[MEDIA] Resensi Film: MONA LISA SMILE


Judul : Mona Lisa Smile
Tahun : 2004
Produksi : Columbia Pictures dan Sony Pictures Entertainment
Produser : Elaine Goldsmith; Thomas Paul Schiff; Deborah Schindler
Sutradara : Mike Newell
Pemain : Julia Roberts; Kirsten Dunst; Julia Stiles; Maggie Gylenhaal

Latar belakang cerita ini didasarkan pada tahun 1953, di mana pembakuan peran gender (masih) sangat ketat dipegang. Seperti sudah dimulai oleh pendahulu mereka pada abad 18, pada masa ini jugalah para feminis liberal telah memulai gerakannya. Feminisme liberal sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran liberalisme dan modernisme yang menekankan kebebasan individual. Para pemikir dan aktivis yang tergolong dalam feminisme gelombang ini melihat adanya kebijakan yang tidak adil, dengan adanya perbedaan kesempatan serta hak antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan yang mengembangkan rasionalitas hanya diberikan pada laki-laki, di mana intelektual laki-laki dianggap superior dan pekerjaan perempuan “hanyalah” sebagai istri dan ibu – dan dianggap tidak penting.

Katherine Watson, tokoh yang diperankan oleh Julia Robert ini mewakili feminis liberal abad 20 yang menginginkan perubahan lebih baik bagi perempuan, lewat pendidikan. Sebagai seorang guru sejarah seni, Katherine datang ke Wellsley College, sebuah sekolah khusus perempuan yang terkenal sangat konvensional, untuk membuat perubahan! Pemikiran, gaya hidup, pendekatan dan cara mengajarnya yang di luar pakem menantang institusi dan segenap penghuninya untuk melihat melampaui apa yang dibayangkan dan dikonstruksikan selama ini. Sekolah yang reputasinya terkenal dan dianggap sukses karena berhasil mendidik anak-anak perempuan menjadi istri yang baik ini, terguncang dengan adanya sebuah pemikiran dan pendidikan “alternatif”, yang coba diusung dan diwakili oleh sosok Katherine ini.

Keluar dari konstruksi sosial dan menentukan pilihan secara bebas dan kritis memang tidak semudah membalikkan tangan. Menjadi pendobrak dan motivator bagi proses perubahan ini lebih tidak mudah lagi. Pergulatan seorang Katherine Watson dalam mewujudkan idealismenya mendapat tantangan dan pengkayaan lewat pertemuannya dengan murid-murid perempuan. Sebuah tawaran yang bagi sekelompok orang dianggap membebaskan dan adil, mungkin ditanggapi sebagai ancaman oleh mereka yang terlanjur diuntungkan dalam sistem seks/gender yang melenakan dan telah menghegemoni ini.

Film ini menyuguhkan kisah cukup menarik, serta didukung oleh para artis yang bermain cukup bagus, walaupun dengan bumbu-bumbu yang khas Hollywood, namun kiranya tetap layak untuk kita tonton. Nampaknya isu dan perjuangan para feminis liberal sejak abad 18 dan berkembang sampai abad 20 ini masih relevan dalam kehidupan kita. Perjuangan para feminis gelombang pertama ini nampaknya belum kunjung usia dan terwujud sesuai cita-cita. Lewat film ini kita bisa lebih mengenal sebagian pemikiran dan perjuangan feminis liberal abad-20. Sedikit banyak, kita jadi teringat juga dengan tokoh perempuan kita, yang masuk dalam golongan ini, yaitu RA.Kartini. Mungkin film ini bisa ditonton dan direfleksikan dalam rangka merayakan hari Kartini, sebagai ganti lomba kebaya dan merangkai bunga! (intan)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...