Editorial Edisi 4

Kehidupan seorang aktivis selalu menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan, baik dalam hal kehidupan pribadinya, kehidupan aktivitasnya, kehidupan sosialnya, maupun dalam hal kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya. Dalam Pro:aktif kali ini kami secara khusus mengangkat tema seputar aktivis dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Tulisan-tulisan yang dapat dinikmati dalam edisi kali ini antara lain Bagaimana Melakukan Proses Daur Ulang untuk Penggunaan Popok Sekali Pakai, dapat Anda nikmati dalam rubrik Tips; rubrik MEDIA kali ini menyajikan dua buah film dokumenter. Pertama, sebuah resensi film bertajuk Membunuh Hari (Killing the Days) yakni sebuah film yang menggambarkan dinamika persoalan penggusuran yang dialami oleh warga Teluk Gong di Jakarta. Kedua, anda dapat menikmati sebuah film dokumenter berjudul Roda Rakyat (People’s Wheels) sebuah film yang menggambarkan kerasnya perjuangan kehidupan seorang tukang becak. Sementara dalam rubrik PIKIR kali ini menyajikan Neoliberalisme: Ketika Uang Makin Digdaya dan untuk rubrik masalah kita, dibagikan refleksi hidup seorang aktivis, berjudul Tulang rusuk yang hilang? Rubrik Profil kali ini mengangkat Munawiyah: kisah perjuangan seorang petani perempuan yang mengalami berbagai macam bentuk penindasan, dan itu pula yang kemudian menggerakkannya untuk menjadi salah satu dari sekian aktivis perempuan yang secara konsisten menentang berbagai bentuk penindasan.

Kegiatan-kegiatan KaIL pada bulan Juni-September 2004 yang diangkat dalam rubrik Bagi-bagi Cerita adalah pertemuan Jaringan Aktivis Lintas Bidang Garap yang telah diadakan untuk yang ketiga kalinya serta Pelatihan Penggunaan Permainan sebagai media untuk Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat (untuk Pemula) angkatan pertama yang diikuti oleh 32 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Serta jangan lewatkan INFO Associates dan Agenda KaIL beberapa bulan ke depan.

Selamat Menikmati !

[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, dan satu-satunya perempuan adalah Munawiyah, seorang perempuan petani dari Pidie, Aceh. Ia adalah seorang petani perempuan yang sekaligus adalah aktivis. Saat ini ia dipercaya menjadi ketua PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik untuk disimak bagaimana perjalanan hidupnya dari seorang petani yang menjadi korban, kemudian malah menjadi aktivis petani dan perempuan. Perjuangan ini tidak mudah karena harus berhadapan budaya, kekuasaan negara dan kapital.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana ia mampu bertahan dalam visi misinya ini? Bagaimana sebagai aktivis ia bertahan hidup dalam kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita bisa menemukan sebuah semangat radikalisme yang bergabung dengan kesederhanaan.

Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) dengan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya sudah sering di lapangan mengorganisir masyarakat, turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yang menjadi korban, yang menjauh di kita, ya…kita mendampingi mereka sejauh kemampuan saya.
H : Korban yang biasanya ditangani korban apa?
M :Ya, korban kekerasan, baik yang dilakukan oleh keluarga, atau negara atau lingkungan. Itu yang sering kita dampingi.
H : Ini lewat lembaga Permata ini ya?
M : Yang saya dampingi lewat lembaga itu khususnya petani. Tapi ada yang secara pribadi saya tangani, yaitu ada yang korban kekerasan keluarga, ada yang negara. Itu yang secara pribadi, atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Tapi seringkali secara pribadi.
H : Kalau sehari-harinya ngapain aja?
M : Ya kalau yang hari-hari rutinnya buat sementara karena setelah konggres 2 Permata kita dipercaya sebagai ketua umum di Permata, ya kita tinggal separuh bulannya di kantor, separuh bulannya di lapangan. Bagi waktu. Kalau misalnya minggu pertama itu kita di kantor, minggu ke dua di lapangan, minggu ke tiga di kantor, minggu ke empat lapangan.
H : Boleh crita ngak tentang Permata, kegiatannya apa aja? Kalau di lapangan ngapain?
M : Permata itu kan Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh, ya jelas gimana…Sekarang yang kita lihat, bukan hanya di Aceh saja, semua kalau kita lihat, kan banyak sekali hak-hak petani yang tidak terpenuhi, terutama kan akses pasar, kemudian informasi-informasi tidak sampai kepada petani. Kalaupun sampai informasinya adalah informasi yang salah. Sekarang kita lihat di Indonesia yang sedang moneter (krisis moneter, red) ini, saat petani-petani ini menggarap lahannya butuh modal yang banyak. Butuh modal yang besar. Sementara hasil produksinya ketika dijual itu sangat murah. Sementara menggarap lahan, mengerjakan ladangnya atau sawahnya itu, pupuknya mahal. Serba mahal lah! Harganya (harga jual produk, red) cukup murah. Dan di situ masuknya renternir-rentinir, yang membuat petani-petani itu terlilit oleh hutang. Mau tak mau dia harus ambil modalnya, karena tidak ada yang bantu. Kemudian barangnya pun atau hasil produksinya harus dijual kepada renternir itu untuk bisa membiayai hutangnya. Ternyata ketika dijual ke renternir itupun masih juga tidak sanggup, tidak mampu membayar hutangnya itu. Jadi di situ kita mengorganisir mereka bagaimana caranya agar mereka keluar, paling tidak sedikit berkurang bebannya gitu.
H : Jadi konkretnya apa yang dilakukan di lapang terhadap masalah-masalah petani? Apakah misalnya bentuk-bentuk pendampingan atau apa?
M : Ya konkretnya…Kalau misalnya sekarang petani, apakah dia tanam cabe, kacang, pokoknya jenis palawijaya, dulu ya yang sering palawijaya. Sekarang kan pupuknya, obat-obatannya sangat mahal. Petani kita kesulitan, apalagi Aceh sekarang daerah konflik, jadi di sini paling tidak kami bisa untuk membantu, tapi tidak bisa sepenuhnya. paling tidak kami memberikan pengetahuan atau praktek-praktek untuk bisa mengurangi beban mereka. Misalnya dalam pertanian tadi, misalnya dengan kembali kepada budaya nenek moyang kita dulu, itu kita gunakan pupuk organik itu, atau obat-obatan yang tradisional yang untuk pertanian. Kemudian ada juga yang untuk obat-obatan tradisional untuk kesehatan. Paling tidak misalnya, karena banyak desa yang jauh dari kota, atau jauh dengan rumah sakit, misalnya seperti ibu-ibu hamil atau yang lain, paling tidak di sekitar rumahnya menanamkan sejenis tanaman yang untuk bisa jadi obat-obatan. Buat sementara, sambil menunggu ke dokter. Karena tempatnya jauh dan transportasinya pun terbatas.
H : Mbak Muna sendiri boleh dibilang petani ya? Punya lahan, menanam gitu?
M : Iya.
H : Boleh cerita tentang kehidupannya sebagai petani selain sebagai aktivis?
M : Kalau saya gini, memang dari dulu, memang keluarga kami dari petani semua, yaitu memang kami mengerjakan lahan sendiri. Lahannya tidak luas, cuma sedikit. Kalau sementara ya kami tidak punya lahan lagi, lahannya cuma tinggal separuh lagi. Separuhnya sudah untuk irigasi dan pembangunanlah, tanpa ganti rugi. Dan waktu itu kita tidak tahu hak-hak kita apa, jadi kita tidak perdebatkan. Ngak tahu. Orang bisa ambil dengan mudah.
H : Sekitar tahun berapa itu?
M : Kejadiannya sebenarnya sudah tahun 80-an ke atas, tapi yang terakhir lahan, sawah kami diambil itu tahun 94. Th 94 itu untuk bangunan sekolah, di gerung-gerung. Kalau misalnya profesi saya di petani itu, pengalamannya di keluarga itu, eh..kami paling tidak di pekarangan rumah bisa untuk nanam pertaniannya itu untuk kebutuhan keluarga. Selain untuk kebutuhan keluarga, ya kami pasarkan. Yang lebih dari untuk kebutuhan keluarga kami pasarkan gitu.
H : Tanam apa aja di rumah?
M : Tanam apa, ya misalnya ada pisang, ada ubi, ada palawija seperti kacang panjang, tomat, cabe. Untuk kebutuhan keluargalah. Kebutuhan dapur gitu.
H : Cukup ya?
M : Cukup. Mudah-mudahan…
H : Tidak perlu lagi beli keluar?
M : Ya, Untuk sementara begitu.
H : Kalau berasnya?
M : Kalau berasnya sekarang kami beli, karena sawah kami udah ngak ada lagi, karena diambil untuk irigasi, bangunan jalan raya itu, transportasi dan sekolah, ya sekarang berasnya kami beli.
H : Itu trus gimana ceritanya kok sampai dari yang tadinya belum tahu ya waktu hak-haknya diambil belum ngerti, sampai sekarang bisa jadi aktivis yang memperjuangkan hak-hak petani, ceritanya gimana?
M : Ya pertama karena masuk sebuah lembaga mendampingi desa kami, kebetulan waktu itu kita sebagai pengurus desa, jadi tamu yang masuk itu apa…kita kan perlu cari tahu informasinya apa sebenarnya yang mereka lakukan, apakah itu membawa hal-hal yang positif bagi masyarakat atau negatif. Karena saat itu siapapun yang masuk saat diberlakukan DOM di Aceh, yang kena pertama kali kan yang konflik Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie kan. Jadi wajar kalau kami curigai, siapapun. Jangankan yang dari luar, yang sesama keluarga pun saling mencurigai. Jadi waktu itu masuklah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi kami (Flower Aceh). Trus sering dibawa untuk ikut-ikut training. Dari situ ikut training yang pertama, CO. CO yang diadakan oleh Forum LSM Aceh. Ketika situ saya bingung, karena kita bukan anak sekolahan gitu, memang betul-betul petani gitu kan. Apa yang dibicarakan bingung, ngak nyambung. Akhirnya apapun ceritanya saya terpaksa harus belajar untuk bisa. Lama-kelamaan ya…karena Flower-pun banyak kali kegiatan, diundang ke Medan untuk ikut HAM, yang ngadakan PBHI Medan. Di situ belajarlah, belajar, belajar… Kemudian 2 minggu kemudian diundang oleh LP3ES ke Jakarta, Flower yang kirim kan. Flower Aceh yang kirim. Dari situ, ini…kan HAM juga 2 minggu, dari situ saya tahu bahwa ini adalah Hak hidup, ini adalah hak petani. Dari situ saya tertarik, tertarik untuk belajar. Kalau kita ngak merubah nasib kita sendiri, itu jelas orang lain ngak akan merubah kan. Kan ada niatnya dari saya, kehidupan saya ini ingin merubah. Kalau kita terus-menerus seperti ini, ya tak akan berubahlah kehidupan kita. Gimana dengan masa depan kita?
H : Dari situ ya terus ada semangat untuk…?
M : He-eh. Dan banyak diskusi dengan kawan-kawan. Ketika di training itu saya diskusi dengan kawan-kawan yang berbagai daerah kan. Tertarik dengan kasus-kasus yang diceritakan oleh-oleh kawan. Dari situ saya tertarik. Sebenarnya saya alami, saya sendiri mengalami hal seperti itu, kenapa saya harus tinggal diam. Kenapa saya harus berjuang. Ternyata saya pikir-pikir lagi, kalau saya berjuang sendiri, itu tidak berhasil. Saya akan membangun kelompok dan membangun aliansi atau jaringan, paling tidak kita ya…biarpun tidak semua masalah selesai, paling tidak sedikitnya akan ringan bagi saya.
H : Trus, sebelumnya tuch, pengurus desanya itu apa maksudnya? Jadi kepala desa atau ..?
M : Sekretaris desa.
H : O, sekdesnya ya. Tapi memang semua harus lewat sekdes kalau masuk?
M : Tidak mesti lewat sekdes. Karena waktu itu kan kita…gimana ya, bukan…kita kembali pada sejarah. Kalau perempuan saja yang kerja tidak berhasil, kalau laki-laki saja tidak berhasil. Maksudnya harus kerjasama. Jadi semua informasi itu…memang saat itu biar kepala desa laki-laki, tapi yang menguasai desa kami. Yang menguasai desa, semua peraturan desa, kami yang aturkan, kami yang perempuan, bergabung dengan organisasi PKK.
H : Itu memang kulturnya di sana seperti itu memang? Perempuan yang punya banyak kekuasaan, kekuatan untuk mengatur?
M : O tidak, sebenarnya perempuan tidak diberikan peluang sedikitpun untuk menguasai jabatan. Jangankan untuk menguasai jabatan, untuk musyawarah saja ngak bisa. Saya berjuang. Waktu itu, di situ memang di desa, khusus desa saya dan banyak desa-desa yang lain, perempuan kelas 6 SD sudah dikawinkan. A, saya berjuang di situ. Memang saya tamat PGA kan. Tamat PGA berjuang. Saya berjuang harus bisa kuliah gitu, harus sekolah. Waktu saya berjuang, macam-macam simbol (stigma, red) yang diberikan oleh masyarakat, tapi saya ngak open, yang penting saya harus sekolah, harus memperbaharui desa saya. Akhirnya setelah saya mempengaruhi orang-orang tua di situ, di desa itu, sekarang udah banyak perempuan yang sekolah. Malah ada yang udah kuliah, kerja. Biarpun saya ngak sempat kuliah, tapi saya mempengaruhi kawan-kawan untuk kuliah.
H : Sampai berapa lama perjuangan itu akhirnya baru bisa berhasil?
M : Saya SMP, itu tergantung gimana ya, strategi apa yang kita pakai. Saya masuk SMP, kelas 1 SMP, itu yang lain udah..kelas 2 SMP udah ada yang ikutan saya untuk masuk SMP, yang sekolah. Sampai sekarang.
H : Jadi sekarang boleh dibilang posisi perempuan di desa situ sudah cukup lumayan setara ya?
M : he-eh.
H : Kenapa sich motivasinya mbak Muna, kok bisa sampai jadi aktivis, berjuang seperti itu?
M : Karena kita merasa diri kita, hak-hak kita tidak diinikan..jadi kita berjuanglah untuk mendapat hak-hak kita, gitu.
H : Ada kendala atau apa sich, menjadi aktivis selama ini kendala terbesarnya apa?
M : Ya kendala terbesarnya, karena kita bekerja di daerah konflik, malah nyawa saya terancam. Ada desa, ada berapa kecamatan yang saya tinggalkan, saya tidak bisa masuk lagi, karena saya memang orangnya keras gitu. Saya ngak mau… Keras kan kita lihat situasinya. Karena kita kan minta ini itulah oleh pihak-pihak tertentu. Kita ngak mau memenuhinya. Kalau kita udah penuhi sekali, pasti orang itu akan minta lagi. Jadi saya dari pertama ngak akan memberikannya. Sampai sekarang ya…
H : Ngak menyerah gitu ya?
M : Ya.
H : Takut ngak sich ketika nyawa jadi taruhan, di daerah konflik seperti itu?
M : O, kalau bagi saya itu ngak. Hidup sekali, mati sekali. Itu, ngak ada kata istilah takut ini itu ngak ada bagi saya ya.

[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.
Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist[2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?

Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional. Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
Jelasnya, jantung neo-liberalisme adalah pada dua gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya, cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasional dan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.
Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba. Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].

Gejala Baru – Refleksi Baru

Selama ini, pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan dengan pengandaian bahwa negara (dalam rupa pemerintah) adalah pemegang kekuasaan tertinggi masyarakat. Namun ingat, bahwa gagasan ini muncul dari sejarah melawan monarki pada abad 17-18. Dalam tata kekuasaan waktu itu, demokrasi merupakan gerakan untuk mengontrol kekuasaan monarki, karena kekuasaan merekalah yang punya konsekuensi paling besar terhadap hidup bersama.
Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis (historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity). Tuntutan logis dari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya


[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan: [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int


[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

Rumah kecil ini seringkali penuh dengan teman-teman yang sering berdiskusi dan bahkan bermalam disana. Wah, kadang saya suka berandai-andai untuk membangun rumah ini jadi dua lantai sehingga ada privasi bagi kami. Setidaknya agar begitu anak kami lahir, tidak perlu saling mengganggu antara asap rokok dengan tangis bayi. Tapi, mengingat pekerjaan suami, rasanya juga butuh waktu lama untuk mewujudkan impian itu. Karena untuk makan sehari-hari saja, seringkali saya harus lebih sering memutar otak kiri (untuk belanja) daripada otak kanan (untuk meracik menu) agar kebutuhan itu tercukupi. Sementara untuk menghentikan kegiatan diskusi mereka, rasanya juga tak mungkin. Karena itulah jadwal malam hari kalau suami saya ada di rumah selama 10 hari dalam sebulan. Yang 20 hari dia bagikan untuk teman-teman di kota-kota lain dalam seminar-seminar, ceramah, lokakarya atau lainnya.
Itulah pengalaman saya menikah dengan seorang aktivis. Mungkin delapan bulan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa saya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya. Atau, siapa tahu memang persoalan yang lebih pelik belum datang menimpa kami. Tapi melihat diri saya yang juga ‘sempat’ menjadi aktivis sebelum menikah (dan masih ingin tetap menggeluti aktivitas sosial setelah menikah), saya melihat setidaknya ada pengalaman berbeda yang dialami oleh kawan saya, yang notabene bukan aktivis, menikah dengan seorang aktivis. Dia seorang wanita karir yang cukup mapan secara ekonomi, namun pada akhirnya dia kesulitan mengikuti gaya hidup suaminya yang kelewat sederhana (sementara dia sangat trendy dan modis!). Untuk membeli barang baru pun ia harus berdiskusi panjang atau mendapat ceramah dari suaminya itu.
Lalu, apakah kemudian menikah dengan aktivis (baik itu akhirnya menjadi sepasang aktivis maupun satu aktivis dan satu bukan) menjadi penuh konsekuensi di banyak sisi?
Apakah aktivis sosial itu? Apakah yang sebenarnya dia lakukan? Apakah menjadi aktivis adalah “panggilan”? atau sekedar gengsi-gengsian? Saya pribadi mencatat, dari pergumulan saya dengan berbagai aktivitas sosial, aktivis dilihat sebagai sebuah ‘simbol kepahlawanan’ di jaman ini. Ia muncul dalam bentuk perlawanan, mulai dari sekedar mengambil tempat sebagai oposisi sampai yang sangat radikal sekalipun, terhadap ketidakadilan. Namun ironisnya, juga dalam catatan saya, aktivis yang selalu menjadi tumpuan semua pekerjaan melawan ketidakadilan itu tidak pernah mendapat apa-apa. Apakah ini kodrat sejatinya para aktivis sosial?
Aktivis Indonesia masih berkabung atas meninggalnya Munir, seorang pejuang HAM. Namun kematiannya masih menyisakan banyak pertanyaan ketika orang mulai mengkaitkan peristiwa kematian ini dengan sejumlah aktivitas yang ia jalani sebelumnya sebagai pilihan hidup. Sampai saat ini pun berbagai media seringkali diwarnai dengan berbagai tulisan mengenai hilangnya aktivis buruh, penculikan dan penyiksaaan aktivis, teror dan ancaman yang sedikit banyak menjelaskan situasi yang dihadapi oleh para aktivis tadi.
Namun sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, seingkali menjadi aktivis itu bukanlah cita-cita semenjak awal. Menjadi aktivis, seringkali dimulai dari sebuah ‘keterjebakan’, atau ‘kesadaran’ yang melahirkan ‘panggilan’. Suami saya bercita-cita menjadi masinis (ketika masih kecil), insinyur teknik nuklir (sebelum kuliah) dan bahkan seniman musik (ketika kuliah). Saya sendiri juga bercita-cita menjadi insinyur yang bekerja di pertambangan minyak dan punya banyak duit. Kini, tak satupun dari ‘cita-cita’ kami itu tercapai.
Suami saya ‘tersadar’ dalam perjalanan hidupnya bahwa ada nilai yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi insinyur teknik industri. Dia pun mengolah ‘panggilan’ itu (dan harus rela berjarak dengan hobi musiknya) untuk kemudian memilih jalan hidup sebagai aktivis sosial dan seorang pengajar hingga kini. Saya sendiri ‘terjebak’ ketika ingin mengenal dunia LSM lebih jauh. Bekerja sebagai peneliti di LSM, mau tak mau saya dihadapkan pada segunung fakta akan ketidakadilan dunia ini. Menutup mata? Tak mungkin. Itu hanya akan menipu hati nurani saya sendiri, yang sebenarnya sudah tergerak sejak kuliah. Maka, ya sudah, saya terima ‘keterjebakan’ itu, dan kini malah menghidupinya.
Secara umum saya temukan, baik ‘kesadaran’ maupun ‘keterjebakan’ yang kini diolah menjadi ‘panggilan hidup’ aktivis itu bersumber karena melihat kondisi ketidakadilan tadi merambat ke segala bidang. Dalam penelusuran data-data ketika saya menjadi peneliti, ketidakadilan itu melanda bidang politik, ekonomi, agama, pendidikan, kesehatan, dan masih dalam banyak bidang hidup lain yang berkembang di negara kita. Berikut ini hanya contoh dari apa yang bisa saya cerna secara terbatas: agama dijadikan institusi konfliktual, pendidikan hanya dimiliki anak-anak berduit, kesehatan hanya menjadi hak mereka yang beruang (betapa tidak, hanya orang kaya yang bsia membayar dokter-dokter terbaik dan mendapatkan perawatan kesehatan karena harga obat acapkali mencekik!). Itu baru sebagian. Belum lagi soal harga beras yang merugikan petani atau upah buruh yang demikian rendah.
Keprihatinan semacam ini baik secara intelektual, emosional dan bahkan dalam keseharian hidup, ditunjukkan dengan jelas oleh banyak aktivis. Menjadi aktivis tak bisa tidak harus ditunjukkan dalam sikap egaliter, demokratis dan partisipatoris, yang harus mereka hidupi. Karenanya tak heran jika sebutan aktivis itu dibarengi dengan gelar idealis. Kata idealis sendiri seharusnya berkonotasi baik. Cuma, pada tahap berikutnya, idealis diidentikkan dengan ‘mengambil pilihan untuk memperjuangkan cita-cita atau keyakinan, meski ganjarannya adalah kemiskinan, setumpuk masalah, penolakan, teror, dan ancaman’. Bahkan banyak aktivis kemudian melakukan ‘bunuh diri kelas’ untuk lebih dalam ‘mengalami’ penderitaan bagi yang didampingi dan meningkatkan solidaritas dalam perjuangannya.
Dari pengalaman saya dan suami saya, perdebatan panjang dan terkadang melelahkan dalam membangun proyek-proyek perubahan sosial, sering melanda banyak aktivis termasuk kami. Apalagi, ketika teori yang dibicarakan dalam satu diskusi ke diskusi lainnya kadang tidak relevan atau tidak secara nyata mengurangi jutaan orang yang kini semakin mengalami keterpurukan hidup. Perjuangan ini tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Dan secara pribadi, banyak aktivis mendapat penolakan baik dari orang terdekat maupun keluarga. Tidak banyak orang mampu mengerti mengapa pilihan ini diambil dan bukan pilihan yang lebih baik, lebih mapan atau setidaknya lebih tidak beresiko.
Keluarga atau pasangan aktivis, dalam banyak hal, tentu saja akan sangat merasa keberatan untuk ‘terlibat’ di dalam aktivitas yang dirasakan menjadi demikian menuntut. Menjadi sebuah dilema tersendiri bagi banyak aktivis ketika mengalami hal seperti ini. Bahkan saya sendiri, yang cukup merasa dekat dengan pesoalan-persoalan sosial, terkadang masih merasa sulit untuk juga untuk ‘merestui’nya. Karena konsekuensinya adalah hilangnya waktu bersama, atau hilangnya kenyamanan-kenyamanan yang sepantasnya saya dapatkan kalau saja saya tidak lebih jauh mengingat bahwa hidup kami juga satu dari bagian yang sedang diperjuangkannya. Namun dalam renungan saya, mungkin ini adalah sesuatu yang ‘menyatukan’ saya dengan apa yang diperjuangkan oleh suami saya, sehingga apa yang kami alami dalam suka-duka hidup perkawinan tidak menjadi meaningless dan sia-sia.
Belajar dari pengalaman pribadi, berelasi dengan seorang aktivis memang tidak selalu mudah dan menyenangkan. Relasi selalu akan menuju pada proses melahirkan pemahaman yang terus menerus dan integral tentang permasalahan dunia kerja masing-masing selain, tentu saja, persoalan relasi karakter interpersonal. Upaya untuk menjadi pendorong perkembangan integritas dan mendukung setiap pengembangan kompetensi pasangan juga seharusnya menjadi sebuah keseimbangan dengan pengembangan hidup keluarga itu sendiri. Menjadi aktivis atau pasangan aktivis, saya yakin, bukanlah sesuatu yang mudah kalau kita ingin, nilai perjuangan itu tidak menjadi surut. Sekali ini menjadi pilihan hidup, siaplah untuk menyanding tongkat konsekuensinya sampai akhir.
Melihat perjalanan saya bersama suami dalam berkeluarga yang sebenarnya masih sangat pendek ini, saya sudah sering bertanya: inikah jalan hidup saya seterusnya nanti? Benarkah saya ini ‘tulang rusuk yang hilang’ dari suami saya yang adalah seorang aktivis? Benarkah dia orang yang tepat bagi saya? Benarkah ini hidup berkeluarga yang saya mau? Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, menyadari rumitnya ini semua, saya kini malah terdorong memberanikan diri punya cita-cita baru: menulis novel. Ya, novel tentang hidup seorang aktivis. Ide yang bagus, bukan?
***
Dominika Oktavira Arumdati
Program Koordinator (2002-2004) dan Mitra Peneliti (sejak 2004) pada The Business Watch Indonesia dan calon ibu.

[MEDIA] Sinopsis Film: RODA RAKYAT


Pimpinan Produksi: J.Sudrijanta
Cameraperson/Editor: Adeline M.T.
Editing operator: Hendra
Produksi: Minima, 2003
Media: Mini DV, VCD, DVD
Bahasa : Indonesia dengan subjudul dalam bahasa Inggris.
Durasi: 43 menit




Sebuah film dokumenter mengenai mantan pengemudi becak dan usahanya untuk bertahan hidup di Jakarta. Film ini mengambil lokasi di ‘Teater Kecil’ Taman Ismail Marzuki oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Cinema Society dan dalam beberapa event/kejadian lainnya.

Untuk Mamat, becak adalah lebih dari sekedar alat untuk bekerja. Ia jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang makin mendalam sejak satu-satunya harta yang dimilikinya disita oleh Pemerintah DKI Jakarta. Bersama dengan rekan-rekannya para pengemudi becak, mereka menuntut dan memperjuangkan hak mereka untuk tetap bekerja. Becak juga lebih dari sekedar alat transportasi. Becak merupakan sebuah harapan tentang masa depan kota yang bebas polusi. Sebagaimana roda terus berputar, mereka terus berjuang. Disatukan oleh harapan dan semangat yang sama: Rakyat harus menang!

[MEDIA] Resensi Film: Membunuh Hari


Judul : Membunuh Hari (Killing the Days)
Tahun : 2002
Produksi : Institut Sosial Jakarta & Minima, 2002
Durasi : 31’26”
Direktur/Produser : J.Sudrijanta
Cameraperson : Adeline M.T.
Editor : Adeline M.T., Hendar Putranto
Editing operator : Hendra
Media : MiniDV, VCD, DVD
Film dokumenter yang dipersembahkan oleh Institut Sosial Jakarta ini mengajak kita untuk melihat secara langsung dan turut merasakan apa saja yang dialami oleh sebagian korban penggusuran di Teluk Gong, Jakarta.

Cerita diawali dengan kisah yang membawa mereka hingga tinggal di daerah tersebut. Sesungguhnya tinggal di bantaran sungai bukanlah pilihan yang menarik. Pekerjaan yang tidak tetap dan pendapatan yang begitu minim membuat mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun.

Kebijakan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggusuran semakin menghimpit warga Teluk Gong. Penggusuran yang dilaksanakan berdasarkan Perda No.11/Thn. 1988 tersebut benar-benar menjadi monster yang memporakporandakan hari-hari warga Teluk Gong. Warga Teluk Gong dianggap telah melanggar Perda tersebut karena mendirikan bangunan di pinggir kali.

Sekalipun mereka dianggap ilegal, bukan berarti pemerintah boleh melakukan penggusuran dan pembakaran tanpa ganti rugi seperti itu. Untuk kesekian kalinya warga Teluk Gong harus menyaksikan penghancuran dan pembakaran rumah dan harta benda mereka di depan mata mereka. Tidak banyak yang bisa diselamatkan karena penggusuran tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Perasaan marah, sedih, dan kecewa benar-benar memenuhi diri warga yang menjadi korban. Belum lagi ditambah tindakan aparat yang sering kali menggunakan kekerasan dalam melakukan tugasnya. Tidak cukup harta bendanya saja yang musnah, namun keselamatan warga Teluk Gong pun ikut terancam.

Perda yang dipakai sebagai alasan untuk melakukan penggusuran nyatanya hanya mempunyai kekuatan untuk menggempur gubuk-gubuk reyot di sekitar bantaran sungai tersebut. Gedung dan tempat tinggal mewah yang juga mengambil lokasi di sekitar bantaran sungai tidak pernah tersentuh Perda tersebut sedikit pun. Lebih hebatnya lagi, warga Teluk Gong yang digusur itu juga dijadikan kambing hitam ketika banjir terjadi. Sedangkan penghuni rumah megah di sekitar bantaran sungai tersebut tidak pernah diusik. Sungguh ironis melihat pembedaan perlakuan tersebut. Padahal warga Teluk Gong juga harus membayar pajak untuk tanah becek yang mereka tempati.

Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk kepentingan siapakah penggusuran ini dilakukan? Kepentingan rakyat kecilkah (rasanya mustahil), kepentingan pemerintah, atau kepentingan para pemilik modal? Kasus penggusuran di Teluk Gong seperti memperlihatkan bahwa hak manusia diukur dari banyak sedikitnya harta atau modal yang dimiliki. Alangkah menyedihkan jika memang demikian adanya.

Warga Teluk Gong pun tiada habisnya meneriakkan suara mereka untuk meminta pertolongan atau sekedar meminta perhatian dari Pemerintah, aparat polisi, mahasiswa dan masyarakat umum mengenai nasib mereka. Perjuangan keras mereka untuk memperoleh hak-hak mereka, memperoleh simpati dari Komnas HAM dan beberapa elemen masyarakat. Mereka masih berjuang bersama untuk memperoleh hak ekonomi dan sosial atas perumahan yang layak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 15 mengenai dan Konvenan Internasional tentang hak ekonomi, sodial dan budaya, Pasal 11.

Wajar kalau warga Teluk Gong menuntut hak mereka. Menurut resolusi PBB No. 77/Thn. 1993 penggusuran paksa seperti yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga Teluk Gong itu dapat dimasukkan dalam kategori kejahatan berat melanggar HAM. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia pun telah membuat patokan yang sangat jelas berkaitan dengan hal ini yaitu untuk warga yang menempati tanah secara ilegal selama lebih dari 3 tahun, berhak untuk memperoleh ganti rugi untuk memperoleh pemukiman kembali serta kompensasi atas aset yang hilang. Sedangkan untuk yang kurang dari 3 tahun, jumlah ganti rugi disesuaikan dengan sifat kerugian yang dialami oleh setiap rumah tangga.

Terlepas dari itu semua, warga Teluk Gong harus mulai membangun kembali hidup mereka. Menanti hari depan yang tak pasti karena keputusan mengenai ganti rugi atau pun relokasi tak kunjung mereka dapati. Penggusuran yang terjadi berulang kali mungkin membunuh sebagian hari-hari warga Teluk Gong. Namun mereka tetap menjalani hidup mereka dan hari-hari panjang yang masih tersisa. Mungkin saja setelah warga Teluk Gong yang bertahan di lokasi tersebut berhasil mendirikan kembali gubuk-gubuk mereka, pemerintah akan melakukan penggusuran kembali.

Penggusuran tersebut bisa dikatakan tidak berhasil. Terbukti bahwa setelah penggusuran pun 85 % warga masih tinggal di daerah tersebut dalam radius 5 Km, 10 % warga menyingkir ke daerah pinggiran Jakarta, dan 5 % sisanya masih tinggal di tempat semula. Penggusuran tidak akan pernah berhasil selama pemerintah hanya melakukan penggusuran dan tidak melakukan penanganan paska penggusuran seperti pemenuhan hak-hak korban penggusuran.

Film yang berdurasi singkat ini cukup menarik untuk ditonton. Tontonan yang menampilkan kejadian riil saat penggusuran dan kesaksian langsung dari korban ini, mampu membuka mata kita tentang secuil ketidakadilan di negeri ini. Film ini menyajikan realita yang sangat dekat dengan kita namun sering kali luput dari perhatian kita. Melalui film ini kita dapat melihat bukti nyata bagaimana kebijakan pemerintah itu sangat tidak berpihak kepada rakyat kecil. Mungkin film dapat menjadi bahan refleksi yang baik untuk kita, seberapa besar perhatian kita untuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. (Lisa Ekawati)

[TIPS] Daur Ulang Popok Sekali Pakai: Usaha Menghindari Kebangrutan dan Lebih Ramah Lingkungan

Bagi para orang tua yang mamiliki bayi, tentu menyadari bahwa popok sekali pakai, yang dikenal dengan berbagai merek dagang, seperti pampers, huggies dsb, adalah salah satu pengeluaran yang dapat membuat orang tua bangkrut. Bayangkan, sehelai popok sekali pakai rata-rata dijual dengan harga antara Rp. 1500,- sampai Rp. 2500,-. Menurut iklan salah satu merek terkemuka, popok mereka dapat menyerap sampai 6 kali pipis, tetapi tentu saja hanya untuk satu kali buang air besar.

Artinya, untuk bayi yang baru lahir, yang pipis berkali-kali dan buang air besar berkali-kali akan dibutuhkan setidaknya 3-4 popok sekali pakai dalam sehari. Artinya orang tua harus mengeluarkan uang (ambillah harga termurah, Rp. 1500,-) sebesar Rp. 1500,- X 3 sampai 4 popok perhari X 30 hari per bulan, atau Rp. 135.000,- sampai Rp. 180.000,- per bulan. Bayangkan seorang aktivis LSM yang bergaji Rp. 1 juta sebulan (inipun sudah merupakan penghasilan yang besar untuk kebanyakan aktivis LSM di Indonesia) harus mengeluarkan 18% gajinya hanya untuk popok anaknya! Belum makanan, belum susu, belum biaya ke dokter anak yang tarifnya selangit kalau kebetulan anak kita sakit!

Apa sih kelebihannya popok sekali pakai ini, sehingga begitu populer? Pertama-tama, produsennya mengklaim bahwa adalah bukti cinta orang tua pada bayinya. Mengapa? Karena kalau bayi pipis, pipisnya tidak akan merembes ke mana-mana mengenai baju dan selimutnya sehingga tidurnya terganggu. Bayi akan tidur nyenyak dan dengan demikian akan lebih tumbuh sehat. Selain itu mereka juga mengklaim bahwa popok mereka lebih higienis. Bayi akan bebas bergerak waktu tidur dan bermain tanpa harus bocor. Kedua, lebih praktis untuk orang tua karena tidak perlu sering mengganti popok dan sering berurusan dengan kotoran bayi. Ketiga, ramah lingkungan karena akan lebih menghemat penggunaan air dan mengurangi penggunaan deterjen yang mencemari saluran air.

Lalu, bagaimana tanggapan para penentang penggunaan popok sekali pakai ini? Terkait dengan si bayi. Pertama-tama, material yang digunakan dapat menyebabkan iritasi pada kulit bayi yang sensitif. Kedua, akan menyebabkan bayi lebih lambat belajar menggunakan toilet karena terbiasa pipis di mana-mana tanpa resiko terkena basahan yang membuatnya tidak nyaman. Ketiga, popok ini mungkin juga tidak terlalu nyaman bagi bayi seperti yang diiklankan, karena meskipun tidak bocor, setelah ada pipisnya tentu popok sekali pakai ini akan menjadi lebih berat. Tentu tidak terlalu nyaman, kalau celana kita, meskipun kering permukaannya tetapi berat dan tebal karena di dalamnya penuh cairan. Kecuali kalau mau sering-sering diganti, dan berarti pengeluaran yang makin memeras kantung. Terkait dengan lingkungan, argumen yang diungkapkan produsen memang benar, tetapi mereka menyembunyikan fakta bahwa popok sekali pakai yang sudah dipakai pun merupakan limbah, dan lebih parah dari deterjen yang masih bisa diolah limbahnya jika di bawah ambang batas, limbah popok sekali pakai merupakan 1 dari sekian jenis limbah (10% dari total limbah) yang tidak dapat diuraikan. Artinya,begitu dibuang ia akan tetap tetap sebagai sampah selama-lamanya, atau setidaknya sampai sebuah teknologi baru untuk mengolah limbah ini ditemukan. Yang kedua, meskipun menghemat air karena tidak perlu dicuci, sumberdaya yang diguankan yang digunakan untuk membuat popok sekali pakai lebih banyak daripada popok yang dapat dipakai berulang kali. Jadi dari kedua sisi ini, popok sekali pakai sama sekali tidak ramah lingkungan.

Jadi satu-satunya klaim produsen yang bisa disetujui oleh para penentangnya adalah kepraktisan bagi orang tua. Hanya saja kepraktisan ini harus dibayar dengan biaya tinggi baik dari segi finansial, dampak lingkungan dan bagi si bayi. Kepraktisan ini memang memudahkan terutama, misalnya dalam perjalanan jauh. Tentu sulit untuk sering mengganti popok apalagi jika menggunakan kendaraan umum di mana tidak selalu tersedia fasilitas untuk mengganti popok dan air yang memadai. Kedua, saat mengikuti acara penting yang membutuhkan konsentrasi penuh untuk jangka waktu lama sehingga tidak sempat mengganti popok dan membersihkan kotoran-kotoran bayi. Ketiga, untuk tidur malam hari agar orang tua dapat tidur nyenyak dan beristirahat cukup tanpa gangguan tangisan bayi yang alas tidur dan bajunya basah.

Jika hal ini terjadi, dan pilihan menggunakan popok sekali pakai terpaksa diambil; mungkin setelahnya anda merasa bersalah dan bangkrut. Berikut ini adalah tips untuk mengurangi rasa bersalah anda dan mengurangi pengeluaran anda untuk popok sekali pakai sekaligus lebih ramah lingkungan dengan memperpanjang umur pakai popok sekali pakai.

1. Gunakan popok sekali pakai yang baru hanya untuk keperluan yang sangat mendesak, misalnya dalam perjalanan jauh, anak sakit diare sehingga sering buang air dan mengganggu tidurnya sementara ia butuh banyak istirahat dan malam hari untuk bayi kecil yang masih amat sering pipis (untuk bayi yang lebih besar dan mulai dapat mengatur pipisnya/lebih jarang, popok sekali pakai tidak perlu digunakan lagi).
2. Pilih popok sekali pakai dengan jahitan yang kuat dan perekat yang dapat digunakan lagi/tidak rusak dalam sekali pemakaian.
3. Gunakan popok sekali pakai berulang kali dengan cara:
a. Bersihkan popok sekali pakai yan sudah digunakan dengan cara membuang bagian popok sekali pakai yang menyerap cairan sehingga menjadi popok yang terdiri dari lapisan luar yang terbuat dari plastik dan lapisan dalam yang lebih lembut.
b. Cuci bersih popok sekali pakai ini dengan sabun dan jemur seperti pakaian bayi lainnya sampai kering pada kedua permukaannya.
c. Lapisi permukaan dalam popok sekali pakai yang sudah dicuci dengan lapisan kain yang cukup tebal dan menyerap air. Sebaiknya gunakan kain katun yang lembut dan menyerap air.
d. Popok sekali pakai siap untuk dipakai sekali lagi.
e. Untuk pemakaian selanjutnya, cucilah popok itu setelah kotor dan dapat digunakan lagi berulang kali sampai perekatnya rusak atau ada bagian popok yang putus.

Selamat mencoba!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...