[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif

Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang tidak asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yang lebih terkenal di luar negeri karena karya sastranya daripada di dalam negeri. Terkait dengan kesehatan alternatif, saat ini beliau sedang menyelesaikan buku “Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.”
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).

Asam garam telah mewarnai perjalanan hidupnya. Pada tahun 1968, beliau di penjara terkait dengan isu G30SPKI. Di penjara Salemba, beliau ditempatkan satu sel dengan seorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mempelajari akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yang ada di penjara, keduanya berusaha memberikan dan menerima ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak ada buku ataupun alat tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita tentang akunpunktur berpindah dari otak sang guru ke otak sang murid. Keterbatasan jarum diganti dengan usaha membuat jarum dari senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan petugas. Para tahanan yang sakit menjadi pasiennya dan jumlahnya banyak.
Setelah keluar dari penjara Salemba ke penjara seluas tanah air di tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan pada tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan menjadikan akupunktur sebagai sumber kehidupan. Dua tahun kemudian, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa untuk membuka klinik dan menampung banyak bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur dan memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh dan Srilanka untuk mengajari akupresur pada peserta pelatihan. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa untuk mengajari akupresur untuk para petani di sana. Kegiatan seperti ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu mengembangkan pelatihan akupresur untuk kader-kader kesehatan (PKK) dengan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yang dimotori oleh Golkar dan militer menggulung yayasan Pak Putu dengan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki dan disetrum karena sering ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah untuk melakukan perjalanan. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, tetapi peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu beliau secara konsisten menghadapi dan melawan apa yang disebut diskriminasi dan stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk membuktikan bahwa ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini dapat menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yang ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya dan tradisi berkesehatan masyarakat yang menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan adalah pengobatan tradional dapat berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya sebagai ilmu kesehatan yang memiliki cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah maupun paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional dapat terintegrasikan dalam pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran dan tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih sering memperbanyak kajian, membuat pendidikan secara teratur dan terencana dan mempraktekkannya, termasuk di Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya keseimbangan (harmoni) relatif antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, kendala tersebut dapat diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan waktu. Selain itu, mengatur pola makan dan minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK dengan santun dan hormat terhadap hal-hal yang diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Namun Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada anggapan bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran modern. Pandangan seperti ini adalah dampak dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. “Ilmu kedokteran modern mempunyai keunggulan yang harus dibayar dengan uang banyak, tetapi masih ada ilmu kesehatan non kedokteran modern (non konvensional) yang belum diaktualisasikan dan dioptimalkan pemanfaatannya”, ujarnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:
Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.

Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis berdasarkan wawancara via email oleh Hilda Lionata)

[Pikir] LIBERALISASI KESEHATAN

Para pendukung neoliberalisme mengajukan teori baru bahwa krisis dan kegagalan pembangunan di sektor kesehatan adalah akibat tidak becusnya pemerintah mengurus sektor kesehatan ini. Ada empat argumen mendasar yang mereka ajukan terkait efisiensi kinerja pemerintah. Pertama, pemerintah memberikan subsidi besar-besaran, sehingga harga yang dibayar masyarakat tidak mencerminkan harga yang sesungguhnya. Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan layanan yang komprehensif kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Ketiga, banyaknya korupsi dan tingginya biaya birokrasi di pemerintahan. Terakhir, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.

Berbagai alasan di atas mendorong keluarnya rekomendasi agar swasta diberi peluang sebesar-besarnya untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat, antara lain lewat mekanisme Program Penyesuaian Struktural (SAP, Structural Adjusment Program) bagi negara-negara yang memiliki hutang, serta aturan-aturan main yang dirumuskan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO. Mereka berpikir bahwa dengan masuknya sektor swasta, pemerintah tidak lagi memonopoli sektor ini sehingga kinerjanya menjadi lebih efisien, lebih menjamin akses yang merata bagi seluruh masyarakat dan memudahkan konsumen memperoleh layanan kesehatan sesuai dengan pilihannya.
Ada beberapa kritik dan pertanyaan bagi argumen-argumen tersebut.
Privatisasi Vs Korporatisasi
Privatisasi secara umum berarti penyerahan pengelolaan kepada lembaga privat baik yang bersifat profit maupun non profit, sedangkan korporatisasi secara spesifik adalah penyerahan pengelolaan kepada lembaga yang berorientasi profit. Dengan demikian, korporatisasi kesehatan adalah penyerahan layanan kesehatan kepada lembaga kesehatan privat yang bersifat profit.
Karakteristik utama dan paling mendasar dari lembaga profit adalah bahwa untuk meraih profit, pelaksana layanan kesehatan itu harus membagi sebagian uang yang diperolehnya kepada penanam modal. Maka, tujuan utama jasa kesehatan profit adalah mencari keuntungan dan bukannya menyediakan layanan kesehatan berkualitas.
Dari manakah uang untuk para penanam modal ini berasal?
Pertama, dengan menarik biaya kepada para pengguna lebih mahal dari seharusnya. Kedua, dengan mengurangi pengeluaran dengan menurunkan kualitas dan kuantitas layanan, terutama kalau dana diperoleh dari asuransi dan pemerintah. Ketiga, dengan menyarankan (memaksa secara halus) pengguna untuk membeli layanan yang sebenarnya tidak penting atau tidak diperlukan. Keempat, menawarkan layanan khusus kepada pembayar mahal. Kelima, hanya memberikan layanan yang sangat menguntungkan dan keenam dengan membayar pekerja kurang dari seharusnya atau menggantinyadengan pekerja yang kurang berkualitas dan dapat dibayar murah.
Adakah Kisah Sukses Korporatisasi Layanan Kesehatan?
Kita akan belajar dari negara-negara yang dianggap maju dalam sistem kesehatan. Pertama, dari Amerika Serikat, promotor utama neoliberalisme, privatisasi dan pasar bebas. Di negara ini pada dasarnya sistem kesehatan terutama dijalankan oleh lembaga layanan kesehatan profit, namun, sumber uang tidak hanya dari biaya yang dibayar langsung oleh pengguna. Pemerintah, dengan dana yang diterima dari pajak, memberikan subsidi ke lembaga-lembaga profit tersebut. Selain itu dana dari pajak juga digunakan pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan kepada penduduk miskin, manula, orang cacat dan militer. Kedua, dari Kanada, negara yang pemerintahnya masih cukup banyak berperan dalam sektor kesehatan. Di negara ini, sebagian besar layanan kesehatan diberikan melalui dana publik/pajak, namun layanannya sebagian besar diberikan oleh lembaga non pemerintah (privat) yang bersifat non profit.
Apa hasil akhir dari kedua jenis pendekatan layanan kesehatan yang berbeda ini?
Korporatisasi layanan kesehatan diyakini akan menciptakan efisiensi yang mengurangi total pengeluaran biaya kesehatan, khususnya anggaran pemerintah untuk kesehatan. Kenyataannya, pengeluaran pemerintah AS (US$ 1.599 perkapita per tahun) justru lebih besar daripada pemerintah Kanada( US$ 1.444 perkapita per tahun). Sementara itu, Kuba yang menerapkan sistem layanan kesehatan yang sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah menggunakan biaya hanya US$106 perkapita per tahun untuk menjalankan sistem yang mampu memberikan jaminan kesehatan pada 97% rakyatnya. Lebih jauh lagi, di AS, tagihan biaya kesehatan merupakan penyebab utama kebangkrutan pribadi. Total pengeluaran kesehatan per orang di AS adalah yang tertinggi di dunia, sebesar US$ 4.637 per tahun. Sedangkan rakyat Kanada, mengeluarkan hanya US$ 2.185 per tahun. Sedangkan rakyat Kuba hampir tidak perlu mengeluarkan dana pribadi demi kesehatan mereka. Hasilnya adalah: Kanada berada pada peringkat kedua dunia untuk harapan hidup dan AS berada pada peringkat ke-25. Tingkat kematian bayi di Kanada 5,6 per seribu kelahiran hidup dan Amerika Serikat 7,8 per seribu kelahiran hidup. Sedangkan Kuba, dengan dana lebih dari 10 kali lebih kecil dapat mencapai angka kematian bayi 7,2 per seribu kelahiran hidup.
Data ini menunjukkan bahwa sistem layanan kesehatan di Kanada dan Kuba jauh lebih efisien dan efektif daripada Amerika Serikat. Lalu mengapa layanan publik yang bersifat profit semakin populer, sementara tidak berprestasi di negara promotor utamanya sendiri? Adakah kisah sukses korporatisasi layanan kesehatan?
Korporatisasi layanan kesehatan telah berhasil mempromosikan tujuan mereka dengan membangun argumentasi seakan layanan kesehatan publik tidak efisien dan berkualitas rendah, sedangkan layanan kesehatan berbasis korporasi lebih baik. Padahal dasar berpikir argumentasi tersebut sangat lemah dan didasarkan pada bukti-bukti yang semu, sehingga tidak lebih dari mitos-mitos belaka.
Mitos-Mitos Korporatisasi
1. Layanan Kesehatan dari Korporasi Lebih Efisien
Pernyataan bahwa lembaga profit lebih efisien dari lembaga publik tidak masuk akal jika efisiensi diartikan pemberian kualitas layanan yang sama dengan pengeluaran yang lebih rendah. Bagaimana lembaga profit dapat lebih efisien sementara pada kenyataannya mereka harus membayar ‘upeti’ kepada pemilik modal, sedangkan lembaga non profit dan lembaga publik tidak. Artinya, jelas bahwa dengan jumlah uang yang sama lembaga non profit dan lembaga publik akan mampu memberikan layanan yang lebih maksimal.
Jadi efisiensi seperti apa yang sebenarnya dimaksud oleh para pendukung korporatisasi kesehatan ?
2. Pasar Bebas Tanpa Subsidi Akan Menghasilkan Harga Yang Sesungguhnya
Para penganut neoliberalisme mendefinisikan harga sesungguhnya adalah yang diperoleh dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran, yang selanjutnya berhubungan dengan keputusan konsumen untuk membeli atau tidak. Umumnya peyedia produk cenderung akan berperilaku tetap yaitu menjual sebanyak mungkin. Dasar motivasi konsumen umumnya juga cenderung tetap yaitu memiliki sebanyak mungkin, sampai batas daya belinya.
Namun teori ini tidak berlaku pada sistem kesehatan. Tidak ada konsumen yang ingin sakit. Sehingga perilaku konsumsi di sektor kesehatan secara alamiah akan lebih dipengaruhi oleh tingkat kesehatan konsumen daripada daya beli. Kondisi ini menyebabkan pasar kesehatan berperilaku berbeda dari produk konsumsi pada umumnya. Keinginan korporasi untuk menjual sebanyak mungkin, tidak sesuai dengan konsumen yang justru meminimalkan pembelian. Untuk mengoreksi ini maka akhirnya para pengusaha melakukan pengeluaran besar-besaran dalam promosi. Pengeluaran ini tentunya ditanggungkan pada harga yang harus dibayar konsumen.
Apakah ini yang disebut dengan harga yang sesungguhnya?
3. Subsidi Kesehatan Menghasilkan Inefisiensi Layanan Kesehatan
Secara umum, harga yang tidak sesungguhnya karena subsidi, baru berarti sebagai pertimbangan kebijakan bila mengarah pada penggunaan yang tidak rasional serta misalnya: penggunaan produk yang berlebihan karena harganya yang murah, dan subsidi yang tidak mencapai sasaran.
Namun sudah tentu layanan kesehatan tidak dapat disamakan dengan penggunaan barang konsumsi seperti BBM. Artinya, tiadanya BBM tidak akan membunuh seseorang. Sedangkan masalah layanan kesehatan terkait dengan hidup-mati seseorang, sehingga menjadi bagian integral dari hak asasi seseorang. Selain itu, tidak banyak orang yang cenderung boros menggunakan layanan kesehatan seperti halnya mereka boros menggunakan BBM. Jadi hanyalah kemungkinan kecil bahwa subsidi mendorong penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan.
4. Korporatisasi Kesehatan Menghasilkan Keadilan Pelayanan Kesehatan
Pendapat bahwa korporatisasi kesehatan merupakan jawaban terhadap permasalahan keadilan layanan kesehatan berbenturan dengan kenyataan bahwa karena sifatnya yang bertujuan memaksimalkan profit, maka korporasi akan cenderung memberikan layanan kepada yang memiliki banyak uang dan daerah perkotaan. Singkatnya, korporasi cenderung akan melayani mereka yang sebenarnya tidak menjadi prioritas dalam layanan kesehatan, bila kita menggunakan logika layanan kesehatan publik. Malah, karena uang yang dibayarkan ke korporasi lebih banyak dari seharusnya, uang yang seharusnya dapat digunakan untuk hal yang lebih menjadi prioritas malah dinikmati oleh para pemilik modal yang seharusnya tidak begitu membutuhkan uang.
5. Pemerintah Tidak Memiliki Cukup Dana Menjalankan Layanan Kesehatan Publik
Kegagalan pemerintah untuk menggalang sumberdaya mayarakat, terkait dengan kebijakan makro seperti kurangnya keberanian menerapkan pajak progesif. Sementara itu, kebijakan neoliberal yang diadopsi oleh banyak negara dan terlebih di negara berkembang yang harus mengikuti structural adjustment program IMF, justru mendorong pemotongan pajak. Jadi, tampaknya kebijakan neoliberal akan mendorong rekayasa kebijakan untuk menciptakan asumsi yang dibuatnya sendiri (bahwa pemerintah tidak punya cukup dana untuk membiayai kesehatan), untuk mempromosikan privatisasi kesehatan.
6. Layanan Kesehatan Korporasi Lebih Berkualitas
Peningkatan kualitas layanan kesehatan melalui pengelolaan berorientasi profit adalah argumentasi yang sangat lemah karena berlawanan dengan dasar keadilan dan prinsip pemerataan layanan kesehatan yang merupakan hak asasi manusia. Motivasi untuk mencari profit justru mengakibatkan penurunan kualitas dalam bentuk rendahnya kualitas perawatan pasien seperti semakin singkatnya waktu layanan, berkurangnya pilihan layanan, atau bahkan banyaknya kesalahan perawatan.
7. Layanan Kesehatan Berbasis Korporasi Akan Melepaskan Kebergantungan Pada Pemerintah
Para pendukung korporatisasi kesehatan juga menyatakan bahwa karena pemerintahan yang tidak efisien dan korup, maka peran pemerintah perlu dikurangi dan peran swasta perlu ditingkatkan. Benarkah peningkatan peran swasta dalam pasar bebas akan melepaskan kebergantungan layanan kesehatan kepada peran pemerintah? Argumentasi yang sering digunakan adalah bahwa ekonomi pasar bebas akan menciptakan proses demokratisasi yang menguntungkan rakyat. Proses demokratis ini akan menghasilkan harga yang murah dan layak, dibarengi dengan kualitas layanan tinggi melalui mekanisme pasar. Sedangkan, sistem yang dimonopoli pemerintah dikatakan tidak profesional, rentan korupsi dan tidak efisien. Adam Smith mengatakan bahwa suatu mekanisme pasar, di mana para pelakunya adalah individu-individu egois, akan menghasilkan keuntungan maksimal bagi publik (dalam bentuk keuntungan maksimal dengan biaya minimal) bila pasar berada di dalam keadaan pasar sempurna. Pasar sempurna terjadi bila semua pelaku pasar memiliki kekuatan yang relatif berimbang. Artinya, pasar sempurna tidak bisa terjadi dengan sendirinya, ia perlu dipelihara secara intensif. Siapakah lembaga yang biasanya didaulat untuk menjadi wasit? Pemerintah.
Jadi, perdebatan tentang kebergantungan pada pemerintah baik pada sistem berbasis lembaga profit dan berbasis pemerintah sebenarnya tidak lebih sebuah zero sum game. Sektor privat hanya akan berkontribusi maksimal bagi kesehatan publik bila berada dalam sistem kontrol yang kuat. Hasil akhirnya sama saja, kebergantungan pada pemerintah! Pemerinthan yang korup akan sama-sama membuat kedua sistem ini tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian yang lebih dibutuhkan adalah pemerintahan yang bersih dan bukannya korporatisasi layanan kesehatan.
8. Layanan Kesehatan Korporasi Sejalan Dengan Proses Demokratisasi
Hal yang paling membahayakan bila layanan kesehatan publik diganti dengan layanan kesehatan berdasarkan profit adalah hilangnya akuntabilitas . Seburuk apapun layanan kesehatan publik, selalu masih ada kesempatan untuk memperbaikinya melalui proses politik. Tetapi begitu layanan ini dialihkan kepada bisnis, proses monitoring dan kontrol akan menjadi jauh lebih sulit.
9. Bisnis Tidak Korup
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan juga menyatakan bahwa pemerintahan tidak efisien dan korup. Kenyataannya; kejahatan ekonomi yang terjadi seperti kasus Bank Bali, adalah kisah nyata usaha beberapa pelaku pasar untuk mencegah terjadinya pasar sempurna demi memelihara monopoli mereka. Caranya seringkali dengan menyogok pemerintah dan memanfaatkan berbagai lubang dari pemerintahan yang korup. Karena itu, jadinya sama saja dengan keadaan di mana kita bergantung pada pemerintah untuk mengoperasikan atau mendistribusikan dana bagi layanan kesehatan.
10. Korporatisasi Kesehatan Menghilangkan Birokrasi Yang Tidak Efisien
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan menyatakan bahwa banyak pemborosan dana dari layanan kesehatan yang menggunakan dana publik terjadi karena birokrasi yang tersentralisasi. Kenyataannya, suatu studi yang dilakukan oleh peneliti Harvard, Woolhandler dan Himmelstein yang dimuat dalam New England Journal of Medicine, yang menganalisa data dari 5.201 rumah sakit, menemukan bahwa rumah sakit profit 5%lebih mahal dibandingkan rumah sakit non profit, dan 53% dari perbedaan biaya disebabkan oleh biaya administrasi yang lebih mahal. Selain itu, perusahaan profit juga harus mengeluarkan biaya operasional tambahan.
Jadi, layanan kesehatan secara profit tidak memangkas birokrasi tetapi malah menggelembungkan birokrasi. Dan lebih parah lagi, birokrasi ini justru mengejar profit.
11. Pasar Sempurna Akan Terjadi Dalam Sistem Kesehatan
Taft dan Stewart dalam bukunya yang berjudul Clear Answers: The Economics and Politics of For-Profit Medicine, mengajukan lima syarat berlakunya pasar sempurna: (1) ada banyak penjual dan pembeli yang dengan mudah dapat keluar dan masuk ke dalam pasar, (2) pembeli memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusan, (3) produk terstandarisasi, (4) harga dapat bebas naik turun tanpa halangan dan (5) konsumen dengan bebas dapat mengganti suatu produk dengan produk lainnya untuk fungsi yang sama. Kondisi ini tidak berlaku di dalam dunia kesehatan: (1) pasien yang sakit sulit mengambil keputusan yang bebas, (2) pengetahuan tentang kesehatan tidak dikuasai oleh kebanyakan orang, (3) kepercayaan sangat fundamental dalam bisnis kesehatan, (4) kalangan bisnis sekarang melakukan upaya-upaya sistematis untuk secara sengaja mendistorsi pasar sempurna dengan mendorong terjadinya monopoli atau setidaknya oligopoli. Padahal, mengacu pada syarat pasar sempurna yang dikemukakan oleh Taft dan Stewart, monopoli membuat jumlah penjual terlalu sedikit dan terciptanya halangan bagi harga untuk naik dan turun secara bebas.
Kepentingan Sosial dan Profit : Akankah Terdamaikan?
Inkompatibilitas sifat sosial layanan kesehatan dengan kepentingan profit menjadi demikian mendasar. Konflik yang paling mendasar adalah bahwa layanan kesehatan berbasis profit bergantung pada maksimalisasi dan pertumbuhan konsumsi sedangkan layanan kesehatan yang efisien dan efektif justru meminimalkan konsumsi.
Selain konflik dasar tersebut, kita juga dapat melihat pada tingkat yang lebih rumit dan tidak kasat mata bahwa layanan kesehatan berbasis profit mengakibatkan pemborosan, ketidakadilan dan penurunan kualitas layanan. Sementara itu, penyakit-penyakit dalam layanan kesehatan publik seperti kebergantungan pada pemerintah, monopoli, birokrasi dan korupsi / penipuan yang selama ini dijadikan dasar untuk mendiskreditkan layanan kesehatan publik sama sekali tidak disembuhkan oleh privatisasi, tetapi justru ‘kambuh’ kembali dalam bentuk yang lebih sulit dikontrol dan disembuhkan.
* Tulisan ini disarikan dari buku Liberalisasi dan Tantangan Dalam Penyedian Jasa Kesehatan Kepada Publik, oleh Tim Peneliti The Business Watch Indonesia ( Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti), tahun 2004, khususnya bab 6.


[Media] Resensi Buku: Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik

Judul :Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan
Kepada Publik
Penulis :Tim Peneliti The Business Watch Indonesia (BWI);
Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti
Tahun : 2004
Penerbit :The Business Watch Indonesia- WIDYA SARI PRESS,
SURAKARTA didukung oleh NOVIB OXFAM NETHERLANDS
Tebal : 214 hlm

Sehat, semua orang ingin selalu sehat. Hanya dalam keadaan sehatlah kita bisa beraktivitas apapun yang kita mau. Namun sejatinya manusia, kita tidak bisa selalu sehat. Terkadang kita jatuh sakit, dari ‘kelas ringan’ sampai ‘kelas berat’. Terutama untuk sakit ‘kelas berat’ yang sering kita rujuk ke pusat-pusat pelayanan kesehatan, kita berhadapan dengan sebuah sistem layanan kesehatan itu sendiri.
Layanan kesehatan adalah sebuah sistem yang jika ditilik lebih jauh lagi, ternyata adalah sebuah sistem yang rumit, panjang, kompleks, penuh intrik dan terkadang terkesan manipulatif. Oleh karena itu, sering kita melihat potret buram dari sistem layanan kesehatan ini. Namun, persoalan buruknya layanan kesehatan jelas bukan akibat dari krisis ekonomi semata. Banyak perkara lain yang terlibat.1

Buku Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik, memaparkan permasalahan seputar sektor kesehatan, mulai dari yang sangat konkret yang sering dialami masyarakat, analisis kebijakan di tingkat negara; paradigma apa saja yang mempengaruhi sektor kesehatan, beberapa pilihan dan konsekuensinya dan beberapa contoh kasus.2
Buku ini merupakan hasil penelitian deskriptif mengenai privatisasi sektor kesehatan, khususnya di Indonesia. Buku yang terdiri atas delapan bagian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan (seperti yang tertuang di dalam bagian pendahuluannya); (1) bagaimanakah cara kerja umum privatisasi di sektor kesehatan dan apa saja potensi dampaknya terutama bagi negara berkembang?, (2) bagaimanakah perkembangan situasi makro sektor kesehatan di Indonesia dan trend yang sedang berjalan?, (3) bagaimanakah realitas sektor kesehatan di Indonesia seperti yang dialami masyarakat?,(4) paradigma apakah yang menjadi latar belakang sektor kesehatan saat ini? Adakah pilihan model yang lain dan apakah konsekuensinya?, (5) bagaimanakah prediksi situasi kesehatan ke depan, adakah pilihan-pilihan yang dapat diambil dan apa prasyaratnya?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan memaparkan argumen-argumen dari penyokong liberalisasi penyediaan jasa kesehatan yang kemudian penulis periksa dengan mengajukan beberapa kritis dan pertanyaan dengan logika sederhana bagi argumen-argumen tersebut. Dengan cara ini, meskipun materi yang diulas berat, bahasa buku ini terasa santai.
Seperti yang diungkapkan oleh editor buku ini, bahwa buku ini mengajak para pembacanya untuk melihat berbagai detil yang mungkin selama ini tidak teramati ketika menelaah persoalan-persoalan di bidang kesehatan, khususnya di Indonesia kemudian mempersilahkan pembaca untuk menentukan sikapnya sendiri.
Jika ingin mendapatkan buku ini silakan menghubungi:
The Business Watch Indonesia (BWI)
Jln. Cokrobaskoro VII no. 33,
Puspan, Tipes,
Surakarta
Telp. 0271-728560
(Lola Amelia)

Editorial Edisi 8

EDITORIAL
Uang bisa bikin orang senang tiada kepalang
Uang bikin mabuk kepayang…
Uang… lagi-lagi uang ….
KAIL sekarang dimotori para aktivis muda yang berada pada tahun-tahun awal menapaki kehidupan ‘nyata’. Segala idealisme yang berkembang semasa mahasiswa, kini menghadapi tantangan. Menjadi pertanyaan besar bagi kami, tetap konsisten atau mengikuti arus dunia ? Salah satu titik perenungan penting yang kemudian berkembang adalah, seperti tercermin dalam kutipan lagu Nicky Astria di atas : mengapa uang menjadi begitu penting ? Alasan keharusan mencari cukup banyak uang, telah membuat cukup banyak aktivis melepaskan sebagian atau seluruh idealisme.
Melihat begitu penting persoalan ini, kami memunculkan PROAKTIF kali ini dengan tema Aktivis dan Pengelolaan Anggaran Pribadi, dengan modal nekat. Benar-benar modal nekat, karena di dalam tim KAIL saat ini belum ada yang memiliki latar belakang teoritis yang cukup untuk mengkaji persoalan ini. Dan, ternyata memang sulit mencari orang yang tertarik mendalami isu ini. Segala yang tertulis di dalam edisi kali ini, dipelajari dengan melakukan riset sendiri dari awal.

Karena itulah, semua tulisan dalam edisi kali ini perlu dianggap sebagai bagian dari proses eksperimen pemahaman atau sebuah prototype. Bukanlah sesuatu yang sudah benar, valid atau solid. Harapannya adalah membuka pintu wacana dan mendorong kepedulian kita semua terhadap isu strategis namun tidak seksi ini. Kami mengundang keterlibatan anda semua, untuk memperbaiki konsep dan kerangka tulisan, yang selanjutnya akan diproses menjadi handout kail.
Dalam edisi ini kami menampilkan seri tulisan yang disebar dalam tiga rubrik. Rubrik Pikir mengetengahkan Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan, bagaimana uang bertransformasi dari alat tukar menjadi jantung kekuasaan. Sedangkan, rubrik Opini menampilkan perenungan tentang Absurdnya Ekonomi Uang. Proses mengembangkan tulisan-tulisan ini telah menjadi proses belajar yang sangat berharga dengan hasil yang mengejutkan bagi penulisnya sendiri. Betapa lama kita tidak sadar bahwa uang, yang sudah kita terima sebagai kenyataan alami hidup kita, justru menjadi tangan-tangan kalangan elit ekonomi untuk menguasai hidup kita. Dan, muncul ‘spekulasi’ tentang betapa dahsyatnya perubahan dunia akan terjadi oleh suatu gerakan yang ‘hanya’ berfokus pada merubah sikap pada uang. Tak lupa diketengahkan sejumlah titik terang untuk Keluar dari Jebakan uang. Semua sederhana dan dalam jangkauan anda pribadi, modalnya ‘hanya’ optimisme dan keberanian menghadapi arus dunia.
Dalam buklet tahunan yang dikirimkan yayasan Bina Sarana Bakti, diungkapkan arti kata inflasi. Inflasi berasal dari kata latin yaitu inflare, yang berarti penggelembungan. Inilah yang sedang kita hadapi tetapi jarang disadari. Pertumbuhan ekonomi sekarang adalah semu, layaknya balon yang menggelembung dan kemudian pecah menjadi kesia-siaan….
Pada rubrik Masalah Kita mengangkat Penghargaan Untuk Pekerja Lembaga Nirlaba (Aktivis), ini adalah curhatan seorang aktivis yang bekerja di salah satu lembaga nirlaba dengan segala lika likunya termasuk idealisme, kesejahteraan dan penghargaan yang layak diterima oleh seorang aktivis. Di rubrik Media menampilkan ulasan bulletin BUJET, bulletin anggaran publik di Jawa Barat lengkap dengan data, fakta dan uraiannya. Di rubrik Profil menampilkan Aviva Nababan, aktivis yang telah malang melintang di isu HAM bercerita tentang sepak terjangnya menjadi seorang aktivis, berapa penghasilan yang didapat serta alokasi penyalurannya. Juga ada Waty, salah seorang CL UPC yang terpaksa harus merasakan beratnya kehidupan kota Jakarta dan berani memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Tidak ketinggalan rubrik Jalan-jalan ke Balai Warga Marlina di Kampung Muara, Penjaringan, berbagi TIPS Mengatur Keuangan Aktivis serta cerita menarik seputar kegiatan KAIL dalam Bagi-bagi Cerita, diantaranya Pelatihan Hambatan Belajar kerjasama Criminon, Pelatihan Pembuatan Peta Masalah dan Perencanaan Kegiatan UPC serta Pelatihan Peta Masalah yang diikuti oleh Associate KAIL.
Juga jangan ketinggalan info Associate dan agenda KAIL beberapa bulan ke depan.
Selamat menikmati!

[Profil] Yati (CL UPC): “Kita tidak perlu takut pada pemerintah”

Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Tegal yang masih kental, serta selalu berusaha membuat suasana gembira. Dialah Yati, perempuan kelahiran Tegal pada 20 Juli 1973. Walaupun cuma jebolan sekolah dasar, tapi Yati tidak berhenti untuk selalu belajar. Umur tiga tahun dibawa orang tuanya ke Jakarta, tapi kembali ke Tegal ketika umurnya tujuh tahun untuk disekolahkan di desa. Dia dititipkan dengan neneknya di desa untuk sekolah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah di Jakarta. Tapi pengalaman hidup di desa itu juga yang mengajari dia untuk bekerja keras. Umur tujuh tahun sudah membantu neneknya mengumpulkan padi yang tercecer di sawah dari hasil panenan para petani. Kemudian padi itu ditumbuk dan jadi beras, untuk akhirnya dijual atau digunakan sendiri.

Yati memang berasal dari keluarga miskin. Almarhum bapaknya dulunya pedagang kerupuk keliling, sedangkan emaknya sebelum jualan sayur di pasar adalah kuli penumbuk beras yang dijadikan tepung. Tapi emaknya rajin menabung sehingga dari kerja menumbuk beras uangnya bisa digunakan sebagai modal jualan sayur di pasar dan membeli sepetak kamar di Kebun Jeruk Timur, Jakarta Timur.

Tahun 1984 Yati kembali ke Jakarta dan bekerja membantu emaknya jualan di pasar jalan Kebun Jeruk Timur, Cipinang Besar Utara. Ketika hari-harinya sibuk dengan jualan itu, dia ketemu dengan seorang pemuda yang memikat hatinya. Yati menikah pada usia 15 tahun dengan pemuda dari Brebes bernama Rebon Rio pada tahun 1988. Dengan Rebon Rio, Yati dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama bernama Qori Fitrian, kelas dua SMA. Yang kedua bernama Wawan Rianto, kelas tiga SMP, dan yang bungsu bernama Dewi Nurwinda, kelas 1 SMP.

Karena tidak ingin tergantung dengan orangtuanya, Yati mencoba berdagang sendiri, sedangkan suaminya mencoba jualan bubur ayam. Awalnya dia berdagang buah pisang, tapi usaha dagang pisangnya tidak bertahan lama karena suami sering sakit dan modal dagang dipakai untuk bayar biaya berobat. Untuk membiayai hidup keluarga, dia akhirnya menjadi buruh cuci pakaian sampai sekarang. Pendapatan suaminya waktu jualan bubur sekitar 60 ribu/hari. Tapi dari penghasilan tersebut digunakan untuk modal dagang lagi, dan sisanya baru dipakai untuk makan atau kebutuhan sehari-hari. Jika memang tidak ada sisa, maka keluarga Yati mengandalkan pemenuhan kebutuhan dari hasil jasa mencuci pakaian. Kalau pun masih kurang, biasanya dia hutang dulu ke tetangga dan membayarnya menunggu hasil jasa cucian berikutnya.

Kehidupan kelurganya memang susah, tapi tidak menyurutkan semangat Yati untuk memperbaiki kehidupan dirinya dan masyarakat sekitar. Dia menjadi tokoh di kampungnya, karena berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat miskin. Apalagi setelah dia ikut dalam aktifitas Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta. Beragam demonstrasi sudah diikuti, dan seringkali dia didaulat untuk berorasi karena cara bicaranya yang menarik dan tuturkatanya yang runtut. Apalagi Yati sendiri merasa senang berorasi karena bisa mengutarkan unek-uneknya yang selama ini cuma terpendam dalam hati.

Kemampuannnya berbicara di depan umum, membuat dia sering ditunjuk untuk menjadi wakil dari Jaringan Rakyat Miskin Kota ketika berhadapan dengan pemerintah atau pihak luar. Misalnya ketika ketemu dengan Komisi VII DPR RI untuk membahas RUU Pelayanan Publik, dia menjelaskan keberadaan rakyat miskin kota yang sering tidak bisa mengakses fasilitas publik. Dan seringkali hal tersebut cuma disebabkan karena tidak punya KTP. Ketiadaan KTP seperti meruntuhkan segala hak yang seharusnya diterima oleh rakyat miskin kota. Pernah pada tahun 2005 lalu dia diwawancarai oleh salah satu stasiun TV-ANTV soal dana kompensasi BBM yang ternyata tidak menyentuh rakyat miskin kota. Menurutnya rakyat miskin kota banyak yang tidak tersentuh kebijakan kompensasi kenaikan BBM karena peroslan mereka tidak punya KTP. “ Kalau pemerintah salah ya harus diprotes. Kita tidak perlu takut pada pemerintah”. Ucapnya suatu kali ketika diwawancarai.

Kegiatan sehari-hari yang dilakukan adalah menjadi kolektor tabungan yang anggotanya mencapai 125 orang. Tabungan ini berbeda dengan tabungan biasanya, karena kolektor tidak hanya mengumpulkan uang tapi juga mengumpulkan informasi. Dengan begitu, seorang kolektor pasti akan banyak mengetahui informasi tentang kampungnya, khusunya persoalan yang sedang dihadapi. Dalam kelompok tabungan di kelompoknya ini, setiap hari Jum’at ada uang kas untuk kesehatan dan pendidikan sebesar Rp.500,-. Peran menjadi kolektor akhirnya membuat Yati dekat dengan warga sekitar, sehingga kerap kali dimintai tolong oleh tetangga yang mengalami kesusahan. Biasanya kesusahan tetangganya berkaitan dengan anggota keluarga yang sakit tapi tidak punya biaya berobat. Kalau menghadapi seperti itu, yang dilakukan Yati adalah mengurus untuk pengobatan tetangganya itu dengan mengundang Tim Kesehatan Alternatif Jaringan Rakyat Miskin Kota, atau jika kesehatan alternatif tidak mampu, dia mengurusi surat-surat tidak mampu agar bisa berobat di Rumah Sakit secara gratis. Pernah pula bersama dengan kelompok tabungan dan warga sekitar, Yati datang ke kantor Kelurahan untuk memprotes lurah yang tidak mengurus administrasi warga miskin dengan baik. Akhirnya lurah tersebut berjanji akan mengurus kebutuhan administrasi warga dengan baik. Dengan semua yang dilakukannya itu, bukan imbalan materi yang diharapkan Yati. Dia sudah merasa bahagia jika bisa menolong orang lain.

[Profil] Aviva Nababan

Berbeda dengan Yati, Aviva Nababan (biasa dipanggil Avi atau Iva oleh orang-orang terdekatnya) adalah seorang jebolan Fakultas Pendidikan Sastra Inggris dari Universitas Atmajaya. Sedari kuliah Avi sering terlibat dalam kehidupan aktivis. Menapaki trotoar panas dan mengeluarkan aspirasi mahasiswa di era Reformasi ikut digelutinya. Setelah lulus, sedikit melenceng dari jurusan yang diambilnya saat kuliah, Avi sempat terlibat cukup dalam di ELSAM, sebuah LSM yang menyoroti persoalan Hak Asasi Manusia. Tak cukup di ELSAM, Avi pun turut membidani kelahiran suatu Yayasan baru yang keprihatinannya adalah pendidikan kritis bagi kaum muda. Di yayasan yang diberi nama Association for Critical Thinking ini, Avi mendedikasikan waktu dan energinya secara cuma-cuma.

Menunggu dua tahun selepas lulus kuliah S1, Avie berhasil menggondol beasiswa ke London untuk mempelajari International Relationship melalui Chevening Scholarship. Minatnya pada transitional justice mulai terwadahi. "Gue selalu merasa transitional justice itu penting dalam mensukseskan transisi suatu negara dari dictatorship ke demokrasi," tuturnya lugas. Minat dalam hal inipun sudah dipendamnya sejak dia masih belajar untuk menjadi guru.

Entah karena minat yang dia miliki sejak kuliah, semenjak lulus, Avie belum pernah terjun ke dunia 'coorporate'. Sampai sekarang dia masih bergabung di ACT. Namun satu organisasi belum cukup memuaskan sosok Avie yang tak bisa diam. Dia pun bergabung di ICTJ dan Human Rights Centre Berkeley. Meskipun sejarah hidupnya diwarnai dengan kehidupannya dari satu LSM ke LSM lain, Avie mengakui bahwa dia hanya ingin bekerja part time di berbagai organ??organisasi?? yang dia geluti sekarang. "Agar tidak bosan dan punya keleluasaan memilih dalam proyek," alihnya. Dengan statusnya sekarang, Avie bebas menentukan jam kerja dan berapa lama dia bekerja sehari. Terkadang ketika jiwa workaholicnya kumat, dia bisa bekerja lebih dari 12 jam sehari. Namun, disaat tertentu, dia bisa berdiam seharian di rumah untuk menikmati dirinya sendiri.
Dari kedua tempat dimana Avie berafiliasi, dia berhasil mendapatkan keamanan finansial. "Cukup, cukup.." tuturnya. Tanpa perlu mendapatkan subsidi malahan justru memberikan subsidi pada keluarganya, seorang Avie membeberkan manajemen keuangannya. Dari jumlah 2-5 juta/bulan yang pasti dia dapatkan (belum termasuk pekerjaan lepasan yang bersifat per proyek yang tidak tentu nominalnya), 30% dia berikan untuk keluarga, 30% untuk tabungannya dan sisanya untuk keperluan sehari-hari.

Salah satu saluran pembuangan keuangannya adalah buku. Beberapa juta pasti dia habiskan pertahun untuk membeli buku. "Tak pernah ada budget pasti, namun ada beberapa juta." urainya. Beredar di TIM, ISAI dan Q-B untuk mencari buku-buku bagus sering dilakoninya. Dia sendiri mengatur buku-bukunya di rumah, ada buku-buku hukum (tentunya), sastra, novel suspense dan berbagai jenis buku lain yang dia beli tergantung moodnya saat itu.

Waktu di luar pekerjaannya sering di habiskan untuk menjaga kesehatannya di fitness center. Selain itu dia masih sering berkunjung ke tempat kuliahnya dulu. Avi juga dapat ditemukan di warung-warung indomie tempat temannya nongkrong atau di café-café karena dia adalah sesosok penggemar kafein.

Orang tuanya tidak berkeberatan melihat anaknya berkecimpung di dunianya sekarang ini. Begitupun seorang lelaki yang dekat dengannya beberapa tahun ini. Malahan ujarnya, "kekasihnya yang bergerak di bidang BUMN terlihat ingin bekerja sepertinya." Itulah sosok seorang Avie, yang sampai saat ini masih tetap konsisten menjalani minatnya, menuju negara yang demokratis.

[Pikir] Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan Menelusuri evolusi makna dan peran uang dalam kehidupan

Apakah anda kenal dengan gurauan tentang mengapa orang Jawa tidak bisa kaya seperti orang Cina Perantauan ?[1]
Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar rumah dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerja" sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uang". Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan kontras antara budaya agraris yang bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi pada uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat manusia ke depan ?
Di dunia modern sekarang ini, sadar atau tidak sadar, banyak dari kita yang merasakan kontradiksi dari dua model pemaknaan akan uang.

Di sekolah kita diajarkan bahwa uang adalah alat yang membantu kita mempertukarkan barang atau jasa. Jadi uang adalah alat. Kalau alat tentu ia hanya digunakan sesuai dengan kebutuhan. Namun kehidupan sehari-hari justru mengajarkan bahwa uang adalah 'hampir' segalanya bagi hidup kita. Banyak orang menganggap bahwa tanpa uang ia tidak bisa hidup. Di sini uang bukan lagi sekedar alat, tetapi menjadi tujuan hidup kita.
Kita diajarkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan manusia seutuhnya dan berguna bagi nusa dan bangsa. Tapi pada kenyataannya, banyak sarjana merasa bahwa sekolah mereka tidak ada manfaatnya (rugi modal), kalau mereka tidak berhasil memperoleh banyak uang darinya.
Uang telah memasuki relung-relung terdalam hidup kita. Ia telah menjadi sebuah sumberdaya yang mendasar yang menentukan, apakah kita dapat sembuh dari suatu penyakit, apakah anak-anak kita bisa sekolah ataupun rumah seperti apa yang kita tinggali. Bahkan, saat ini perceraian karena masalah ekonomi (uang) ataupun perseteruan orang tua dan anak karena masalah uang jajan, semakin meningkat. Juga, tidak lagi terlalu mengherankan, bila seseorang diketahui bunuh diri atau membunuh orang lain karena urusan uang.
Saya ingin mengajak anda untuk sejenak memandang uang dari perspektif sejarah berikut ini. Semoga dapat memberikan sedikit inspirasi untuk membantu kita menentukan sikap terhadap uang.

Alat tukar yang mempermudah hidup kita

Pada awalnya uang memang benar-benar sebuah alat untuk mempermudah dan mengefisienkan proses tukar menukar. Dan tidak semua proses tukar menukar menggunakan uang, cukup sering juga dilakukan proses barter.
Sistem barter memang memiliki beberapa persoalan praktis. Misalnya, suatu hari Pak Ujang ingin makan Ayam goreng. Ia tahu Bu Ratmi memiliki beberapa ekor Ayam. Untuk itu Pak Ujang mengajak Bu Ratmi menukar anak kambingnya dengan ayam Bu Ratmi.
Untuk melakukan pertukaran, Pak Ujang dan Bu Ratmi harus menyepakati nilai barang masing-masing dibandingkan barang yang lain. Setelah berdiskusi keduanya sebenarnya sepaham bahwa anak kambing Pak Ujang, nilainya lima kali Ayam Bu Ratmi. Masalahnya Bu Ratmi hanya punya tiga ekor ayam. Nah lho … bingunglah keduanya.
Kemudian Pak Ujang mendapat gagasan baru : “Bagaimana kalau ayam Bu Ratmi ditukar dengan Itik saya ?”. Setelah diskusi Bu Ratmi bersikukuh bahwa itik Pak Ujang adalah 2/3 nilai ayammya. Nah lho, bingung lagi mereka. Bagaimana pertukaran dilakukan ?
Ini baru beberapa persoalan. Ada persoalan lagi, misalnya kalau Bu Ratmi tidak menginginkan Itik ataupun Kambing. Kasihan betul Pak Ujang. Mau makan ayam goreng saja susahnya minta ampun…
Nah, hidup Bu Ratmi dan Pak Ujang akan lebih mudah dengan menggunakan alat tukar. Alat tukar itu sendiri tidak perlu memiliki nilai dan bisa berupa apa saja. Bisa saja digunakan batu, potongan kayu, lembaran kertas, kain atau apapun. Yang penting sekelompok orang yang sering bertukar barang satu sama lain menyepakati penggunaannya.
Dengan menggunakan alat tukar, batu misalnya, Pak Ujang bisa dan Bu Ratmi bisa menyepakati bahwa Ayam bernilai 9 batu dan Itik bernilai 6 batu, misalnya. Jadi Pak Ujang bisa mendapatkan seekor Ayam, dengan memberikan seekor itik ke Bu Ratmi ditambah 3 buah batu. Atau kalau Bu Ratmi tidak menginginkan itik, Pak Ujang bisa saja memberikan 9 buah batu untuk mendapatkan Ayam. Bu Ratmi bisa menyimpan batu itu untuk nantinya ditukar dengan baju yang dijual Pak Amir atau Tomat yang ditanam Bu Encih. Tentu selama semua orang itu juga sepakat bahwa batu itu adalah alat tukar yang dapat diterima.
Alat tukar dalam bentuk apapun inilah yang kemudian kita namakan sebagai uang.

Berubahnya Makna Alat Tukar

Berkembangnya pemaknaan terhadap uang dapat kita telusuri dari sejarah kebudayaan di Eropa. Memang, konsep uang seperti yang kita pahami sekarang, mula-mula berkembang di Eropa, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisme.

Berkembangnya Perdagangan dan kaum bangsawan

Titik balik krusial pertama dalam pemaknaan akan uang adalah berkembangnya perdagangan dan kaum pedagang, terutama setelah emas dan logam mulia lainnya semakin luas diterima sebagai alat tukar. Kaum pedagang menemukan bahwa mereka dapat menumpuk banyak emas dengan kemampuan mereka mempermainkan nilai tukar barang (bahasa awamnya --> tawar menawar).
Meluasnya penggunaan alat tukar memberikan kebebasan lebih besar bagi para pedagang untuk memainkan nilai tukar. Berbeda dengan barter, transaksi melalui uang tidak melibatkan suatu barang secara fisik. Nilai suatu barang tidak dilihat lagi relatif terhadap benda lain (yang dipertukarkan), tetapi pada dasarnya berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Artinya si pembeli atau penjual dapat memanfaatkan permainan psikologis atau permainan apapun untuk merekayasa nilai suatu barang. Emas telah mulai membuka jalan kebebasan bertransaksi (baca : rekayasa nilai), secara luar biasa.
Selain itu dengan semakin meluasnya penggunaan emas sebagai alat tukar, para pedagang menemukan bahwa, dengan emas/perak mereka dapat memperoleh hampir apa saja yang mereka mau, berdagang dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan kekayaan semakin terbuka. Ini tentu terkait juga dengan kemampuan mereka dalam tawar menawar.
Tahun 1600-1700 adalah puncak kejayaan kaum saudagar di Eropa. Kaum saudagar menemukan bahwa melalui emas-perak mereka dapat menumpuk kekayaan material dan kekuasaan dengan jauh lebih cepat dan efisien daripada para tuan tanah. Ini membuat kelas pedagang mendapatkan posisi politik dan ekonomi yang sangat kuat.
Inilah yang kemudian ini memicu diadopsinya budaya perdagangan oleh para penguasa politik waktu itu (raja-raja). Muncullah ajaran bullionisme, bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Inilah pandangan sentral dari Merkantilisme, yang didefinisikan sebagai "suatu sistem intervensi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran nasional dan menambah kekuasaan negara ... Untuk mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi raja, yang memungkinkannya membangun armada laut, mempersenjatai tentara dan menjadikan pemerintahannya ditakuti dan dihormati di seluruh dunia."
Munculnya kesepakatan yang semakin meluas akan logam-logam mulia sebagai alat tukar, memang sangat memungkinkan penumpukan uang menjadi sarana untuk memperluas kekuasaan. Dengan memiliki banyak emas, anda dapat memperoleh apapun, dari manapun. Tentu saja termasuk untuk membeli senjata.

Sinergi filsafat materialisme hedonis dan uang

Berkembang pesatnya kegiatan perdagangan dan kaum bangsawan, didorong oleh berkembangnya pandangan materialisme, mekanisme dan hedonisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Di mana Hobbes memperoleh argumentasinya dari pandangan materialistik dan mekanistik berdasarkan revolusi ilmu pengetahuan yang terkait dengan nama-nama terkenal seperti Copernicus dan Newton.
Berdasarkan pandangan materlialistik dan mekanistik, Hobbes menyatakan bahwa manusia adalah mesin yang digerakkan rasa suka dan rasa tidak suka individual. Dan itu semua adalah realitas objektif yang netral, tidak baik dan tidak buruk, sebagaimana pergerakan bintang-bintang di langit atau benda yang jatuh ke bawah. Karena itu, adalah sah-sah saja dan alami bila seseorang mengejar kesenangan pribadi. Inilah dasar dari padangan hedonisme Hobbes.
Pandangan Hedonisme Materialistik ini membuka jalan pembenaran bagi usaha penumpukan kekayaan. Menumpuk kekayaan adalah sah karena tujuannya adalah mencari kesenangan pribadi. Tanggung jawab moral menjadi tidak relevan lagi, karena tidak memiliki dasar objektif nyata. Tindakan mencari kesenangan itu sesuai dengan gerak alam, yang tidak baik dan tidak buruk. Rasa bersalah itu tidak nyata dan hanya ilusi.
Selanjutnya, alat tukar, seperti emas dan bentuk uang lainnya, membuka jalan bagi penumpukan kekayaan yang paling efisien. Selain mempermudah proses rekayasa nilai, emas juga membebaskan upaya penumpukan kekayaan dari batas-batas fisik. Kekayaan tidak lagi terlihat sebagai tanah berhektar-hektar, yang semakin luas semakin, sulit pula dikontrol. Tetapi cukup dengan memiliki gudang-gudang yang lebih mudah diawasi karena memakan tempat jauh lebih kecil. Jadi, daripada menumpuk kekayaan yang riil, kenapa kita tidak menumpuk alat tukarnya saja ?
Ini secara revolusioner membuka perspektif baru pada nafsu penumpukan kekayaan yang tidak terhingga. Semakin besar uang yang dimiliki, semakin besar pula kebebasan untuk mendapatkan apapun di dunia ini. Terciptalah jalan yang lebar dan tak berujung bagi pelampiasan nafsu hedonisme materialistik. Sebagian ahli beranggapan bahwa pada prakteknya filsafat Hedonisme Hobbes lah yang berpengaruh paling besar pada ekonomi modern daripada teori Adam Smith atau Marx.
Materalisme, mekanisme dan Hedonisme
Pandangan materialisme adalah salah satu pandangan penting yang mendorong terjadinya jaman pencerahan, di dunia barat. Yaitu jaman yang ditandai dengan bebasnya masyarakat dari dominasi agama dalam kehidupan[2].
Padangan materialisme ini dimulai dengan revolusi di dunia ilmiah, oleh para filsuf terkenal seperti Copernicus dan Newton. Mereka menyusun teori, yang kemudian mendapatkan bukti empiris, bahwa gerakan benda langit dan banyak fenomena lain di bumi dapat diramalkan melalui perhitungan matematis. Ini kemudian memunculkan pandangan bahwa semua fenomena alam di bumi ini diatur oleh hukum-hukum alam dan bukannya oleh ‘kehendak Allah’. Kalaupun ada Allah, dia hanya berperan dalam menghasilkan hukum-hukum alam itu saja. Inilah dasar dari pandangan mekanisme.
Pandangan ini kemudian diambil oleh para filsuf lainnya seperti John Locke, yang salah satunya menyatakan bahwa hanya rasio manusialah sumber kebenaran. Kebenaran harus dapat dilihat langsung secara fisik, yang lain adalah ilusi, tidak nyata. Inilah dasar dari materialisme.
Pandangan ini secara revolusioner melucuti peran wahyu Allah sebagai acuan kebenaran. Ungkapan di kitab suci yang menyatakan bahwa Allah menciptakan bumi ini semua itu baik adanya, diganti menjadi pandangan bahwa alam diatur oleh hukum-hukum abadi yang netral, tidak baik dan tidak buruk.
Lalu, kalau begitu bagaimana dengan manusia ? Manusiapun dianggap sebagai mesin yang diatur oleh hukum-hukum alam, yang terjadi begitu saja serta tidak baik atau tidak buruk.
Lalu di mana posisi kehendak, kesadaran atau moralitas ? Jawabannya adalah semua itu tidak ada lagi. Yang ada adalah gerakan otak yang berjalan secara spontan. Hukum alam yang dianggap mengatur jalannya mesin manusia ini, sebagaimana diungkapkan Thomas Hobbes[3], adalah rasa senang dan tidak senang pribadi. Tidak ada ukuran tentang baik dan buruk. Yang baik hanyalah apa yang memberikan kesenangan dan yang buruk adalah yang menimbulkan penderitaan. Inilah dasar dari filsafat hedonisme yang mendapatkan pembenaran baru dari materialisme dan mekanisme[4].

Kolonialisme dan Ekspansi Penggunaan Uang

Lepasnya batas-batas fisik terhadap nafsu menumpuk kekayaan yang bertransformasi menjadi nafsu menumpuk uang, mendorong terjadinya kolonialisme. Mula-mula sekali, para pedaganglah yang bertualang ke berbagai penjuru dunia mencari barang yang bisa diperdagangkan. Misalnya, yang datang pertama kali ke Indonesia, bukanlah pemerintah Belanda tetapi VOC.
Mereka tidak terlalu pusing dengan memperluas daerah kekuasaan. Kepentingan utama para pedagang adalah mencari barang dagangan baru, yang dapat diperdagangkan. Atau, tepatnya barang yang dapat dikonversi menjadi uang (emas) untuk terus mengisi pundi-pundinya. Dan, semakin langka atau sukar diperoleh suatu barang semakin mahal harganya.
Namun, kemudian muncul kesulitan teknis. Bagaimana mendapatkan barang-barang di daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh penduduk asli itu ?
Mula-mula, mereka mencoba melakukan barter dengan membawa barang-barang dari Eropa. Namun, tidak banyak barang dari Eropa yang dibutuhkan penduduk asli. Misalnya, mereka tidak membutuhkan perhiasan dan memiliki persepsi nilai yang berbeda pula. Lagipula, karena ekonomi penduduk asli lebih mementingkan nilai kesukuan dan kekerabatan, mereka tidak punya motivasi besar untuk bertransaksi dengan orang asing.
Singkat cerita, setelah menerapkan banyak taktik, termasuk menjual minuman keras, para pedagang mulai bermain ‘kasar’. Mereka berkolaborasi dengan negara untuk memanfaatkan kekuatan militernya. Ini adalah salah satu awal permainan politik para pedagang, yang masih berlaku sampai sekarang.
Sekali lagi, memperluas daerah kekuasaan, bukanlah hal yang penting bagi para pedagang. Tujuan mereka sebenarnya adalah : Dengan membuat suatu daerah sebagai daerah jajahan suatu negara, maka mereka dapat memaksakan penduduk asli untuk menggunakan alat tukar mereka. Caranya, dengan mewajibkan penduduk asli membayar pajak dalam bentuk mata uang yang mereka keluarkan dan kendalikan.
Ini adalah cara yang sangat jitu. Posisi kepala desa menjadi turun tingkatannya dari sebagai pemimpin masyarakat, menjadi sekedar pengumpul pajak rakyat. Orang desa harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Mereka keluar kampung bekerja di perkebunan-perkebunan penjajah. Dengan demikian, hubungan kekerabatan hancur dan perlahan diganti dengan hubungan pasar dan kebergantungan pada pemilik uang.
Inilah kisah yang jarang terungkap tentang kolonialisme. Tetapi sangat penting peranannya bagi berkembangnya penggunaan uang dan kebergantungan pada uang, yang kita rasakan dalam dunia sekarang ini.

Ekonomi uang di jaman modern

Kolonialisme dan meluasnya penggunaan uang telah membentuk dunia yang sekarang kita hidupi. Kebergantungan kita pada uang bukanlah hasil dari proses alami, tetapi hasil dari move politik kaum pedagang yang mengeksploitasi sifat uang demi kepentingan mereka. Dan, sejak jaman kolonialisme negara sudah di dalam genggaman mereka, baik itu negara penjajah maupun negera yang terjajah.
Yang terjadi selanjutnya adalah semakin intensifnya proses integrasi uang dalam berbagai aspek kehidupan. Dan tentu saja, posisi politik para pedagang semakin kuat dan permainan politik mereka semakin intensif dan canggih. Pandangan neoliberal adalah pandangan politik ekonomi yang dikembangkan untuk semakin menginternalisasikan uang dan aktivitas perdagangan dalam kehidupan politik. Yang tentu saja, akan semakin memperkuat posisi para pedagang.

Revolusi Industri dan Munculnya kelas investor : Tuan Uang

Keberhasilan kaum pedagang dalam memanfaatkan meluasnya penggunaan uang dan kemampuan khusus mereka dalam merekayasa nilai barang, memungkinkan mereka mengakumulasi uang dalam jumlah melimpah. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara yang paling efektif untuk meningkatkan kekayaan dengan memanfaatkan aset uang mereka yang melimpah itu. Adakah cara lain yang lebih ‘menyenangkan’ selain dari menjadi pedagang ?
Berkembangnya revolusi Industri memberikan peluang aktivitas ekonomi baru. Namun sebenarnya para pedagang tidak memiliki minat tinggi untuk membuat dan mengelola suatu pabrik. Kegiatan ini terlalu dikotori oleh oli mesin dan para buruh yang bau dan jorok.
Nah, kalau tuan tanah dulu menyewakan tanah mereka, lalu tinggal ongkang-ongkang kaki hidup mewah dari hasil bumi, kenapa kita tidak bisa menyewakan uang dan selanjutnya tinggal ongkang-ongkang kaki juga?
Mulailah para pemilik uang meminjamkan uang kepada para wirausaha, suatu aktivitas yang kemudian kita sebut dengan investasi. Meminjam dan membungakan uang bukanlah aktivitas yang baru dalam sejarah manusia. Namun, investasi melalui industri menjanjikan keuntungan yang lebih besar tanpa aktivitas berdagang yang melelahkan. Cukup dengan memanfaatkan kekuatan uang yang mereka miliki, mereka dapat menguasai pada pengusaha, yang selanjutnya akan menghasilkan uang banyak bagi mereka, tanpa harus berpeluh dan berkonflik dengan para buruh.
Dengan demikian, muncullah kelas baru dalam masyarakat yaitu para investor, yang bisa saja kita sebut sebagai Tuan Uang karena mereka hidup dari menyewakan uang.

Lembaga-lembaga uang : Money Inc.

Akhir abad 19 dan abad 20, ditandai dengan berkembangnya berbagai bentuk lembaga keuangan.
Pemerintah, perlahan-perlahan bertransformasi menjadi lembaga pengelola uang. Persoalan moneter semakin menjadi pekerjaan yang menghabiskan waktu pemerintah. Sampai-sampai saat ini posisi menteri keuangan dan Bank Sentral bisa menjadi lebih kuat dibandingkan presiden. Apalagi bila dibandingkan dengan menteri-menteri lain seperti menteri kesehatan, lingkungan, pendidikan, kebudayaan. Lihat saja pengaruh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika.
Aktivitas investasi memunculkan Bank sebagai lembaga yang khusus mengurus peminjaman uang untuk investasi. Lembaga ini membuka jalan petualangan yang baru bagi para pedagang, yaitu menumpuk lebih banyak uang dengan memperjualbelikan uang yang telah mereka miliki.
Di atas semua itu, muncul pula lembaga baru yang membuat ekonomi berbasis uang menjadi semakin dominan dan semakin agresif, yaitu perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka dimiliki oleh para investor yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Ini adalah perkembangan lebih lanjut dari apa yang sudah terjadi dari masa revolusi industri.
Saat ini semua perusahaan memiliki struktur dasar yang sama, yaitu terdiri dari pemilik dan manajemen. Namun, berbeda dengan perusahaan perorangan maupun keluarga, hubungan antara manajemen dengan dengan investor hanyalah terkait dengan penumpukan modal. Tidak ada keterkaitan personal.
Nihilnya keterkaitan personal antara pemilik dan perusahaan semakin diperkuat dengan berkembangnya pasar modal. Melalui pasar modal, kepemilikan seseorang terhadap perusahaan bersifat sementara. Tepatnya, selama penanam modal masih mendapatkan keuntungan. Bila sebuah perusahaan tidak lagi menguntungkan, modal akan ditarik segera.
Bangkrutnya sebuah perusahaan tidak dipedulikan investor, yang penting uangnya selamat. Investor juga biasanya tidak peduli bagaimana cara perusahaan mencari uang, yang penting untung. Sekali lagi, ini merupakan perwujudan dari filsafat materialisme Hobbes. Don’t take it personally man ! Welcome to the money world !
Terciptalah sebuah lembaga dengan satu tujuan, menghasilkan keuntungan. Manajemen perusahaan selalu menghadapi tekanan untuk tidak saja mencegah kerugian, tetapi meningkatkan keuntungan dari tahun ke tahun. Kalau tidak, mereka akan kehilangan pekerjaan. Begitulah, para pengusaha dan manajer perusahaan, orang-orang yang harus berpeluh mengoperasikan dan mengelola aktivitas produksi, dipaksa semakin tunduk pada kekuatan uang para investor.
Diabaikannya moralitas sekarang bukan saja ditopang oleh filsafat hedonisme materialistik-mekanistik, tetapi juga oleh keterpaksaan struktural. Bila sebuah perusahaan merusak lingkungan atau menyogok birokrat, pengelolanya akan mengatakan, “Harus bagaimana lagi, kita dituntut untuk mencari keuntungan”. Sedangkan, para penanam modal menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Dan, memang secara hukumpun demikian, para investor tidak memiliki tanggung jawab terhadap kemana modal ditanamkan.
Perusahaan terbuka (Korporasi) bisa dikatakan sebagai the institution of the century. Pengaruhnya lebih besar dari institusi apapun, termasuk negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua tunduk pada hukum korporasi. Kenyataannya, sehari-hari kita semakin terbiasa mendengar bahwa tugas utama pemerintah adalah menarik investor dan mencegah investor melarikan modalnya. Dan untuk itu, buruh, petani dan alam telah dikorbankan.

Konsumerisme : hedonisme kontemporer

Pandangan hedonisme materialistik mekanistik membuka area baru pada cara menumpuk kekayaan. Keterbatasan kegiatan perdagangan adalah kebutuhan seseorang. Bila kebutuhan seseorang terpenuhi aktivitas perdagangan terhenti. Akibatnya, terhambatlah peluang pedagang meningkatkan aset uangnya.
Filsafat hedonisme kembali dimanfaatkan oleh para pedagang. Kesenangan seseorang tidak ada batasnya. Bila semangat mencari kesenangan membara, peluang memperdagangkan barang terbuka lebar. Barang-barang yang tidak terlalu bermanfaat seperti, perhiasan, kosmetik, junk food dan segala bentuk barang mewah, menjadi barang dagangan dengan nilai tinggi. Inilah dasar dari berkembangnya semangat konsumerisme. Konsumerisme sangat dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perdagangan[5]. Terlebih lagi di jaman modern ini, di mana kolonialisme fisik sudah diharamkan.
Karena itulah, para pedagang bekerja keras menyebarkan gaya hidup hedonis ke seluruh pelosok dunia. Melalui iklan, model-model cantik dan citra hidup gemerlap, dipromosikan secara gencar. Dengan demikian pedagang telah memperluas kegiatannya dari merekayasa nilai barang kepada merekayasa kebutuhan hidup manusia. Tentu, ini demi memperluas aktivitas perdagangan itu sendiri. Saat ini pengeluaran global untuk iklan semakin mendekati pengeluaran untuk militer.



[1] yang dimaksud di sini secara spesifik memang yang disebut dengan kaum Cina Perantauan, yaitu kelompok orang Cina yang mengadopsi budaya perdagangan, yang kontras dengan orang Cina pedalaman yang mengadopsi budaya agraris feodal, sehingga lebih mirip dengan budaya Jawa.
[2] Masa-masa di mana orang Eropa berada dalam kekuasaan agama biasa disebut abad pertengahan atau abad kegelapan (Dark Age)
[3] seorang filsuf (1588-1679)
[4] Dengan demikian, pandangan Kristiani untuk “menderita bagi orang lain dan kebenaran”, atau pandangan Jihad untuk “mengorbakan jiwa bagi keyakinan”, menjadi absurd dalam pandangan Hedonisme.
[5] Dan di dalam perdagangan ada peluang besar untuk memainkan nilai barang, yang menjadi sarana utama untuk memanfaatkan uang untuk menumpuk kekayaan.

[Masalah Kita] PENGHARGAAN UNTUK PEKERJA LEMBAGA NIRLABA (AKTIVIS)

Ketika pengasuh buletin ini meminta saya untuk menulis pendapat tentang gaji atau honor yang layak untuk pekerja lembaga nirlaba atau para aktivis, saya kontan teringat beberapa pengalaman. Baik pengalaman saya sendiri maupun teman-teman, terkait dengan tema ini yang kadang-kadang jadi “sensitif”. Berikut saya bagikan pengalaman tersebut yang mungkin dapat menjadi gambaran pendapat saya tentang gaji aktivis atau pekerja lembaga nirlaba.

Bekerja demi idealisme
Beberapa tahun yang silam, saya bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di isu HAM. Buat saya yang masih nebeng orang tua dan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah, gaji yang saya terima cukup untuk memenuhi kebutuhan saya selama sebulan. Saya juga masih dapat mengangsur asuransi jiwa dengan premi yang paling rendah.
Namun untuk teman-teman lain yang sama posisi dan gajinya dengan saya, namun sudah berkeluarga atau hidup mandiri, gaji itu sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Meski yang paling sederhana sekalipun. Mereka harus membayar kontrakan, kost, atau mencicil rumah. Ke-terpepet-an itu akan tambah terasa ketika dirinya atau anggota keluarga sakit. Mudah ditebak, staf bagian keuangan lembaga tidak hanya mengelola keuangan dari donor, namun juga berfungsi sebagai “lembaga kredit” terhadap pekerja yang meminjam uang. Ketika tahun berikutnya para pekerja mengajukan kebijakan kenaikan gaji –mengingat harga-harga juga mulai naik - dan adanya fasilitas seperti asuransi kesehatan. Para pimpinan menjawab bahwa, lembaga tempat kami bekerja merupakan lembaga nirlaba yang bekerja untuk kemanusiaan. Dengan karakter lembaga seperti itu, tidak pantas kami mengajukan permintaan-permintaan tersebut. Para pimpinan selanjutnya berkata, kami terlalu membandingkan situasi kerja kami dengan lembaga profit yang memberikan gaji besar dan fasilitas yang banyak.

Jawaban mereka membuat kami kecewa. Sudah tentu kami tidak meminta kenaikan gaji yang besar, namun setidaknya disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat itu. Perkara fasilitas seperti asuransi kesehatan, kami anggap juga wajar. Jangan sampai kami yang bekerja untuk isu kemanusiaan, akan tetapi kami sendiri mengalami dehumanisasi karena tidak sanggup menjaga kesehatan atau berobat saat sakit. Tidak semua pekerja berasal dari keluarga mampu yang bisa meminta tolong kepada orang tua atau saudaranya saat mereka mengalami kesulitan keuangan. Bukan karena kami tidak dapat atau tidak mampu mencari pekerjaan lain maka kami tetap bertahan di lembaga tersebut, namun justru karena kami memiliki idealisme atau setidak-tidaknya senang dengan pekerjaan itu. Akan tetapi, idealisme dan komitmen itu tidak lantas dijadikan bahan kesewenang-wenangan atau pengabaian hukum tenaga kerja oleh pimpinan untuk mengabaikan hak-hak kami sebagai pekerja yang ingin mensejahterakan dirinya dan keluarganya.

Lembaga tempat dulu saya bekerja tidak sendirian. Di lembaga lain, banyak curhat pekerja yang saya dapati tentang isu gaji ini. Dari gaji yang dibawah UMR (terutama untuk pekerja administratif atau yang di bagian umum), tidak ada kenaikan gaji – padahal beban kerja terus bertambah dan harga-harga pasar terus melambung, sampai kepada curhat minta dicarikan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan.

Kesejahteraan Pekerja
Jika membicarakan cukup tidaknya gaji, maka nyaris semua pekerja akan mengatakan tidak cukup. Standar dan kebutuhan kehidupan setiap orang tentu akan berubah atau meningkat. Namun ketika patokannya untuk kelayakan dan kesejahteraan pekerja, maka beberapa komponen harus diperhatikan. Setidak-tidaknya dengan gaji yang diterimanya pekerja dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan layak. Misalnya, pekerja dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan memenuhi standar asupan gizi yang sesuai. Sehingga pekerja tersebut dapat bekerja dengan optimal atau minimal tidak gampang sakit sehingga dapat menuntaskan pekerjaannya. Bukankah itu suatu keuntungan juga bagi lembaga? Kebutuhan akan tempat tinggal, juga harus diperhatikan. Hal ini bukan berarti lembaga harus menyediakan fasilitas kredit cicilan rumah. Namun perlu diperhatikan gaji dibutuhkan bukan sekedar orang dapat makan untuk hidup. Hidup juga perlu tempat bernaung. Jangan sampai pekerja mondok di kantor dengan alasan menghemat pengeluaran atau lebih parah lagi karena gajinya tidak cukup untuk menyewa kamar atau rumah.

Mengulang pengalaman yang telah saya tuturkan di atas, hendaknya gaji juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga bagi pekerja dan keluarganya, atau minimal ada sisa gaji yang dapat ditabung. Sehingga tidak perlu pekerja membolos atau mengambil cuti untuk mencari tambahan uang di luar kantor karena pusing memikirkan biaya sekolah anak. Bukan suatu tindakan yang bijaksana untuk berasumsi bahwa semua pekerja memiliki pasangan yang juga bekerja dengan pendapatan yang memadai untuk menyokong keluarga atau memiliki latar belakang keluarga dari kondisi ekonomi yang mapan.

Fasilitas asuransi kesehatan atau rumah sakit bagi pekerja mungkin terdengar mewah bagi beberapa lembaga. Namun kenyamanan seperti itu dapat meningkatkan kinerja pekerja yang merasa tenang karena tahu jika dia sakit, biaya itu dapat ditanggung bersama kantor. Tidak lucu juga kan, setiap kali ada pekerja yang dirawat di rumah sakit lantas seluruh staf di kantor itu disodori edaran amplop sumbangan? Daripada repot-repot seperti itu, persiapkan saja fasilitas asuransi.

Semua yang saya tulis di atas mungkin tepat untuk pekerja tetap suatu lembaga. Bagaimana dengan volunteer atau pekerja paruh waktu? Sama saja. Honor mereka hendaknya layak dan sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan, disesuaikan dengan tingkat kesulitan pekerjaan dan tantangan yang dihadapi. Seorang teman yang menjadi volunteer di suatu organisasi pernah berseloroh: “Kita di sini bekerja sebagai relawan. Artinya, kita bekerja dengan rela. Tapi jika sudah tidak rela, kita melawan!”

Menghargai Pekerja
Di atas itu semua, memberikan gaji yang layak merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap pekerja. Jangan sampai kerelaan pekerja diartikan sebagai diperlakukan semau gue oleh pimpinan. Atau ya itu tadi, bekerja untuk isu kemanusiaan tapi malah di-dehumanisasi.

[Opini] Absurdnya Ekonomi Uang

Banyak orang sekarang yang menyatakan bahwa kegilaan pada uang adalah hidup yang realistis. Kita sekarang tidak bisa hidup tanpa uang. Betulkah ? Apakah uang dapat kita makan atau mengobati kita dari penyakit ?
Bila anda terperangkap sendirian di sebuah pulau kosong di tengah lautan luas, dengan segudang uang atau emas, apakah uang dapat membantu anda hidup ? Paling-paling uang kertas hanya menjadi kertas tissue, uang logam untuk mainan anak-anak dan emas tidak lebih dari sebuah batu. Kenyataannya yang benar adalah, kita tidak bisa hidup tanpa makanan, tanpa air dan tanpa udara.
Uang, tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri bagi manusia. Uang hanya bernilai pada saat suatu komunitas menyepakatinya sebagai alat tukar. Ya, nilai uang adalah murni hasil konsensus sosial.
Kegilaan pada penumpukan uang membawa kita pada situasi yang absurd.

Absurditas yang paling kuno adalah perburuan terhadap logam mulia[1], yang merupakan salah satu pendorong utama kolonialisme. Logam mulia menjadi bernilai karena digunakan sebagai sarana pertukaran, bukannya karena bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tentu kita ingat kisah-kisah perburuan emas di Amerika, begitu banyak orang yang telah menjadi korban dalam perburuan logam mulia yang absurd ini.

Kekacauan Penilaian

Di luar absurditas kuno itu, ekonomi berbasis uang saat ini telah menciptakan kekacauan kemampuan kita melakukan penilaian. Kegilaan kita untuk menumpuk lebih banyak uang telah membuat kita menghancurkan jutaan hektar hutan yang kaya akan kehidupan. Pertanyaannya, pada saat semua hutan sudah rusak, uang yang kita kumpulkan akan kita pakai untuk apa ? Ini bukan persoalan ayam atau telur, karena jelas hutan, lahan yang subur, sungai yang sehat jauh lebih bernilai dari setumpuk uang kertas.
Saat ini barang-barang mewah, seperti perhiasan dan kosmetik, dianggap lebih bernilai dibandingkan makanan yang sehat. Sebagian besar dana untuk penelitian farmasi digunakan untuk mengembangkan kosmetik dan bukannya untuk mengembangkan obat bagi penyakit yang mengancam nyawa seseorang seperti malaria atau kanker. Mana yang lebih penting, nyawa seseorang atau wajah putih yang bersih dari jerawat ?
Penilaian kita terhadap suatu barang-barang mewah itu bukanlah nilai yang alami. Itu adalah nilai-nilai yang diciptakan melalui rekayasa persepsi yang canggih, dengan memanfaatkan semangat hedonis. Suatu taktik klasik para pedagang. Tujuannya tentu adalah untuk memompa perdagangan, karena perdaganganlah sarana utama untuk menumpuk uang.
Banyak pendukung ekonomi perdagangan dan uang, yang versi canggihnya bernama Neoliberalisme atau pasar bebas global, menyatakan bahwa ekonomi neoliberalisme akan mendorong alokasi sumberdaya secara rasional. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, kita justru mengalokasikan sumberdaya ke hal-hal yang tidak berguna, bukannya kepada hal-hal yang mendasar bagi kehidupan kita.

Memperkaya Diri Dari Kelangkaan

Karena ekonomi uang dikembangkan untuk kepentingan para pedagang, logika pedagang menjadi berperan penting. Salah satu cara pedagang dalam merekayasa nilai barang adalah dengan memanfaatkan kelangkaan. Ini versi yang lebih telanjang dari hukum penawaran-permintaan.
Kolonialisme berkembang salah satunya untuk mencari barang-barang yang langka. Walaupun barang langka itu tidak terlalu bernilai bagi kehidupan, misalnya perhiasan atau bumbu masak, namun para pedagang memaksakan harga mahal untuk barang itu dengan alasan bahwa itu barang langka.
Karena barang yang langka dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, tidak menjadi persoalan atau justru baik bila kita mencemari sungai dan merusak hutan-hutan. Air bersih melimpah tidak ada harganya bagi perdagangan, tetapi bila air bersih semakin langka, muncullah bisnis dagang air. Tidak heran kalau di tengah kerusakan alam sekarang ini, para investor mulai sibuk mengembangkan investasi di sektor air. Air yang langka menjadi bernilai dalam ekonomi uang. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada udara bersih.
Contoh lain, hancurnya lahan hijau kota atau tercemarinya sungai dan pantai di dekat rumah kita, tidak menjadi persoalan bagi para pedagang. Bila alam di sekitar tempat kita rusak, semakin banyak orang yang harus menempuh perjalanan jauh untuk berwisata. Artinya, semakin berkembang pula bisnis wisata (tepatnya, perdagangan objek wisata). Demikian pula, tempat yang alami dan berudara bersih sekarang dijual sebagai lokasi real estate dengan harga mahal.
Dunia ini sudah terkurung oleh logika pedagang. Karena itu, jangan heran kalau kita begitu sulit memperoleh dana untuk kegiatan pelestarian alam. Bila sumberdaya alam kembali berlimpah, habislah peluang berdagang.

Pendarahan Ekonomi Lokal

Para petani sekarang pun harus menjalani kehidupan yang absurd. Sebelumnya mereka menyimpan hasil panen untuk makanan mereka sendiri. Namun mereka diajarkan untuk menyimpan uang di bank. Akibatnya mereka harus menjual hasil panennya untuk mendapatkan uang, yang kemudian mereka belikan makanan.
Konversi suatu barang menjadi uang, dan membelinya kembali, tidak akan pernah efisien. Untuk proses jual beli, kita harus membayar biaya perdagangan dan para pedagangnya, yang biasanya mengambil untung besar. Akibatnya para petani sebenarnya merugi. Jumlah beras yang mampu kita beli tidak akan sama dengan jumlah beras yang telah kita jual.
Bagi petani, atau desa di mana petani tinggal, jelas ini adalah ekonomi yang tidak efisien dan hanya menguntungkan para pedagang. Banyak petani di daerah-daerah lumbung padi yang kelaparan karena tidak mampu membeli makanan. Jelas ini cara yang absurd dalam menjalankan ekonomi.
Ekonomi yang absurd dari sudut pandang lokal ini, sebenarnya terjadi karena pertanian dimanfaatkan untuk mendukung ekonomi perkotaan. Sekali lagi ini kepentingan kaum pedagang dan industrialis. Petani didorong untuk menjual makanannya ke kota, agar mereka memperoleh makanan tanpa harus menanamnya sendiri. Ini kebiasaan para investor yang ingin memperoleh sesuatu dengan ongkang-ongkang kaki[2].
Lebih jauh lagi, dengan berbagai cara, harga makanan dipaksakan untuk tetap rendah. Dengan demikian, biaya operasional kegiatan perdagangan dan industri dapat ditekan. Sekali lagi, ini proses pengacauan penilaian.
Persoalannya menjadi lebih sulit saat orang-orang desa digoda oleh kemewahan kehidupan perkotaan. Mereka membutuhkan uang untuk membeli barang-barang mewah. Ini semakin mendorong petani atau suatu desa untuk menjual hasil buminya daripada menyimpannya untuk kebutuhan sendiri.





[1] yang kemudian dalam dunia modern digantikan oleh uang.
[2] Ini yang disebut oleh penulis buku “Rich Dad Poor Dad” sebagai ‘kebebasan finansial’.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...