Oleh: Kandi Sekarwulan
Bulan Mei
2019 lalu, sempat tersebar kabar bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
dengan jumlah climate deniers
(penyangkal krisis iklim) terbesar di dunia. Media-media seperti Jakarta Post dan
Vice menyebutkan, 1 dari 5 orang di
Indonesia tidak percaya bahwa krisis lingkungan di bumi disebabkan aktivitas
manusia.
Walau menyedihkan,
fakta ini sulit disangkal mengingat kesadaran dan kepedulian lingkungan bangsa
Indonesia memang rendah. Indonesia adalah pemilik sungai paling kotor di dunia,
juga negara ke-2 penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan. Di sisi lain,
pendidikan di Indonesia yang masih menganut pola konvensional sama sekali jauh
dari pengembangan kesadaran lingkungan yang serius. Kampanye dan edukasi yang
ada belum berhasil menyadarkan orang Indonesia untuk menjaga lingkungan.
Adalah Ines
Setiawan, seorang pendidik asal Tangerang, yang tergerak untuk memperbaiki
permasalahan tersebut. Bekerja sebagai pengajar pada sebuah sekolah
internasional di bilangan BSD, Beliau mendirikan suatu platform pendidikan untuk mewadahi idealismenya terkait
permasalahan pendidikan. Lembaga tersebut dinamainya SHINE, singkatan dari Sustainable Hyper-platform for Indonesian
Network of Educators. Karena ketertarikannya pada sains, lembaga ini
dimaksudkan Ines untuk mengedukasi sains dengan cara yang menyenangkan serta
bermakna.
Didirikan
pada tahun 2014, SHINE tidak langsung aktif karena kesibukan pribadi Ines
sebagai pengajar. Namun seiring perubahan manajemen di sekolah, beliau
merasakan berbagai ketidaknyamanan saat mengajar, termasuk keterpaksaan
menurunkan mutu pendidikan akibat kebijakan sekolah yang tidak mendukung. Hal
ini memotivasinya menciptakan perubahan melalui jalur luar sekolah, yaitu
SHINE. Dorongan lebih jauh diperoleh Ines dari seorang kawan yang bekerja di Australian Rural Development Program.
Kawan tersebut mengajak SHINE bekerja sama dalam sebuah program kepemimpinan
yang ternyata sangat inspiratif. Kerjasama tersebut menjadi titik awal bagi
Ines untuk memulai kelas-kelas pertamanya di SHINE.
Kelas
pertama SHINE adalah workshop membuat
keju bersama anak-anak, bertempat di rumahnya sendiri. Dihadiri oleh sejumlah
anak, kelas tersebut mendapat respon yang baik sehingga dibuatlah kelas
selanjutnya. Sejak saat itu, kegiatan edukasi SHINE terus bergulir dan
berkembang. Terhitung hingga saat ini (Juli 2019), kelas-kelas SHINE telah
melayani sekitar 11.000 orang mulai dari anak, dewasa hingga keluarga. Ragam
materinya pun semakin banyak, mulai dari kelas produk susu, sabun, coklat, awetan
buah, jamur, hingga bioplastik, juga kelas peningkatan kapasitas seperti
kewirausahaan dan literasi keuangan, serta berbagai ekskursi/kunjungan lapangan.
Tentang
pendekatan organisasi, Ines mengaku memilih wirausaha sosial atau sociopreneur. Keputusan ini diambil
karena pengalaman saat melakukan kegiatan sosial yang sepenuhnya bergantung pada
donasi dirasa kurang berhasil. “Saya belajar, pendidikan yang terlalu komersil
memang memberatkan orang. Tetapi jika pendidikan sepenuhnya gratis atau
bergantung pada donasi, orang jadi tidak menghargai prosesnya. Kualitas tenaga
pendidik juga tidak bisa dijamin.” ,demikian paparnya.
Melalui
bentuk sociopreneur, Ines menjelaskan,
SHINE dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat dan lingkungan. Manfaat
pertama adalah SHINE mampu mengedukasi cara-cara hidup berkelanjutan/ramah
lingkungan yang sangat aplikatif bagi pesertanya. Sehingga, tanpa perlu
berpanjang-panjang membahas permasalahan lingkungan, para peserta kelas SHINE
telah menerapkan berbagai aspek berkelanjutan secara tak sadar. Contohnya,
dengan membuat awetan buah, para ibu rumah tangga dapat mengurangi jejak karbon
di rumah, memenuhi kebutuhan gizi keluarga sekaligus menyelesaikan permasalahan
limbah makanan (memanfaatkan buah-buahan yang tidak terjual di pasar). Membuat
sabun minyak jelantah, misalnya, selain mengurangi limbah juga dapat menjadi sumber
pemasukan bagi keluarga, dan lain sebagainya.
Menurut
Ines, selain manfaat langsung dari edukasi, terdapat pula manfaat lanjutan
yaitu adanya pemberdayaan masyarakat. Banyak di antara peserta SHINE yang
mengembangkan bisnis berbekal keahlian yang diperoleh dari kelas. Para peserta
yang telah ahli juga difasilitasi untuk menjadi pengajar SHINE, dan dapat
menyelenggarakan kelas-kelas baru di daerah masing-masing.
Walaupun
saat ini SHINE telah bekerja sama dengan berbagai institusi dan perusahaan
besar, Ines tetap percaya bahwa
pendidikan yang terjangkau sangat penting. “Di tempat lain, orang bisa
membayar 600.000 rupiah untuk satu kali workshop sabun. Yang mahal sebenarnya
bukan pendidikan, tapi sewa tempat,
goodie bag, konsumsi, dan lain sebagainya. Kalau ada klien yang ingin fasilitas
seperti itu, kami bisa berikan, tetapi (jika tidak diminta), kami tetap harus
memberikan akses untuk orang-orang lain yang tidak sanggup membayar mahal. Di
SHINE, kami peras seminim mungkin biaya-biaya yang tidak perlu, sehingga bagian
terbesar biayanya untuk membayar tenaga pendidik dengan layak. Hanya dengan
cara itu kami bisa memberikan pendidikan yang berkualitas namun terjangkau,
sekaligus menghargai pendidiknya,” jelasnya.
Jalan
idealis yang ditempuh Ines tidak lepas dari berbagai kendala. Sistem SHINE yang
sangat terbuka dan inklusif terkadang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Sempat terjadi konflik ketika ada orang yang membeli bahan-bahan pelatihan dari
SHINE dengan harga murah, kemudian menjual pelatihannya sendiri dengan harga
komersil. Ada juga orang yang mengadakan pelatihan dengan mengatasnamakan SHINE
tanpa berkoordinasi sebelumnya. Namun, bagi Ines, permasalahan semacam ini
dirasa tidak terlalu mengganggu, karena Ines percaya hanya usaha baik yang akan
berkelanjutan. “Usaha yang dilakukan dengan curang, lama-lama orang tidak
percaya, sehingga akan mati dengan sendirinya.”
Pendidikan
yang diberikan oleh SHINE dirasa memberikan manfaat yang besar para peserta,
khususnya dalam bidang kemandirian pangan. Dalam berbagai post-nya di Facebook – media sosial yang dipilih menjadi platform untuk menyebarluaskan program
dan nilai-nilai SHINE – Ines seringkali menyampaikan, mencukupi kebutuhan gizi
keluarga tidak harus mahal. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup,
orang bisa memanfaatkan potensi alam dan lingkungan sekitar untuk mendapatkan
makanan yang enak, bergizi serta berkualitas tinggi. Jika tidak sanggup membeli
daging, ada jamur dan sumber-sumber protein nabati lain yang dapat ditumbuhkan di
rumah. Jika keju atau coklat bagus yang dijual di supermarket terlalu mahal, dengan
sedikit pengetahuan kita bisa membuat sendiri makanan tersebut, bahkan
mendapatkan hasil yang bebas pengawet ataupun bahan aditif lain. Juga dengan
sedikit wawasan botani, kita bisa memanfaatkan tumbuhan liar sebagai bahan
makanan (disebut juga foraging/meramban).
Pendidikan yang sesuai konteks dan kebutuhan dapat memberdayakan orang,
sehingga mereka mempunyai berbagai pilihan dalam mewujudkan hidup berkualitas.
Ines
Setiawan mungkin termasuk tipe manusia yang langka. Di saat kebanyakan orang mengeluh
dan menuntut pemerintah untuk memperbaiki nasib mereka, beliau memilih untuk
bergerak menciptakan perubahan dari lingkaran terkecil. Menurut pendapatnya, “Siapapun
pemimpinnya, pasti akan kewalahan kalau rakyatnya malas dan mau enaknya
sendiri.”. Setiap orang berhak dan perlu memperjuangkan hidupnya sendiri, tanpa
harus bergantung pada pemerintah, atasan atau siapapun. Caranya adalah dengan
selalu mendidik dan mengembangkan kapasitas diri. Bahkan pengetahuan sains
sederhana, selama dipahami dan diterapkan dengan baik, dapat membantu mewujudkan
hidup yang berkualitas.
***
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Bagaimana mau kerjasama dengan shine mwnjdi botanical ilustrator......mohin info.....trims
ReplyDelete