[OPINI] MAKANAN DAN POLITIK: BAGAIMANA HUBUNGAN MAKANAN, NEGARA DAN KEDAULATAN DIRI

Oleh : Fictor Ferdinand

Makanan kita adalah sebuah arena pertarungan politik. Makanan menentukan naik dan turunnya popularitas pemerintah. Bahkan menentukan, lahir, dan matinya kekuasaan.
Saya ingat bagaimana rasanya saat panen daun katuk yang saya tanam di halaman rumah. Memakan hasil yang saya tanam sendiri memberikan pengalaman yang berbeda. Di internet, foto halaman rumah penuh dengan padi yang ditanam dalam pot membuat saya berkhayal, suatu saat saya bisa bertanam padi sendiri. Merasakan berdiri di kaki sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, adalah pengalaman yang saya pikir mungkin tidak dialami banyak orang. Kebanyakan orang mungkin memilih mencari cukup uang untuk makan. Bagi mereka yang berasal dari keluarga petani, memakan apa yang ditanamnya, merupakan sesuatu yang biasa saja. Tapi bagi saya, yang berasal dari keluarga bukan petani, ini jadi pengalaman yang unik.

Perasaan berdaulat, bahwa kita tidak bertumpu pada orang lain untuk makan. Bisa hidup dan mengatur kehidupan sendiri, tanpa takut tak dapat makan. Saya pikir kedaulatan atas makanan adalah prasyarat penting untuk otonomi - bagi diri, komunitas, bahkan negara-bangsa. Makanan bahkan menentukan lahir, mati dan stabilnya suatu negara.

Setidaknya dua presiden pertama Indonesia diturunkan setelah sebelumnya terjadi krisis bahan pangan. Bahan makanan, atau tepatnya beras, hilang atau tak terjangkau harganya di pasaran. Saya ingat cerita Ibu saya, yang makan nasi bercampur jagung atau singkong, karena beras saat itu (saat Presiden Sukarno berkuasa) harganya mahal. Aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) tahun 1966, salah satunya adalah turunkan harga pangan. Pun demikian halnya pada saat turunnya Presiden Suharto. Sejak pertengahan tahun 1997, harga beras melambung tinggi dan sulit ditemui di pasaran. Ujungnya adalah demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan massal tahun 1998 yang membuat Presiden Suharto lengser.

Presidan Sukarno dan Presiden Suharto, bukan tidak mencoba mendorong produksi beras dalam negeri. Presiden Suharto sepertinya lebih beruntung, karena paket revolusi industri hijau berkembang seiring dengan ditemukannya varietas padi baru (padi IR) oleh International Rice Research Institute, dan naiknya harga minyak yang memungkinkan subsidi pupuk dan pembangunan sistem irigasi (termasuk bendungan bendungan) dimana-mana. Ketahanan beras itu, tak berlangsung lama. Sebelum akhirnya lengser, pemerintahan Suharto sedang dalam upaya mengimpor beras. Pada tahun 2015 hingga 2017 lalu, Presiden Jokowi tengah mencoba mendorong Upaya Khusus (Upsus) untuk mendorong kemandirian pangan Jagung, Kedelai dan Padi/ Beras (Pajale).

Menjaga ketersediaan pangan sangat penting untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Ini telah terbukti dimana mana, sepanjang sejarah. Tak hanya di Indonesia. Revolusi Arab Spring yang bergulir di negara-negara Timur Tengah pun sebenarnya adalah ‘revolusi mereka yang lapar’ (revolution of the hungry).(1) Runtuhnya peradaban Maya pun diduga diawali dari krisis pangan.(2) 

Bahan makanan - dalam hal ini beras - menentukan naik dan turunnya pemerintahan. Bukan hanya itu, beras juga menjadi awal mula lahirnya kekuasaan dan peradaban di Asia.

Beras dan Munculnya Peradaban di Asia
Menilik dalam sejarah, beras sendiri bukan makanan pokok seluruh orang di Indonesia. Produksi beras dengan sawah berair di Indonesia diduga dibawa oleh kerajaan Hindu dari India saat mereka memperluas wilayah kerajaan di Jawa. 

Komoditi beras sebagai alat politik negara
Sumber foto : www.spi.or.id
Dr. Nadirman Haska, dari BPPT menyebutkan bahwa secara antropologis, masyarakat di Jawa menyebut sego atau sangu untuk nasi, yang sebenarnya berasal dari kata ‘sagu’, tumbuhan yang banyak tumbuh di wilayah pesisir di sebagian besar pesisir pantai Nusantara.(3) Meskipun demikian, suku-suku terdahulu di Indonesia seperti Suku Dayak, Batak dan Toraja yang nenek moyangnya datang dari Asia Selatan, mungkin membawa padi bersama mereka saat memasuki wilayah Nusantara jauh sebelum Kerajaan Hindu dari India masuk.

Lalu mengapa beras yang ditanam di sawah dipilih oleh Kerajaan-kerajaan Hindu awal di Indonesia? Sebelum itu, saat Peradaban Cina berkembang, kerajaan-kerajaan besar di daratan Cina Tengah telah lebih dulu mendorong penanaman padi di sawah dan menghapus makanan lokal rakyat Cina yang awalnya terdiri dari umbi-umbian. Umbi-umbian tidak bisa diakumulasi (setelah dicabut, tak lama ia akan membusuk). Bila tidak akan dimakan, umbi akan dibiarkan di dalam tanah. Karenanya, umbi juga tidak dapat dengan mudah dilihat, dihitung dan dikenakan pajak. Sedangkan padi di sawah mudah dilihat, punya waktu tanam dan waktu panen tertentu sehingga lebih mudah ditarik pajaknya.

Apa hubungannya dengan pajak? Kerajaan-kerajaan ini hidup dan membesar lewat sistem pajak yang diterapkan di wilayahnya dan kerajaankerajaan kecil yang dikuasainya.

James C. Scott(4) seorang antropolog dan peneliti politik, menyebutkan beberapa kelebihan beras dibandingkan jenis makanan lain yang dikonsumsi penduduk asli yang belum dikuasai oleh kerajaan-kerajaan besar kala itu. Beras ditanam di lahan terbuka yang menetap. Sistem irigasi pada persawahan membuat area yang dibutuhkan untuk produksi pangan relatif tetap, baik secara luasan area, maupun posisi area. Luasan area pertanian menjadi penting, karena sisa area yang lain bisa digunakan untuk mengkonsentrasi penduduk. Konsentrasi penduduk ini penting karena pengelolaan lahan pertanian pada masa tanam dan masa panen akan membutuhkan banyak tenaga. Posisi area juga penting, agar dapat dijangkau oleh pusat kerajaan. Semakin jauh dari pusat kerajaan, semakin sulit kontrol, pencatatan dan penetapan pajaknya. Cara menumbuhkan padi juga dapat direplikasi dengan mudah di berbagai tempat, sehingga sawah benar-benar bisa ‘dicetak’ di berbagai tempat sesuai kebutuhan.

Scott menyebut sistem pajak ini sebagai cara untuk menyerap state-accessible products (SAP). (5) Seiring dengan perluasan wilayah kerajaan, kebutuhan untuk menyamaratakan sistem perpajakan atau sistem penghisapan produk ini menjadi semakin kuat. Penguasaan daerah baru biasanya dilakukan bersamaan dengan pengenalan cara bercocok tanam padi sebagai metode produksi pangan. Hal ini mengurangi keanekaragaman sumber pangan yang ada sebelumnya. Tidak sampai sepenuhnya monokultur, tapi benar-benar mereduksi keragaman pangan yang sudah ada sebelumnya. Mengapa demikian? Karena bila masyarakat mengembangkan pertanian yang bersifat polikultur, maka cara perhitungan pajaknya bisa berbeda-beda untuk setiap produk. Kebutuhan untuk memiliki satu atau hanya beberapa jenis makanan pokok jadi lebih kuat lagi setelah ditemukannya sistem mata uang. Banyak produk makanan hasil tanaman polikultur, berarti penentuan harga yang berbeda untuk tiap jenis, perbedaan pajak, perbedaan harga lahan, dan seterusnya. Kompleks sekali.

Pola pertanian monokultur (hanya satu jenis tanaman ditanam di satu lahan tertentu) dan polikultur (lebih dari satu jenis tanaman ditanam di satu lahan tertentu)
Sumber foto : dokumen pribadi (pertanian polikultur), www.kimgendeng.blogspot.co.id (pertanian monokultur)
Tidak kalah penting adalah pola kerja masyarakat. Pada sistem persawahan ada waktu-waktu di mana orang akan ramai-ramai turun ke sawah untuk tanam dan panen. Diantara waktu-waktu tersebut, kerajaan dengan mudah mengetahui kapan saat yang tepat untuk memanfaatkan tenaga kerja dari rakyat (yang juga merupakan ‘produk’ lain yang bisa dihisap oleh kerajaan/ negara) untuk mendukung program-program pembangunan kerajaan (jalan, bangunan ibadah, dll).

Dalam perkembangannya, dinamika hubungan ini tidak hanya berhenti pada hubungan penghisapan pemerintah terhadap warga. Tapi pemerintah juga berusaha menciptakan hubungan kebergantungan warga terhadap pemerintah. Mirip sebuah kisah percintaan, tanpa hubungan kebergantungan ini, sebuah pemerintahan tak akan berumur panjang.

Beras Sebagai Alat Mempertahankan Hubungan Paternalistik Negara - Warga
“Orang Indonesia belum makan kalau belum ketemu nasi.” Begitu candaan yang biasa kita dengar soal kebiasaan makan kita. Ini aneh, karena dahulu tidak semua wilayah di Indonesia mengonsumsi beras. Konsumsi beras di wilayah-wilayah lain, khususnya di Indonesia Timur, mungkin baru terjadi sejak akhir tahun 70-an seiring dengan program swasembada pangan.

Salah satu kebijakan yang banyak menuai kritik saat ini adalah kebijakan ‘berasisasi’ yang berlangsung di masa pemerintahan Presiden Suharto. Kebijakan ini berakibat pada perubahan pola makan sebagian rakyat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah Indonesia Timur yang sumber karbohidrat utamanya adalah sagu, ubi, jagung atau singkong. Program ‘cetak sawah’, pembangunan saluran-saluran irigasi, paket transmigrasi, subsidi pupuk, pestisida, program petani teladan, bahkan sampai kisah Suharto Anak Petani pun diangkat mendorong perluasan lahan-lahan sawah di Indonesia. Jagung, bulgur, sagu dan umbi-umbian ditertawakan sebagai identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, atau makanan jaman perang. Nasi, ditampilkan sebagai makanan orang ‘maju’, disajikan di acara-acara pemerintahan, dan acara yang mengundang ‘orang-orang penting’. Akibatnya, umbi-umbian, jagung dan sagu pun ditinggalkan. Dan konsumsi beras per orang di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia.(6)

Pengolahan sagu di Papua
Sumber foto : www.registarapa.blogspot.com
Pada dasarnya hubungan negara dan warga nya adalah hubungan paternalistik, atau hubungan kebergantungan antara anak (warga) dan orang tua (dalam hal ini negara). Selain urusan pajak seperti yang telah diuraikan sebelumnya, beras juga digunakan untuk menjaga hubungan paternalistik ini. Bila suatu daerah bisa mandiri dengan pangan yang dihasilkannya sendiri, lalu di mana peran pemerintah sebagai bapak? Jadi lalu konsumsi beras perlu digalakkan, karena ia akan menjadi medium pemerintah untuk menjalankan perannya sebagai ‘bapak’ yang mengangkat ‘anak anak’-nya dari kemiskinan dan ketertinggalan. Menjadi medium bantuan dengan program cetak sawah, subsidi pupuk, pembangunan saluran-saluran irigasi dan paket bibit unggul. Bila sang anak bisa mengurus makanannya sendiri, lalu bagaimana ‘bapak’ bisa menunjukkan kasih sayangnya? Dalam konteks program pengentasan kemiskinan misalnya, tentu lebih mudah mengirim satu jenis bahan makanan (Raskin).

Di kawasan-kawasan yang di masa lalu punya sejarah panjang kedaulatan pangan, masyarakat tinggal di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Mendorong orang makan nasi di daerah-daerah ini tentu tidak mudah. Di daerah-daerah Timur Indonesia, mahalnya harga beras dan kesulitan pengiriman Raskin, diidentikkan dengan parahnya kondisi infrastruktur. Padahal kebutuhan infrastruktur tidak perlu muncul kalau tidak ada kebutuhan si bapak untuk ‘mengulurkan tangan merengkuh anak anaknya’.

Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk di Asmat misalnya, diakui pemerintah disebabkan karena sulitnya akses menuju kampung-kampung Asmat. Program berasisasi di masa lampau, yang diteruskan dengan program Raskin telah membuat masyarakat Asmat yang sebelumnya mampu hidup dengan sagu, jadi sangat bergantung pada bantuan beras Raskin. Meskipun pemerintah menyadari bahwa ini terjadi karena kesalahan kebijakan Raskin, namun cara yang dipilih untuk mengatasi ini misalnya adalah dengan program penanaman sagu (yang menurut saya aneh, karena wilayah itu seharusnya penuh dengan sagu). Sekali lagi dalam kasus seperti ini, pemerintah hadir sebagai ‘bapak’ yang menolong ‘anak-anak’ nya lewat bantuan dan program. (7)

Saat orang mulai bergantung pada beras, ada alasan-alasan ekonomis untuk mulai mencetak sawah-sawah baru (untuk menurunkan harga beras lokal), mengirimkan bantuan pupuk, pembangunan irigasi dan memasarkan hasil panen. Maka kemudian, pembangunan infrastruktur didorong bukan hanya untuk mempermudah aliran barang dan bantuan seperti beras untuk masuk, tapi juga dilakukan untuk memudahkan aliran surplus bahan pangan dari daerah tersebut.

Surplus pangan ini memang didesain. Surplus pangan ini akan disalurkan pada kelas-kelas masyarakat yang tidak memproduksi makanannya sendiri, memberi makan kelas pekerja industri yang tidak bisa memproduksi makanannya sendiri. Kelimpahan bahan pangan, harga bahan pangan yang murah, menentukan tingkat inflasi, sekaligus menjamin ketersediaan pangan murah bagi para tenaga kerja industri. Industrialisasi tidak mungkin terjadi tanpa kelebihan produksi pangan yang digunakan untuk memberi makan kelas-kelas pekerja itu.
Industri, menghasilkan lebih banyak hal lagi yang bisa dikenai pajak. Begitulah tujuan awal dari negara menurut James Scott: memaksimalisasi penghisapan SAP lewat media pajak.
------
"Leaders don't create followers, they create more leaders." - Tom Peters
Bila makanan kemudian menjadi medium hubungan antara penguasa dan warganya, membentuk dan melestarikan hubungan paternalistik dan penghisapan penguasa terhadap warga, mungkin suatu saat, menanam tanaman yang akan kita makan sendiri adalah sesuatu yang ilegal dan digolongkan sebagai upaya subversif. Dan beberapa tempat bahkan sudah menjadikannya demikian.(8) Dalam hubungan seperti ini, otonomi warga adalah sesuatu yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya dari hubungan itu.

Saya pikir sudah saatnya kita jadi lebih baik. Mendudukkan posisi negara dan pemerintahan pada tempat yang tepat. Saya tidak sedang mengkampanyekan sebuah pembelotan atau menghilangkan negara sama sekali. Yang saya pikirkan adalah sebuah institusi pemerintah yang berbeda. Saya pikir kita masih perlu institusi pemerintah ini untuk mengkoordinir kita-kita warganya, untuk mengurusi urusan-urusan publik yang tak mungkin dikerjakan segelintir warga saja. Institusi pemerintahan perlu berhenti membuat struktur kebergantungan dan penghisapan itu. Fokusnya bukan lagi menghasilkan surplus produksi, atau sekedar menarik rente dari penguasaan tanah-tanah, tenaga kerja dan hasil kerjanya. Tapi mendorong warganya untuk mandiri.

Jadi dalam banyak konteks, termasuk pangan, yang dilakukan pemerintah dalam benak saya ini, adalah memastikan warganya bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Caranya bisa beragam : bertukar, mengambil langsung dari alam, menanam sebagian atau seluruh makanannya. Pemerintah membangun koperasi-koperasi produsen-konsumen, dimana para produsen pangan bertemu dengan konsumennya langsung, bertransaksi dengan lebih adil. Pemerintah memastikan lahan-lahan dalam kondisi terbaiknya untuk menjaga pasokan pangan. Pemerintah memastikan orang-orang yang mau menjadi produsen bisa mengakses semua kebutuhan materil dan immateril (terutama pengetahuannya) dengan mudah.

Merasakan panen dari hasil kerja sendiri, tidak perlu khawatir tidak bisa mendapatkan makanan saat harga-harga melambung tinggi, saya pikir hal-hal tersebut pun akan membuat kita merasa lebih baik. Saya ingat, katuk dan beberapa tanaman lainnya adalah makanan yang jadi lauk sehari-hari saat kondisi ekonomi memburuk di rumah kami saat saya kecil dulu. Ibu saya sedikit lebih tenang, asalkan beras tidak hilang dari pasar :)

Daftar Pustaka :
4. Lihat Scott, James C. The Art of Not Being Governed. Yale University Press. 2009
5. catatan: “sap” dalam bahasa Indonesia, juga berarti cairan nutrisi tanaman yang biasanya dihisap oleh kutu atau parasit.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...