[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif

Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang tidak asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yang lebih terkenal di luar negeri karena karya sastranya daripada di dalam negeri. Terkait dengan kesehatan alternatif, saat ini beliau sedang menyelesaikan buku “Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.”
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).

Asam garam telah mewarnai perjalanan hidupnya. Pada tahun 1968, beliau di penjara terkait dengan isu G30SPKI. Di penjara Salemba, beliau ditempatkan satu sel dengan seorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mempelajari akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yang ada di penjara, keduanya berusaha memberikan dan menerima ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak ada buku ataupun alat tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita tentang akunpunktur berpindah dari otak sang guru ke otak sang murid. Keterbatasan jarum diganti dengan usaha membuat jarum dari senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan petugas. Para tahanan yang sakit menjadi pasiennya dan jumlahnya banyak.
Setelah keluar dari penjara Salemba ke penjara seluas tanah air di tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan pada tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan menjadikan akupunktur sebagai sumber kehidupan. Dua tahun kemudian, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa untuk membuka klinik dan menampung banyak bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur dan memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh dan Srilanka untuk mengajari akupresur pada peserta pelatihan. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa untuk mengajari akupresur untuk para petani di sana. Kegiatan seperti ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu mengembangkan pelatihan akupresur untuk kader-kader kesehatan (PKK) dengan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yang dimotori oleh Golkar dan militer menggulung yayasan Pak Putu dengan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki dan disetrum karena sering ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah untuk melakukan perjalanan. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, tetapi peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu beliau secara konsisten menghadapi dan melawan apa yang disebut diskriminasi dan stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk membuktikan bahwa ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini dapat menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yang ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya dan tradisi berkesehatan masyarakat yang menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan adalah pengobatan tradional dapat berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya sebagai ilmu kesehatan yang memiliki cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah maupun paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional dapat terintegrasikan dalam pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran dan tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih sering memperbanyak kajian, membuat pendidikan secara teratur dan terencana dan mempraktekkannya, termasuk di Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya keseimbangan (harmoni) relatif antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, kendala tersebut dapat diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan waktu. Selain itu, mengatur pola makan dan minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK dengan santun dan hormat terhadap hal-hal yang diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Namun Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada anggapan bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran modern. Pandangan seperti ini adalah dampak dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. “Ilmu kedokteran modern mempunyai keunggulan yang harus dibayar dengan uang banyak, tetapi masih ada ilmu kesehatan non kedokteran modern (non konvensional) yang belum diaktualisasikan dan dioptimalkan pemanfaatannya”, ujarnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:
Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.

Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis berdasarkan wawancara via email oleh Hilda Lionata)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...