Editorial Pro:aktif Online, edisi Agustus 2013



Salam inspiratif dan transformatif!

Pro:aktif Online edisi Agustus 2013 kembali hadir dengan tema “Anak dan Tantangan Jaman”.

Perbincangan soal anak seperti tak ada habisnya untuk dibahas. Apalagi, dengan segala perubahan dan percepatan yang dialami dunia dalam hal teknologi dan informasi, segala hal terkait mengasuh dan membesarkan anak mendapat imbasnya juga. Oleh karena itu, tema kali ini fokus kepada permasalahan seputar anak serta tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dalam mendampingi anak-anak mereka bertumbuh dan belajar di masa kini.

Mari kita tengok lebih jauh lagi butir-butir inspirasi dari edisi kali ini!

Pada rubrik Pikir, terdapat dua artikel. Pertama, artikel yang ditulis oleh Andy Sutioso, pemerhati pendidikan dan pendiri Rumah Belajar Semi Palar Bandung. Beliau memaparkan realita yang dihadapi oleh anak-anak di masa kini. Mulai dari berkurangnya ruang bermain dan belajar pada anak, hingga perkembangan teknologi yang dihadapi anak masa kini. Artikel kedua, ditulis oleh Navita, mengulas berbagai jenis pola asuh yang bisa diterapkan pada anak, serta berbagai kemungkinan karakter anak yang dihasilkan dari jenis-jenis pola asuh tersebut.

Pada rubrik Masalah Kita, Melly Amalia dan David Ardes menuliskan hasil wawancara tertulis terhadap beberapa orang tua mengenai hal-hal apa saja yang menjadi tantangan mereka dalam mengasuh dan membesarkan anak, serta bagaimana para orang tua tersebut menyiasati pola pengasuhan di masa kini.

Selanjutnya, pada rubrik Opini, Dominika Oktavira Arumdati (Ira), praktisi homeschooler dan permaculture di Yogyakarta mengungkapkan betapa pentingnya para orang tua untuk menjadi melek media dan teknologi, agar dapat memahami perkembangan teknologi digital, serta dapat mendampingi putra-putri mereka bertumbuh di era digital.

Kemudian, di rubrik Tips, Ardanti Andiarti aktivis pendidikan di Bandung, mengupas berbagai langkah inspiratif bagi para orang tua dalam membangun kepedulian sosial pada anak di jaman yang semakin individual ini.

Berikutnya, pada rubrik Media, kita dapat menemukan pemaparan Agustein Okamita, seorang ibu dari dua anak homeschooler serta relawan kami di Kuncup Padang Ilalang (KAIL), tentang pengalamannya berinternet bersama kedua anaknya. Dari artikel ini, kita juga dapat mengetahui beberapa alamat website yang bermanfaat untuk digunakan sebagai media pembelajaran bagi anak.

Rubrik Profil kali ini diisi oleh sebuah komunitas yang menawarkan kegiatan alternatif dan edukatif bagi anak-anak di perkotaan, yaitu Komunitas Sahabat Kota (KSK) yang beralamat di Kota Bandung.

Rubrik Jalan-Jalan diisi oleh David Ardes Setiady, staff kami di Kuncup Padang Ilalang. Ia menuliskan hasil kunjungannya ke Sanggar Waringin yang berlokasi di dekat terminal angkutan umum Stasiun Besar Bandung. Membaca artikel ini, kita akan dibuat terkejut oleh ulasannya, betapa tempat yang dahulu memiliki sejarah kelam, kini telah disulap menjadi sebuah tempat bermain dan belajar bagi anak-anak jalanan maupun warga di sekitarnya.

Akhir kata, kami sebagai redaksi Pro:aktif Online mengucapkan selamat membaca, selamat menemukan butir-butir inspirasi dari edisi “Anak dan Tantangan Jaman” ini!

[PROFIL] Komunitas Sahabat Kota


Apa yang akan terjadi puluhan tahun ke depan jika tidak ada orang yang peduli akan lingkungan hidupnya? Hal ini patut kita pikirkan bersama. Tidak hanya kita saja yang akan merasakan manfaat lingkungan dan hidup di dalamnya, namun anak cucu kita juga akan merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana jika kondisi lingkungan yang kita nikmati sekarang berbeda dengan apa yang akan anak cucu kita rasakan nanti?
Maka,  kita sebagai manusia yang hidup di dalamnya harus menjaga kondisi lingkungan dan berusaha untuk melestarikannya. Atas dasar tersebut didirikanlah sebuah organisasi sosial yang begerak dalam bidang pendidikan informal mengenai lingkungan kota yang dikemas secara menarik bagi anak-anak. Mengapa anak-anak? Pendidikan mengenai lingkungan kota harus diterapkan sejak dini, mereka harus mengetahui kondisi dan memiliki rasa cinta terhadap lingkungannya. Maka saat mereka beranjak dewasa
dan memegang peran penting di lingkungannya, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Komunitas Sahabat Kota (KSK) dibentuk sejak tahun 2007 oleh 6 pemuda dari Bandung. Pada awalnya program KSK dibuat untuk mengisi libur panjang anak-anak menjadi Petualangan Jelajah Kota yang menyenangkan. Anak-anak diajak berjalan-jalan mengelilingi kota untuk mengamati bagaimana kondisi lingkungan kota. Mereka diajak untuk berpikir secara kritis dalam mengambil peran aktif untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi mereka.


Kini, KSK dengan gerakan Come Out and Play-nya aktif mengajak anak-anak untuk belajar dan bermain di ruang kota dengan program-program utama, yaitu Kidsventure Club, Alun Ulin dan Sahabat Kota Summer Camp. Kidsventure Club merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan, di sini anak-anak diajak belajar dan bermain untuk mengeksplorasi kota dengan tema yang berbeda setiap bulannya.
Program lainnya ialah Alun Ulin. Alun Ulin berasal dari bahasa Sunda 'Alun-alun Keur Ulin' yang berarti pusat kumpul dan bermain. Pada program ini anak-anak diarahkan sebagai co-designer ruang bermain mereka, di sini mereka akan menjadi user, tester, informant, dan partner design. Anak-anak akan diberi workshop co-design dengan metode design thinking, storytelling dan pendekatan ESD (Education for Sustainable Development) yang merupakan dasar dari aktivitas Sahabat Kota.
Sahabat Kota Summer Camp ialah program yang dirancang sekali dalam setahun untuk mengisi liburan anak-anak dengan kegiatan yang menyenangkan dan edukatif. Mereka akan menjelajahi dan mengeksplorasi kota dalam beberapa hari untuk memacu mereka agar memiliki critical thinking dan kepedulian terhadap lingkungan kotanya.


Selain kegiatan di atas, KSK juga memperluas kerjasamanya dengan pihak luar dalam upaya menciptakan kota ramah anak. Beberapa proyek kerjasama dengan pihak luar tersebut antara lain Baraya Sakola, Petualangan Banyu dan Visual Artist for City Movement.
Baraya Sakola merupakan proyek kerjasama dengan beberapa sekolah dasar dan komunitas anak di Kota Bandung. KSK bekerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut agar program-program KSK dikenalkan sebagai pengisi mata pelajaran atau ekstra kurikuler.
Petualangan Banyu merupakan proyek kerjasama dengan salah satu komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, yaitu Greeneration Indonesia. Proyek Petualangan Banyu merupakan proses pembuatan serial film animasi edukatif dengan basis ESD untuk anak-anak usia 6-12 tahun yang mengambil tema lingkungan, seperti energi, sampah dan air. Film animasi ini pertama kali dibuat pada tahun 2009.
Proyek ketiga adalah Visual Arts for City Movement. Dalam proyek ini KSK bekerjasama dengan seorang seniman, yaitu Oma Anna, untuk menciptakan karya seni visual yang merepresentasikan sebuah kota yang ideal. Karya seni visual ini berupa notebook hasil buatan tangan Oma Anna. Keuntungan yang didapatkan dari penjualan notebook tersebut akan diberikan kepada anak-anak yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah dalam program-program KSK.
Akhir kata, bagi Anda yang tertarik untuk bergabung dalam kegiatan bersama Komunitas Sahabat Kota, dapat langsung menghubungi Wilma Zulianti, Public Relations Sahabat Kota di nomor 0821 3016 3053 atau dapat mendatangi alamat kantor mereka di Jl. Cisaga no. 6, Bandung.

(Tim Komunitas Sahabat Kota)

[PIKIR] Pola Pengasuhan Anak di Masa Kini

Perubahan dan Tantangan Jaman

Dunia yang kita hidupi ini senantiasa berubah dari masa ke masa. Beragam inovasi ilmu pengetahuan telah menciptakan kemajuan teknologi yang memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal, mulai dari alat transportasi hingga sumber informasi maupun perangkat komunikasi.Misalnya, jika dahulu manusia mengandalkan surat menyurat melalui pos untuk berkomunikasi jarak jauh dengan seseorang, sekarang mereka dapat melakukannya dengan berkomunikasi langsung melalui telepon atau menuliskannya di surat elektronik atau e-mail. Jika dahulu manusia menggunakan hewan-hewan sebagai alat bantu untuk mempermudah transportasi, kini, setelah penemuan mesin dan bahan bakar, manusia dapat menempuh perjalanan dengan mobil, motor bahkan pesawat terbang.
Dunia semakin canggih. Segalanya serba mudah dan cepat. Tak perlu berlama-lama
menunggu pak pos datang mengantarkan surat yang telah satu minggu sebelumnya ditulis oleh kerabat kita. Dengan teknologi internet, mengirim surat dapat dilakukan dengan hanya beberapa detik saja. Untuk menyegarkan diri dengan menonton sebuah pertunjukan, tak perlu pula kita bersusah payah pergi ke gedung teater. Di rumah, kita bisa duduk enak menonton tayangan televisi. Bahkan, dengan perkembangan gadget seperti saat ini, anak-anak hanya cukup duduk dan memainkan permainan kesukaan mereka pada sebuah kotak kecil bernama ‘tablet’ atau smartphone.
Perubahan pada teknologi dan peradaban manusia tentunya menyebabkan perubahan pola pikir pada manusia secara individu maupun di dalam keluarga. Jika dahulu para orang tua dianggap sebagai yang paling mengetahui dan anak sebagai pihak yang wajib mendengarkan dan melaksanakan apapun yang dikatakan orang tua, maka di masa kini, keadaannya sudah berbeda. Informasi bisa didapatkan di mana saja, dalam berbagai media seperti majalah, koran, televisi, radio hingga internet. Dengan beragam media tersebut, anak bisa mendapatkan pengetahuan dari sumber selain orang tua mereka.
Derasnya arus informasi dari luar membawa beberapa perubahan pada pola pengasuhan di dalam keluarga, sehingga orang tua dituntut untuk menyeimbangkan perubahan-perubahan tersebut. Pola asuh di jaman dahulu, yang terkenal dengan gaya disiplin dan kaku, tak lagi berlaku di jaman sekarang yang serba cepat dan terbuka. Alih-alih menjadi manusia berkualitas dan bertanggung jawab, anak kita justru berada di bawah ancaman kenakalan remaja atau kurang rasa percaya diri jika diberi pola pengasuhan yang kaku dan keras.
Oleh karena itu, bagaimana menyikapi perubahan jaman, dikaitkan dengan hubungan antara pola asuh di dalam keluarga dengan perkembangan karakter anak akan menjadi fokus pembahasan di dalam artikel ini.

Sumber : http://tkalirsyad.blogspot.com/2011/02/seperti-apa-sih-pola-asuh-yang-benar.html



Pola asuh orang tua

Diana Blumberg Baumrind, seorang pakar psikologi dan perkembangan anak di New York, Amerika Serikat mempelajari hubungan antara pola asuh yang diterapkan orang tua dengan perkembangan karakter anak-anaknya.Penelitian yang dilakukan pada tahun 1971berhasil menyimpulkan empat jenis pola pengasuhan anak di dalam keluarga, antara lain :

(1)   Permissive Indulgent Parenting Style
Pola asuh seperti ini dilakukan oleh orang tua yang selalu memenuhi keinginan anak-anaknya, namun tanpa disertai adanya pengendalian.Kehangatan kasih sayang orang tua diberikan kepada anak secara berlebihan, bahkan ketika anak melakukan kesalahan, orang tua tidak memberi teguran.

Anak yang diasuh dengan pola seperti ini akan menjadi pribadi yang manja, mudah menyerah apabila menemui kesulitan, serta mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.

Bila dikaitkan dengan perkembangan dunia saat ini, anak yang terbentuk dari pola pengasuhan di atas kemungkinan akan mengalami kesulitan. Misalnya, ketika semua orang berlomba-lomba berjuang mencari pekerjaan yang layak, anak dengan karakter manja dan mudah menyerah akan berada pada posisi paling belakang. Karena ia lebih mementingkan diri sendiri, apa yang ia pikirkan bukanlah bagaimana mengatasi perjuangan hidup, tetapi kenikmatan bagi dirinya semata.

(2)   Permissive Uninvolved Parenting Style

Berbeda sedikit dengan pola di atas, pola Permissive Uninvolved tidak disertai dengan kehangatan kasih sayang. Anak diberikan segala hal yang diinginkan, namun tidak disertai kehangatan kasih sayang maupun perhatian dari orang tua. Dalam hal ini orang tua hanya mencukupi kebutuhan anak dari segi materi saja, misal : uang, pakaian, mainan atau gadget yang canggih.

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini akan tumbuh sebagai anak dengan perasaan minder, tak berharga karena tidak diperhatikan. Tak jarang pula anak dengan pola asuh seperti ini jatuh dalam jebakan kenakalan remaja dan narkoba.

Orang yang tidak menghargai dirinya sendiri akan menganggap segala aspek di dalam dirinya sebagai sesuatu yang negatif. Maka, dikaitkan dengan perkembangan dunia saat ini, tentu orang dengan karakter seperti ini juga akan tertinggal jauh menghadapi persaingan ketat kehidupan. Rasa tak percaya diri akan mengungkung dirinya dari perjuangan menghadapi kerasnya kehidupan. Ia akan selalu merasa tak mampu dibandingkan orang lain.

(3)   Authoritarian Parenting Style

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang diterapkan orang tua yang senantiasa memaksakan kehendak dan pemikirannya kepada anak-anaknya, tanpa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Bila anak-anak melakukan kesalahan, senantiasa diberi hukuman. Kesalahan yang disengaja maupun tak disengaja selalu diganjar dengan hukuman, tanpa ada pembahasan tentang kesalahan yang dilakukan.

Anak yang diasuh dengan pola seperti ini akan menjadi pribadi yang menjalankan segala sesuatu bukan karena keinginannya, tetapi karena takut pada anggapan orang lain, atau takut pada hukuman. Seringkali anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan tidak memiliki konsentrasi yang baik dalam belajar.

Apabila dikaitkan dengan perkembangan jaman, orang yang senantiasa takut pada anggapan orang lain akan selalu berada di bawah bayang-bayang orang lain. Ia tidak bisa menjadi pemimpin, dan selama hidupnya 

(4)   Authoritative Parenting Style
                            
Pola asuh Authoritative adalah pola asuh yang memberi ruang pada kebebasan berpendapat pada anak. Dibandingkan dengan pola asuh authoritarian yang mengedepankan posisi hirarki antara orang tua dan anak, sebaliknya, pola asuh authoritative mengutamakan posisi yang egaliter antara orang tua dan anak. Anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri, sekaligus diberi bimbingan tentang nilai dan norma-norma. Hukuman dan hadiah (reward and punishment) berlaku di dalam pola pengasuhan ini, disertai penjelasan berdasarkan apa yang sudah dilakukan oleh anak.
Anak dengan pola asuh seperti ini tumbuh sebagai anak mandiri dan percaya diri. Ia juga memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesamanya.

Bila dikaitkan dengan perkembangan saat ini, anak dengan pola pengasuhan ini mampu bertahan dalam ketatnya persaingan, karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Berkat kemandiriannya, ia mampu melesat dalam karir maupun tujuan hidupnya, karena ia tak perlu bergantung pada pertolongan orang lain.

Banyak faktor berperan dalam pembentukan karakter anak. Salah satunya, adalah pola pengasuhan orang tua.Oleh karena itu, ayah dan ibu perlu menentukan pola asuh yang paling baik bagi pembentukan karakter anak, terutama karakter yang tangguh dalam menghadapi tantangan jaman. Pertanyaan bagi para orang tua sekarang, pola asuh manakah yang paling efektif dalam menghasilkan karakter anak yang mampu menghadapi perkembangan jaman?

Sumber : http://www.balitasehat.net/artikel/Psikologi/Balita/10.pola.asuh.untuk.anak.cerdas/001/007/1080/1


Pola asuh dan karakter yang tangguh menghadapi tantangan jaman

 Mari kita tengok sebentar karakter apa saja yang dimiliki para tokoh yang sukses di jaman sekarang. Sebutlah alm. Steve Jobs dengan produk Apple-nya,atau Michael Jordan, sang pemain basket nomor satu di Amerika. Tak ketinggalan pula J.K. Rowling, penulis buku Harry Potter yang terkenal. Dapat dikatakan, mereka adalah orang-orang yang sukses mengatasi tantangan serta melaluinya dengan baik.
Kunci utama kesuksesan orang-orang tersebut salah satunya terletak pada rasa percaya diri serta upaya yang gigih untuk mencapai tujuannya. Contohnya, Michael Jordan, sempat tak dipilih bermain oleh timnya dalam pertandingan bergengsi di negerinya. Namun, berkat kegigihan dan upaya tanpa kenal lelah, ia berhasil membuktikan pada sang pelatih bahwa ia dapat diandalkan. Begitu pula Steve Jobs, berkat keyakinan dan kreativitas yang tinggi, ia membawa komputer Apple yang awalnya hampir bangkrut, ke posisi atas penjualan komputer dunia.
Percaya diri, mandiri, tak kenal menyerah adalah karakter-karakter yang diperlukan seseorang untuk menghadapi kerasnya tantangan kehidupan kapanpun dan dimanapun. Semua itu tidak muncul begitu saja dalam diri seseorang, melainkan sebuah pembiasaan semenjak kecil. Lagi-lagi, pola asuh yang tepat turut ambil bagian dalam pembiasaan dan penanaman karakter sejak dini.

Penutup

Berbagai pola asuh serta karakter yang mungkin terbentuk dari pola asuh tertentu telah dijabarkan. Jenis karakter yang kiranya mampu menghadapi tantangan jaman  telah diulas. Maka kini, saatnya bagi para orang tua untuk menentukan, pola asuh mana yang kiranya dapat menghasilkan karakter anak yang mampu menghadapi tantangan jaman.
Kunci keberhasilan pengasuhan juga terletak pada konsistensi ayah dan ibu di rumah dalam menjalankan pola pengasuhan yang telah disepakati. Sebaiknya jangan berganti-ganti pola pengasuhan, karena hal ini akan menyebabkan kebingungan pada anak. Contohnya, di hari tertentu, ayah dan ibu memberi kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat atas sesuatu hal, namun di hari lain, ayah dan ibu tidak memberikan kesempatan tersebut. Tentu hal ini akan menyebabkan rasa bingung, sedih, dan merasa tak dihargai pada anak.
Akhir kata, pilihan untuk menggunakan pola pengasuhan manapun terletak di tangan ayah dan ibu sendiri. Para orang tua tentu bisa memilih berbagai macam jenis pola pengasuhan untuk anak. Hendaknya, pilihan pola asuh tersebut sebaiknya disesuaikan berdasar karakter dasar dari anak. Apapun pilihan pola asuhnya, kita juga harus ingat, bahwa ini semua dilakukan demi masa depan sang anak. Karena anak semata-mata adalah titipan Tuhan dan kita tak mungkin selalu ada dan melindungi anak-anak kita di masa yang akan datang. 


(Navita Kristi Astuti)

[PIKIR] Menilik Realita Anak Jaman Sekarang


Sesuai judulnya, tulisan ini mengajak kita mengamati situasi anak kita melalui perspektif waktu. Kalau kita ingin bicara mengenai realita anak-anak kita jaman sekarang, tentunya kita perlu melongok bagaimana hal-hal yang sama terjadi di waktu-waktu yang lalu– setidaknya sewaktu kita kecil dulu. Hari ini, kita ada di dalam situasi di mana teknologi sudah merasuk ke segala sisi kehidupan dan juga menjangkau berbagai sisi kehidupan anak-anak kita. Tulisan pendek ini akan menyoroti apa dan bagaimana dampak-dampak yang muncul dari berbagai perubahan yang ada bagi proses tumbuh kembang anak-anak kita saat ini.
Kita coba mulai dari telaah singkat situasi dulu dan sekarang. Sewaktu saya duduk di bangku SD dulu, tidak banyak ditemui rumah yang memiliki pesawat telepon sendiri.
Hari ini di kota-kota kecil bahkan di pelosok, kita sudah melihat anak-anak memegang telepon genggamnya sendiri. Perangkat yang tidak hanya bisa menelepon tapi dengan layar sentuhnya sudah bisa mengakses internet dan segala konten yang terhubung melaluinya. 
Dulu hanya beberapa keluarga yang cukup mampu yang memiliki televisi di rumahnya, di mana di sore hari keluarga bisa asyik menyaksikan tayangan dari satu saja kanal siaran yang tersedia: TVRI, itupun dalam tayangan hitam dan putih. Saat ini, banyak rumah sudah bisa menyaksikan tayangan dari pilihan puluhan kanal TV kabel di layar datar pesawat TV lengkap dengan audio surround ibarat di ruang bioskop.  
Dulu sewaktu kecil, saya begitu beruntung bisa bermain menjelajah sawah dan tegalan, serta tidur-tiduran di saung milik pak Tani. Sekarang untuk berkegiatan di luar rumah-pun menjadi sulit karena banyaknya motor lalu lalang, dan ruang ruang terbuka di perkotaan yang berubah menjadi bangunan. Anak-anak kita sekarang mengisi waktu luangnya di rumahnya, di ruangan tertutup kamarnya sendiri atau di mal-mal sewaktu akhir pekan. 
Situasi sudah begitu berubah, hanya dalam tempo kurang dari satu generasi. Sebuah rangkaian perubahan yang luar biasa cepat sehingga kita pun manusia tergopoh-gopoh memahami dan memaknainya. Apakah hal-hal tersebut yang lazimnya kita pandang sebagai kemajuan kemudian menjelma menjadi kebaikan, tentunya sangat menjadi pertanyaan. 

Dunia Bermain dan Belajar Anak-anak

              Anak-anak kita yang tinggal di kota (kita bicara dalam konteks kota Bandung) setidaknya kehilangan sangat banyak hal. Ruang terbuka yang aman dan memadai adalah salah satu di antaranya. Padahal proses tumbuh kembang mereka membutuhkan ruang gerak dan eksplorasi jasmaniah yang kaya. Anak-anak di usia 0-7 tahun perlu mendapat kesempatan memahami tubuh dan lingkungan sekitarnya secara jasmani. Mereka perlu banyak sekali berlari-lari, memanjat pohon, tersandung dan terjerembab. Mereka perlu mengalami bersentuhan langsung dengan alam sekitarnya, bermain batu-batuan dan dedaunan, melangkah di atas tanah dan kerikil, menapak di atas rumput dan dedaunan…


KEGIATAN BERKEBUN DI SEMI PALAR | DOK : SEMI PALAR    
                 Saat ini, anak-anak bahkan di usia 2-3 tahun sudah banyak kita lihat duduk tenang memangku gadget, memainkan permainan di atas layar datar menggunakan jari-jemarinya. Alih-alih bermain bola sepak di lapangan, anak-anak kita duduk diam di dalam ruangan. Jari-jarinya yang bermain ‘winning eleven’ di atas layar tablet. Hilang sudah pengalaman bermain yang begitu kaya. Pengalaman multisensori yang mereka dapatkan dari menendang dan mengoper bola, tersandung jatuh terdorong, berlari sekencang-kencangnya mengejar bola sudah hilang. Begitu juga kesempatan untuk mengalami derasnya arus emosi yang meruap bersama teman satu tim saat menang maupun bagaimana berdamai dengan dirinya untuk menerima kekalahan. Hal-hal seperti ini yang sekarang semakin menghilang dari alam belajar anak-anak kita. 



ANAK BERMAIN LAYANGAN DI ATAS ATAP RUMAHNYA, DI SISI SUNGAI CIKAPUNDUNG | DOK : PRIBADI 

Waktu dan Ruang Bertumbuh yang Menghilang

Di sisi lain, anak-anak kita juga banyak kehilangan waktu bersama orangtuanya. Saat ini sudah ada layanan-layanan ‘pendidikan’ yang ditawarkan bagi anak mulai dari usia 6 bulan. Usia anak bersekolahpun semakin muda. Di usia 2 tahun, orangtua sudah sibuk menemukan sekolah bagi anaknya. Jam sekolah-pun semakin lama semakin panjang. Kalaupun tidak, anak-anak pergi dari satu les privat ke les privat lainnya – dimulai dari usia TK. Di sisi lain tuntutan kehidupan modern, terutama secara ekonomi juga membuat orangtua serba sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarga – belum lagi menanggapi kebutuhan gaya hidup yang tak habis-habisnya. Semakin tipis sudah kesempatan orangtua membagikan waktu, kebersamaan dan perhatian bagi anak-anaknya. 
Sementara itu tayangan TV dan filem-filem dengan beragam tema serta tampilan serba menarik telah menjauhkan  anak-anak kita dari dongeng sebelum tidur dan bermain bersama orangtua. Perubahan-perubahan ini sudah mengikis habis alam dongeng dan imajinasi yang dulu banyak dihantarkan oleh orangtua kita saat sebelum tidur ataupun di kesempatan-kesempatan lain. Kakek dan nenek yang dulu senang sekali mendongeng dan berbagi cerita kepada cucunya, saat ini tergantikan oleh tokoh-tokoh lucu yang direkayasa industri hiburan lengkap dengan baju, boneka dan tasnya sekaligus. Kita lupa bahwa banyak sekali nilai kehidupan dan hantaran keindahan yang dibawakan oleh dongeng cerita rakyat dan sejenisnya. Tanpa disadari orangtua semakin terlena membiarkan anak-anak mereka hidup di dalam ruangan di hadapan layar kaca dan berbagai perangka elektroniknya.

Pergeseran di Dunia Pendidikan

Sekarang ini semakin banyak lembaga pendidikan yang menawarkan hal-hal yang umumnya dikorelasikan dengan kecanggihan / kemajuan pendidikan. E-learning adalah salah satunya. Anak-anak di sekolah diajak belajar dengan menggunakan komputer atau tablet di usia semuda mungkin. Seakan hal itu adalah sesuatu yang canggih dan modern. Sebelum kita bersepakat dengan hal tersebut, kita perlu menelaah dulu hal tersebut secara kritis. Apakah betul media digital tepat untuk anak-anak? Apa dampaknya bagi mereka? Kapan sebaiknya mereka bersentuhan / berkenalan dengan hal itu. Apa yang kurang dengan media yang kita kenal selama ini – buku-buku, misalnya. Apakah memang buku-buku perlu digantikan dengan media komputer. 
Saya akan coba ulas dari satu sisi, bagaimana media belajar sangat memengaruhi terbangunnya pola pikir anak. Media digital memang menawarkan banyak kemudahan bagi penggunanya. Media ini memiliki kemampuan untuk mengindeks, mencari teks (search) dan lain sebagainya. Penggunanya dapat mencari informasi dengan cepat (instan). Perlu kita sadari betul bahwa hal ini dapat sangat memperlemah terbangunnya pola pikir anak. Padahal di era sekarang di mana anak-anak kita kebanjiran informasi, mereka perlu punya kemampuan untuk menyaring dan mengolah informasi. Hal lain yang sering tidak disadari adalah bahwa komputer dan perangkat sejenisnya beroperasi dalam mode multi tasking dan multimedia. Saat bermain komputer, anak dengan mudah beralih aplikasi / atau mereset permainan saat mereka kalah atau menghadapi kesulitan. Hal ini juga sangat melemahkan kemampuan anak untuk bisa memusatkan perhatian dan menyelesaikan satu hal sampai tuntas.
Di sisi lain, buku adalah media paling tepat untuk bisa membangun pola pikir anak dengan baik. Melalui buku, anak dapat banyak berlatih untuk fokus, memusatkan perhatian dan merangkai makna. Melalui buku, anak harus bergerak dari baris kalimat ke baris kalimat  berikutnya, dari halaman ke halaman berikutnya. Berpikir secara runut dan terstruktur dan mengimajinasikan apa yang terekam dalam teks agar dapat bermakna bagi dirinya. Walaupun tampak sederhana, buku adalah media pembelajaran yang sangat kaya bagi anak.


JABA WASKITA : JAM BACA WAWASAN KISAH DAN CERITA DI SEMI PALAR | DOK : SEMI PALAR 


Penutup

Kecanggihan-kecanggihan teknologi yang seringkali kita korelasikan dengan kemajuan, ternyata berdampak sangat besar pada proses tumbuh kembang anak-anak kita. Proses yang semestinya berjalan alamiah dan penuh kewajaran. Kita jangan pernah melupakan bahwa alam punya tempo dan ritmenya sendiri. Kita dan anak-anak kita – manusia - adalah juga bagian dari alam. Anak-anak kita punya tempo dan ritmenya sendiri dalam menumbuhkembangkan segala aspek kediriannya secara utuh dan seimbang. 
Proses perubahan yang sangat cepat memang membuat kita semua, juga sebagai orangtua, menjadi gamang menanggapi dan merespon situasi dengan tepat. Dalam hal pendidikan anak-anak kita, kita perlu sangat berhati-hati merespon perubahan. 
Ruang tulisan ini memang sangat terbatas untuk membahas masalah ini secara memadai, mudah-mudahan apa yang tertuang di atas ini memberikan gambaran tentang situasi kita, terutama anak-anak kita, di dunia yang sedang berubah dengan cepatnya. Bagaimanapun pilihan untuk merespon perubahan ini ada di diri kita masing-masing. 


Bandung, 9 September 2013

(Andy Sutioso)



Andy Sutioso, lahir dan tinggal di Bandung, bersama istri dan dua orang anak. Latar belakang pendidikan adalah bidang arsitektur, sejak 14 tahun yang lalu memilih bergiat di komunitas dan memperdalam tentang pendidikan, khususnya pendidikan holistik. Memiliki banyak minat termasuk di dalamnya seni budaya, lingkungan hidup, spiritualitas, sejarah dan teknologi. Waktu luangnya diisi bersepeda, membaca, blogging dan potret memotret. Sejak 2004 merintis Rumah Belajar Semi Palar, (www.semipalar.sch.id) sekolah formal dengan pendekatan pendidikan holistik di Bandung.     


[MASALAH KITA] Mempersiapkan Anak Menghadapi Tantangan Jaman


Pengantar

Ibu EG memiliki seorang putri yang berusia 7 tahun. Akhir-akhir ini putrinya menggemari makanan-makanan yang dijajakan di sekolah. Biasanya Bu EG  menyiapkan bekal makanan dari rumah untuk putrinya, namun karena ada teman sekolah yang sesekali merayakan ulang tahun dan memberikan bingkisan ulang tahunberisi makanan ringan, putrinya pun mau tidak mau berkenalan dengan makanan tersebut. Awalnya Bu EG langsung menyeleksi makanan-makanan itu karena khawatir dengan kandungan seperti MSG, pengawet, dan pewarna. Akan tetapi dengan pertimbangan untuk mendidik anaknya mengenai rasa dan kesehatan makanan, Bu EG mengizinkan putrinya untuk mengonsumsi makanan seperti itu namun dibatasi dan diberikan pengertian agar menyadari dampak makanan tersebut pada dirinya. Dengan penerapan disiplin tersebut, Bu EG berharap putrinya akan tetap lebih memilih makanan rumahan daripada yang dijajakan di sekolah.

Berbicara mengenai tumbuh kembang anak, dari masa ke masa, memiliki tantangannya masing-masing;
mulai dari pola pengasuhan, pendidikan, lingkungan, dan teknologi. Setiap generasi menghadapi persoalan dan tantangannya masing-masing, begitupun dengan orang tua dan anak di masa kini, yang kita rasa mungkin akan semakin berat ke depannya. Seperti yang dihadapi oleh Bu EG, tantangan yang dia hadapi sebagai orang tua adalah menanamkan pemahaman soal makanan sehat kepada putrinya, sementara lingkungan sekolah biasanya sering dijejali dengan pedagang makanan yang tidak jelas kandungannya. Orang tua dimanapun mengharapkan anak-anaknya berada dalam keadaan sehat, tumbuh dengan penuh kebahagiaan. Namun, lingkungan terkadang tidak turut mendukung.

Selain di dalam keluarga, tumbuh kembang anak juga dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya dibesarkan. Lingkungan yang tidak mendukung, bisa menyebabkan anak tumbuh lebih cepat dari usianya karena mencontoh perilaku yang belum ia mengerti. Atau malah menyebabkan anak tumbuh lebih lambat karena tertahan oleh berbagai macam larangan. Yang cukup sering kita lihat sekarang ini adalah perilaku anak-anak yang tampak seperti orang dewasa. Mungkin kita akan tertawa geli melihat perilaku demikian karena situasi tersebut dipandang aneh. “Anak-anak tapi perilakunya sok sudah dewasa”, mungkin itulah pikiran yang mengiringi reaksi geli kita. Tapi apakah Anda masih akan tertawa bilamana mendapati anak perempuan berusia 6 tahun yang lebih sering berbicara tentang pacaran, ciuman, dan bagaimana bersikap kepada lawan jenis? Anak perempuan ini dari luar tampak seperti anak-anak pada umumnya, yang bermain kejar-kejaran atau bermain peran. Tidak ada yang berbeda bila hanya melihat sekilas, namun pada saat dicermati lebih jauh, apa yang dia bicarakan sungguh mengejutkan. Seolah-olah dia sudah memahami apa yang dimaksud dengan pacaran ataupun ciuman. Lalu mengapa anak perempuan ini bisa berbicara seperti itu?

Anak-anak adalah makhluk pembelajar yang luar biasa, begitupun dengan anak perempuan tersebut, dia mempelajari semuanya itu dari apa yang dia lihat. Di lingkungan tempatnya tumbuh, sering kali ia mendapati orang-orang dewasa mengumbar kemesraan. Ditambah dengan anak-anak remaja yang sedang puber, bergaya dengan dandanan yang menor, anak perempuan itu menyaksikannya. Kemudian ditambah lagi dengan tontonan sinetron yang sangat tidak mendidik, jadilah anak perempuan itu benar-benar dipenuhi dengan informasi yang belum benar-benar dia pahami, tapi dia serap dengan baik.

Ada pula kasus seorang anak laki-laki yang gemar bermain game online di warnet (warung internet), yang harus dijemput orang tuanya untuk pulang. Anak itu menghabiskan seluruh uang saku pemberian orang tuanya hanya untuk bermain game online, sekalipun lapar, ia akan menahannya hanya demi bermain game online. Ataupun anak-anak yang gemar bermain Playstation (PS) berjam-jam, tidak ingat makan dan minum.

Kasus-kasus demikian, menjadi keprihatinan bersama yang mengundang tanya, apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan kita?

Tantangan bagi  para orang tua masa kini


Tim KAIL telah melakukan wawancara dengan orang tua yang memiliki anak dengan rentang usia 1 – 13 tahun. Wawancara ini dilakukan untuk melihat, tantangan seperti apa yang dihadapi oleh para orang tua tersebut. Ada 5 orang yang telah bersedia menjadi responden dalam wawancara ini, dengan komposisi 4 orang ibu dan 1 orang ayah.

Para responden menjawab bahwa tantangan yang dihadapi mereka sebagai orang tua, meliputi pendidikan, perkembangan teknologi, tontonan televisi, lingkungan pergaulan, dan makanan.
Tantangan pendidikan yang dirasakan oleh para responden terkait bagaimana anak-anak dididik sesuai dengan usia dan tahapan perkembangannya, serta memastikan bahwa anak-anak mereka mendapatkan cukup kasih sayang dalam proses pendidikan tersebut.  Pendidikan di rumah dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi berbagai tantangan ke depannya. Yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah menjalankan peran sebagai teman yang turut serta mendukung proses belajarnya. Walau ada yang merasa dukungan tersebut tidak selalu berhasil, tapi hal tersebut tetap diberikan agar anak-anak senang dengan kegiatan belajar.

Tantangan dari perkembangan teknologi adalah pengawasan terhadap arus informasi yang didapatkan oleh anak. Ada dua responden yang menyoroti hal ini. Koneksi internet yang semakin cepat dan mudah, membantu anak-anak untuk memperluas wawasannya, namun di situ terdapat  bahaya bilamana informasi yang boleh diakses tidak dipilah sesuai dengan usia. Konten porno, kekerasan, ataupun hal-hal lain yang belum bisa dicerna oleh anak-anak beredar bebas di internet. Dampak dari informasi tersebut kemungkinan akan mempengaruhi perilakunya.

Televisi yang sudah lekat dengan kehidupan masyarakat perkotaan juga menjadi tantangan tersendiri, terutama karena tontonannya yang sangat tidak bersahabat dengan anak-anak. Sinetron, berita infotainment, lagu-lagu Indonesia, dirasakan tidak mendidik. Responden merasa cemas dengan tontonan televisi Indonesia.

Tantangan dari lingkungan juga terkait dengan informasi, meliputi nilai-nilai yang berpotensi mempengaruhi anak. Apabila nilai-nilainya sejalan dengan yang diajarkan di rumah, tentu orang tua tidak khawatir. Anak-anak di masa pertumbuhannya perlu berinteraksi dengan lingkungannya agar tidak merasa asing bila berhadapan dengan dunia  luar. Interaksi yang terjadi tidak hanya dengan lingkungan tapi juga dengan manusia yang ada, yaitu teman-teman sebaya. Namun, kondisi setiap anak tidaklah sama karena berbagai hal, entah faktor kondisi keluarga ataupun lingkungan tempat ia dibesarkan. Oleh karena itu, di dalam interaksi yang terjadi dengan teman-temannya juga terjadi pertukaran informasi, yang mungkin tidak pantas. Pergaulan tidak mungkin dihindari karena bagaimanapun merupakan bagian dari proses pendidikannya dan juga hakikatnya sebagai makhluk sosial. Tantangan ini disorot oleh 3 responden.

Anak-anak pada umumnya belum memiliki kepekaan tentang makanan sehat karena biasanya hanya mempertimbangkan kepada rasa saja. Manakala saat ini makanan-makanan yang beredar di pasaran ataupun yang dijajakan di pinggir jalan banyak mengandung penyedap rasa dan bahan-bahan kimia lainnya, anak-anak suka dengan rasanya namun belum tentu baik untuk tubuhnya. Dua orang responden ibu sangat menyadari hal ini, mereka melihat pentingnya untuk mengatur pola makan anak-anak agar asupan gizinya tercukupi setiap hari. Tidak dipungkiri bahwa anak-anak perlu diperkenalkan tentang berbagai rasa serta sehingga tidak terjebak pada satu jenis makanan saja.

Strategi para orang tua menghadapi tantangan

Menjawab tantangan-tantangan tersebut, para responden mengungkapkan cara-caranya tersendiri yang dirasa tepat untuk anak-anaknya.

Terkait dengan pendidikan, orang tua diharapkan untuk tidakmemaksa anaknya dengan  tuntutan harus bisa ini dan itu. Tidak juga dengan membebani dengan suatu capaian prestasi yang luar bisa. Orang tua disarankan untuk menyikapi pendidikan anaknya dengan memberikan semangat dan dukungan agar anak-anak terpacu untuk belajar, merasakan pengalaman positif dalam pembelajarannya. Pemberian semangat dan dukungan  merupakan wujud kasih sayang orang tua, tentu perlu dikomunikasikan lebih lanjut dengan sang anak, apakah dia benar-benar merasakan kecukupan kasih sayang dari mereka. Di sini orang tua perlu membangun keterbukaan anak untuk menceritakan apa pun yang mereka dapatkan dan rasakan, sehingga orang tua kemudian bisa mengetahui nilai-nilai yang sedang dibentuk di dalam dirinya pula.

Keterbukaan anak menjadi upaya untuk mengatasi seluruh tantangan tadi karena bila orang tua bisa mengetahui apa yang terjadi pada anaknya, orang tua bisa mencari solusi untuk mengatasinya.

Lebih lanjut, selain keterbukaan anak, diperlukan langkah-langkah lain untuk meminimalisir dampak buruk dari tantangan-tantangan yang lain, terutama mengenai akses informasi. Media-media menuju informasi harus dibatasi penggunaannya, terutama lama penggunaan serta kontennya. Gadget memang bisa bermanfaat untuk membantu pendidikan dengan adanya fasilitas games yang edukatif, namun games yang dimainkan terlalu lama bisa menjadi tidak edukatif lagi, melainkan adiktif atau kecanduan. Hal tersebut bisa berpengaruh buruk kepada anak-anak. Sementara televisi jelas harus dibatasi, kapan boleh menonton dan berapa lama boleh menonton. Sulitnya membatasi televisi adalah karena tontonannya tidak dapat diatur, televisi nasional maupun lokal tidak memiliki segmentasi dan juga tidak dapat diblokir. Untuk itu bila menonton, walaupun acaranya mungkin tampak diperuntukkan bagi anak-anak, orang tua sebaiknya selalu mendampingi untuk dapat memberikan pengertian.

Mengatasi persoalan pola makan anak, orang tua disarankan untuk menjalankan disiplin yang cukup ketat, walau bukan berarti melarang anak untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Membangun kesadaran anak dalam memilih makanan yang terbaik baginya merupakan pilihan yang lebih tepat dan membangun karena di kemudian hari, sang anak akan mewariskannya kepada keturunannya dengan penuh kesadaran. Apabila anak masih ingin mengonsumsi makanan-makanan yang dirasa kurang cukup sehat, maka ijinkan untuk mengonsumsinya sambil selalu diberikan pengertian.

Penutup

Perkembangan jaman tidak dapat ditahan dan tidak dapat pula dihindari. Siapapun akan menjadi bagian di dalam perkembangan jaman, kita tidak hanya sekedar menerima perubahan yang terjadi, namun juga menghadapinya. Sebagai orang tua, mempersiapkan anak-anak dengan berbagai keterampilan hidup adalah sebuah upaya yang menjadi harus dilakukan. Untuk mendukung upaya tersebut, orang tua harus senantiasa belajar dan belajar, menambah wawasan agar bisa mendampingi anak dengan baik terutama dalam memberikan pengertian. Selain itu, harus diingat bahwa bagaimanapun juga orang tua adalah teladan utama untuk anak-anaknya. Baiklah kiranya orang tua menyesuaikan diri dengan jaman, mencoba memahami 
anaknya, serta terus membimbing anaknya.


(Melly Amalia dan David Ardes)
Keduanya adalah staff Kuncup Padang Ilalang (KAIL) Bandung

[OPINI] Menimbang Teknologi, Mendampingi Buah Hati : Refleksi atas teknologi dan peran orang tua dalam pengasuhan anak


Di sebuah restoran tempat kami makan, tampak di satu meja sebuah keluarga dimana sang ayah, ibu dan anak-anak mereka membawa gadget-nya masing-masing. Sang ibu tampak sibuk meng-updatelaman Facebooknya. Sang ayah sibuk membalas komentar di Twitter. Anak yang satu asyik ber-whatsapp ria dengan temannya sambil mendengarkan musik di telinganya, sedang dua anak lainnya bermain game di tablet-nya masing-masing. Dan tak heran, begitu makanan datang, tak seorang pun mematikan ‘mainan’nya. Sebuah pemandangan yang tampaknya mulai kerap dan biasa terjadi di banyak tempat makan di kota besar saat ini.

Benarkah ini sebuah gejala kewajaran dalam wajah sosial masyarakat kita?

Di satu kesempatan lain, saya mendapati keponakan saya yang sedang mempersiapkan diri menghadapi ulangan umum. Di telinganya terpasang headphone
dengan lagu-lagu terkini menemani, sebuah laptop menyala dengan laman facebook di depannya. Masih kurang, dengan mobile-phone di tangannya ia sibuk membalas pesan SMS yang masuk. Saya bingung membayangkan bagaimana anak ini bisa belajar dengan semua distraksi di depannya. Kemampuan multitasking yang dia gembor-gemborkan sungguh saya pertanyakan, tetapi saya akui kemampuan switchingperhatian dari satu ke lainnya patut saya acungi jempol.

Namun tak disangkal saya mendapati diri saya merasa ikut bangga ketika seorang teman saya bercerita bahwa putranya yang berusia 11 tahun, sebutlah Anton namanya, mampu memproduksi gambar-gambar arsitektur digital seperti yang dilakukan ibunya yang seorang arsitek. Ibunya mengatakan apa yang dilakukan anaknya adalah hasil proses setahun saat ia belajar di bangku kuliah. Sebuah fenomena yang luar biasa bagaimana kerumitan dunia digital sedemikian cepat bisa diadopsi oleh seorang anak.


Lahirnya generasi digital

Munculnya istilah generasi digital, atau pribumi digital (digital native) lahir pada saat di mana perkembangan teknologi digital sudah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Generasi digital pribumi ini dalam dua kategori yaitu Generasi Milenia (lahir di antara tahun 1980 dan 2000an) dan Generasi Xers (lahir diantara tahun 1960 dan 1970an). Saya yakin sebagian besar dari pembaca, ada diantara rentang generasi digital ini. Dalam satu dekade terakhir, perkembangan dan penggunaan teknologi sungguh luar biasa dalam setiap aspek kehidupan. Anak-anak ini lahir, besar, dan hidup dikelilingi oleh teknologi yang jauh lebih kompleks dari yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pertanyaan kritis yang muncul kemudian adalah apakah ini teknologi ini baik atau buruk untuk diberikan, dan seberapa intensif penggunaannya yang terukur – wajar digunakan anak-anak kita?

Anak-anak digital ini terbiasa untuk mencari informasi, sangat adaptif dengan berbagai perkembangan alat informasi, kemampuan problem-solving, kemampuan melihat detail dan bahkan disebutkan mampu melakukan banyak pekerjaan sekaligus (multitasking). Sel otak anak pun mengalami proses ‘rewiring’, berubah sedemikian signifikan hingga mempengaruhi perilakunya. Mengapa demikian?

Dr Gary Small, dan Gigi Vorgan  dalam bukunya iBrain: Surviving The Technological Alteration in Modern Mind (2009: hal 4-5), menyoroti perbedaan perkembangan dan fungsi otak anak jaman kini dengan kehadiran teknologi ini. Setiap kali mata kita terpapar gambar dari layar komputer atau televisi, impuls cahaya mengirimkan sinyal ke otak melalui saraf optik. Dari saraf optik, neurotransmitter mengirimkan sinyal ke jaringan otal yang lebih kompleks dari neurons, axons, dan dendrites. Jutaan neuron otak kita terpicu dengan reaksi kimia dan listrik yang menghasilkan persepsi atas gambar tadi. Proses ini terjadi dalam hitungan sepersekianribu detik. Persepsi ini yang kemudian menghasilkan respon otomatis fisik atau respon emosional. Paparan yang sering dan konsisten menghasilkan respon yang berulang dan ini bisa menghasilkan sinapsis jaringan otak permanen yang membentuk siapa kita; apa yang kita rasakan, yang kita pikirkan dan apa yang akan kita lakukan. Neuroscientistberhasil memetakan dan mempelajari perubahan signifikan pembentukan kerja otak yang kompleks yakni terbentuknya 1 juta kali 1 miliar sinapsis jaringan otak, yang terbentuk sangat cepat dan menyeluruh. Sebuah titik dimana evolusi otak yang dicapai ribuan tahun oleh sejarah manusia dicapai satu generasi dalam satu dekade.

Teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technologies, ICTs) muncul sebagai wujud aplikasi ilmu matematika, sains, seni, dan semua yang terkait dengannya yang dimanfaatkan oleh segenap umat manusia. Inklusi teknologi dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan: penguat jaringan sosial, media komunikasi yang efektif, sekaligus sarana pendidikan. Alat-alat komunikasi modern seperti mobile-phone, komputer, tablet, dianggap sebagai alat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dan mendorong pendidikan. Anak-anak tak lagi membawa kamus yang tebal untuk sekedar tahu arti kata – mereka cukup memasukkannya ke kamus online dan dalam hitungan detik, mereka mendapatkan arti dari kata yang mereka cari.


Berbeda dengan media televisi yang satu arah, ICT khususnya internet memberikan sejumlah jawaban bagi berbagai keingintahuan mulai dari mencari berbagai informasi terbaru dan menjadi trend, sekedar untuk hiburan hingga tempat bersosialisasi. Ribuan paparan informasi, foto, video akan hadir hanya dengan menuliskan kata kunci pada mesin pencari seperti Google, atau Ask.com, dan semua jawabannya akan langsung hadir di depan mata. Kecepatan dan efektivitas menjadi sedemikian penting dalam pertarungan teknologi menyangkut tarik-menarik pencarian dan pemrosesan informasi.

Namun, di balik kemampuan adaptasi tinggi terhadap teknologi yang dimiliki generasi digital ini, pertanyaan mendasar lainnya adalah bagaimana dengan kemampuan berpikir mereka yang disertai dengan pemahaman terhadap konteks dan penilaian moral yang baik? Kemampuan berpikir, yaitu kapasitas untuk berefleksi, menganalisis dan menarik kesimpulan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak dengan usia yang barangkali sudah matang secara teknologi, umumnya masih jauh dari matang secara emosional.

Suka atau tidak, kita sebagai orang tua haruslah melihat fenomena ini lebih mendalam. Perdebatannya sudah tidak melulu soal baik-buruknya penggunaan teknologi, tetapi bagaimana menggunakannya sebijaksana dan seaman mungkin. Pertanyaannya: Mampukah kita sebagai orang tua mendampingi anak-anak kita untuk berelasi dengan teknologi sebijak mungkin?


Orangtua di jaman transisi

Faktanya, kini kita sebagai orang tua juga tengah mengalami transisi jaman. Ada kalanya kita mengalami ‘frustrasi teknologi dan media’ –saat kita kewalahan tak mampu mengikuti perkembangannya. Frustrasi teknologi mengakibatkan kita menolak untuk memahami perubahan-perubahan jaman yang pelan-pelan meninggalkan kita: ketidaksiapan kita untuk selalu paham dengan informasi terbaru. Namun di sisi lain, gejala euforia teknologi terlihat mewabah di kalangan orang dewasa –ketika kita merasa semua persoalan bisa diatasi dengan teknologi. Namun, alih-alih memanfaatkan teknogi dan media sebagai sarana dengan tujuan mulia, kita tenggelam dalam hiruk pikuk gadget terbaru, ber-facebook ria dengan tak kenal lelah dan menjadikan dunia maya senyata mungkin. Perilaku bermedia dan bergadgetini tentu akan disaksikan oleh anak-anak kita. Mereka akan dengan sangat mudah menirukan dan mengidentifikasi diri seperti orang tuanya.

‘Generasi layar sentuh’ kini makin muda sebanding dengan makin banyaknya orang tua yang memiliki kemampuan finansial mulai memberikan tablet pada anak-anak mereka  yang berusia di bawah 5 tahun. Usia umum pengguna gadget, seperti iPad atau tablet, yang termuda saat ini adalah dari usia 2 tahun. Babysitter elektronik yang satu ini kini bagaikan magnet yang akan membuat anak sibuk bermain sendiri. Berbagai situs maupun aplikasi dengan embel-embel ‘edukatif’ dengan harga terjangkau dan mudah diakses kini sudah biasa menjadi teman bermain anak-anak ini. Batita dan balita kini tidaklah terlalu merepotkan orangtuanya dengan kehadiran iPad dan tablet. Mereka tidak lagi membuat kotor dan berantakan rumah. Gadget seperti iPad dan mobile phone yang memuat sejumlah permainan online di dalamnya, terdengar TMTS – ‘too much, too soon’, yakni efektif menyibukkan anak namun menimbulkan adiksi (kecanduan), hingga dalam parameter tumbuh kembang anak digital sekalipun, hal ini perlu mendapat perhatian khusus para orang tua.


Murid TK belajar membuat huruf melalui aplikasi pendidikan usia dini dengan telepon selular bantuan dari Nokia di TK Penuai di kawasan Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/3). TEMPO/Prima Mulia
Sumber http://www.tempo.co/read/news/2012/07/17/174417417/6-Kebiasaan-Lama-yang-Membantu-Anak-Sukses
Lalu bagaimana dengan media sosial dan remaja? Remaja usia belasan tahun adalah target teknologi yang saat ini meningkat dengan pesat dalam enam tahun terakhir. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pew Internet Research, pengguna social media oleh remaja meningkat tajam dari temuan pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2006. Tentu ini membawa risiko karena mereka meletakkan di domain publik berbagai hal yang bersifat privat/pribadi seperti penggunaan identitas asli dalam profil mereka seperti foto asli, nomor handphone, status relasi, hingga mengunggah video pribadi mereka[1].

Facebook kini menjadi platform yang sangat dominan bagi para remaja sebagai ruang ‘manajemen reputasi’. Remaja seakan punya dunia sendiri untuk membentuk reputasi diri, mengatur jaringan, membagi informasi secara terbuka, menutupi informasi yang tidak ingin diketahui oleh jaringan teman mereka. Bahkan mereka mau menanggung ‘drama’ dalam ber-sosial media, karena dengan mudahnya mereka bisa menghilangkan orang dan teman yang tidak diinginkan. Itu semua dilakukan hanya dengan modal tingkat kepercayaan diri yang tinggi dan kemampuan setting teknis yang sederhana. Antusiasme pada media sosial yang satu ini tak jarang adalah untuk tujuan pengakuan eksistensi atau sekedar partisipasi agar tak dirasa ketinggalan jaman. Sebanyak 52% dari para remaja yang disurvey mengatakan bahwa mereka merasa dunia maya ini menjadi semacam tempat pelarian (escapism) yang paling mudah bagi para remaja untuk memproyeksikan diri mereka.


Sumber: http://www.greenbook.org/marketing-research.cfm/millennial-cause-study
Dalam jaman yang bertransisi seperti ini, apa tantangan bagi orang tua dalam membesarkan si buah-hati?


Membesarkan anak dalam serbuan media: Tantangan orangtua jaman ini

Sebagai orang tua, kita sendiri mengalami masa dimana adopsi teknologi belum dicapai dengan kesadaran yang sesungguhnya diperlukan: yakni ‘merangkul sekaligus berjarak’ dan ‘memanfaatkan sekaligus kritis’ dalam pengunaannya. Yang kita harapkan adalah agar anak-anak dapat bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan di dunia online. Ketika kita mengenalkan anak-anak kita pada televisi, komputer dan berbagai teknologi komunikasi tersebut, kita mempertaruhkan hal yang sungguh besar jika mereka tidak kita lengkapi dengan pengaman kesadaran dan tanggung jawab. Pengalaman hidup nyata yang otentik, yang melibatkan semua panca inderawi amat dibutuhkan karena ia menjadi fondasi membangun generasi muda yang sehat dan berwawasan kuat. Kita ingin agar kapasitas anak yang masih murni ini tetap terlindungi dan tidak semata-mata menjadi konsumen gaya hidup yang artifisial, korban adegan kekerasan dan seksual atau target pasar yang menjanjikan.

Literasi media perlu terus diberikan orang tua selama mendampingi anak menonton, ber-internet atau bermain games. Waktu dan perhatian adalah kata kuncinya. Bersama anak mengeksplorasi berbagai pertanyaan mereka dan mengenalkan bagaimana cara mencari jawabannya. Kehadiran orang tua diperlukan untuk menjadi teman diskusi antara apa yang disebut realitas dan ‘make-believe’ – selain kita sendiri sebagai orangtua juga perlu memasukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita percaya dan ingin anak-anak kita hidupi. Pendidikan ber-media akan sangat membantu anak untuk memberikan perlindungan keamanan pada anak-anak kita. Anak-anak perlu mengenali pesan media, membaca dan menjadi kritis dalam proses menginternalisir pesan tersebut. Orang tua perlu terus mendampingi dengan menjadi teman diskusi untuk mengolah pesan-pesan tadi agar anak semakin mawas dan terampil mengambil mana yang yang baik dan meninggalkan yang tidak sesuai nilai.

Dr Larry Rosen dalam bukunya Me, MySpace and I (2007), merekomendasikan rasio 1:5, dimana setiap menit yang digunakan untuk penggunaan teknologi dikompensasi dengan 5 menit waktu untuk melakukan kegiatan nyata seperti berinteraksi dengan orang lain, bermain di alam terbuka, berolahraga, melakukan permainan yang mendorong imajinasi dan kreativitas, mengasah kepekaan sosial, yang semuanya itu berguna untuk menenangkan aktivitas otak. Rekomendasi lamanya permainan untuk anak dibawah 4-5 tahun adalah selama 30 menit permainan gadgetdiseimbangkan dengan 150 menit untuk melakukan aktivitas nyata seperti di atas. Rasio ini berkembang saat anak memasuki usia remaja, yaitu 50:50.

Hal lain yang bisa dilakukan secara praktis oleh orang tua tentu dengan menyediakan akses internet di rumah yang bertujuan agar pengawasan lebih terjamin. Dengan ini anak tidak perlu keluar untuk mengakses internet –misalnya ke warnet atau ke rumah temannya—dan orang tua dapat mengawasi semua yang dijelajah anak. Tempatkan akses ini di ruang yang dapat dilihat oleh banyak orang, misalnya ruang tengah. ‘Parental lock’ dapat pula membantu proses pengawasan untuk berbagai situs yang tidak layak diakses anak. Yang jelas, konsistensi dalam keterbukaan antara orang tua dan anak sangat vital misalnya dalam mengatur kesepakatan durasi waktu penggunaan, batasan antara content yang boleh diakses dan tidak.


Melek teknologi – sebuah catatan akhir

Orang tua wajib melek teknologi dan media. Kita, para orangtua, kini tengah hidup dalam jaman di mana perkembangan teknologi dan media tidak sepenuhnya kita sadari dan kuasai. Maka proses mempelajari kembali (re-learn) menjadi penting untuk kembali menjadi tuan atas teknologi yang berkembang sedemikian pesat. Tidak bisa lagi orang tua sekedar mengikuti – orang tua juga perlu memandu dan bahkan harus menjadi model bagi anak-anak mereka dalam menyeimbangkan aktivitas sehari-hari antara hidup online dan hidup nyata off-line.

Sebagai catatan berbagi: Kami sendiri adalah keluarga yang sangat terbuka dengan teknologi. Sikap kami jelas, bahwa teknologi adalah sarana mencapai tujuan, sehingga penggunaannya sedapat-dapatnya untuk tujuan baik. Pengenalan teknologi secara bertahap dan keseimbangan aktivitas baik online dan offline dalam proporsi kebutuhan menjadi perhatian utama kami. Kini anak kami yang berusia 8 tahun pun mulai terbiasa dengan penguasaan teknologi digital. Sebagai sebuah konsekuensi tinggal terpisah dengan ayahnya, kami menggantungkan komunikasi kami lewat skype atau facetime. Dia aktif menggunakan email untuk mengirimkan laporan belajar dan memperlancar komunikasi lewat tulisan. Kami juga memanfaatkan teknologi dalam berkomunikasi dan berjejaring untuk kegiatan belajar, juga dalam memenuhi kebutuhan materi pendidikan rumah (home education) bagi anak-anak kami. Tentu kami mengharapkan agar jika waktunya tiba, mereka siap untuk hidup dengan penuh tanggung jawab, di mana pikiran dan tindakan adalah hasil dari proses internal yang matang dalam berinteraksi dengan teknologi.

Di ujung catatan ini, perkenankan saya membagikan sebuah refleksi: Sebagai orang tua, kita harus terus mempersiapkan anak-anak untuk memiliki kepercayaan diri, bersikap dan berpikir etis, mampu menghargai perbedaan agar mampu mengatasi persoalan di depan mereka. Inilah tugas terberat kita, karena kehidupan bermasyarakat yang modern tidak melulu soal teknologi eksternalnya. Seperti yang dikatakan Lowell W, Monke, “Ironi masyarakat post-modern adalah bahwa untuk menyiapkan anak-anak di masa depan yang berteknologi tinggi, kita mesti memusatkan perhatian pada pemahaman tentang apa itu menjadi manusia, yang hidup dan menjadi bagian dari komunitas sosial dan biologis – sebuah upaya di mana teknologi bukan makin menjadi jawaban, melainkan menjadi masalah.” (***)

(Dominika Oktavira Arumdati)

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga purnawaktu dan menjalankan home education bagi kedua anaknya. Saat ini, ia sedang merintis pengembangan Komunitas Masyarakat Mandiri untuk Indonesia bagi pemberdayaan petani lokal dan Komunitas anak 'Akar Wangi', yang bergerak dalam pendidikan seni, lingkungan dan literasi digital untuk anak. Ia juga aktif terlibat dalam gerakan permakultur dan saat ini sedang fokus membangun landsekap percontohan. Penulis bertempat tinggal di Yogyakarta.  





[1] Lihat http://www.pewinternet.org/Reports/2013/Teens-Social-Media-And-Privacy/Summary-of-Findings/Teens-Social-Media-and-Privacy.aspx#footnote2

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...