[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung


Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya’ subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar, mereka memiliki 2 budaya besar, yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang kemudian di masyarakat Kayaan Mendalam adalah budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yang dilantunkan dengan irama tertentu dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan dalam upacara adat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yang berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir semua dayung dalam sepanjang sejarah Kayaan, adalah perempuan. Ketiga, istilah dayung ini pada jaman dahulu dikenakan juga pada mereka yang memiliki kemampuan untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan juga perempuan.

Sejarah dayung, baik dalam arti sebuah doa maupun imamnya, berkaitan erat dengan sejarah (upacara) Dange [2].

Begitu sentralnya peran dan posisi seorang dayung, maka fungsi ini tidak bisa dijalankan oleh sembarang orang. Karena itulah, posisi seorang dayung dalam masyarakat sangat terhormat dan penting. Sekarang, setelah agama resmi masuk di bumi Mendalam, peran dan kedudukan dayung-pun bergeser. Walaupun agama sekarang berusaha mengakomodir adat dan tradisi dulu, tapi kedudukannya menjadi lebih subordinat.

Justru akhirnya yang terjadi pada para dayung sekarang adalah multi beban, karena mereka tetap harus menjalankan fungsi domestik, fungsi produksi (berladang, berkebun dan kadang menganyam), fungsi sosial kemasyarakatan, dan sekaligus fungsi religiositas (sebagai dayung). Apalagi kalau mereka kebetulan juga adalah guru. Tidak jarang terjadi konflik-konflik juga, tapi mereka tetap bertahan.

Dalam konteks inilah, sosok seorang Lusia Ping, atau yang biasa dikenal dengan Bu Ping hadir dan bermakna. Bu Ping, seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahun, sehari-hari berprofesi sebagai guru sekolah dasar sekaligus petani. Bersuamikan seorang pensiunan guru yang beretnis Jawa, mereka kebetulan tidak memiliki anak. Yang menarik dan menonjol dari sosok perempuan Kayaan satu ini adalah perannya sebagai dayung.

Ketika Dange dan segala ritualnya mulai diakomodir oleh agama resmi, Bu Ping, sebagai perempuan muda waktu itu, yang bukan seorang dayung adat, menjadi tokoh di garis depan bersama dengan nenek Tipung-sang dayung aya’ (dayung besar/senior) untuk kembali menghidupkan dan melestarikan adat mereka. Walaupun belum berstatus dayung, Bu Ping mengambil posisi sebagai motivator dan penggerak serta “penyambung generasi para dayung”. Ia belajar dan menggali kembali serta mengumpulkan kebijakan lokal yang sempat hilang, belajar dari subjek sejarah yang masih hidup waktu itu, yakni nenek Tipung dan beberapa tokoh adat yang sudah tua. Kearifan tradisional yang dituangkan dalam dayung dan hidup dalam dayung itu mulai dicatat dan dibukukan.

Para dayung ini melakukan proses kaderisasi dan pembelajaran dengan cara-cara yang informal, dengan tradisi lisan dan dilakukan sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari perempuan. Bahkan dalam sakitnya yang cukup parah, nenek Tipung masih juga menyediakan dirinya untuk belajar bersama Bu Ping, yang akan meneruskan kembali pada dayung-dayung muda (dayung uk) lainnya. Sambil berbaring, duduk di atas tikar, mereka belajar. Nenek Tipung melantunkan dan mempraktekkan dayung, diikuti Bu Ping, sambil dihafalkan dan dicatat. Demikian berulang-ulang sampai betul-betul menguasai. Semua ini dilakukan di sela-sela waktu mereka yang sangat padat dan sibuk, terutama dengan banyaknya peran yang dipikul perempuan.

Proses kaderisasi ini kemudian diteruskan dengan merekrut para perempuan muda untuk melanjutkan tongkat estafet sejarah dayung. Bu Ping jugalah yang mempunyai peran besar dalam merekrut, memotivasi, bernegosiasi dan mendorong para perempuan ini untuk mau belajar adat dan sejarah mereka lagi. Pekerjaan ini diakui tidak mudah oleh Bu Ping, karena pada mulanya orang takut untuk mulai lagi menggali adat, dan karena tidak sembarang orang bisa menjadi dayung. Mereka takut nenek moyang mereka marah kalau tidak dilakukan sama persis dengan adat dulu. Mulai dengan 6 orang teman, Bu Ping tidak putus asa. Belum lagi mereka menemui kesulitan untuk belajar apa yang dulu sudah ditinggalkan. Ketakutan dan rasa malu serta tidak percaya diri dari rekan-rekan mudanya ini disikapi dengan sabar oleh Bu Ping. Ia tidak pernah memaksa seseorang untuk melakukan apa yang dia inginkan. Tapi dengan membiarkan mereka menemukan sendiri, diikuti dengan proses negosiasi dan diskusi, serta teladan yang tiada henti. Untuk itu beliau perlu memahami karakter rekan-rekannya, sehingga proses kaderisasi ini bisa berjalan mulus. Seperti yang dikatakan,” Kita tidak usah menunjukkan marah atau ngomel. Kita mau mendidik orang, nanti orang malah lari.”

Kesabaran dan tekatnya terbukti membuahkan hasil. Tahun ke-2 uji coba proses inkulturasi adat dange dalam liturgi resmi agama sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Makin banyak orang yang berminat untuk belajar dan bergabung. Perasaan takut dan malu juga mulai bisa diatasi.

Para dayung sekarang sudah bisa belajar dengan catatan, tidak harus menghafal, dan tidak harus dijadikan dayung lewat mimpi atau penyakit. Motivasi menjadi dayung sekarang lebih berdasarkan karena minat, hobbi ataupun keharusan untuk menjaga tradisi. Tapi banyak juga yang mau menjadi dayung, karena dayung merupakan doa, dan karena kehidupan religius mereka masih sangat pekat maka lewat doalah mereka memperoleh kelegaan, kedamaian dan pengharapan. Bu Ping sendiri merasa: “enak rasanya kalau berdoa dengan berdayung, sambil bernyanyi dan menari. Rasanya meresap...”

Dalam kehidupan religius, yang paling aktif dan berperan adalah para perempuan. Merekalah yang paling setia dan yang mengambil tanggungjawab terbesar. Tapi hal ini tidak berarti mereka tidak peka dan kritis terhadap masalah-masalah sosial, keagamaan dan masalah lingkungan di sekitar mereka.

Adalah beberapa orang yang masih punya kesadaran dan kekritisan, yang mau melihat dan memperjuangkan kembali keberlangsungan hidup di lingkungan Kayaan Mendalam. Bu Ping, sebagai salah satunya, ikut serta dalam momen itu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, sekitar 300 orang Kayaan berdemonstrasi ke DPRD untuk menuntut dicabutnya HPH dan HTI, dan melarang mereka beroperasi lagi di wilayah Mendalam. Para perempuan ikut serta dari awal proses hingga akhir. Mereka menari di depan kantor DRPD dengan menggunakan pakaian adat.
Bu Ping, nenek Tipung (yang tanggal 29 April 2004 lalu meninggal), serta para perempuan Kayaan ini juga menyadari dan mengalami akibat dari kerusakan lingkungannya, tidak hanya hutan, tapi juga air sungai. Kekritisan dan peran serta mereka yang teramat besar dalam sejarah hidup masyarakat Kayaan patut diberi acungan jempol. Kesetiaan dan perjuangan mereka yang tak kenal lelah untuk terus mengembangkan budaya kehidupan selayaknya kita dukung. Bu Ping, beserta perempuan-perempuan Kayaan yang ada nun jauh di Mendalam sana, telah memberi kita teladan bagaimana membangun sebuah proses belajar bersama yang lebih arif, tidak otoriter dan penuh kekerasan, sekaligus kritis dan konsisten.

Catatan:
[1] Budaya ngayau adalah budaya yang berkaitan dengan peperangan (yang lebih bersifat fisik) untuk memerangi dan mengalahkan musuh, biasanya menggunakan senjata seperti parang, yang disebut mandau. Secara spesifik, musuh biasanya dikalahkan dengan memolong leher mereka (cara seperti inilah yang dikenal dengan me-ngayau). Sedangkan budaya dayung adalah budaya yang berkaitan dengan segala bentuk kehidupan religiositas mereka.
[2] Dange adalah upacara terpenting dan terbesar bagi masyarakat Kayaan Mendalam. Dange adalah sebuah upacara pesta panen, yang merupakan ungkapan syukur mereka atas hasil panen, dan segala berkat dan rahmat yang telah mereka terima selama satu tahun. Sekaligus, mereka meminta berkat dan perlindungan untuk masa tanam yang akan datang.
(Intan Darmawati)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...