Editorial Edisi 6

Hallooo…. Ketemu lagi di Proaktif edisi ke 6.
Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana kita bahu membahu untuk membantu saudara kita di Aceh dan Nias yang tertimpa musibah, tanpa memandang agama, suku, ras, wilayah tempat tinggal, mata pencaharian, maupun kebangsaan. Sisi positif yang dapat kita maknai dari sebuah bencana yakni bahwa bangsa yang beragam ini ternyata masih tergetar hatinya bahkan mau menyisihkan sejenak perbedaan yang ada untuk bisa membantu saudaranya yang menderita.
Demikian pula terbitnya Pro:aktif ini tidak lepas dari upaya bahu membahu dari banyak orang yang bersedia meluangkan sedikit waktunya untuk membagikan ide, pendapat, atau pun pengalamannya. Dimulai dari proses pembuatan hingga isinya, edisi kali ini memang sangat sesuai dengan temanya yakni “Pluralisme”.

Di jendela muka akan ditampilkan profil Budhis Utami yang akan mengungkapkan tentang Pluralisme Bagi Seorang Feminis. Lalu pada jendela kedua, kita akan diajak menguak kembali Kenangan dari Borneo, pertikaian -yang katanya- antar etnis. Jendela berikutnya mengajak kita untuk berpikir mengenai Pluralisme, Sekarang dan Esok.
Jendela opini menuangkan tentang Pembelajaran Pluralisme Untuk Anak dan tak lupa pada jendela di sebelahnya disertakan tips untuk Membangun Paradigma Pluralisme Pada Anak. Dari Puing-Puing Aceh disajikan pada jendela lain sebagai hadiah perjalanan dari ujung utara Pulau Sumatera.
Jendela media mengulas tentang bagaimana agama bisa menjadi aktor yang kontra produktif terhadap upaya menciptakan kehidupan plural yang damai, yakni dalam resensi buku Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama dan ulasan buku Lajja. Dari jendela berikutnya dibagikan cerita mengenai Pelatihan Criminon, Pelatihan Cara Berpikir Sistem di Blitar, Pelatihan Teknik Membawakan Permainan di Kampung, Gladi Intelektual FMIPA UNPAR dan Workshop Games untuk Associates KaIl.
Selamat Membaca!

[Profil] Budhis Utami : Pluralisme Bagi Seorang Feminis

Kota besar yang penuh sesak seperti Jakarta sesungguhnya merupakan pilihan terakhir bagi gadis kelahiran Jember ini. Keterlibatan dalam aktivitas kemasyarakatan seperti GMNI dan Organisasi Perempuan sudah dijalani oleh seorang Budhis Utami sejak di bangku kuliah.
Merasa tertantang oleh tawaran seorang teman untuk bekerja di Komisi Migran KWI, ia akhirnya memutuskan untuk datang ke Jakarta.

Ketertarikannya yang besar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, membuatnya tidak bisa lepas dari rekan-rekannya yang bergerak di Organisasi Perempuan.
Setelah bekerja kurang lebih satu tahun di KWI, pada bulan April 2001 ia memilih untuk bergabung dengan Organisasi Perempuan yaitu Kapal Perempuan yang kebetulan saat itu masih baru. Di tempat itulah ia merasa aktivitasnya lebih menarik, aktif, dan dinamis. Di sana juga lah ia menemukan bidang garap yang menjadi ketertarikannya, yakni perempuan dan pendidikan. Kini ia bertanggung jawab sebagai Koordinator Program Orientasi Pendidikan Alternatif di Kapal Perempuan.

Sejak awal didirikan, Kapal Perempuan memiliki concern terhadap isu perempuan, pendidikan alternatif atau pendidikan kritis dan pluralisme. Ketiganya itu bukan hal yang terpisah. Dalam kegiatan yang dilaksanakannya, Kapal Perempuan mencoba mengcover ketiga hal tersebut.
Dasar pendirian Kapal Perempuan itu sendiri berangkat dari keprihatinan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia, terutama setelah runtuhnya Soeharto, kemudian adanya penerapan otonomi daerah, serta semakin banyaknya konflik yang diakibatkan oleh menguatnya primordialisme agama dan suku.

Dalam kondisi-kondisi itu seringkali posisi perempuan semakin terpuruk. Dalam konteks pluralisme, entah itu isunya agama ataupun suku seringkali perempuan dijadikan sekedar simbol untuk mencapai tujuan. Kalau suatu daerah ingin menguatkan kelompok keagamaannya, maka kaum perempuan lah yang pertama kali harus diatur., misalkan dalam penerapan Syariah Islam. Kemudian dalam konflik-konflik itu, perempuan juga sering dipakai sebagai simbol untuk menghancurkan atau menjatuhkan kelompok lawan, misalnya dengan perkosaan-perkosaan.

Menanggapi hal itu, Kapal Perempuan membuat Pendidikan Pluralisme untuk pencegahan konflik dan upaya perdamaian. Kapal Perempuan melihat bahwa perempuan juga mempunyai potensi untuk menjadi juru damai atau rekonsiliator dalam konflik-konflik yang terjadi.

Sebagai pribadi, pluralisme bukanlah hal yang asing bagi Budhis. Perjalanan dalam mencari keyakinannya merupakan suatu pengalaman tersendiri mengenai suatu pluralitas. Demikian pula dalam memilih organisasi dan aktivitas yang dijalani, Ia pun mempertimbangkan pluralitas sebagai suatu hal yang harus diterima bahkan menjadi suatu seruan untuk mau terbuka kepada orang atau kelompok yang berbeda.

Ia memaknai pluralisme sebagai keterbukaan diri bagi orang-orang yang berbeda atau suatu penghargaan terhadap perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Baginya pluralisme itu sendiri bukan hanya perbedaan agama, tetapi juga cara pandang, jenis kelamin, ideologi, bahkan orientasi seksual yang berbeda.

Dalam proses interaksi yang yang plural, memang perlu adanya penghargaan terhadap perbedaan nilai yang ada. Namun menurut Budhis, itu tidak berarti bahwa kita berhenti untuk mengkritisi persoalan yang ada di dalamnya. Penghargaan yang diberikan terhadap perbedaan itu harus memiliki dasar nilai tertentu. Jika di dalamnya ada nilai-nilai kekerasan atau ketidakadilan, maka kita perlu mempertanyakan itu.

Untuk mencapai suatu masyarakat yang penuh penghargaan namun tetap kritis, diperlukan suatu ruang dialog. Bisa jadi perbedaan pandangan mengenai suatu hal itu terjadi karena suatu asumsi tertentu. Memang dialog itu tidak harus dalam bentuk yang formal.
Berbagai kendala dalam upayanya memperjuangkan pluralisme, dianggapnya sebagai tantangan. Pandangan bahwa keberagaman sebagai sesuatu yang indah membuatnya terus memperjuangkan pluralisme. Kenangan akan perjuangan dan pengorbanan Sang Ibu dan keluarganya selalu menjadi spirit baginya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

[Pikir] Pluralisme, Sekarang dan Esok

Dalam rubrik catatan pinggir Tempo edisi 6 Maret 1982, Goenawan Mohamad mengulas kisah Nathan karya Gotthold Lessing yang terbit tahun 1779 berjudul Nathan der Weise, yang setidaknya telah memberikan gambaran bahwa mempunyai pandangan yang berbeda dan penghargaan pada keanekaragaman, adalah sikap yang penuh resiko.

Latar belakang dalam karya tersebut adalah masa perang salib yang telah memasuki gelombang keempat, di mana perseteruan antara mereka yang Nasrani dan Islam, bahkan Yahudi masih terus berkobar.
Ada percakapan yang menarik dalam karya itu ketika Saladin, Gubernur Yerusalem yang Islam dan terkenal berbudi, bertanya kepada Nathan yang Yahudi dan terkenal bijak. Saladin menanyakan apa agama yang terbaik bagi Nathan. Pertanyaan itu tidak dijawab langsung oleh Nathan, tapi melalui ibarat. Ia mengisahkan seorang ayah yang mencintai ketiga puteranya dan memberikan mereka masing-masing cincin yang sebentuk dan sebangun. Masalah timbul ketika sang ayah meninggal, karena ketiga putra tersebut berdebat dan berselisih tentang cincin mana yang sejati. Itulah ibarat, ada cincin Yudaisme, ada cincin Nasrani, ada cincin Islam. Setiap cincin adalah sejati, kata Nathan, sepanjang ia membuat orang yang memakainya punya kemuliaan hati. Dan Saladin puas dengan amsal yang disampaikan Nathan tersebut.

Ceritanya memang tidak berakhir di situ, tapi dari kisah tersebut Lessing telah menyampaikan pesan bahwa yang bijak adalah yang tidak mengukuhi bahwa pihaknya saja yang paling benar. Lessing setidaknya telah mewakili mereka yang percaya pada pluralisme, walaupun dia ditentang keras oleh publik Jerman yang Protestan.

Pluralisme dewasa ini
Pandangan dan penafsiran tentang pluralisme memang sangat beragam, ada yang memandangnya secara positif tapi tidak sedikit yang memahaminya secara negatif. Pandangan negatif terhadap pluralisme, khususnya di Indonesia, seringkali disebabkan ketidakmampuan mengelola antara idealitas yang mereka miliki dengan realitas yang ada. Pluralisme mengandaikan pemahaman dan kesadaran terhadap adanya keragaman kelas sosial, aliran politik, budaya, agama, ras, dan sebagainya sebagai sesuatu yang niscaya dan alami. Dengan demikian, perjumpaan antara nilai-nilai yang berbeda dipandang sebagai sesuatu yang positif karena setiap nilai mempunyai kelebihan masing-masing.

Tetapi realitas yang plural dan nilai-nilai yang berbeda tersebut selama ini malah menjadi persoalan dan dijadikan alasan banyak kelompok atau negara untuk berkonflik. Konflik “abadi” antara Israel dan Palestina, India dengan Pakistan, Barat dengan Timur, konflik di bekas Uni Soviet, acapkali dilatarbelakangi dan diperuncing oleh perbedaan nilai-nilai yang dianut. Yang mencoba menjembatani malah diteror dan dibunuh, seperti yang dialami Gandhi dan Yasser Arafat.

Indonesia sebenarnya bisa menjadi medan percontohan bagaimana pluralisme itu tumbuh dan hidup. Telah menjadi realitas historis, adanya keragaman budaya, agama, ras, bahasa, aliran politik, dan juga kelas sosial di Indonesia. Tetapi keragaman itu selama ini malah menjadi bahan bakar konflik sosial dan politik. Apa yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, menandakan bahwa pluralitas yang ada tidak dipahami sebagai sesuatu yang positif. Untuk hal-hal yang lingkupnya lebih kecil sebenarnya konflik juga banyak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan juga kesadaran terhadap pluralitas, seperti konflik dalam keluarga, masyarakat kampung, organisasi politik atau organisasi massa, dan sebagainya

Pandangan negatif terhadap pluralisme tumbuh subur karena mereka mengukuhi bahwa nilai-nilai atau pihaknya saja yang paling benar dan semua yang berbeda dengan mereka adalah lawan dan harus dikalahkan. Mereka menganggap pluralisme menyembunyikan kedok atas ketidakadilan selama ini dan cenderung membenarkan semua hal.

Harapan ke depan
Realitas yang plural, nilai-nilai yang hidup yang menghargai terhadap keragaman dan sejarah perjumpaan nilai-nilai yang beragam akan menjadi bekal yang cukup bagi perkembangan pluralisme di dunia, khususnya di negeri ini. Nilai-nilai yang menekankan penghargaan terhadap kelompok lain yang bersumber dari ajaran agama harus lebih dimunculkan dan dikembangkan daripada nilai-nilai yang bertentangan dengan itu. Misalnya dalam ajaran Islam, dapat kita jumpai Firman Allah maupun sabda Nabi yang menekankan bahwa perbedaan adalah Rahmat dan dengan perbedaan itu seharusnya menjadikan manusia saling belajar dan saling kenal.

Sejarah pembentukan Republik ini juga bisa menjadi contoh sekaligus bekal bahwa perbedaan suku, ras, agama, bahasa, aliran politik, dan kelas sosial tidak menjadi penghalang bagi kehidupan bersama sebuah negara. Pendiri Republik ini telah mempunyai kesadaran, pemahaman, dan sikap pluralis dengan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan yang prosesnya dilalui dengan dialog.

Jika kesadaran akan realitas yang plural tumbuh dan juga nilai-nilai yang mengedepankan keragaman dipegang, maka sikap yang pluralis akan muncul. Dengan begitu, setidaknya harapan terhadap kehidupan dunia yang lebih baik, lebih toleran, tidak ada lagi luka dan duka terus-menerus, akan terwujud. (AU)

[Masalah Kita] KENANGAN DARI BORNEO

Bagi para petani sendiri, perbedaan etnis itu tidak terlalu menjadi masalah....
Seorang kawan mengisahkan kembali peristiwa pedih yang terjadi di Pulau Borneo beberapa tahun yang silam. Tinggal dan aktif mendampingi para petani dari berbagai etnis di tanah kelahirannya itu, membuat Lorens turut merasakan dan menyaksikan bagaimana kejamnya permainan beberapa kelompok kepentingan tertentu yang ‘memanfaatkan’ keberagaman etnis di wilayah itu. Bagi para petani sendiri, perbedaan etnis itu tidak terlalu menjadi masalah karena toh nasib mereka tetap sama.

Konflik yang diangkat sebagai konflik antar suku itu sesungguhnya merupakan bagian dari rekayasa politik.
Keinginan sejumlah oknum untuk meraih kedudukan tertentu mendorong mereka untuk mencari simpati dari masyarakat. Dalam kondisi yang tenang dan adem, para oknum itu sulit untuk mengumpulkan simpati dan dukungan dari banyak orang. Ketika konflik itu terjadi, maka mereka bisa datang sebagai ‘Dewa Penolong’ sehingga popularitas mereka pun meningkat di mata masyarakat.

Tidak hanya itu saja, kepentingan ekonomi juga menjadi aktor yang mengambil manfaat dari konflik tersebut. Ada persaingan antar pengusaha dalam urusan pengelolaan kayu dan mereka diuntungkan dengan kekisruhan yang terjadi. Saat orang-orang sibuk dan panik karena konflik yang terjadi, mereka bisa leluasa untuk membuat daerah kekuasaan yang baru.

Konflik perebutan sumberdaya alam yang dahulu terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah, menjadi semakin rumit dengan masuknya perusahaan-perusahaan seperti perusahaan kelapa sawit, yang berusaha mengadu domba masyarakat. Masyarakat pun terpecah menjadi kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap kepentingan perusahaan. Saat terjadi konflik, kelompok masyarakat yang pro terhadap perusahaanlah yang dihadapkan kepada kelompok masyarakat yang kontra. Sehingga konflik yang terjadi adalah konflik antar kelompok masyarakat, bukan lagi konflik antara masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah.

Pasca konflik itu terjadi, mulai muncul stigma-stigma yang melekat pada masing-masing kelompok etnis misalkan kelompok A itu orang-orangnya keras, kelompok B itu orang-orangnya tidak mau diajak kompromi, kelompok C itu tidak mau diajak rekonsiliasi setelah konflik. Stigma itu pulalah yang membuat masyarakat menjadi tersekat-sekat dan komunikasi yang tadinya berjalan dengan baik menjadi rusak. Stereotipe tersebut makin berkembang karena tidak adanya pendekatan budaya dan pembauran antar etnis.

Secara sosial, sangat kelihatan bahwa masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kini orang Madura lebih terkonsentrasi di kota-kota. Hal ini juga menimbulkan permasalahan baru dalam hal lapangan kerja di kota. Sebelumnya mereka terbiasa menjadi petani dan sekarang mereka kesulitan karena harus menyesuaikan diri lagi dengan lapangan kerja baru yang tersedia di kota, misalnya menjadi tukang becak. Orang Melayu yang tinggal di Kabupaten Sambas pun masih sulit menerima kedatangan orang Madura di wilayah itu.

Dari sisi ekonomi, konflik tersebut mengakibatkan banyak infrastruktur di wilayah tersebut yang rusak dan banyak harta benda yang hilang. Kegiatan ekonomi juga terhambat karena orang-orang dari masing-masing etnis tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi seperti biasanya.
Rasa takut dan khawatir membuat mereka tidak berani melakukan pekerjaan yang lokasinya berdekatan dengan kelompok etnis lain.

Secara mental, konflik yang juga merenggut banyak nyawa tersebut meninggalkan trauma yang mendalam bagi masyarakat. Mereka hidup dalam ketegangan dan rasa was-was, terlebih lagi bila berhubungan dengan orang atau kelompok dari etnis lain. Anak-anak pun kini tidak bisa leluasa bermain dengan anak dari etnis lain.

Selama terjadi beberapa kali konflik, upaya yang dilakukan untuk mereduksi, manajemen konflik dan lain-lainnya pun tidak mengakomodir persoalan yang mendasar. Upaya yang dilakukan hanya sekedar upaya untuk meredam situasi saja. Sehingga tidak mengherankan bila kondisi yang terbangun adalah rekonsiliasi semu. Ditambah lagi persoalan tidak adanya penegakan hukum dan tidak tertatanya manajemen konflik ditingkat basis, telah menebar peluang dan situasi laten konflik.

Sedemikian kuat dan besarnya dampak yang diakibatkan oleh permainan kepentingan segelintir orang yang mampu merenggut kedamaian dari kehidupan yang plural. Keberagaman yang seharusnya indah dan harmonis itu telah dibalikkan menjadi senjata yang menghancurkan keindahan dan keharmonisan itu sendiri. Luka yang diakibatkan pun, tak kurun sembuh dalam hitungan tahun. Sungguh pelajaran nyata yang berharga bagi kita.

[Opini] PEMBELAJARAN PLURALISME UNTUK ANAK

Andai kamu hanya hidup di duniamu ....
Dan kamu berani mengintip dunia-dunia lain ....
Masih beranikah kamu mengatakan ....
Dunia mu itu indah ....
(Andi, 2004)
Bicara tentang pluralisme memang gampang, bahkan terkadang topik ini bisa menjadi bahan diskusi yang panjang dan berhari-hari. Sampai sekarang pun pembicaraan mengenai pluralisme masih menjadi hal yang asyik di tengah maraknya pro dan kontra. Di kalangan para aktivis NGO, pluralisme menjadi salah satu issue yang masih seksi yang dapat menyatu dengan banyak issue-issue seksi lainnya, seperti issue gender, issue anak, dan issue-issue yang lain.

Layaknya seorang pejuang, para aktivis menggembor-gemborkan, mem-blow-up issue tersebut dengan lantang dan gagah berani. Banyak dalih yang diungkapkan, mulai dari yang menggunakan Pancasila sampai yang mencoba untuk menafsirkan ulang isi Kitab Sucinya masing-masing. Dari yang menggunakan contoh negara-negara (pluralis) sampai yang menggunakan contoh-contoh pribadi.
Dalam semangat memperjuangkan pluralisme yang selalu membara dalam diri para aktivis, ternyata tembok yang menghalangi para pejuang pluralis masih terlalu tinggi. Masih terlalu banyak hambatan. Masih terlalu banyak jurang yang dalam yang masih harus di timbun atau mungkin masih harus dibuatkan jembatan penghubung agar tercapai tujuan menjadi masyarakat pluralis.
Kecenderungan untuk menjadikan masyarakat yang komunalis, dengan dalih agama, dengan konsep agama (konsep penyebaran agama), pemelencengan makna atau tafsir dalam Kitab Suci, merupakan hambatan terbesar untuk pluralisme. Selain itu hambatan kedua yang terbesar adalah primordialisme, mengagungkan kelompoknya, menganggap suku/etnisnya paling baik, dengan dalih untuk pemurnian keturunan suku/etnis.
Merubah masyarakat menuju masyarakat pluralis merupakan gerakan evolusi, yang berarti membutuhkan waktu yang sangat panjang (lama). Perubahan secara evolusi akan menjadikan masyarakat yang benar-benar pluralis. Paham benar tentang apa itu pluralisme. Dinyamankan dengan bentuk masyarakat yang plural.
Perubahan yang evolusioner akan berawal dari dalam diri sendiri (pribadi-pribadi), atas penemuan bahwa masyarakat yang pluralis lebih indah , nyaman dan sebagainya yang baik-baik. Dengan penemuan tersebut, masing masing pribadi akan (selayaknya) mencoba untuk menyebarkan / menularkan penemuan tersebut kepada lingkup terdekatnya, suami (kalau punya), istri (kalau punya) dan anak (kalau punya) serta kerabat atau teman terdekat.
Nah...., di sinilah dibutuhkan kejelian bagi para pejuang pluralis, untuk dapat melihat peluang-peluang untuk melangkah menuju hal yang dicita-citakan. Menurut saya, langkah paling strategis untuk sebuah proses menuju masyarakat pluralis adalah memulai mendidik atau mengajarkan pluralisme kepada anak –anak.
Mengapa anak-anak? Mengapa harus anak?
Anak diartikan sebagai manusia yang masih tumbuh dan berkembang, masih belum bisa hidup sendiri, masih bergantung pada orang dewasa. Secara biologis anak adalah manusia yang berumur kurang dari 18 tahun[1]. Jadi manusia yang belum berumur 18 tahun belum dianggap dewasa. Dengan demikian dianggap belum bisa mandiri dan masih bergantung pada orang dewasa. Orang dewasa mempunyai peran untuk membantu tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu tumbuh kembang anak tergantung dari kemampuan orang dewasa dalam membantu tumbuh kembangnya. Sebagai contoh ketika anak tidak diberi kesempatan atau sedikit berinteraksi dengan orang lain atau bahkan tidak pernah, dan orang dewasa mengajarkan bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan itu jelek atau jahat, maka ketika dewasa akan menganggap bahwa Suku Jambu atau Agama Rambutan adalah jelek atau jahat. Padahal sebenarnya Suku Jambu dan Agama Rambutan (mungkin) baik atau lebih jelek/jahat dari pengetahuan yang didapatkan dari orang dewasa itu.
Pada prinsipnya orang dewasa mempunyai kekuasaan untuk mengekang atau membebaskan pola pikir, kreasi, pendapat, pilihan anak. Oleh karena itu, dalam mengajar atau mendidik anak supaya menjadi manusia yang pluralis, orang dewasa hendaknya (memilih membebaskan anak) memberikan peluang sebesar-besarnya bagi anak untuk belajar, berpengetahuan dan berinteraksi dengan manusia lain tanpa memandang suku, agama, ras, pandangan dan sebagainya yang berbeda-beda itu.
Pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada anak, merupakan hal yang wajib dilakukan oleh orang dewasa. Yakni kesempatan untuk belajar (bukan sekolah), kesempatan berinteraksi dengan orang lain, baik anak-anak ataupun orang dewasa.
Dalam proses pembelajaran pluralisme untuk anak, anak diberi kesempatan atau diajak untuk mengenal dan berinteraksi dengan beragam budaya, suku/etnis, agama dan keberagaman yang lain. Kekuatan proses interaksi anak dengan keberagaman itu adalah penemuan-penemuan yang diperoleh anak sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan orang dewasa. Anak akan mengalami kondisi disequilibrium[2], ketidakseimbangan, keadaan stabilitas yang terusik oleh suatu penglihatan atau pengalaman baru. Terjadinya goncangan pemikiran ketika anak menemukan pengetahuan yang berbeda saat berinteraksi. Dalam proses selanjutnya anak akan dapat menyimpulkan sendiri, kumpulan pengetahuan-pengetahuannya. Kemudian anak akan memperoleh keseimbangan pemikiran akan suatu pengetahuan, equilibrium[3]. Secara terus menerus, proses pembelajaran anak (dan seluruh manusia tentunya) akan mengalami equilibrium - disequilibriumequilibrium. Sebagai contoh : sebelum berinteraksi dengan Momon, Mumun memperoleh pengetahuan dari orang lain, bahwa Agama Jeruk itu jelek/jahat, dan Momon beragama Jeruk, berarti Momon jelek/jahat. Namun ketika Mumun berinteraksi dengan Momon, ia menemukan bahwa agama Momon tidak seperti pengetahuan yang diperolehnya dari orang lain, (bisa lebih jahat atau lebih baik).
Dengan model pembebasan pembelajaran, anak akan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuannya dan menentukan pandangan-pandangannya terhadap suatu hal. Dengan demikian anak terbebas dari doktrin yang ditanamkan oleh orang dewasa. Anak juga akan lebih kritis terhadap kejujuran orang dewasa dalam memberikan pengetahuan kepada anak-anak.
Pembebasan pembelajaran untuk anak, sangat efektif untuk mendorong perubahan menuju Indonesia yang benar-benar pluralis walaupun untuk mewujudkannya masih jauh dan sangat jauh dan perlu perjuangan yang sangat panjang. Mengenalkan pluralisme kepada anak sejak dini akan mendorong terwujudnya Indonesia yang benar-benar pluralis.
Perlu juga disadari menjadi manusia pluralis tidaklah gampang. Dibutuhkan kesadaran dan kerelaan, keterbukaan ketika anak, teman atau kerabat anda berelasi, berinteraksi atau bahkan menikah dengan orang yang beda agama dan atau beda suku atau beda-beda yang lain. Dibutuhkan kekuatan dan ketabahan ketika harus mendapatkan tekanan dari banyak pihak ketika anda memutuskan menjadi pluralis. Dibutuhkan kekuatan untuk berpikiran, bertutur kata dan berbuat sesuai dengan jiwa pluralisme.
Ketika masih boleh dikatakan bahwa berbeda itu indah, salam dan dukungan bagi para pluralis dari seluruh penjuru mata angin . (Masandi)



[1] International Children’s Right Convention. Cluster 1
[2] Dinamika Edukasi Dasar, Pendidikan Pemerdekaan, hal. 55,
[3] Idem.

[Media] Resensi Buku: Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme

Judul Buku : Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme
Editor : Maria Ulfah Anshor & Martin Lukito Sinaga
Penerbit : KAPAL Perempuan dan NZAID
Tahun : Agustus 2004

Pluralisme, diartikan sebagai sebuah pandangan yang menghargai keberagaman, serta penghormatan terhadap orang lain yang berbeda, terbuka pada perbedaan di mana terdapat kerelaan untuk berbagi serta keterbukaan untuk saling belajar dan berdialog. Dalam konteks negara Indonesia yang sangat plural dalam segi etnis, suku, agama, keyakinan, bahasa, budaya, kelas, dan lain-lainnya, maka pluralisme sangat dibutuhkan supaya bangsa ini tetap bisa utuh sebagai bangsa yang berfungsi untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam keragaman itu terdapat ruang interaksi yang sangat luas, yang salah satunya dapat berujung dalam sebentuk perkawinan. Perkawinan lintas suku, lintas etnis, lintas kelas, lintas agama, dan lintas lainnya pada kenyataannya sering terjadi.

Dalam hal perkawinan lintas agama – yang sebetulnya sangat normal, wajar dan manusiawi, ternyata oleh negara justru tidak diberi ruang. UU Perkawinan telah melarangnya. Institusi agama, dengan kepentingannya masing-masing juga telah ikut campur dalam menghalangi terjadinya pluralisme. Menurut Kamala Chandrakirana dalam pengantarnya di buku ini, ide ‘pluralisme’ dapat dipolitisasikan dan dijadikan alat semata dalam tawar-menawar politik antara penguasa dan golongan agama/ras/suku tertentu yang dianggap sebagai sumber ancaman. Maka pluralisme tidak bisa terlepas dari pembaruan di dalam institusi-institusi agama itu sendiri.

KAPAL Perempuan, lewat buku ini ingin mengangkat topik ini untuk diperbincangkan lebih lanjut dengan mengundang beberapa penulis dari berbagai perspektif dan agama untuk menuliskan ide, pendapat, pandangan dan pengalaman mereka berkaitan dengan isu ini. Yang menjadi perhatian buku ini adalah upaya untuk menjawab bagaimana situasi perempuan seandainya ia memilih bentuk perkawinan lintas agama. Dengan memakai perspektif feminis dan pluralis, masalah-masalah perkawinan lintas agama yang selama ini hanya terpendam di arus bawah dapat terangkat dan syukur-syukur teratasi.

Bagian pertama buku ini yang memuat kesaksian dan refleksi atas pengalaman perkawinan lintas agama, ditulis oleh para pelaku perkawinan lintas agama. Mereka bertutur tentang hambatan yang mereka temui, bagaimana mereka menghadapi itu. Apa sebenarnya harapan mereka dan bagaimana mereka memaknai dan menghidupkan cinta mereka dalam kungkungan aturan yang diskriminatif.

Pengalaman konkret ini kemudian dihadapkan dengan pandangan formal agama-agama, yang ditulis oleh para tokoh agama, juga bagaimana hal itu dilihat dalam kacamata UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari sana kemudian dipaparkan upaya-upaya untuk menafsir ulang perkawinan lintas agama dari perspektif perempuan dan pluralisme.

Topik ini diakui atau tidak merupakan topik yang sangat sensitif dan ‘riskan’ untuk didiskusikan secara terbuka dalam konteks Indonesia. Maka tidak heran kalau dikatakan bahwa ada banyak hambatan yang ditemui dalam proses penulisannya yang telah dimulai sejak tahun 2001. Empat tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk menuliskan sebuah buku. Semoga buku ini dapat menggugah para pembacanya untuk mengambil langkah, mulai membangun pluralisme – yang adil bagi semua. Sudah saatnya agama terbuka untuk dikritisi dan ditafsir kembali ajarannya. Sudah saatnya agama dapat kembali pada hakekatnya: membawa kemaslahatan bagi semua! Membawa keadilan dan perdamaian, bukan penindasan dan permusuhan.
(ID)

[Jalan-jalan] Dari Puing-Puing Aceh…

Pada tanggal 20-22 Februari 2005 tim KaIL berkesempatan untuk mengunjungi Aceh bersama-sama dengan rombongan para petani dan nelayan dari berbagai negara. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Konferensi Regional Untuk Membangun Kembali Kehidupan Para Petani dan Nelayan Paska Bencana Tsunami dan Gempa Bumi”, yang diselenggarakan oleh Via Campesina di Medan pada tanggal 17-19 Februari 2005.

Sebagai penerjemah dan notulen untuk acara tersebut, tim KaIL menemani rombongan peserta ‘field trip’ ke Aceh. Kami berangkat ke Aceh menggunakan pesawat dari Medan ke Banda Aceh.
Turun di Bandara Aceh, suasana ngeri yang semula saya bayangkan tidak terjadi. Bandara masih utuh dan berfungsi baik, hanya memang terik matahari begitu menyengat – menyambut rombongan yang datang. Begitu menginjakkan kaki keluar dari pintu, kami di”serbu” para pedagang souvenir: dari penjual duplikat Rencong Aceh mini bertuliskan “Rencong Aceh Tsunami” sampai berbagai kaos bertema “Tsunami”. Pokoknya, Tsunami telah menjadi tema yang seksi dan komersial. Di bandara juga nampak rombongan para relawan dengan seragam kebesaran mereka yang bertuliskan nama kelompok mereka, baik relawan dalam negeri maupun luar negeri.

Keluar dari bandara, kami mengendarai mobil menuju sekretariat mitra FSPI di Banda Aceh. Di tengah jalan, kami bertemu dengan rombongan Menteri Pertanian yang sedang melakukan Panen Pertama di Aceh Paska Tsunami. Rombongan kami pun turun dan ikut berbincang dengan rombongan menteri (sehari sebelumnya beliau menjadi nara sumber dalam Konferensi kami), dan bahkan beberapa petani dari Italia, Srilanka dan Jepang ikut memanen padi .

Setelah berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan. Di rumah relawan mitra, kami disambut dengan ramah. Hidangan khas Aceh telah disediakan. Setelah menikmati nikmatnya panganan Aceh, kami membagi rombongan menjadi dua: rombongan pertama ke Ulele dan rombongan lainnya ke sekitar Banda Aceh. Kami melihat bagaimana ganasnya Tsunami. Di mana-mana hanya puing-puing yang kami temui. Semuanya rata… Bau anyir dan busuk pun masih melekat di udara yang bertebar. Keprihatinan dan kenyerian hati tidak dapat dihindari. Terbayang bagaimana sebelumnya ada begitu banyak jiwa dan kehidupan yang ada di tempat itu. Dan semuanya hilang…

Situasi yang tidak jauh berbeda kami temui juga di tempat-tempat kejadian lainnya, di bagian Aceh lainnya. Keindahan alam yang mungkin akan sangat dapat dinikmati kalau tidak terjadi bencana, begitu nyata terlihat. Sapuan warna jingga di langit menyatu bersama puing kapal besar bermuatan batu bara yang terdampar beratus meter dari garis pantai membuat kita bertanya-tanya dan berefleksi: sebegitu dasyatnya alam ini. Alam telah membuktikan kekuatannya sekaligus keindahannya, dasyatnya kehancuran yang menjadi resikonya – dibalik dasyatnya kesuburan dan kenikmatan yang diberikannya untuk manusia dalam keadaan “normal”.

Melihat dan berbicara dengan para relawan yang bertugas memberi bantuan bagi para korban, kita kembali diingatkan akan sisi baik manusia. Bersyukur bahwa nurani dan rasa kemanusiaan tidak pernah bisa dikalahkan. Solidaritas dan aksi konkret telah ditunjukkan, tidak pandang etnis, bangsa, agama, suku, usia, jenis kelamin dan segala macam aliran politik.
Demikian juga dengan semangat hidup dan semangat untuk membangun kembali kehidupan, terlihat dalam diri para korban. Mereka tidak putus asa dan pasrah saja. Bahkan di beberapa komunitas nelayan, mereka bahu membahu membangun kembali rumah-rumah mereka dengan bahan yang ada. Walaupun memang di kamp-kamp pengungsi, kami dikagetkan dengan banyaknya anak-anak dan orang tua yang menjadi “pengemis dadakan”, tapi harapan akan kehidupan baru tidak sirna.

Di tengah-tengah ratapan para korban ini, adu senjata antara GAM dan TNI ternyata masih juga berlanjut. Sebagian rombongan kami terpaksa tertunda perjalanannya ketika akan kembali ke Medan, karena terjadi baku tembak. Rupanya perebutan kuasa, militerisasi dan ambisi untuk berperang tidak pernah kenal waktu.

Tapi, dari cerita dan tindakan beberapa korban yang bangkit untuk membangun kembali kehidupan mereka, nampak nyata bahwa harapan akan kehidupan baru tidak pernah sirna. Masyarakat Aceh telah tertempa menjadi manusia yang tangguh menghadapi persoalan. Trauma dan kengerian tidak membuat mereka berhenti hidup. Mereka hanya menginginkan hidup mereka dibangun kembali, sesuai dengan kebutuhan, harapan dan konteks mereka. Tidak lagi didikte dari luar, tidak justru diperlemah karena adanya bantuan dari luar. Seperti misalnya harapan petani Aceh: kalau mau membantu, belilah beras dari Aceh atau daerah Sumatra Utara. Karena beras kami cukup untuk memberi makan masyarakat Aceh. Jangan beri kami beras Thailand atau Jepang atau beras manapun. Kembalikan kedaulatan pangan pada kami!
(ID)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...