Ekonomi secara bahasa berakar dari Bahasa Yunani “oikonomia” yang berarti seni mengatur rumah tangga. Mengatur rumah tangga di sini, erat kaitannya dengan pengaturan sumberdaya, yang bertujuan agar manusia memperoleh kesejahteraan. Namun demikian, upaya manusia untuk memperoleh kesejahteraan tersebut bergeser hingga akhirnya sistem ekonomi dipandang sebatas pada perdagangan, hal-hal terkait dengan uang, maupun usaha eksploitasi sumber daya materi.

Ekonomi di masa kini mengalami bentuk baru yang ditopang oleh kemajuan di bidang teknologi informasi atau komunikasi atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah dikenal sebagai ekonomi digital. Ekonomi digital ini menjadi menarik karena sifatnya yang mengganggu (bahasa kerennya disrupt) semua bentuk praktik ekonomi konvensional. Hampir semua aspek kehidupan kita sehari-hari pun terpapar oleh teknologi digital. Dalam abad yang disebut sebagai abad disrupsi (the age of disruption), diktum yang beredar adalah terdigitalisasi atau terlindas zaman.

[PIKIR] ILUSI INDUSTRI 4.0: SEBUAH TELAAH KRITIS ATAS TEKNOLOGI ZAMAN NOW

Oleh: Angga Dwiartama


Pendahuluan
Sekarang, saya tidak perlu lagi khawatir soal kekurangan makanan di malam hari. Cukup pilih beragam menu di aplikasi gawai pintar saya, dan dalam 15-30 menit, seseorang akan mengetuk rumah saya membawa sebungkus makanan. Tidak perlu keluar uang tunai, karena semua pembayaran sudah dilakukan di aplikasi pintar saya. Saya juga tidak perlu khawatir saat berkelana seorang diri ke daerah antah berantah. Tanyakan saja pada Google Maps, dan dia akan memberitahukan beragam alternatif jalan untuk ditempuh, termasuk jalan-jalan tikus, beserta estimasi waktu tempuhnya.

Ini jelas belum seberapa. Petani di AS, Australia atau Eropa sana bekerja laiknya manajer kantor, mengendalikan semua aspek pertanian dari komputer pintarnya di ruang kantornya yang sempit. Sensor mendeteksi kadar air tanah dan kelembaban udara, misalnya, dan menginstruksikan sprinkler untuk menyemprot air secara otomatis apabila dianggap terlalu kering. Pestisida dan herbisida sudah tidak diperlukan lagi, karena setiap hama dan gulma dapat dideteksi oleh sensor dan ditembak menggunakan laser.  Di peternakan, setiap ekor domba yang digencarkan di lahan memiliki taggeospasial di telinganya yang sinyalnya ditangkap oleh satelit, sehingga perilaku domba yang sedikit berbeda saja dari gerombolannya dapat dianggap sebagai kelainan. Pesawat tanpa awak kemudian akan melihat lebih jelas apa yang terjadi dan melaporkan temuan lapangan melalui foto atau video ke sang manajer. Tersadar untuk bergerak, sang manajer memasukkan koordinat si domba ke motor ATV-nya, dan motor tersebut akan membawa petani untuk mengunjungi ternak tersebut dan memberi perlakuan[1].

[MASALAH KITA] FENOMENA GIG ECONOMY DAN DAMPAKNYA PADA KAUM PEKERJA: KERJA BEBAS ATAU KERJA (DI)TEBAS?

Oleh: Achmad Assifa Januar

Pada dasarnya kerja terbatas pada batas geografis karena terikat dengan letak tempat usaha atau kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Harvey (1989;19) kaum pekerja sulit sekali untuk menghindari kerja berbasis lokasi, karena tenaga pekerja musti diistirahatkan di rumah setiap malam.  Namun, semenjak teknologi internet muncul, kerja yang tadinya terbentur pada batas geografis mulai runtuh perlahan. Klien, bos, pekerja, dan konsumen produk akhir dapat saling terkoneksi dalam satu teknologi walau terpencar di lokasi berbeda di muka bumi. Dengan dunia yang semakin terkoneksi, maka permintaan pekerja digital yang dapat mengerjakan kerja-kerja remot (seperti penerjemahan, desain visual, marketing, dll) semakin tinggi. Kenaikan angka pekerja digital ini dipicu oleh dua tren. Yang pertama, rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor riil di beberapa negara, hal ini kini menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan, orang yang memiliki pekerjaan, dan orang yang mencari pekerjaan. Yang kedua, dunia semakin terkoneksi dengan adanya internet. Kita beranjak dari dunia yang 10 tahun lalu, di mana 15 persen penduduk bumi terkoneksi dengan internet, ke titik di mana 40 persen penduduk bumi saling terkoneksi dengan internet.

Jika kita lihat dalam laporan Statista, pengguna internet di Indonesia pada bulan Januari 2019 telah mencapai 150 juta orang, atau lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah terkoneksi dengan internet[1]. Semakin terkoneksinya penduduk Indonesia ke teknologi internet, juga memberikan peluang kepada kerja-kerja freelancesemakin berkembang. Tercatat, dari 127 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 30 juta penduduk Indonesia bekerja kurang dari 35 jam per minggunya[2]. Anggap saja 30 juta penduduk tersebut diasumsikan bekerja secara freelance, jika dikaitkan dengan laporan Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan 33% pekerja freelance menggantungkan gig platform sebagai salah satu sumber pendapatan dan 12% pekerja freelancemenggantungkan gig platform sebagi satu-satunya sumber pendapatan[3]. Angka tersebut dapat terus bertambah seiring naiknya angkatan kerja di Indonesia.

[OPINI] EKONOMI ITU DARI, OLEH, DAN UNTUK SEGELINTIR SAJA, ATAU UNTUK SEMUA?


Oleh: M. Sena Luphdika

-Demokrasi ekonomi sebagai prasyarat kesejahteraan yang lebih adil dan merata-

Menurut Anda, ekonomi yang ada saat ini berpihak pada siapa? Hanya segelintir orang atau seluruh rakyat Indonesia?

Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan di atas, mangga cek film dokumenter SEXY KILLERS dari WatchDoc berikut ini:



Kira-kira apa jawabannya? Coba renungkan jawaban Anda sambil iseng mengetik kata-kata berikut di mbah Google:
  • Kesenjangan ekonomi, rasio Gini
  • Konflik agraria, konflik tambang, konflik sawit
  • Kesejahteraan petani, regenerasi petani
  • Sosialita mewah, garis kemiskinan
Rasa-rasanya condong ke segelintir ya.
Kenapa seperti itu? Apa penyebabnya? Mari kita coba telaah dengan sudut pandang kata-kata pamungkas, Demokrasi.

Segelintir vs Seluruh

Sistem ekonomi Indonesia seharusnya bukan kapitalisme seperti yang ada saat ini. Kalau tidak percaya, mangga cek saja UUD 1945 Pasal 33 ayat yang mana pun.
Sesuai namanya, kapitalisme, kapital menjadi hal yang utama dan pertama. Manusia tunduk pada kepentingan dan kemauan dari manusia lain yang punya modal (terutama uang) lebih besar.
Dengan begitu tingginya posisi uang dalam kapitalisme, maka tak heran bahwa pihak yang menikmati keuntungan dan manfaat terbesar dari sistem ini adalah segelintir orang. Mereka adalah orang-orang yang “terlanjur” punya uang, lalu melahirkan uang baru lagi dengan cara-cara yang didukung penuh oleh sistem yang ada.

[TIPS] TSUNDOKU VS KONMARI: MEMBUDAYAKAN BERBELANJA SECARA BERKESADARAN

Oleh: Aristogama


Pernahkah kamu membeli buku lalu akhirnya buku itu tidak dibaca dan menumpuk di sudut ruangan atau rak? Jika pernah, kamu tidak sendiri. Saya juga salah satu dari orang yang melakukan tsundoku. Menurut Wikipedia, tsundoku (Bahasa Jepang: 積ん読) adalah memperoleh bahan bacaan tetapi membiarkannya menumpuk di rumah tanpa membacanya.
Tsundoku

Ada beberapa alasan kenapa saya mempunyai kebiasaan ini. Sewaktu kecil saya adalah anak yang penyendiri. Saya lebih suka di rumah dari pada bermain di luar karena anak-anak lain bisa kejam. Mereka kerap mengolok-olok saya sehingga saya malas bergaul dengan mereka. Saya menemukan ketenangan dan kedamaian dengan membaca buku. Buku adalah teman terbaik saya yang mengerti diri saya dan tidak mengejek saya. Jadi, saya selalu mengasosiasikan buku dengan kenyamanan, ketenangan, tempat yang aman, dan hal-hal positif lain.

Alasan lain adalah, walaupun saya suka buku dan senang membaca, pada saat saya sekolah dan kuliah, saya tidak punya banyak uang untuk membeli buku sehingga saya kerap meminjam atau bertukar buku dengan teman-teman di sekolah atau kampus. Setiap kali saya pergi ke toko buku, saya hanya bisa memandangi buku-buku yang berjajar di rak dan berandai-andai saya punya cukup uang untuk membelinya. Wajar ketika saya punya penghasilan sendiri, sebagian besar saya habiskan untuk membeli buku.

[MEDIA] FILM THE BIG SHORT: BERTARUH MELAWAN SISTEM

Oleh: Fransiska M. Damarratri


Poster The Big Short
Sumber: flickr.com/photos/bon_appetit
Judul: The Big Short
Tahun: 2015
Sutradara: Adam McKay
Pemeran: Christian Bale, Steve Carell, Ryan Gosling, dll
Genre: Biografi, drama, komedi
Rating: Dewasa
Skor IMDB: 7.8
Skor Metacritic: 81%
Skor Rotten Tomatoes: 88%
*Review ini mengandung cerita-cerita yang merupakan bagian plot penting dalam film

Walaupun dikemas dalam genre drama dan komedi, isu yang diusung film The Big Short tidaklah main-main. Kehancuran ekonomi Amerika Serikat di tahun 2008, yang efeknya berantai ke seluruh dunia menjadi narasi  utama. Hollywood seakan mencoba menceritakan ‘borok’ negaranya sendiri dengan krisis ekonomi yang dianggap paling fatal di sepanjang sejarah modern.

Walau begitu, penyampaian cerita film ini dibuat upbeat, lucu dan tidak membosankan. Bahkan, pemirsa bisa terdorong mendukung tokoh-tokoh utama sebagai semacam protagonis yang bertaruh melawan sistem. Seakan mereka sedang berupaya menyelamatkan dunia. Aktor Ryan Gosling memainkan salah satunya sebagai Jared Venett---seorang bankir dari bank investasi multinasional, Goldman Sachs. Gosling sekaligus berperan menjadi narator film yang serba tahu.

[JALAN-JALAN] PIKNIK SEMALAM KE BADUY DALAM

Oleh: Sally Anom Sari


Saya adalah salah satu orang yang tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa uang. Sehari-hari saya bekerja mencari uang, lalu menghabiskannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup saya. Di luar kebutuhan pokok, saya juga perlu uang untuk berbagai hiburan yang bisa membuat saya bahagia, seperti makan di luar, belanja, jalan-jalan, dan banyak lagi. Semakin banyak hiburan yang saya perlukan, tentu semakin banyak uang yang perlu saya cari. Untuk mendapatkan uang itu, tentu saya harus bekerja lebih keras lagi. Masalahnya, bekerja lebih keras ternyata membuat saya kurang bahagia dan perlu mencari hiburan lebih banyak lagi. Artinya saya perlu uang lebih banyak lagi. Begitu terus berputar-putar.

Beberapa tahun yang lalu setelah suntuk bekerja demi uang, saya merasa perlu hiburan dan memutuskan untuk jalan-jalan. Kali ini saya memilih jalan-jalan ke desa Kanekes yang lebih saya kenal dengan nama Baduy. Kenapa Baduy? Ya sebenarnya karena kebetulan di internet saya menemukan ada open trip[1] ke Baduy Dalam. Maka pergilah saya jalan-jalan ke Baduy Dalam.
Setelah melalui perjalanan dengan kereta dan mobil elf, rombongan wisata sampai di desa Ciboleger, salah satu pintu masuk menuju desa Baduy. Dari sana kami akan berjalan menuju desa Cibeo, desa terluar Baduy Dalam, melewati beberapa desa Baduy Luar. Di Cibeo kami rencananya akan menginap semalam, sebelum pulang lagi keesokan harinya.

Begitu mobil elf sampai di depan gerbang, beberapa warga Baduy Dalam langsung menyambut kami. Merekalah yang akan menemani perjalanan kami kali itu. Sekilas saya langsung melihat penampilan orang Baduy Dalam yang berbeda dengan orang Baduy Luar dan warga desa lain. Selain warna pakaian dan ikat kepala mereka yang hitam-putih, mereka juga tidak mengenakan alas kaki dan hanya membawa tas berupa gembolan kain. Sederhana sekali.

Perjalanan menuju desa Baduy Luar dan Baduy Dalam. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung

[PROFIL] PEJUANG DEMOKRASI EKONOMI ERA 4.0

Oleh: Jeremia Bonifasius Manurung


Selepas runtuhnya Uni Soviet, praktis hampir seluruh negara di dunia menggunakan sistem kapitalisme sebagai metode pengelolaan ekonomi. Prinsip-prinsip seperti akumulasi modal, pengambilan keputusan sepihak oleh jajaran direksi dan pemilik saham, serta maksimalisasi keuntungan sambil meminimalisasi biaya meski harus mengorbankan lingkungan dan pekerja menjadi jamak.

Di tengah hiruk pikuk kapitalisme, tetap ada orang yang percaya bahwa ekonomi dan segala tetek bengeknya bisa dikelola dengan cara alternatif. Metode alternatif dari kapitalisme tersebut masyhur disebut co-operative atau dalam Bahasa Indonesia kita menyebutnya koperasi.

Sebagai contoh adalah Mondragon Cooperatives di Basque, Spanyol. Mereka merupakan perusahaan dengan nilai sekitar tiga ratus triliun rupiah yang dikelola dengan metode koperasi. Di sana, tidak ada eksploitasi pekerja, pendapatan yang setara antara direksi dan karyawan paling rendah, dan tidak ada pengumpulan kekayaan yang hanya dinikmati segelintir direksi dan pemegang saham. Di Mondragon, semua pekerjanya adalah pemilik perusahaan. Perbandingan gaji pekerja paling rendah dan paling tinggi diatur tidak boleh lebih dari 1:8. Puncaknya, sistem koperasi yang sering dipandang sebelah mata itu bisa membuat Mondragon menjadi perusahaan konglomerasi ke 4 paling bernilai di Spanyol.

Lain di Spanyol lain juga di Indonesia. Di sini koperasi telah tereduksi menjadi sekedar koperasi perkumpulan karyawan atau koperasi simpan pinjam. Namun ternyata ada orang atau sekelompok orang yang meyakini bahwa koperasi bisa jadi metode pengelolaan ekonomi yang berhasil dan juga berjuang mewujudkan visi tersebut. Salah satu orang tersebut adalah Muhamad Sena Luphdika.

[RUMAH KAIL] BELAJAR MANDIRI DI RUMAH DAN KEBUN KAIL

Oleh: Any Sulistyowati


Sejak tahun 2014, KAIL telah menyelenggarakan kegiatan anak di Rumah KAIL. Kegiatan ini antara lain bertujuan untuk membangun kemandirian anak. Setiap bulannya, tepatnya setiap hari Minggu ketiga, sekitar 15-30 anak-anak berkumpul di Rumah KAIL. Mereka berasal dari kampung-kampung di sekitar Rumah KAIL. Kegiatan ini dikenal dengan nama Hari Belajar Anak (HBA).

Biasanya kegiatan-kegiatan HBA dimulai di pagi hari sekitar pukul 9 dan berakhir sebelum pukul 12 siang. Selama sekitar 3 jam mereka berkegiatan bersama. Kegiatan HBA biasanya terdiri dari beberapa jenis aktivitas yang menarik untuk anak-anak. Biasanya sesi dibuka dengan berolahraga bersama di labirin Kebun KAIL. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan favorit anak-anak. Setelah itu barulah masuk ke materi. Seusai sesi materi, biasanya ada proses kerja mandiri untuk mengolah materi tersebut secara pribadi. Bagian ini dapat berupa kegiatan menggambar, membuat karya, mengisi jurnal atau berbagai kegiatan lainnya yang disukai anak-anak. Setelah itu dilanjutkan dengan menyantap makanan sehat yang disiapkan oleh Rumah KAIL.   

Olahraga pagi di labirin kebun KAIL

Materi ini biasanya disampaikan dengan berbagai metode penyampaian sehingga anak tertarik dan memahami materi dengan lebih baik dan mudah. Metode pembelajaran yang digunakan di HBA sangat beragam. Ada yang melatih kemampuan motorik anak, ada yang untuk mengembangkan kepekaan rasa, ada juga yang mengembangkan kemampuan kognitif. Dengan variasi metode ini, diharapkan keseluruhan aspek kehidupan anak dapat tumbuh dan berkembang. Mereka juga belajar lewat permainan. Lewat permainan-permainan ini, anak-anak belajar berbagai hal dengan senang hati.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...