Oleh: Sally Anom Sari
Pada tahun 1998, Indonesia
mengalami puncak krisis moneter yang tanda-tandanya sudah mulai dirasakan sejak
tahun 1997. Hanya dalam beberapa bulan saja nilai tukar dolar naik tajam dari
hanya 2000-an rupiah per dollar menjadi 17.000 rupiah per dollar. Inflasi
sangat tinggi. Banyak usaha gulung tikar. Nasabah bank menguras simpanan
dananya secara besar-besaran. Dalam suasana penuh ketidakpastian, salah satu
hal yang dilakukan masyarakat adalah pergi ke toko-toko dan supermarket, lalu
memborong bahan makanan sebanyak mungkin. Dalam waktu singkat etalase
supermarket mulai kosong. Apa yang terjadi kalau krisis terus berlanjut dan
tidak ada lagi bahan makanan di sana?
Kejadian di tahun 1998 itu
membuat saya berpikir betapa rentannya hidup kita selama ini. Sebagian
masyarakat di Indonesia,
terutama yang hidup di perkotaan, hanya bisa mengandalkan toko, pasar atau
supermarket untuk mendapatkan bahan makanan. Hidup kita sama sekali tidak
mandiri. Kehidupan modern yang kita jalani selama ini menjauhkan koneksi kita
dengan alam. Kita tidak tahu lagi bagaimana cara menumbuhkan makanan sendiri atau
bertahan hidup dalam keterbatasan.
Padahal sebenarnya saya percaya
kalau manusia punya kemampuan yang tinggi untuk bisa bertahan hidup secara
mandiri. Mungkin kita hanya perlu belajar lagi untuk mengasahnya. Siapa tahu
kita bisa memulai dengan belajar dari film.
Cukup banyak film yang
karakternya harus berada dalam situasi sulit dan penuh keterbatasan. Mereka
harus mencukupi diri sendiri untuk bertahan hidup. Ada film The
Blue Lagoon (1980) dan Cast Away
(2000) yang karakternya terdampar dalam sebuah pulau kecil. Ada lagi film Life of Pi (2012) yang lebih ekstrim lagi karena karakternya harus
hidup terkatung-katung di atas perahu bersama seekor macan.
Karakter dalam ketiga film tadi
awalnya hanya orang biasa. Mereka semua belajar banyak hal untuk memenuhi
kebutuhan mereka di situasi sulit. Mereka membangun sendiri tempat mereka
berteduh dengan bahan yang ada di sekitar mereka. Lalu mereka belajar memancing
atau menombak ikan di lautan untuk mencukupi kebutuhan makan mereka.
Banyak hal yang bisa dipelajari
dari ketiga film tadi, namun ketiganya masih memenuhi kebutuhan makan dengan
mengambil sumber daya yang ada di sekitar mereka. Alangkah menariknya kalau
kita bisa menemukan film dengan karakter yang bukan hanya mengambil sumber daya
yang ada, namun juga bisa bisa bercocok tanam menumbuhkan makanan sendiri.
Salah satu film yang bisa kita
pelajari adalah The Martian (2015),
yang bercerita tentang Mark Watney (Matt Damon) seorang astronot yang terpaksa
tinggal sendirian di Planet Mars. Mark terdampar di Mars akibat sebuah kecelakaan
yang membuatnya diasumsikan meninggal dunia. Seluruh rekannya pergi, tidak
sengaja meninggalkan Mark sendirian. Mark pun harus bertahan hidup di Mars,
sebuah planet tanpa kehidupan.
Mark Watney di depan Hab, tempat tinggalnya di Planet Mars, dalam film The Martian |
Di
hari-hari awal Mark hidup dari persediaan makanan yang ada di Hab, namun jumlahnya
terbatas. Mark harus mencari sumber makanan lain. Ia pun memutuskan untuk
menanam dari sisa persediaan kentang yang ia miliki. Mark langsung membenahi salah
satu ruangan Hab untuk dijadikan lahan bercocok tanam. Seluruh ruangan ia isi
dengan tanah dari Planet Mars, lalu diberi pupuk dari sampah kotoran. Setelah
itu Mark mulai menanam. Setelah menunggu beberapa minggu, usaha Mark
memperlihatkan hasil, kentangnya mulai tumbuh dengan subur. Mark sukses menanam
makanannya sendiri.
Mark
Watney di tengah ladang kentang dalam Hab di Planet Mars
|
Sementara untuk mendapatkan air,
Mark memisahkan nitrogen dan hidrogen dalam hydrazine dari bahan bakar roket.
Setelah itu ia membakar hidrogen dengan oksigen, dan terciptalah air. Tersedianya
sumber makanan dan minuman ini membuat Mark berhasil bertahan hidup selama
berbulan-bulan.
Ilustrasi menanam tanaman pangan di Planet Mars. Kredit Gambar: NASA |
Apa yang dilakukan di Mars dalam
hal menanam tanaman pangan saat ini masih dalam tahapan riset. Hal itu mungkin
akan bermanfaat di masa depan ketika kita harus bertahan hidup dalam lingkungan
yang sulit. Namun ketika harus menjadi mandiri dalam situasi nyata saat ini
juga, kita perlu belajar dari tempat lain. Misalnya seperti dalam film Captain Fantastic (2016).
Ben Cash dan enam anaknya dalam film Captain Fantastic |
Untuk
menciptakan rumah mandiri di tengah hutan, penulis sekaligus sutradara film
ini, Matt Ross, berusaha melakukannya senyata mungkin. Ia bersama kru desain
produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak ahli dan orang-orang yang
hidup secara mandiri. Mereka memikirkan baik-baik bagaimana tempat tinggal, sanitasi,
sumber makanan, air dan cara hidup yang harus dijalani keluarga Cash untuk
bertahan hidup. Semuanya harus masuk akal.
Persediaan makanan di rumah keluarga Cash |
Keluarga Cash berburu, namun juga
menanam tanaman. Untuk mengawetkan makanan mereka melakukan pengasapan dan fermentasi.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka memiliki filtrasi air untuk
penyaringan dan bak penampungan besar untuk penyimpanan. Rumah keluarga Cash
bisa dibilang cukup modern meskipun tidak dilengkapi teknologi komputer atau
sejenisnya. Hidup mereka sepertinya baik-baik saja.
Masalah terjadi ketika keluarga
Cash harus pergi ke kota untuk menghadiri
pemakaman istri dari Ben Cash di kota.
Terjadi pertentangan dengan keluarga sang istri. Ayah sang istri menilai anak-anak
Ben Cash dididik dengan tidak semestinya. Ben memang melatih anak-anaknya untuk
kuat seperti atlet, dan cerdas seperti filsuf. Sejak kecil mereka sudah biasa
berkutat dengan pisau dan alat berbahaya lain karena harus bertahan hidup di
tengah hutan belantara. Ayah sang istri percaya bahwa Ben Cash membahayakan
hidup anak-anaknya.
Keluarga Cash di rumah baru mereka. |
Meskipun hanya diperlihatkan
sekilas dalam film, namun rumah keluarga Cash memberi harapan bahwa hal
tersebut sangat mungkin untuk dilakukan. Saya jadi percaya kalau ada jalan
tengah antara hidup saat ini yang sangat konsumtif, dengan hidup mandiri yang
penuh kesederhanaan.
Kemandirian adalah kebebasan,
dan setiap orang punya harapan untuk mencapainya. Seperti apa yang dikatakan
Rellian, salah satu anak Ben Cash, mengutip tokoh idola keluarga mereka, Noam
Chomsky:
“If
you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If
you assume that there is an instinct for freedom, that there are opportunities
to change things, then there is a possibility that you can contribute to making
a better world.”
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny