[PROFIL] TRADISI PANGAN DI GIRIMULYA : MASA LALU DAN MASA KINI

Oleh : Diah Widuretno

Indonesia punya keragaman kondisi alam dan geografis, hal ini mempengaruhi mekanisme pertahanan hidup di tiap daerah, memunculkan keragaman tradisi pangan di Indonesia. Tradisi pangan dibangun selaras perkembangan budaya manusia di suatu tempat atau komunitas, bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bahkan hingga ratusan tahun. Karakter yang paling umum dijumpai dari tradisi pangan itu adalah mencukupkan, selaras kondisi alam setempat, dan lestari. Tiga hal itu umumnya hadir di tiap tradisi pangan karena menyangkut kehidupan mereka secara jangka panjang, hingga anak dan cucu.

Sekilas Girimulya

Desa Girimulya, Panggang, Kab Gunungkidul masuk ke area Zona Selatan, disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu (Duizon gebergton atau Zuider gebergton), dengan ketinggian 0 m - 300m dpl dan merupakan kawasan karst. Karst adalah suatu wilayah kering, yang tidak subur/gersang dan berbatu-batu. Perbukitan karst yang mendominasi wilayah ini, selain membuat lahan kurang subur juga membuat masyarakat  tidak mungkin membuat sumur sebagai penyelia kebutuhan air sehari-hari. Warga sangat mengandalkan air hujan untuk kehidupan mereka. Setiap atap rumah penduduk telah dilengkapi dengan sarana penangkap air hujan dan bak penampungnya. Sehingga saat musim hujan, air yang jatuh bisa ditampung dalam bak penampungan. Tiap rumah memiliki bak penampungan. Rata-rata minimal setiap bak bisa menampung 10.000 liter air. Pada musim hujan persedian air bisa melimpah. Hujan menyirami kebun, menghidupkan tanaman, memberi minum ternak, menghijaukan pohon jati. Selama musim hujan, stok air menjadi aman. Hujan adalah berkah. Keadaan bisa berbalik saat musim kemarau, saat tampungan  air habis, harus membeli air untuk makan, cuci, kakus (MCK), minum ternak dan kadang menyirami kebun. Saat kemarau, air menjadi barang berharga.

Mata pencaharian utama di Girimulya-Panggang adalah bertani. Proses bertani berkaitan erat dengan kelangsungan hidup anggota keluarga. Secara turun temurun mereka mempraktekkan kegiatan bertani sebagai upaya mencukupkan kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga sepanjang tahun. Warisan budaya subsisten tersebut, yaitu menanam tanaman yang dimakan. Maka, yang diutamakan untuk ditanam adalah semua bahan pangan pokok, sayuran dan kacang-kacangan. Sistem bertani yang diterapkan harus beradaptasi dengan kondisi tanah berbatu, keterbatasan air dan ketiadaan sistem irigasi. Dalam hal ini sistem yang diterapkan oleh masyarakat Girimulya adalah sistem pertanian tadah hujan. Oleh karena itu, kegiatan menanam hanya dilakukan di musim hujan, yaitu pada bulan Oktober – Maret.

Tradisi Pangan di Girimulya Sebelum 1970-an

Cara Bertani dan Pengolahan lahan

Karena sadar hanya bisa menanam sekali dalam setahun, maka masyarakat Girimulya memiliki cara supaya kebutuhan pangan selama setahun tercukupi. Cara ini diwariskan dari satu dari satu generasi ke generasi berikutnya, sejak mereka berada dan menetap disini, diperkirakan sejak 180-an tahun lalu. Perencanaan pangan dilakukan sejak sebelum tanam hingga pengaturan  hasil panen.
Masa-masa sebelum tahun 1970-an pengolahan lahan dilakukan secara alamiah dan tradisional. Dalam budidaya bertani, mereka menanam jenis-jenis tanaman yang mampu adaptif dan berhasil baik (produktif) di lahan kering, mereka juga menanam secara polikultur, yaitu menanam beragam tanaman, sebagai bentuk antisipasi jika satu jenis tanaman tidak membawa hasil, masih bisa berharap pada jenis tanaman yang lain.
Tanaman Pokok yang Biasanya Ditanam Era Sebelum  1970 :
-Singkong (Manihot esculenta), ada sekitar 16 jenis varietas singkong yang dimiliki dan biasa ditanam di lokal Dusun wintoas, Girimulya. Singkong menjadi tanaman yang paling banyak ditanam karena sangat adaptif dan cocok dengan kondisi alam dan tanah di Girimulya. Karena paling banyak dihasilkan sendiri, singkong yang diolah menjadi nasi thiwul menjadi pangan pokok utama.
-Padi (Oryza sativa), ada sekitar 10 jenis varietas padi local, yang biasa disebut ‘Pari Ageng’ yang dimiliki di Dusun Wintaos, rata-rata 1-2 varietas padi ditanam oleh tiap keluarga. Usia pari ageng tersebut 6-7 bulan baru bisa dipanen. Hasil panen pari ageng relative sedikit, tidak sebanyak growol/ singkong yang digaplek. Pari ageng tergolong pangan mewah. Sehingga nasi padi pari ageng hanya dikonsumsi saat hari-hari besar, atau dikonsumsi harian tapi jumlahnya dibatasi atau dalam porsi yang sangat sedikit.
-Jagung (Zea mays) jagung (local) putih dan ungu. Jagung local selalu ditanam tiap keluarga karena jagung menjadi salah satu tanaman pokok utama setelah singkong dan padi. Biasanya jagung diolah menjadi beras jagung yang disebut bledak, yaitu jagung yang ditutu supaya pecah dan lebih lembut.
-Jali-jali (Coix lacrima-jobi), bagi masyarakat menanam jail-jali sangat mudah, karena tidak butuh perawatan intensif. Jali banyak dimanfaatkan sebagai cadangan pangan. Selain diolah menjadi nasi, jali bisa diolah juga menjadi jadah. Jali biasa ditanam di pinggir-pinggir lahan, tubuhnya tinggi hingga 3m.
-Canthel/Sorghum (Sorghum bicolor), ada beberapa jenis chantel yang biasa ditanam yaitu, putih, merah dan kehitaman. Shorghum rutin ditanam dan menjadi salah satu pangan cadangan. Shorgum dikonsumsi dalam bentuk nasi ataupun jadah. Shorghum yang paling enak saat itu adalah shorghum hitam.
- Jawut /Jewawut (Setaria italic), jewawut adalah tanaman serealia yang relative paling mudah tumbuh tanpa perawatan yang intens. Bagi masyarakat, jewawut juga dianggap pengusir tikus, karena konon tikus-tikus takut pada jewawut. Jewawut biasa diolah menjadi nasi maupun jadah.
Menjelang mongso labuh (musim penghujan) masyarakat Girimulya bersiap mengolah lahan mereka dengan menyebarkan pupuk kandang ke permukaan tanah, dilanjutkan dengan pencangkulan agar pupuk kandang bercampur dengan tanah. Setelah itu, lahan didiamkan sampai hujan pertama turun. Pada saat itu, kondisi tanah relatif gembur dan mudah diolah.
Riyin niku nandur pari ageng, jagung, telo, chantel, jali, jawut, ketan, nandure campur lan semrawut, dereng enten larik-larikan, tapi biasane jali niku teng pinggir. Coro nandur campur teng lahan niku pun turun temurun wiwit mbiyen, seumuran wong tani teng mriki. Nandur campur niku kulo mangartosi simbok bapak kulo sampun ngoten niku, malah luwih semrawut..
(Dulu itu nanam padi, jagung, sorghum, jali, jawut, ketan, nandure campur dan semrawut, belum ada pengaturan larikan, tapi biasanya Jali itu di pinggir. Cara nanam campur di lahan itu sudah turun temurun sejak dulu, seumuran orang bertani disini. Nanam campur itu saya tahu dari ibu dan bapak saya,  mereka nanam sudah seperti itu, saat itu malah lebih semrawut..) (Ibu Tuparsi, Lahir 1968)
 Semua jenis benih yang ditanam tidak perlu dibeli, karena dari hasil panen, akan dipilih benih yang paling bagus untuk ditanam di musim tanam yang akan datang. Begitu pula dengan pupuk, pupuk sepenuhnya didapat dari kotoran ternak, pupuk kandang. 

Hasil panen ingkang paling sae sebagean disimpen kangge winih labuhan tahun ngajeng…  (Hasil panen yang paling bagus sebagian disimpan untuk benih masa tanam tahun berikutnya (Ibu Supinah, Lahir 1949)
Dalam proses menanam, semua jenis tanaman pokok ditanam dengan cara campur di lahan yang sama, tidak dibuat larik-larik dan pembedaan antar jenis. Saat mau menanam,  benih-benih  yang mau ditanam, yaitu benih pari, sorghum, jagung dan jawut dicampur dan diaduk dalam wadah. Setelah bercampur, di hari yang sudah dipilih, benih-benih itu disebar merata ke seluruh permukaan lahan. Benih-benih yang bagus akan tumbuh, tidak peduli jenis apa, dia akan berkecambah dan tumbuh dan berkembang di tanah di mana dia dijatuhkan. Proses selanjutnya adalah merawat tumbuhan, membersihkan rumput pengganggu dengan cara manual, mencabuti rumput yang sering disebut ndangir, dilakukan secara berkala. 

Kebun dan cara pengolahan polikultur yang dilakukan oleh masyarakat Girimulya
Sumber foto : dokumen pribadi
Meskipun semua benih ditanam dalam waktu yang bersamaan, tapi tiap jenis tanaman punya usia panen sendiri, sehingga waktu panen berbeda. Padi dipanen di akhir bulan April, jagung dipanen di bulan Maret, jali di bulan April, jawut hampir sama dengan jali, singkong dipanen di bulan Agustus.

Beragam jenis sayuran ditanam di setiap tepi lahan, baik yang tegak seperti daun singkong, telo gandhul (papaya), kenikir, kelor, melinjo, turi, nangka, jenis-jenis yang merambat seperti cipir, labu, maupun yang digunakan untuk tanaman pagar seperti katuk, dll. Jika diidentifikasi, total ada lebih dari 60-an jenis sayuran yang biasa ditanam, termasuk kacang-kacangan dan koro-koroan. Koro dan kacang-kacangan paling banyak tumbuh di lahan, karena sangat mudah perawatan dan tumbuhnya. Saat musim hujan, semua jenis sayuran tumbuh subur. Namun, memasuki musim kemarau, tidak semua jenis sayur bertahan. 

Manajemen Pangan Tradisional
Menanam beragam tanaman pokok merupakan salah satu cara pengaturan dan antisipasi pemenuhan kebutuhan pangan setahu. Jika beragam yang ditanam, ada salah satu jenis yang gagal panen, masih bisa berharap pada jenis tanaman yang lain, karena setiap jenis memiliki sifat dan pertahanan yang berbeda. Menanam beragam tanaman juga menjadi upaya mengoptimalkan sehingga tiada lahan yang menganggur.

Nandur macem-macem niku kan yen pari ne lan jagung mboten kasil, taksih enten pengarep jawut, jali nopo telo ne teksih enten khasile(Menanam beragam tanaman itu kalau padi, jagung tidak berhasil, masih bisa berharap jawut, jali atau singkong ada hasilnya (bu Ngapiem, Lahir 1964)
Keragaman jenis tanaman membuat hasil panen yang beragam di waktu yang berbeda. Supaya stok hasil panen menjadi pangan yang cukup hingga musim panen tahun berikutnya, harus ada pengaturan konsumsinya.  Semua hasil panen disimpan dalam lumbung yang disebut pesucen, biasanya berupa satu ruangan yang dikhususkan untuk menyimpan hasil panen, semacam lumbung pangan.

Setiap akan memasak, mengambil secukupnya bahan makanan dari pesucen. Sehari-hari pangan utama adalah gaplek yang diolah dan dimasak menjadi thiwul. Saat makan semua anggota keluarga boleh mengambil nasi thiwul sepuasnya.. Saat panen padi (pari ageng), selain thiwul bisa mengonsumsi padi. Tapi nasi padi merupakan pangan mewah yang harus dihemat konsumsinya, selesai memasak nasi padi, para ibu rumah tangga langsung membaginya dalam porsi- porsi kecil disesuaikan dengan jumlah keluarga, atau mencarup (mencampur) nasi padi dengan nasi thiwul, tapi porsi nasi sangat sedikit sehingga hanya seperti bintik-bintik putih dalam nasi thiwul yang berwarna coklat.

Gaplek, adalah olahan dari singkong yang dikupas dan dikeringkan
Sumber foto : dokumen pribadi
Saat panen jagung, jagung juga dikonsumsi menjadi pangan pokok mendampingi thiwul, umumnya jagung ditutu supaya menjadi butiran yang lebih kecil dan lembut. Proses nutu jagung dilakukan sesaat atau sebelum matahari terbit, sehingga bunyi gejog alu ke lumpang saat menumbuk jagung menjadi penanda jika hari telah pagi. Jagung yang ditutu menjadi bledak kemudian dimasak menjadi nasi bledak. Jika panen jagung sedang bagus, sementara stok gaplek menipis, hari-hari makan pokok diganti dengan nasi bledak. Sebaliknya jika stok gaplek melimpah, memasak bledak harus dihemat.

Saat persediaan beras padi ataupun jagung menipis, makan pokok hanya bergantung pada thiwul. Jali, jawut dan chantel juga menjadi makanan pokok pendamping nasi thiwul, menjadi makanan pokok yang mengenyangkan. Jali, jawut, chantel juga menjadi pangan cadangan, seandainya stok gaplek, padi dan jagung habis atau mulai menipis. Mereka sangat ketat mengatur urusan manajemen pangan itu. Harus disiplin dan pintar. Semua hasil panen dari kebun harus menjamin kelangsungan hidup tahun ini. Kelalaian mengatur pangan dampaknya sangat nyata dan jelas, kehabisan bahan pangan dan menjadi kelaparan!

Tak hanya pangan pokok yang disimpan di pesucen, panenan kacang-kacangan, koro dan sayuran dalam kondisi kering juga disimpan, untuk antisipasi mongso ketigo (musim kemarau). Kacang tanah, kacang tholo, kacang gudhe, koro sayur, botor (isi cipir). Kacang-kacangan dan koro-koroan sebagai sumber protein nabati, selain digunakan sebagai olahan sayur, juga difermentasi menjadi tempe. Rata-rata tiap perempuan , saat itu, memiliki kemampuan mengolah dan memfermentasi tempe dari beragam kacang-kacangan yang dimiliki, tempe koro, tempe cipir, tempe botor, tempe mlanding, tempe. Beberapa perempuan juga memiliki keterampilan mengeringkan beragam jenis sayuran.
Mongso rendeng kathah janganan, kangge jogo-jogo mongso ketigo, simbok mepe godong telo, dhong sambi, dhong kates, kulite benguk dipepe nganti garing, yen wis garing disimpen ning kasang. Pas mongso ketigo simpenan sayuran iku iso diuyahi, dibumboni diolah dadi jangan oseng-oseng (Musim hujan banyak sayuran, untuk jaga-jaga di musim kemarau, simbok jemur daun singkong, daun sambi, daun papaya, kulit benguk yang dijemur sampai kering, kalau sudah kering disimpan dalam kasang (karung hasil tenunan). Pada waktu musim kemarau, simpanan itu bisa digarami, dibumbuin, diolah menjadi oseng-oseng) (Ibu Supinah, Lahir 1949)
Selain semua kebutuhan pangan ditanam sendiri baik itu makanan pokok, sayuran, bumbon, empon empon, pengaturan pangan dari hasil panen juga sangat penting. Jika pengaturan pangan dilakukan secara cermat dan teliti, stok hasil panen akan mampu mencukupi kebutuhan pangan hingga musim panen tahun berikutnya, bahkan jika pintar dan hemat dalam pengaturan hingga musim panen berikutnya masih punya sisa stok pangan !
Yah kateniku kabeh bahan panganan ditandur, pangan pokok, janganan, bumbon, mpon-mpon, kabeh ditandur dhewe. Sing ditumbas niku mung gulo, uyah, gerih, blonjone ning Pasar Wage. Saben masak, sing mendet bahan panganan kedah Bapak utawa simbok,  mboten saget sembarangan tiyang mlebet pesucen, sedoyo panenan kedah diwet-wet, diatur kersane cekap ngantos panen tahun ngajeng. (Saat itu semua bahan pangan ditanam sendiri, pangan pokok, sayuran, bumbu dapur, mpon-mpon, semua ditanam sendiri. Yang dibeli itu hanya gula, garam, ikan asin, belaja di Pasar Wage. Setiap memasak, yang mengambil bahan pangan harus bapak atau simbok, tidak bisa sembarangan orang bisa masuk pesucen, semua panenan harus dihemat, diatur pengunaannya biar cukup sampai panen tahun depan (Ibu Tuparsi, Lahir 1968)
Keterampilan Bertani dan Regenerasi Tani
Bertani dengan cara tradisional, membutuhkan keterampilan bertani yang cukup. Selain keterampilan teknis, juga keterampilan dan kemampuan membaca tanda-tanda alam, seperti pranoto mongso dan keterkaitan antar makhluk hidup lain dengan apa yang kita tanam. Setiap wilayah umumnya memiliki dan melahirkan pengetahuan dan kearifan lokal dalam proses bertani.

Pengetahuan dan keterampilan ini diwariskan dari satu generasi ke gerasi berikutnya. Masa sebelum tahun 1970an, kondisi sosial budaya sangat berbeda dengan kondisi saat ini, di masa itu, semua anak dan remaja terlibat dalam kegiatan di lahan. Anak-anak saat itu, tidak punya alternatif pilihan kegiatan lain selain bertani. Setiap anak diberikan peranan dan tanggungjawab pekerjaan berkaitan dengan ladang dan pemeliharaan hewan ternak. Mereka belajar langsung dari proses dan tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka. Interaksi yang intens dengan tanaman, binatang, lahan membangun keterikaitan dan hubungan emosianal dengan dunia tani dan lahan.
Aku diajak negal wiwit mlebu SR (Sekolah Rakyat), sekitar umur 9 tahun, jaman semono, bali sekolah jam 11, rampung mangan lan leren sedhelo, saben awan wis di kon mangkat negal, bendino nggendong rabuk garing sing diwadahi kasang, mlaku ngasi tekan tegal, njur nyebar rabuk. Rampung ngewangi simbok-bapak, aku sore bali, aku isih nyangking kayu gawe masak…(Aku diajak bekerja di ladang sejak masuk SR, sekitar umur 9 tahun, jaman itu, pulang sekolah jam 11, setelah makan dan istirahat sebentar, setiap siang aku disuruh berangkat ke tegal, setiap hari nggendhong pupuk kandang kering yang diwadahi kasang, berjalan sampai tegalan, lalu menyebar rabuk. Selesai bantu simbok-bapak, aku sore pulang, aku masih sambil membawa kayu untuk bahan bakar memasak…(Ibu Supinah, Lahir 1949)

Penanda Perubahan di tahun 1970-1980an

Fenomena Revolusi Hijau di Girimulya 
Sekitar tahun 1966, ketika periode Pemerintah Orde Baru dimulai, Suharto meletakkan kebijakan pertanian menjadi kebijakan utama kedua setelah kebijakan pemulihan ekonomi. Kebijakan pertanian yang diterapkan adalah kebijakan peningkatan produktivitas. Pada saat yang bersamaan di dunia tengah muncul upaya pengembangan Revolusi Hijau untuk peningkatan produksi pangan. Revolusi hijau dalam program BIMAS, mulai diterapkan di Gunungkidul di awal 1970an.

Bagi masyarakat Panggang, khususnya di Desa Girimulya, program ini mulai dikenal dengan istilah OPSUS sekitar tahun 1979-1980an. Dalam program OPSUS dipilih beberapa perwakilan dan tokoh masyarakat untuk menerima pelatihan Panca Usaha tani dan teknik bertani intensif. Mereka yang terpilih menerima pembelajaran tentang budidaya tani yang lebih ‘modern’ dengan menggunaan bibit unggul (saat itu benih yang diperkenalkan adalah IR36), penggunaan pupuk kimia, (urea), dan penggunaan obat kimia untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman.

Sebagai perkenalan saat itu bibit unggul dan urea dibagikan gratis pada peserta pelatihan dan yang berminat mencoba. Pengetahuan ‘baru’ ini dengan cepat menyebar dan ditularkan ke hampir semua anggota masyarakat, terutama tentang penggunaan bibit unggul, sebagai ‘jawaban dan alternatif’ atas jenis-jenis Pari Ageng yang terserang hama.  Selain itu, keberadaan bibit unggul yang berusia pendek, 3-4 bulan, lambat laun, menggeser Pari Ageng, yang berusia lebih lama (5-6 bulan). Benih unggul mulai ditanami masyarakat, sementara benih Pari ageng, sekitar 10 varietas mulai menghilang, karena masyarakat Girimulya sudah tidak pernah menanamnya. Tahun 1985, jagung hibrida mulai hadir di Wintaos, Girimulya. Jagung hibrida ini, dengan cepat menggeser dan menggusur jagung ungu dan jagung putih yang dulunya menjadi tanaman wajib dan biasa ditanam.
Program Opsus tersebut dirasa ‘berhasil’ dengan membawa keberhasilan panen padi dengan hasil yang sangat baik. Program intensifikasi dirasa menjadi jawaban atas persoalan pangan. Hasil panen padi bibit unggul sangat baik sehingga mereka bisa memakan beras dengan porsi lebih banyak dari sebelumnya saat menanam Pari Ageng. 

Penananaman Jati
Kebebasan penanaman Jati di Gunungkidul, sekitar tahun 1970an, mendorong masyarakat menanami bukit bukit (menthuk-menthuk) dengan tanaman jati dan kayu lainnya. Sebelum ditanami jati dan tanaman keras lainnya, menthuk-menthuk itu sebagian ditanami singkong dan tanaman pangan lainnya. Penanaman Jati dan tanaman kayu memberikan naungan, pencegahan erosi, dan menghijaukan Gunungkidul. Jati dan tanaman kayu lain, merupakan penghasilan tambahan dan menjadi tabungan/investasi menahun bagi masyarakat, tapi di sisi lain kondisi ini membuat luasan areal penanam singkong dan tanaman pangan lain berkurang, karena harus berbagi dengan tanaman kayu dan jati.

Kebijakan Pangan yang Diskriminatif Terhadap Pangan Pokok Non Beras
Pemerintah Orde Baru menargetkan pencapaian swasembada pangan, dalam hal ini beras. Produksi beras didongkrak di mana-mana. Pemerintah membangun image beras sebagai pangan yang lebih ningrat dan bermartabat dibandingkan thiwul. Meskipun Gunungkidul sudah mampu subsisten dengan nasi thiwul, tapi pemerintah belum mengkategorikan sebagai daerah yang mampu berswasembada pangan, karena belum berswasembada beras. Pada periode Orde Baru tersebut, setiap bulan Desa Girimulya mendapat jatah beras bantuan dan beras raskin, yang dibagikan merata ke semua penduduk.  

Tantangan Tradisi Pangan di Girimulya Saat Ini

Bergesernya Pangan Pokok, dari Thiwul ke Beras
Ada banyak perubahan di Girimulya terkait kondisi tradisi pangan kini. Jika dimasa sebelum era 1970an, pangan pokok harian adalah Nasi Thiwul, dan nasi beras hanya dimakan dalam porsi kecil, terutama hanya dimakan saat hari istimewa, nasi beras merupakan pangan mewah. Saat ini ada kecenderungan pangan pokok harian semakin bergeser pada nasi beras, meskipun tetap tidak bisa sepenuhnya meninggalkan thiwul. Bagi para sesepuh yang dulunya terbiasa mengonsumsi thiwul, hingga kini mereka tidak bisa benar benar meninggalkan thiwul. Namun kalangan muda mulai kini hampir semua beralih ke beras.

Thiwul ayu, kudapan tradisional masyarakat Girimulya
Sumber foto : dokumen pribadi
Meskipun pangan pokok semakin bergeser ke beras, proses dan membuat gaplek, masih terus dilakukan oleh semua keluarga. Singkong masih menjadi salah satu tanaman utama yang ditanam di ladang. Setelah panen singkong, para petani langsung mengupas dan menjemur singkong hingga kering. Kulit singkong untuk makan ternak. Setelah singkong kering, dimasukkan dalam karung, dibawa pulang ke rumah. Kini, umum menjual gaplek untuk membeli beras. Gaplek kering menjadi salah satu hasil panen yang bisa diuangkan, untuk penghasilan dan sumber uang kas bagi keluarga.

Perubahan pola pangan yang lain, juga dialami jagung.  Tahun 1982an, jagung hibrida mulai masuk, perlahan tapi pasti menggantikan jenis jagung putih dan ungu (jagung lokal) yang biasa ditanam sebelumnya. Seiring pergantian jenis jagung yang ditanam, serta pergeseran pangan pokok ke beras, membuat sego bledak semakin langka. Saat ini, bledak nyaris tidak dijumpai sebagai pangan pokok di rumah-rumah yang dulunya setiap pagi di musim panen jagung terdengar gejogan alu lumpang.

Erosi Genetik, Hilangnya Biodiversitas
Dari hasil Identifikasi sejauh ini, ada 10 varietas bibit padi lokal telah punah karena tergusur dan tergantikan bibit unggul. Karena lebih dari 3 dekade, tidak pernah lagi ditanam. Bibit Singkong, dari hasil identifikasi, sebelum tahun 80an ada sekitar 16 jenis yang biasa ditanam di desa ini. Tapi selanjutnya, karena yang biasa ditanam hanyalah jenis jenis singkong yang disukai, sehingga saat ini hanya tinggal 8 varietas yang mudah ditemui, selebihnya jenis jenis yang lain sudah sangat sulit dijumpai, mungkin juga sudah punah. Demikian pula dengan Jagung putih dan ungu yang keberadaannya digeser oleh jagung hibrida. Sejak jarang ditanam, jagung ungu kini kemungkinan sudah hilang/punah, sedangkan jagung putih karena sebagian kecil petani Girimulya masih menanamnya, maka masih bisa mendapatkan bibitnya. Sorghum yang warnanya kehitaman yang konon rasanya paling enak dan pulen,Sorghum putih dan sorghum merah, saat ini mulai sulit untuk mendapatkan benihnya. Tak hanya jenis-jenis tumbuhan yang mengalami erosi genetik, jenis-jenis serangga, burung dan beberapa jenis hewan lain, termasuk yang dibutuhkan dalam pertanian, mulai menurun keragamannya. Penurunan jenis serangga dan burung ini selain karena dampak dari penggunaan pestisida, juga karena ramainya perburuan dengan senapan angin yang banyak dilakukan oleh para remaja dan pemuda desa.


Sorghum, jenis tanaman yang banyak ditanam oleh petani di Girimulya
Sumber foto : dokumen pribadi
Bertani di Tanah yang Kian Menjadi Keras
Banyak petani tua yang dengan semangat melukiskan dan membandingkan kondisi tanah dan lingkungan antara sebelum tahun 1970-an dengan kondisi saat ini.  Bahwa, sebelum tahun 1970-an kondisi tanah jauh lebih gembur dan mudah dicangkul dibanding dengan sekarang. Tanah yang mereka kelola saat ini kian menjadi keras, dan semakin keras membatu jika dicangkul dimusim kemarau. Keras adalah salah satu tanda fisik pada tanah-tanah yang mati. Tanah-tanah yang terpapar pupuk kimia dan obat-obatan anti serangga secara terus menerus, sejak 1982 telah sekarat dan mati. Saat tanah hanya tersentuh oleh pupuk kandang, tanpa racun, tanah akan kaya mikroba, serangga dan nematode, membuat tanah menjadi hidup. Urea, pestisida dan obat obatan kimia mematikan semua makhluk hidup di tanah tersebut, sehingga tak ada kehidupan dalam tanah itu. Pentingnya kehidupan dalam tanah, menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup segala makhkluk diatas tanah, termasuk manusia yang membutuhkan tumbuhan yang didukung oleh kehidupan dalam tanah.

Tradisi Subsisten Mulai Terancam
Budaya subsisten, yang diwariskan dari generasi ke generasi, terancam terkikis, seiring semakin enggannya generasi muda menekuni dunia pertanian. Khususnya generasi muda yang terlahir diatas tahun 1995an, kini mulai jarang yang bersedia menekuni dunia tani. Anak-anak muda kini lebih memilih dan berminat bekerja di kota, menjadi buruh diberagam pabrik dan industry. Ketika dunia tani mulai ditinggalkan, artinya budaya subsisten juga mulai tergerus.

Kehilangan Pengetahuan dan Keterampilan Bertani
Keengganan bertani, membuat anak-anak muda generasi masa kini enggan mempelajari ilmu pengetahuan dan keterampilan terkait dunia tani. Dalam proses bertani tentu butuh  keetrampilan dan pengetahuan terkait budidaya, mengurus lahan, mengurus ternak, dan membaca pranata mangsa. Sebagian ilmu bertani bersumber dari pengetahuan lokal dan tradisi yang diwariskan turun temurun. Pranata mangsa dan tanda-tanda alam merupakan pengetahuan lokal yang berkembang seiring budaya bertani yang tumbuh bersama masyarakat. Jika budaya bertani sudah menjadi masa lalu, tentu menjadi kehilangan besar bagi komunitas masyarakat tersebut, karena hilangnya pengetahuan lokal mereka.

Pola Pemenuhan Kebutuhan Pangan Berganti, Beli Beras dari Hasil Kerja (Buruh)
Generasi muda kini semakin meninggalkan dunia tani, memilih menjadi buruh di kota. Situasi tersebut membuat kini hanya orang-orang tua yang melanjutkan kerja-kerja tani. Jika sudah tidak ada yang bertani dalam keluarga, otomatis pemenuhan kebutuhan pangan harus dibeli. Membeli bahan pangan dari warung dan pasar, tradisi produsen berubah menjadi konsumen.

Upaya Keluar dari Persoalan

Perubahan sosial yang diikuti dengan persoalan-persoalan di masyarakat, serta perubahan dan persoalan lingkungan yang ditimbulkan, seolah olah sudah menjadi keniscayaan yang harus diterima, menjadi hal yang wajar, sebagian besar orang bahkan tak menyadari dan tak menganggap ini adalah persoalan, apalagi terpikir untuk menghadapi persoalan itu. Tapi sebaliknya di lain sisi, selalu ada orang-orang yang gelisah dan menganggap hal ini sebagai persoalan serius. Meski lemah dari sisi kekuatan karena jumlah orang-orang yang sadar sangatlah kecil. Tapi selalu ada harapan bagi yang telah mempunyai kesadaran dan mau melawan. Salah satu kelompok kecil yang berusaha melawan itu adalah Sekolah Pagesangan yang berada di Dusun Wintaos, Desa Girimulya, Panggang-Gunungkidul. Upaya-upaya yang dijabarkan berikut ini, bukanlah upaya yang dirancang diatas kertas saja. Bukan pula sekedar wacana utopis. Upaya dan perlawanan berikut telah dan sedang berjalan yang dilakukan Sekolah Pagesangan, berikut upaya-upaya itu :

Pemulihan Ekologi dan Kesehatan Tanah
Tanah dipulihkan dengan pemberian mikroba dan material organic sebanyak yang bisa diberikan. Proses pemulihan dan penyembuhan tanah membutuhkan proses, kesadaran, ketekunan dan konsistensi. Tanah yang sehat memungkinkan untuk memenuhi nutrisi bagi segala tanaman yang ditumbuhkan diatasnya. Dari proses yang dilakukan Kelompok Tani SP menunjukkan, pengolahan dan cara bertani yang alami, dengan menggunakan bibit lokal, tanpa penggunaan pupuk kimia maupun pestisida telah terbukti tidak mengurangi hasil panen secara significant, hasil tetap bagus dan kondisi tanah semakin membaik dan lebih sehat.

Pemulihan Tanah, Selaras dengan Pemulihan Keberdayaan Petani
Jika dilakukan pemulihan tanah, bertani selaras alam, banyak yang bisa dihemat dan diperbaiki. Dengan penggunaan bibit lokal, tanah masih mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan cara-cara yang lebih alami. “Memperkaya” mikrob tanah bisa dilakukan dengan menambahkan kompos, pupuk kandang maupun dengan penambahan mikroorganisme lokal yang bisa dibiakkan secara mandiri. Petani tidak harus bertani dengan modal besar, bahkan sangat mungkin bertani tanpa modal uang. Pertanian alami juga lambat laun mengembalikan keseimbangan serangga dan alam sekitar. Pengetahuan dan ketrampilan bertani juga bisa dihidupkan dan dikembangkan kembali. Kembali bertani secara alami, atau menjadi petani tradisional sekaligus mengembalikan keberdayaan petani.

Melestarikan dan Menguatkan Budaya Subsisten
Melalui perencanaan dan manajemen budidaya, akan dibuat strategi pembagian tanaman yang diperuntukkan untuk pemenuhan pangan keluarga selama setahun, termasuk pergiliran pangan pokok yang akan dilakukan sepanjang tahun. Pemenuhan pangan keluarga ini menjadi prioritas utama dari proses menanam. Selanjutnya di sisi lain, ada bagian tanaman yang diperuntukkan untuk penghasilan cash, guna pemenuhan kebutuhan yang lain. Ada juga bagian kebun yang digunakan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang, misalnya untuk tanaman keras/kayu. Mempertahankan budaya subsisten bukan proses yang mudah karena banyak tantangannya, tapi bukan mustahil dilakukan.

Peningkatan Kesejahteraan
Untuk meningkatkan kesejahteraan,Untuk tanaman yang hasilnya bisa dijual, sebaiknya tidak dijual mentah, ditingkatkan nilai tambahnya dengan cara diolah menjadi bahan baku siap olah ataupun siap makan, misalnya untuk singkong, tidak hanya dijual dalam bentuk gaplek kering, tapi singkong bisa diolah menjadi beragam bahan baku seperti thiwul instan, tepung mocaf, tepung cassava, ataupun siap santap seperti criping singkong, nasi thiwul, tape, aneka olahan jajanan (klepon, kroket, thiwul ayu, dll). Selain itu, terus melakukan eksplorasi dan inovasi jenis-jenis tanaman yang panennya bisa dikembangkan dan ditingkatkan nilai tambahnya, khususnya pada jenis-jenis tanaman yang massif dan banyak dihasilkan namun selalu dijual dalam bentuk mentah.

Nasi thiwul dan berbagai olahan hasil kebun di Girimulya
Sumber foto : dokumen pribadi
Berjejaring, Saling Berbagi Tugas dan Peran
Dalam proses peningkatan nilai tambah hasil panen, akan lebih efektif jika dibentuk kelompok untuk mengorganisir semua kegiatan dan tahap-tahap pemrosesan. Karena tahap-tahap proses tidak mungkin dilakukan sendiri, perlu kerjasama dan bagi peran. Kerja dalam kelompok memungkinkan pembagian peran, misalnya kelompok tani berperan dalam penyedia segala bahan baku untuk produksi, sementara kelompok pengolah berperan meningkatkan nilai tambah, memproses bahan baku menjadi bahan siap pakai, dan ada bagian lain yang bertugas menjadi kelompok marketing. Dengan kerjasama ini semua akan mendapatkan manfaat. Supaya proses berjalan seperti yang diharapkan, dibutuhkan juga sistem yang adil dan transparan bagi semua komponen kelompok.

Melibatkan Generasi Muda
Proses menuju pengembangan wirausaha tani, sebaiknya melibatkan remaja dan anak-anak muda, untuk terlibat aktif baik dari sisi produksi maupun untuk pemasarannya. Anak-anak muda, bahkan yang kini sudah meninggalkan desa, dipanggil pulang untuk dilibatkan dalam bentuk-bentuk usaha tani di desa, dimulai dari mengelola kelompok usaha bersama untuk memproduksi produk berbasiskan hasil panen. Mereka sekaligus diajak berperan untuk membuka dan membangun jaringan pasar. Mengelola kelompok usaha bersama di desa menjadi alternatif pilihan kegiatan dan pekerjaan bagi anak muda, bahwa untuk bisa sejahtera tidak melulu harus ke kota dan meninggalkan desa. Sejahtera pun bisa dirintis dari desa.  

Regenerasi Petani dan Wirausaha Tani
Regenerasi petani dan wirausaha tani harus dibangun sejak dari anak-anak, dengan mendekatkan desa, kebudayaan, tradisi pangan pada anak-anak melalui kegiatan dan proses pembelajaran. Jika di sekolah formal selama ini kurang memberikan ruang dan media yang memuat tentang tradisi dan budaya pangan setempat,  maka seharusnya para individu dan masyarakat mulai berani menginisiasi pembelajaran mandiri ataupun kelompok-kelompok belajar mandiri, yang memungkinkan anak-anak bisa belajar lebih dekat tentang desa, budaya tani dan pangannya. Jika sudah ada banyak media kegiatan dan pembelajaran Anak-anak, remaja, anak-anak muda di desa, rasanya masih ada harapan untuk regenerasi petani demi kehidupan di masa yang akan datang.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...