Oleh: KristienYuliarti
Kehidupan manusia amat bergantung pada semesta. Salah
satunya pada ketersediaan sumber air, yang menjadi kebutuhan vital dalam mendukung
aneka keperluan manusia sehari-hari. Sebagian besar orang bergantung pada air
hujan untuk memenuhi kebutuhan airnya. Ketika curah hujan rendah, terlebih saat
musim kemarau panjang, mereka akan berupaya mencari sumber air lain, yang
umumnya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ada pula sebagian orang yang
memenuhi kebutuhan airnya dari sungai terdekat tempat mereka tinggal. Sementara
bagi penduduk kota besar, kebutuhan air terfasilitasi melalui aliran air yang diupayakan
sebuah perusahaan.
Sebagai salah satu kebutuhan vital, maka kualitas air tentu
perlu mendapat perhatian.Terutama air yang diperlukan untuk kebutuhan minum dan
memasak. Lalu bagaimanakah kita menjaga serta mengupayakan kualitas air hingga
layak dikonsumsi?
Salah satu penyebab tercemarnya air adalah hamparan busa
yang menutup permukaan air. Tudingan kerap ditujukan pada buangan limbah
industri sebagai penyebab utama meluapnya busa tersebut. Namun, adakah peran
aktivitas keseharian manusia yang punya andil cukup penting dalam hal ini?
Sejatinya air mengalami siklus. Maka air bersih yang kita
nikmati di rumah, sepatutnya bisa dijaga kebersihannya saat mengalir dari
rumah, usai pemakaian. Namun, aktivitas manusia ternyata memberikan beban yang
cukup berat pada air buangan. Kegiatan cuci-bersih dengan bantuan sabun/pembersih/detergen,
tanpa disadari, telah menjadi faktor penting dalam pencemaran air (air
sungai/air tanah).
***
Entah sejak kapan, manusia menggunakan dan menjadi
bergantung pada sabun/deterjen/pembersih dalam kesehariannya. Tidak kurang dari
lima jenis sabun/pembersih yang dimiliki/digunakan dalam rumah tangga. Saya
mendata jenis sabun/pembersih yang saya gunakan beberapa tahun yang lalu.
Sabun mandi dan shampoo menjadi perangkat bersih diri yang
utama. Kemudian bertambah dengan sabun khusus wajah dan kondisioner (pelembut)
rambut. Lalu sabun cuci pakaian, yang dilengkapi dengan pewangi, sabun cuci
piring, sabun cuci tangan, pembersih lantai, pembersih kaca, pembersih kamar
mandi. Sabun/pembersih sebanyak itu memberikan kenyamanan pada manusia, karena mampu
menjawab kebutuhan manusia untuk selalu bersih, wangi, ataupun sehat terbebas
dari kuman.
Kenyamanan yang dinikmati manusia dengan penggunaan
sabun/pembersih –terlepas dari dampak negatifnya- sepatutnya juga dinikmati
oleh semesta, karena hidup manusia bergantung pada semesta. Pemikiran inilah
yang mengusik saya untuk mempertanyakan dampak pemakaian sabun/pembersih pada
lingkungan.
***
Sabun/pembersih pabrikan mengandung sejumlah bahan kimia. Dan
tidak terbersit sedikitpun keingintahuan atas fungsi dan dampak dari
bahan-bahan tersebut, meski telah amat lama menggunakannya. Merk
sabun/pembersih tertentu dipilih, dan selanjutnya digemari, karena –yang
terutama- seruan iklan di media. Kesadaran pada kondisi lingkungan hidup,
khususnya air, telah menggugah saya untuk mencari tahu bahan-bahan pembuat
sabun/pembersih.
Bahan utama pembuatan sabun adalah SLS (Sodium Lauryl
Sulfate), SLES (Sodium Laureth Suflate), atau ASL (Ammonium Laurel Sulfate).
Ketiga senyawa kimia ini adalah bahan utama pembentuk busa yang berfungsi
meningkatkan efisiensi pencucian dengan cara menonaktifkan mineral pembentuk
kesadahan air. Berpadu dengan surfactan (surface active agent) –yang umumnya
adalah senyawa fosfat- busa yang
dihasilkan sabun/pembersih akan menurunkan tegangan permukaan air sehingga
dapat melepaskan kotoran dan lapisan minyak. Banyaknya busa dapat menjadi
indikator kadar SLS pada sabun. Kandungan SLS/SLES/ALS yang cukup tinggi dapat
menyebabkan kulit tubuh menjadi kering. Dan pada sebagian orang akanmenyebabkan
iritasi.
Busa yang dihasilkan sabun/deterjen yang menggunakan
SLS/SLES/ALS sebagai komponen utamanya menjadi salah satu unsur penyebab eutrofikasi (pengayaan unsur hara yg
berlebihan) pada sungai/danau yang bisa menyebabkan ledakan pertumbuhan eceng
gondok dan algae sehingga menyebabkan pendangkalan sungai. Keberadaan busa di
permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas
sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian menyebabkan organisme air
kekurangan oksigen.
Lapisan busa pada permukaan air sungai/danau memiliki ikatan
molekul yang sulit diuraikan. Perlu perlakuan khusus ataupun penambahan senyawa
kimia tertentu untuk memecah hamparan busa tersebut. Ini artinya, ada bahan
kimia lain yang ditambahkan untuk menjernihkan air sungai/danau yang
selanjutnya menjadi sumber air bersih bagi banyak orang.
Paparan di atas hanya menguraikan dampak dari satu bahan
yang terdapat pada sabun/pembersih pabrikan. Bagaimana dengan bahan lainnya? Sudah
banyak kajian tentang hal tersebut, yang sebagian merujuk pada dampak bagi
kesehatan manusia. Tetapi, sebagai kesatuan ekosistem, perilaku hidup kita
hendaknya selaras dengan semesta, memelihara kelestarian ibu bumi beserta
isinya.
***
Hasil penelusuran atas dampak sabun/deterjen bagi semesta
mengarahkan saya pada pertanyaan, “Sejak kapan sabun ada? Ketika belum ada
produksi sabun, bahan apakah yang dipakai sebagai sabun/pembersih? Mengapa
dampak dari bahan pembuat sabun tidak diketahui oleh sebagian besar orang?” Keingintahuan
ini menjadi awal perkenalan saya dengan LERAK/KLEREK.
Lerak/klerek adalah jenis tanaman yang tumbuh di daerah
tropis, salah satunya di Indonesia. Tanaman ini, yakni bagian buahnya,
mengandung senyawa saponin, yang memiliki daya bersih seperti sifat
sabun/deterjen. Sebagian masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Jawa Timur
dan Jawa Tengah, mengenal lerak sebagai sabun pencuci kain batik dan perhiasan.
Hanya sebatas itu. Padahal pencarian saya atas manfaat lerak melalui internet
menemukan khasiat lerak sebagai sabun pencuci untuk semua keperluan. Namun tulisan-tulisan
itu umumnya berbahasa Inggris.
Maka keheranan saya pun menimbulkan pertanyaan, “Kenapa
lerak terabaikan di negeri ini? Benarkah lerak bisa menggantikan aneka
sabun/pembersih yang selama ini saya pakai?” Jawaban atas rasa penasaran itu diperoleh
setelah saya menggunakan lerak sebagai sabun/pembersih untuk keperluan
sehari-hari, yang dimulai sejak 5 (lima)
tahun lalu.
Ketika ditanyakan alasan menggunakan lerak sebagai
sabun/pembersih, maka alasan yang amat mendasar –bagi kami- adalah pilihan
untuk mengurangi pencemaran air dan tanah. Alasan berikutnya, yakni
pemakaiannya yang mudah dan pemanfaatan produk lokal yang merupakan kearifan
budaya negeri ini. Tentu aneka pertanyaan pun dialamatkan pada kami, “Bersih gak? Wangi gak? Bebas kuman gak? Harganya
mahal gak?” Pertanyaan wajar yang
dilatarbelakangi pengalaman penggunaan sabun/pembersih yang selama ini
digunakan.
Sejumlah pertanyaan tersebut menjadi latar belakang proses
edukasi yang kami lakukan saat mengenalkan manfaat lerak ke sejumlah teman
maupun berbagai komunitas.
***
Awalnya, pengalaman menggunakan lerak sekadar dibagikan
melalui cerita-cerita singkat di media sosial. Menarik sekali tatkala mengamati
cukup banyak orang yang belum mengenal lerak. Kalaupun sudah mengenalnya, hanya
sebatas penggunaannya untuk mencuci batik. Ini tentu amat memprihatinkan, mengingat
lerak adalah sabun alami yang sesungguhnya digunakan oleh orang-orang tua kita.
Alasan kepraktisan, yang disertai tanpa adanya aroma wangi, telah menjauhkan
lerak dari minat sebagian orang. Dan akhirnya, lerak terabaikan, terlupakan di
negeri penghasilnya sendiri.
Kuliah umum tentang lerak |
Ketika mengetahui bahwa lerak justru amat terkenal
di luar Indonesia, maka ini juga menjadi pemicu semangat saya untuk semakin
giat berbagi cerita manfaat lerak, dan dampaknya yang cukup luas di berbagai
bidang kehidupan.
Cerita tentang manfaat lerak di media sosial memunculkan
reaksi positif. Cukup banyak teman yang tertarik, dan selanjutnya memesan
lerak. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa, cukup antusias untuk dapat menggunakan lerak sebagai pengganti
sabun/detergen. Bagi sebagian orang, diperlukan penyesuaian yang tidak mudah
ketika memulai penggunaan lerak. Inilah alasan Omah Hijau menyelenggarakan
pelatihan dengan tema “Sabun Sehat”, baik berupa kelas tatap muka maupun kelas online. Pengenalan lerak, pertama-tama,
menekankan pada tanggung jawab manusia atas limbah busa pada perairan. Juga
dampaknya terkait penghematan dan siklus air. Penggunaan lerak sebagai sabun
tidak memerlukan banyak air saat pembilasan. Air bekas cucian pun bisa
ditampung untuk menyiram tanaman ataupun dikembalikan ke tanah untuk
mempertahankan ketersediaan air tanah. Sesudah itu, tentang dampak bahan-bahan
pada sabun/detergen bagi tubuh. Proses ini membuka wawasan masyarakat tentang
fungsi sabun dan indikator bersih yang selama ini hanyalah ciptaan
iklan/produksi semata.
Omah Hijau pertama kali menyelenggarakan kelas online pada 15 Januari 2018, dengan 50
peserta. Sebagian besar, 95% peserta, adalah kaum ibu. Antusiasme mereka amat
bagus. Merekalah yang selanjutnya aktif menggaungkannya di media sosial. Maka
kelas online pun diadakan lagi,
karena banyaknya peminat. Hingga saat ini, kurang lebih telah terselenggara
kelas online sebanyak 8 (delapan) kali.
Selanjutnya terselenggara pelatihan/workshop karena adanya permintaan dari
komunitas tertentu: di Malang, Surabaya, Solo, Jakarta, Pontianak.
Pemanfaatan bahan alami untuk menggantikan produk pabrikan tentu
melahirkan pertanyaan, yang beberapa di antaranya, memerlukan kajian ilmiah dan
penelitian laboratory, seperti yang
sudah dituliskan di bagian sebelumnya. Maka ini menjadi semacam tantangan yang selalu
saya tawarkan ke kelompok mahasiswa, saat mendapat kesempatan mengedukasi
mereka. Sampai saat ini, Omah Hijau sudah memaparkan manfaat lerak pada
kelompok mahasiswa di tiga Perguruan Tinggi.
Adakah catatan terkait peningkatan pemakai lerak? Dan dampak
nyatanya bagi kualitas air dengan dilakukannya edukasi tentang lerak?
Pertanyaan yang tidak bisa saya jawab secara kuantitatif. Saya hanya bisa
mengamati tingginya ketertarikan pada lerak di media sosial melalui tanggapan
atas paparan saya tentang lerak. Juga munculnya teman-teman yang mulai dan
terus menggunakan lerak hingga saat ini. Jawaban pada pertanyaan itu kerap saya
jawab dengan nada bercanda, “Pemesanan lerak ke Omah Hijau meningkat terus. Itu
indikator sederhana bahwa pemakai lerak bertambah dan konsisten menggunakannya.”
Di sisi lain, perlu dipahami bahwa perubahan adalah proses yang tidak bisa
dipaksa berjalan cepat. Terlebih untuk melepas ketergantungan yang amat sangat
pada wangi, busa, dan kepraktisan.
***
Seperti dituliskan di bagian awal, lerak adalah tanaman
lokal negeri ini, dan dipakai oleh orang-orang tua kita sebagai
sabun/pembersih. Ini adalah sebuah kearifan lokal, kekayaan perilaku hidup
negeri ini, yang tanpa disadari, memiliki keselarasan dengan ibu bumi. Bukankah
hal luhur ini harusnya dihidupi terus? Kalau tetap diabaikan, maka lerak hanya
akan menjadi komoditas eksport, dan masyarakat negeri ini hanya sekadar
penonton tanpa pernah tahu manfaat lerak yang amat banyak.
Bahkan di beberapa tempat yang memiliki pohon lerak, buahnya
dibiarkan begitu saja. Ini bukan melulu persoalan lerak yang seharusnya bisa
menjadi komoditas dagang. Tetapi semestinya masyarakat di daerah itu tidak
perlu bergantung pada aneka sabun/pembersih pabrikan. Mereka perlu dikenalkan
pada manfaat lerak, bagi tubuh dan semesta, agar selanjutnya mengoptimalkan
potensi alam di sekitar mereka. Dan dengan demikian akan ikut pula memelihara
kelestarian air dan tanah di daerah tersebut.
Pengenalan potensi lerak memang menuntut adanya perubahan pola pikir tentang ‘sabun’. Juga
pemahaman yang benar tentang indikator bersih, seperti busa dan wangi. Hal
lainnya, masyarakat diajak bergeser dari pola hidup praktis ke pola hidup yang
lebih mandiri dan lebih bersahabat dengan semesta. Dari sekadar beli
sabun/pembersih yang sudah tersedia dan siap pakai ke pola hidup yang
menggunakan sabun alami, tidak instan, perlu sedikit upaya dalam penyiapannya,
tetapi tidak menambah beban pencemaran ibu bumi.
***
Edukasi tentang manfaat lerak, secara online melalui sarana WA ataupun pelatihan, memang tidak serta
merta mengubah banyak orang untuk beralih ke lerak. Tujuan utamanya lebih
terarah pada tersebarnya informasi ini secara meluas. Informasi yang berimbang
perlu didapat oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya beroleh informasi sebuah
produk pabrik dari media televisi atau media cetak, tetapi juga tentang hasil
alam lokal yang memiliki kesamaan fungsi. Dampak positif dan negatif keduanya
akan menjadi pertimbangan dalam mengambil pilihan.
Dengan makin banyaknya orang yang mulai mengenal lerak, maka
diharapkan ada cukup banyak orang yang tergerak menggunakan lerak, mengalami
langsung manfaatnya, dan selanjutnya menjadikan lerak sebagai sabun/pembersih
utama di rumahnya. Ini tentu sebuah perubahan yang berarti bagi ibu bumi. Ajakan
mengenal lerak juga ingin memberikan kesadaran pada semua orang untuk membangun
sebuah kemandirian, dalam hal ini kemandirian sabun. Masyarakat tidak perlu
lagi bergantung pada sabun/pembersih pabrikan, tetapi mampu mengupayakan
sendiri (mandiri) kebutuhan sabunnya dengan mengoptimalkan potensi lokal negeri
ini. Potensi lokal yang selama ini diabaikan, seharusnya dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Jangan sampai lerak menjadi barang
mahal, yang terlahir sebagai sebuah gaya hidup sehat yang hanya dinikmati
segelintir orang. Inilah yang menjadi salah satu semangat hadirnya Omah Hijau,
yang merupakan sarana berbagi pengalaman hidup selaras dengan semesta dari
keseharian pola hidup kita, yang bisa dijangkau banyak orang.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny