[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO 21/ DESEMBER 2018


Salam Transformasi!

Di penghujung tahun ini, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Setelah pada dua edisi sebelumnya kita merefleksikan kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan dan papan, kini kami mengajak pembaca sekalian untuk merefleksikan ”sandang" sebagai kebutuhan dasar manusia.
Manusia mengenakan sandang atau pakaian untuk berbagai hal antara lain: melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas, kesopanan, mendukung tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas tertentu (misalnya: perenang, penyelam, koki (chef), tukang las, pegawai pabrik, dan sebagainya) atau sebagai penunjuk identitas budaya atau kelompok tertentu. Namun demikian, dalam proses produksi sandang terdapat beberapa masalah terkait lingkungan maupun manusia yang mendukung pengadaan sandang tersebut.

Maka, dibalut dalam tema “Tantangan Pemenuhan Kebutuhan Sandang di Masa Kini” kami sajikan artikel-artikel yang diharapkan dapat membuka wawasan para pembaca sekalian untuk memahami lika-liku proses penyediaan kebutuhan sandang dikaitkan dengan isu lingkungan yang berkelanjutan maupun kesetaraan bagi manusia yang terlibat di dalam setiap tahap prosesnya. Mari kita simak gambaran artikel edisi kali ini.

Rubrik PIKIR yang dibawakan oleh Umbu Justin menggelitik kita dengan pemikiran tentang sandang sebagai alat pendukung pencitraan manusia, namun di saat yang bersamaan, ia begitu cepat dan mudah dilucuti, sehingga citra manusia seolah-olah cepat pula berganti. Hal yang paling menggelitik dari artikel ini, adalah hubungan antara martabat manusia dengan sandang yang dikenakannya. Apakah martabat manusia dapat berubah-ubah secepat atau semudah bergantinya sandang di tubuh kita?

Rubrik MASALAH KITA dibawakan oleh Any Sulistyowati, yang menuturkan tentang permasalahan seputar produksi hingga konsumsi sandang dikaitkan dengan dampaknya terhadap lingkungan dan peradaban manusia. Ia menghadirkan sejumlah faktor penghambat manusia dalam mengonsumsi sandang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penulis memberikan saran untuk menyikapi hambatan-hambatan tersebut agar tercapai pemenuhan kebutuhan sandang yang lebih ramah bagi lingkungan maupun masyarakat.

Rubrik OPINI menghadirkan artikel dari Angga Dwiartama yang menelisik rantai produksi sandang di masa kini. Ia mengajak pembaca untuk kilas balik perjalanan industri sandang dunia sejak sebelum revolusi industri hingga diciptakannya mekanisme yang memungkinkan sandang tersaji dengan cepat di hadapan konsumen. Dalam proses penyajian secara cepat itu, Angga memotret berbagai ketimpangan yang rupanya merugikan lingkungan maupun manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Di akhir artikel, Angga menekankan pentingnya peran pada ujung rantai produksi-konsumsi sandang, yaitu konsumen itu sendiri.

Rubrik TIPS menghadirkan artikel yang ditulis oleh Any Sulistyowati. Artikel ini membahas tentang penggunaan popok bayi. Ia menuliskan tentang kelebihan dan kekurangan dua jenis popok, yaitu popok sekali pakai dan popok kain. Titik berat utama dari artikel ini adalah pada langkah-langkah praktis penggunaan popok kain yang diyakini meminimalkan potensi kerusakan lingkungan dibandingkan penggunaan popok sekali pakai.

Rubrik MEDIA dibawakan oleh Jeremia yang menulis ulasannya tentang sebuah film berjudul True Cost. Di dalam film tersebut digambarkan mengenai biaya produksi sandang yang meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir, namun produk sandang yang dihasilkan dijual dengan harga murah dan perusahaan pakaian masih mendapatkan untung yang cukup besar. Pembuat film ini, Andrew Morgan dan para pendukungnya, melakukan penelitian dan pendokumentasian tentang biaya-biaya ”lainnya” yang ditekan secara luar biasa demi meraup keuntungan yang demikian besar.

Rubrik JALAN-JALAN dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih. Dari carut marut industri sandang yang membawa kita semua pada keprihatinan isu lingkungan maupun keadilan dan kesetaraan manusia, Yosepin membawa kita pada geliat aktor-aktor yang membawa harapan baru terwujudnya proses produksi ramah lingkungan, serta memberdayakan manusia yang terlibat di dalamnya. Dua aktor yang digambarkan dari artikel ini, yaitu Kana Goods dan Bixa Batik, telah mewakili sekian banyak pelaku produksi sandang yang keluar dari mainstream produksi sandang masa kini.

Kait Nusantara, yang dibawakan oleh Nita Roshita dalam Rubrik PROFIL, juga merupakan aktor pembaharu dalam gerakan produksi sandang ramah lingkungan. Didukung oleh lima perempuan dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, Kait Nusantara bergerak memberdayakan masyarakat di pedesaan untuk secara arif menyelamatkan sumber daya alam yang ada di desa, sekaligus manfaatkan sumber daya alam sebagai produk yang bernilai pakai.

Sebagai pendukung gerakan sandang ramah lingkungan dan setara bagi manusia yang terlibat di dalamnya, Kail tentu mempraktekkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan produk sandang di Rumah Kail. Oleh karena itu, Rubrik RUMAH KAIL yang dibawakan oleh Didit Indriati membagikan pengalaman Kail dalam pemanfaatan produk sandang. Pengalaman ini tertuang dalam kegiatan-kegiatan bersama warga sekitar, aktivis maupun dalam praktek keseharian di Rumah Kail itu sendiri.

Akhir kata, keseluruhan artikel dalam edisi ini diharapkan menginspirasi kita semua,yaitu: (1) dimulai dari penelusuran sejarah produksi sandang dunia, hingga perubahan yang terjadi di masa kini yang telah berperan dalam penurunan kualitas alam dan manusia. (2) berlanjut pada tawaran solusi yang perlu segera dipraktekkan, yaitu penyadaran bagi tiap individu, yang dalam hal ini merupakan konsumen sandang. Sebagai konsumen, kita sadar, bahwa dalam setiap pilihan dan tindakan kita telah turut berkontribusi kepada kualitas alam maupun sesama manusia, dan (3) penyadaran tersebut telah membuahkan beberapa aksi nyata dari beberapa pihak yang mengupayakan produksi sandang ramah lingkungan, kita perlu mendukung dan sebisa mungkin menularkan aksi positif tersebut kepada semakin banyak orang.

Akhir kata, seiring dengan semangat pergantian tahun, mari mulai upayakan agar kita semua semakin mengambil tanggung jawab terhadap pilihan dan tindakan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sandang untuk mendorong tercapainya kualitas hidup manusia yang lebih baik serta selaras dengan alam.

[PIKIR] SANDANG YANG MENELANJANGI

Oleh: Umbu Justin


Duhsasana had to subdue Draupadi by force. He dragged her out of the women’s quarters and into the assembly hall by her hair. And there, in front of all the kings and the defeated Pandavas, he mocked her, called her whore for having five husbands, and vowed to have his way with her. Then, as Draupadi stood helpless, clad only in a nightgown, weeping with shame and rage, Duhsasana ripped her gown from her to expose her nakedness.
But she was not naked. She was still clad in her simple shift. Cursing, Duhsasana reached out again and ripped it off.
And Draupadi was still not naked.
Again and again Duhsasana ripped Draupadi’s clothes away, until the floor of the assembly hall was littered in a rainbow of gowns. And she was still not naked.
Absolute silence descended on the assembly hall. There were only two people in the whole world. There was Draupadi, clothed in the lawfulness of her rage. There was Duhsasana, exhausted and suddenly afraid.
Sabha Parva LXVII, Mahabharata

Draupadi, sumber: www.alamy.com

Di antara berbagai atribut yang memberikan kita predikat sebagai mahluk berkebudayaan, sandang-lah yang paling mudah ditanggalkan. Berbagai atribut lain yang memberi kita ciri kebudayaan seperti tutur bahasa, dialek, tata cara makan, ritual adat, hubungan kekerabatan, pemahaman akan nilai-nilai, jauh lebih melekat erat pada kita dibanding sandang. Kita dengan mudah berganti pakaian dan mengubah peran atau identitas, seperti seorang siswa yang mencopot seragamnya begitu sampai ke rumah; namun betapa sulitnya siswa tersebut mengubah dialeknya, apalagi mengubah hubungan kekerabatannya.

Terhadap identitas kita sandang itu memang rapuh, tetapi di situ juga terletak kekuatannya. Sandang menyandang daya terpenting dalam kemanusiaan kita, yakni  kecenderungan beradaptasi. Dengan sandang manusia dapat mengatasi keterbatasannya, memasuki laut dalam, menjelajah antariksa, atau pun melindungi diri pada kondisi ekstrim. Sandang itu membungkus tubuh untuk memperluas horizon keberadaannya, mendukung manusia untuk bereksplorasi dan melakukan kolonisasi atas dunia.

Sandang berdaya mengubah manusia karena itu ia lalu dikapitalisasi menjadi sarana klasifikasi manusia baik dari segi strata kultural mau pun sosial, penanda peran dalam sistem kemasyarakatan, atau pun sebagai tanda pengkhususan kultural mau pun religi. Pakaian yang disandang menentukan derajad dan kasta, mengenalkan peran dalam sistem fungsional kemasyarakatan seperti dokter, tentara, polisi, guru atau anak sekolah. Para penganut agama menandai kaumnya lewat pakaian yang khas,seperti pada biarawan, kiai, pandita, dan seterusnya. Bahkan pakaian pun bisa memberikan ciri pada momentum tertentu seperti gaun pengantin, pakaian upacara agama atau pun pakaian adat pada berbagai ritual.

Sandang dengan demikian secara paradoksal melampaui manusia penyandangnya. Tanpa sandang, manusia menjadi telanjang dan terbatas. Ia kehilangan atributnya, ketiadaan predikat dan lumpuh dalam sistem sosialnya. Sandang dengan demikian menelanjangi manusia. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan manusia jadi melekat pada sandang yang dikenakan, bukan tertanam dalam manusia itu sendiri.

Di satu pihak manusia itu takut pada ketelanjangannya. Maka ia berusaha menegaskan keberadaannya secara spesifik di tengah dunia dengan menyandang pakaian yang bisa mengusung identitas peran yang ia anggap sesuai. Tetapi sering ketelanjangan itu menjadi paranoia yang mengubah manusia menjadi konsumen terus menerus. Sandang menjanjikan pemenuhan identitas yang tak pernah tuntas. Manusia berusaha memperkaya atribut, mempertahankan dan meningkatkan predikatnya, mengejar sandang yang semakin menaikkan nilainya di masyarakat.

Di lain pihak, karena sandang menjadi penyandang martabat, nafsu kolonisasi, kecenderungan menguasai dan menindas manusia menyasar pada penelanjangan manusia lain. Dalam epos Mahabharata, Kurawa berusaha mempermalukan Pandawa yang kalah bermain dadu dengan merenggut pakaian Drupadi. Dalam aula raja-raja di Hastinapura keserakahan akan kekuasaan politik mengarahkan kekuatannya pada kain sari seorang perempuan.

Epos Mahabharata menjanjikan optimisme yang mendasar bagi kemanusiaan yang tidak dapat ditelanjangi. Sandang itu memang bernilai, meskipun ia tipis dan bersahaja seperti selembar sari atau kain batik, ia memuat keyakinan manusia bahwa dirinya bermartabat. Sandang bukanlah pemilik nilai tersebut, ia adalah penanda citra kultural manusia, pembawa pesan tentang harkat manusia, dan bukan harkat itu sendiri.  Seperti keajaiban dalam cerita Mahabharata di ruang permainan dadu, martabat manusia tak bisa digerus meski keserakahan berusaha menanggalkan semua atribut kemanusiaan. 
Drupadi yang bersimpuh di lantai aula para raja, tetap terjaga dalam keutuhan kemanusiaannya dan pada gilirannya keserakahan dan nafsu menguasai politik Sengkuni dan Kurawa akan tergerus oleh ketakutannya sendiri sebab kemanusiaan tak bisa ditelanjangi.


[MASALAH KITA] MASALAH SEPUTAR KONSUMSI PAKAIAN ZAMAN SEKARANG DAN KIAT-KIAT PENYELESAIANNYA

Oleh: Any Sulistyowati


Kita beruntung hidup di zaman yang menawarkan begitu banyak kemudahan di dalam hidup kita. Kurang dari seratus tahun yang lalu, generasi kakek nenek kita mungkin masih mengganggap bahwa pakaian adalah harta yang sangat berharga. Pada saat itu pakaian yang mereka miliki mungkin tidak lebih dari hitungan jari. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan bahan yang pada masa sekarang ini dianggap tidak layak disebut sebagai pakaian.

Saat ini, hampir semua orang sudah memiliki pakaian. Kebanyakan orang kemungkinan memiliki pakaian sejumlah yang lebih dari yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.  Sebagian lagi mungkin memiliki sejumlah pakaian baru setiap hari raya, setiap musim atau setiap model baru keluar. Sebagian lagi membeli pakaian yang mengisi lemari mereka, tetapi kemudian tidak pernah mereka gunakan.

Pakaian zaman sekarang: begitu beragam corak, warna, tekstur dan modelnya.


Hal ini dapat terjadi dengan kemajuan teknologi. Teknologi memungkinkan kita mengambil sumber-sumber bahan baku pakaian secara massif, baik langsung dari alam maupun melalui proses budidaya. Teknologi juga memungkinkan percampuran serat alam dan serat sintetis sehingga lebih banyak pakaian dapat dihasilkan dalam waktu yang sama. Lebih banyak pakaian dihasilkan berarti ketersediaan pakaian makin melimpah. Sayangnya, kelimpahan pakaian ini juga membawa sejumlah konsekuensi.

Di satu sisi, ketersediaan pakaian yang melimpah merupakan sesuatu yang bagus dan patut disyukuri. Di sisi lain, ada persoalan distribusi. Penggunaan pakaian tersebut belum merata dinikmati semua orang di seluruh dunia. Saat ini, ada sekelompok kecil orang mungkin memiliki pakaian jauh lebih dari cukup dari yang ia butuhkan. Sementara sisanya ada yang belum memiliki pakaian yang layak. Sementara sebagian dari kita dapat membeli pakaian dengan harga yang relatif murah, sebagian lainnya harus membelinya dengan harga yang jauh lebih mahal.

Koleksi pakaian: keinginan atau kebutuhan?

Implikasi lain dari produksi pakaian yang melimpah adalah eksploitasi sumber daya yang semakin massif untuk mencari dan atau membudidayakan bahan pakaian tersebut. Untuk beberapa jenis sumberdaya yang dapat diperbarui, keberlanjutan eksploitasi sumberdaya dibatasi oleh batas daya dukungnya. Eksploitasi sumberdaya yang berlebihan menyebabkan ambang batas daya dukung semakin lama semakin menurun. Ini berarti ketersediaan sumber daya bahan baku pakaian semakin berkurang dari hari ke hari. Kemampuan alam untuk menyediakan bahan baku penghasil pakaian pun semakin menurun.

Konsekuensi lain dari konsumsi pakaian yang berlebih adalah adanya limbah pakaian. Limbah pakaian yang ada perlu diolah sedemikian rupa sehingga tidak mencemari bumi. Sayangnya hal ini belum terjadi secara maksimal. Banyak sekali limbah pakaian yang belum dapat terolah di tempat sampah. Bahkan sebagian limbah pakaian yang dibuang sebetulnya merupakan pakaian yang masih layak pakai. Belum lagi limbah kemasan yang digunakan untuk membungkus pakaian-pakaian tersebut. Berapa banyak kantong plastik, kertas, perekat yang akhirnya dibuang setelah produk yang kita beli kita buka kemasannya.

KAIL mengadakan bazaar barang bekas setiap tahunnya. Salah satu barangnya adalah pakaian bekas layak pakai yang kami peroleh dari sumbangan dari berbagai pihak. Selama empat kali menyelenggarakan bazaar, kami kerap menemukan bahwa pemiliknya pun belum sempat menggunakannya. Jadi labelnya masih tergantung seperti baru, meskipun statusnya barang bekas.

Suasana stand pakaian bekas di bazaar Kail: kesempatan mendapatkan pakaian layak pakai dengan harga super murah.

Saat ini, kecukupan pakaian ternyata baru dapat dinikmati oleh segelintir orang. Lalu bagaimana dengan mereka yang biasa saja? Yang penghasilannya pas-pasan. Yang hanya bisa membeli pakaian baru hanya jika baju yang sudah ada sebelumnya sudah rusak/sobek? Atau kalaupun sudah sobek masih diupayakan untuk ditambal-tambal pula. Adakah hal-hal yang menghambat kita mengambil keputusan yang lebih berkelanjutan terkait pakaian? Jika ada, apa sajakah itu?

Berikut ini adalah sejumlah masalah yang mungkin menghambat kita untuk memilih konsumsi pakaian lebih berkelanjutan:

1. Pengaruh iklan
2. Terdorong membeli baju baru karena diskon.
3. Memperbanyak kombinasi pakaian.
4. Hadiah dari teman atau saudara.
5. Sayang kalau tidak dibeli karena modelnya bagus.
6. Memperbanyak koleksi.
7. Adanya anggapan bahwa hidup yang lebih keren adalah yang seringkali gonta ganti warna dan model pakaian.

Keseluruhannya menyebabkan jumlah produksi dan konsumsi pakaian meningkat dari waktu ke waktu. Persoalan-persoalan tersebut sulit diselesaikan karena kultur yang ada saat ini mendorong semakin banyak konsumsi sumberdaya. Nilai yang diajarkan adalah: semakin banyak konsumsi sumberdaya berarti semakin keren. Padahal sebaliknyalah yang terjadi, semakin boros sumberdaya, semakin banyak persoalan seperti yang dijabarkan di atas. 

Bagaimana caranya mengubah situasi tersebut?

  1. Menghidupi nilai “keren” adalah hidup yang berkecukupan, bukan berlebihan.
  2. Tidak mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran dari luar untuk mengkonsumsi pakaian yang tidak dibutuhkan.
  3. Memiliki kemampuan untuk secara tajam melihat apakah hal itu merupakan kebutuhan atau keinginan.
  4. Mengabaikan konsumsi yang didasarkan pada keinginan semata, dan bukan kebutuhan.
  5. Mengajak kawan menyadari persoalan-persoalan di atas dan menyelesaikannya mulai dari diri sendiri.
Baju diskon: peluang atau godaan?

Untuk dapat melakukan keempat hal di atas, kita perlu dapat bertahan hidup dan merasa oke meskipun dengan jumlah pakaian yang lebih sedikit. Berikut ini adalah beberapa tips agar tetap “keren” meskipun dengan pakaian yang lebih sedikit.
  1. Mampu memilih jenis, corak dan tekstur pakaian yang dapat digunakan dalam waktu lama.
  2. Mampu membuat kombinasi baru dari beberapa komponen pakaian yang ada (kemampuan untuk memadupadankan pakaian-pakaian yang ada).
  3. Menguasai teknik pemeliharaan pakaian sehingga awet digunakan dalam waktu yang lama.
  4. Mampu mengolah limbah pakaian menjadi sesuatu yang berguna.
  5. Mampu memperbaiki pakaian yang rusak sedikit sehingga tetap masih dapat digunakan.
  6. Menggunakan pakaian bekas yang layak pakai, ketimbang membeli baju yang baru.
  7. Tetap percaya diri meskipun menggunakan baju yang itu-itu saja atau pun menggunakan baju bekas. 
Bagaimana kalau kita sudah terlanjur punya pakaian super banyak tetapi sebetulnya tidak pernah kita gunakan secara maksimal?



1. Menyumbangkan sebagian pakaian yang kita miliki, terutama untuk pakaian-pakaian yang sebetulnya jarang atau bahkan tidak pernah kita gunakan.
2. Buat batasan untuk mengurangi dan bahkan berhenti membeli pakaian baru. Misalnya dengan menetapkan syarat pembelian pakaian baru. Misalnya, tidak membeli pakaian baru sebelum ada pakaian lama yang rusak.
3. Memberitahukan kawan dan sahabat yang sering memberi hadiah agar tidak memberikan hadiah dalam bentuk pakaian. Apalagi pakaian baru yang berkemasan, yang akhirnya menimbulkan sampah.
4. Mengorganisir penggunaan pakaian bersama agar pemanfaatan dan umur pakainya lebih lama. Misalnya untuk jenis pakaian yang durasi pemakaiannya pendek, seperti pakaian bayi atau anak-anak balita. Setelah dipakai oleh anak yang satu, pakaian tersebut dapat diwariskan kepada anak yang lain dan seterusnya. Jadi pakaian beredar secara bergantian untuk mereka yang membutuhkan.

Misalnya untuk jenis pakaian yang durasi pemakaiannya pendek, seperti pakaian bayi atau anak-anak balita. Setelah dipakai oleh anak yang satu, pakaian tersebut dapat diwariskan kepada anak yang lain dan seterusnya. Jadi pakaian beredar secara bergantian untuk mereka yang membutuhkan.

Demikianlah beberapa persoalan seputar konsumsi pakaian zaman sekarang dan beberapa alternatif penyelesaiannya. Semoga berguna!

***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...