Oleh : Debby Josephine
Apa yang muncul di benak Anda
ketika pertama kali mendengar kata kebun belakang? Kemungkinan besar jawabannya
adalah sebuah kebun yang berada di belakang rumah. Tapi, kira-kira bagaimana bentuknya?
Apa saja yang ada di dalamnya? Kehidupan seperti apa sih yang terjadi di sana? Nah, kali ini saya akan mengajak Anda
untuk mengintip sebuah kehidupan di “Kebun Belakang”, tempat yang ide utamanya
adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup harian namun berkembang menjadi tempat
yang dapat menginspirasi orang lain untuk bergerak bersama ritme alam.
Berlokasi tepat di pinggir jalan Pesantren,
Cimahi, tempat ini sempat menimbulkan rasa ragu di hati saya. Lokasinya
terbilang cukup “kota” karena berdampingan dengan ruko besar dan beberapa rumah
mewah. Ketika sampai, tampak pagar hitam yang cukup tinggi sehingga menutupi pandangan
orang luar yang ingin melihat ke dalam. Tidak berapa lama, pagar hitam pun
dibuka oleh Teh Ivana. Teh Ivana adalah pemilik dari Kebun Belakang. Saya dan
teman saya disambut dengan hangat dan dipersilahkan masuk.
Begitu masuk, kami melihat area cukup
luas yang disiapkan untuk tempat parkir dan sedang ada dua mobil terparkir di
sana. Berjalan sedikit ke arah kanan, kami melihat bangunan rumah mungil dengan
jalan kecil di sisi luarnya yang terhubung dengan area tempat duduk di luar
bangunan rumah. Teh Ivana mempersilakan kami untuk duduk sembari memanggilkan Kang
Misbah, suami Teh Ivana yang kemudian lebih banyak bercerita tentang Kebun
Belakang.
Kang Misbah pun datang dan menyambut
kami dengan hangat lalu bercerita tentang kondisi Kebun Belakang. Ternyata,
Kang Misbah sedang memperbaiki green
house. Ia mengganti tiang greenhouse
yang dulunya memakai materi bambu dengan baja ringan. Hal ini disebabkan
kondisi bambu yang sudah lapuk dikhawatirkan dapat roboh. “Dengan baja ringan
akan lebih awet.”, katanya.
Di musim kemarau ini, Kang Misbah
sedang fokus membereskan kebun, menyiapkan benih, sambil mencoba mengumpulkan
jerami dan lumpur untuk membangun gudang. Kami kemudian diajak melewati jalan setapak di tengah
kebun menuju saung yang letaknya berada
di bagian paling belakang dari area yang mereka miliki.
Begitu melihat kebun, kita dapat
langsung melihat beberapa raised bed
yang biasa ditemukan pada kebun yang menggunakan prinsip permakultur. Di dalam
setiap raised bed terdapat berbagai jenis
tanaman. Kang Misbah mengolah berbagai
tanaman ini untuk kebutuhan pangan harian dan produksi water kefir yang ia titipkan di beberapa tempat untuk dijual.
Tampak depan Kebun Belakang. |
Semakin berjalan ke arah dalam
kebun, semakin hening suasana terasa, semakin dalam pula isi perbincangan kami.
Kang Misbah menceritakan bagaimana perjalanannya “berjumpa” dengan konsep
permakultur pertama kali pada tahun 2015 yang kemudian berkembang hingga saat
ini.
Bermula dari menanam selada di
lahan seluas 7 x 5 meter, Kang Misbah mulai membuka usaha toko sayuran di
tempat tersebut. Saat itu, Kang Misbah dan keluarga tinggal di daerah yang
cukup jauh dari lokasi kebun. Lama kelamaan, karena Kang Misbah dan keluarga
merasa lelah dengan perjalanan bolak balik antara kebun dan rumah, akhirnya
mereka memutuskan untuk berpindah, tinggal di lahan kebun yang mereka namai
Kebun Belakang.
Setelah Kang Misbah sekeluarga tinggal di area Kebun
Belakang, lahan kebun menjadi lebih terawat karena sudah menjadi tempat tinggal
sendiri. Di fase ini, Kang Misbah mulai memaksimalkan lahan seluas 1.600 meter
dengan menanam berbagai jenis tanaman sesuai zonasi, membangun kandang ayam,
mendirikan saung, dan lain sebagainya. Kang Misbah mengungkapkan bahwa semua
sumber pendapatan berasal dari kebun. Apalagi setelah mendirikan saung,
pemanfaatan kebun menjadi lebih banyak. Bisa dipakai untuk bermain, workshop kecil-kecilan, dan menjadi
destinasi kunjungan sekolah.
Saung di ujung kebun |
Semua keputusan yang diambil Kang
Misbah dan Teh Ivana saat ini tak lepas dari pengalaman mereka yang sempat
tinggal 4 tahun di Swedia dan kunjungan Kang Misbah ke sebuah daerah di
Thailand pada tahun 2015. “Kita belajar orang gak diseragamkan. Mereka gak
nuntut kamu punya pendidikan tinggi, selama kamu capable, kamu diterima.” ungkap Kang Misbah yang sempat mengalami culture shock di Swedia. Saat tinggal di
Swedia, mereka jadi lebih concern soal
pendidikan, kebebasan berekspresi, dan lebih banyak bereksplorasi tentang tumbuh
kembang anak. Di Thailand berbeda cerita. Kang Misbah terinspirasi dengan
bagaimana sekelompok masyarakat begitu menikmati hidup, apa yang mereka rasa
baik mereka jalankan, meski tidak ada kampanye besar-besaran. Semua berjalan
seperti apa adanya saja. Dari situ Kang Misbah mulai fokus pada diri sendiri
dan keluarga – berjalan lebih pelan mengikuti ritme alam.
Banyak perubahan yang terjadi
pada diri Kang Misbah semenjak berprofesi sebagai petani. Sifatnya dulu yang
temperamental lambat laun berubah menjadi lebih tenang. Ia merasa lebih berdaya
karena apa yang ia dan keluarganya konsumsi tidak perlu tergantung pada orang
lain. Dengan menanam sendiri, rasa makanan yang dimasak lebih nikmat dan disukai
anak-anaknya. Kang Misbah merasa lebih mandiri. “Saya bisa bebas, tapi juga
mengurus diri sendiri dan keluarga, ini merupakan kebebasan level “Wah”. Saya
merasa aman, meski cara hidup berbeda dengan orang kebanyakan. Saya gak kelaparan, lebih ke pasrah, jadi
lebih rileks, lebih bebas lagi.”, cerita Kang Misbah siang itu.
Dari kiri ke kanan: Rencana green house, kandang ayam dan lahan padi di Kebun Belakang
Saat ini, Kang Misbah berharap
setidaknya 50% kebutuhan hidupnya bisa dicukupi dari kebun. Ia merasa bahwa
pemenuhan kebutuhan hidup bergantung pada gaya hidup, “Bisa saja hasil dari kebun
ini mencapai 100% jika saya tinggal di gunung. Kalau sudah begitu, saya nggak
usah cari tambahan buat beli pulsa.” ungkapnya sambil tersenyum.
Kami pun diajak berkeliling kebun.
Melihat padi, juga bunga matahari dan rosella yang sedang berbunga. Kami juga diajak
ke kandang tempat ayam-ayam pelung. dipelihara. Benda yang menarik adalah tungku
yang dibuat menggunakan lumpur dan jerami. Kang Misbah menggunakan batang
pisang sebagai cetakan lubang tungku yang menahan bentuk sampai campuran materi
kering seutuhnya.
Setelah puas berkeliling, Kang
Misbah mengajak kami kembali ke tempat duduk di samping rumah utama. Ternyata
sudah ada makan siang disiapkan Teh Ivana. Oh ya, selama berbincang, kami
dijamu dengan setandan pisang kepok hasil kebun yang besar-besar dan manis
sekali.
Makan siang yang disiapkan oleh Teh Ivana |
Saya baru menyadari bahwa posisi
rumah itu berada di antara hiruk pikuk jalanan dan kebun belakang yang tenang. Rumah
itu berada di tepian. Tepian pada permakultur yaitu tempat di mana dua habitat
bertemu. Biasanya wilayah ini lebih produktif dan kaya akan keberagaman.
Pengalaman perjalanan saya kali ini memberi
kesegaran dan inspirasi baru tentang kebun di tengah kota. Apakah Anda berminat
berkunjung ke Kebun Belakang? Silakan mengatur janji terlebih dahulu via DM
instagram @kebunbelakang, ya!
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny