[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO 20/AGUSTUS 2018


Salam Transformasi!

Di bulan Agustus ini, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Setelah pada edisi sebelumnya kita merefleksikan salah satu kebutuhan dasar, yaitu pangan, kini kami mengajak pembaca sekalian untuk merefleksikan ‘papan’ yang juga merupakan kebutuhan mendasar dalam hidup manusia.

Papan (shelteratau hunian) yang memadai adalah salah satu kebutuhan paling mendasar manusia. Manusia butuh tempat untuk bermukim: beristirahat, berlindung, dan berkegiatan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan baik secara individu maupun kolektif. Papan yang memadai akan mendukung kondisi jiwa dan raga manusia yang tinggal di dalamnya. Sehingga, kondisi hunian serta pemukiman yang memadai hendaknya dapat mendukung pencapaian kualitas hidup kita sebagai manusia. Tercapainya kualitas hidup yang baik, mengoptimalkan kemampuan manusia untuk beraktivitas, mewujudkan visi dan misi hidupnya di dunia.

Oleh karena itu, dengan mengusung tema “Tantangan Pemenuhan Kebutuhan Papan (Hunian) di Masa Kini” kami mengajak Anda untuk menelusuri artikel-artikel di dalam edisi ini.
Rubrik PIKIR menghadirkan tiga buah tulisan, yang mengajak pembaca untuk merefleksikan makna sebuah rumah atau tempat tinggal. Dua artikel yang dibawakan oleh Eventus Ombri Kaho dan Umbu Justin mengungkapkan tentang makna sebuah rumah bagi masyarakat tradisional di kedua tempat berbeda di Indonesia, yaitu di Besikama (Kabupaten Malaka) dan Weelewo (Kabupaten Sumba Barat Daya). Bagi masyarakat di kedua tempat tersebut, rumah tak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung semata. Rumah merupakan pusat aktivitas spiritual, yaitu ruang pertemuan manusia dengan Sang Pencipta sekaligus perwujudan daya juang manusia di tengah alam semesta ini. Setiap bagian dari rumah yang mereka bangun memiliki maknanya masing-masing yang terhubung dengan pengalaman spiritual tersebut. Artikel ketiga dari rubrik ini, masih oleh Umbu Justin, mengajak pembaca untuk merenungkan sebuah seni membangun ‘papan’ atau bangunan tempat tinggal menurut sudut pandang almarhum Romo Mangunwijaya Pr., seorang rohaniwan sekaligus arsitek. Bagi Romo Mangun, membangun sebuah rumah adalah pemaknaan kembali hidup manusia yang bertarung dalam kompleksitas hidup sekaligus merayakan keindahan dari kehidupan itu sendiri.

Rubrik MASALAH KITA dibawakan oleh Kristoporus Primeloka, membawakan permasalahan yang dihadapi sebagian besar masyarakat Indonesia dalam pemenuhan tempat tinggal, yaitu fenomena terpusatnya lokasi pembangunan perumahan yang pada lokasi mata pencaharian, yang berakibat pada terjadinya arus perpindahan masyarakat mendekati lahan pencaharian, yang kemudian mengakibatkan masalah lainnya, seperti terbentuknya perkampungan kumuh-padat penduduk dan terjadinya penggusuran. Penyebab lain dari kepadatan pemukiman adalah terdapatnya paradigma bahwa satu keluarga perlu memiliki satu rumah. Penulis menggugah pembaca dengan pemikiran tentang alternatif lain yang bisa dilakukan terkait dengan pengadaan rumah bagi keluarga.

Rubrik OPINI menghadirkan artikel dari Ari Ujianto yang mengungkapkan permasalahan yang sama seperti di rubrik sebelumnya, yaitu kurangnya akses perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di dalam artikel tersebut, Ari Ujianto mengajukan dua terobosan bagi pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak bagi masyarakat, pertama, melalui perbaikan kebijakan pemerintah atas penataan perumahan bagi rakyat, kedua, melalui peningkatan keswadayaan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan tempat tinggalnya.        

Rubrik TIPS menghadirkan tiga artikel. Dua artikel ditulis oleh Any Sulistyowati. Artikel pertama, berdasar pengalaman pribadinya, Any Sulistyowati menulis tentang langkah-langkah membangun rumah impian sesuai dengan kondisi aktual sumberdaya maupun finansial yang dimiliki. Sedangkan pada artikel kedua, masih ada hubungannya dengan artikel pertama, adalah tentang langkah-langkah membangun tempat tinggal dengan biaya hemat dan selaras alam, yaitu dengan material bekas. Pembaca dapat mempelajari latar belakang pemilihan material membangun rumah yang selaras dengan alam di dalam artikel ini. Artikel ketiga, ditulis oleh Jaladri, yang menuliskan tentang gaya hidup hemat dan selaras alam yang perlu dilakukan oleh aktivis dalam bertempat tinggal.

Rubrik MEDIA dibawakan oleh Kukuh Samudra yang menulis resensi sebuah buku berjudul Halaman Rumah/YARD, dari Tanah Indie, sebuah komunitas pemerhati isu papan di Makassar. Buku tersebut memuat esai-esai terkait pekarangan atau halaman rumah sebagai bagian dari tempat tinggal manusia, yang dibidik dari berbagai tema, yaitu antara lain: tradisi, interaksi sosial dan ruang hidup.

Rubrik JALAN-JALAN dibawakan oleh Any Sulistyowati. Artikelnya membawa pembaca untuk melihat sebuah komunitas bernama Cobb Hill Community Co-housing di Amerika Serikat.  Cobb Hill merupakan sebuah komunitas yang bertempat tinggal bersama sekaligus menjalankan pola hidup bersama untuk hidup selaras alam. Komunitas tersebut memenuhi kebutuhan harian mereka secara mandiri. Oleh karena itu, selain membangun rumah-rumah tempat tinggal, komunitas ini melengkapinya dengan lahan pertanian dan peternakan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup.
Rubrik PROFIL dibawakan oleh Fransiska Damarratri yang menulis profil 4 komunitas dan organisasi pemerhati isu papan yang ada di Indonesia.  Dari artikel tersebut, kita dapat mengetahui bahwa terdapat sepak terjang berbagai pihak di Indonesia maupun di dunia, yang mengupayakan tercapainya ruang hidup yang lebih baik, swadaya, dan bersama (komunal) bagi seluruh masyarakat.

Rubrik RUMAH KAIL dibawakan oleh Didit Indriati yang membagikan pengalaman KAIL dalam merawat dan memelihara rumah dan kebun dengan cara yang selaras dengan alam.

Keseluruhan artikel dalam edisi ini diharapkan menginspirasi kita semua, dimulai dari pemetaan masalah-masalah yang muncul seputar pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal. Untuk mengatasi masalah, disajikan berbagai tawaran solusi antara lain : (1) alternatif cara mengorganisir diri dan masyarakat agar swadaya dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, (2) penerapan gaya hidup bertempat tinggal, (3) cara-cara membangun dan merawat rumah yang selaras alam. Kita dapat mengetahui berbagai pihak baik individu maupun komunitas telah mengupayakan langkah-langkah pemenuhan ruang hidup yang lebih baik dari hari ke hari, demi tercapainya kualitas hidup manusia yang semakin baik serta selaras dengan alam.

Akhir kata, seiring dengan gempita peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada bulan ini, kami berharap bahwa kita semua semakin merdeka terhadap pilihan dan tindakan yang kita ambil sehubungan dengan pemenuhan ruang hidup yang mendorong tercapainya kualitas hidup manusia yang lebih baik serta selaras dengan alam.

MERDEKA!

Navita Kristi Astuti

[PIKIR] WASTU CITRA: INSPIRASI SENI MEMBANGUN DARI ROMO MANGUNWIJAYA

Oleh: Umbu Justin


Pulcrhum Splendor est Veritatis

Keindahan adalah pancaran kebenaran

Thomas Aquinas

Buku Romo Mangun

Wastu Citra, tulisan Romo Mangun, sepertinya merupakan buku arsitektur terbaik yang pernah ada. Berbeda dari pandangan hampir semua pemikir teori dan pengulas karya arsitektur,  Wastu Citra justru menghindarkan seni membangun dari konsep kata arsitektur.

Kata arsitektur, arsitek, karya arsitektur,  mengandung pengertian yang mendahulukan  kreativitas desain, kemampuan teknik, kemampuan mengatasi tantangan elemen-elemen alam seperti iklim dan topografi serta inovasi di bidang  desain penemuan material baru yang efektif atau memukau. Para arsitek berkompetisi menjadi selebriti, genit dan mencari sensasi dengan merancang karya yang serba memukau demi pujian dari para pengulas. Dunia industri pun berlomba menghasilkan material yang paling inovatif dalam mengatasi tantangan desain sekaligus paling indah ditangkap indera.

Dunia arsitektur adalah wajah semesta manusia yang sangat sensasional dan penuh otoritas. Sebuah wujud karya arsitektur secara langsung menggerakkan rasa sekaligus dapat memerintah manusia untuk datang atau menjauh. Sebuah bangunan dapat sengaja memancing manusia untuk datang atau memberitahunya untuk bertindak sesuai harkatnya. Setiap karya arsitektur adalah cermin di hadapan masing-masing manusia. Seseorang dapat melihat kelayakannya dalam ruang melalui tampilan desain arsitektur yang dirasakannya.

Karya arsitektur dengan demikian adalah bagian dari cara manusia menempatkan semua manusia dalam berbagai kategori, berbagai nilai atau kelas. Buku Wastu Citra menunjukkan hal yang sebaliknya. Alih-alih memanfaatkan kata arsitektur yang begitu lumrah dan berwibawa, Romo Mangun menunjukkan sebuah pendekatan total pada seni membangun dengan memasukkan budi bahasa ke antara berbagai perkakas desain. Budi bahasa adalah unsur terpenting definisi manusia menurut Aristoteles: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa.
Wastu Citra mengetengahkan kerumitan nasib manusia di dunia sekaligus keagungan perenungan budi bahasa yang dicapai selama beribu tahun dalam mencerap pengalaman seluruh sejarah. Manusia itu rumit, ia senantiasa mencari tempat yang sesuai baginya dalam semesta dan dengannya ia meratap dan bertarung melawan beratnya situasi hidup, tetapi sekaligus ia merayakan keindahan hidup dalam budi bahasa yang bisa ia wariskan.

Seni membangun adalah perayaan dan warisan tersebut. Manusia membangun untuk menciptakan ulang semesta. Ia belajar dari warisan pengetahuan dan kebijaksanaan tradisi budi bahasa. Kata 'Wastu' atau 'Vastu' datang dari  bahasa India kuno yang berarti sebuah sastra seni membangun yang dirumuskan dari rangkaian kedalaman pemahaman tentang semesta, tentang hierarki alam, pergerakan roda waktu, tempat dan tugas manusia dalam semesta. Citra berarti pancaran, wajah, perwujudan dari kedalaman pemahaman tersebut.

Buku Wastu Citra tidak mengarahkan kita untuk mematuhi paham klasik India tersebut. Romo Mangun menggagas budi bahasa sebagai citra manusia. Kata Wastu dimaksudkan untuk membuat para pembelajar arsitektur untuk berhenti sejenak dalam proses desain untuk menjelajah sejarah budi bahasa lokal di tempat dimana ia melaksanakan tugasnya. Wastu Citra adalah undangan untuk memperlakukan seni membangun sebagai daya ungkap kemanusiaan yang luhur. Untuk itulah Romo Mangun membahasakan seni membangun dengan kata Wastu Citra, dan menghindari kata 'arsitektur'.


Romo Mangun Membangun

Lebih dari 70 karya beliau menunjukkan drama manusia yang mencari tempat di dunia. Berbeda dari karya arsitektur umumnya yang mengklasifikasikan manusia, dalam ruang-ruang wastu, Romo Mangun membahasakan kegelisahan dan sekaligus keyakinan manusia dalam melakukan perjalanan. Rumah tinggal, gereja, masjid, sekolah, kantor atau ruang-ruang publik yang dibangun Romo Mangun mewujud pada skala yang sederhana, ruang-ruang yang terbuka, menerus, saling terhubung, tidak berhenti mendadak, penuh dengan permainan cahaya yang menerobos antar ruang.

Citra yang bisa kita tangkap bila memandang ke dalam karya Romo Mangun adalah wajah manusia yang kuat, yang mampu mengatasi nasibnya dengan leluasa dan berani, wajah yang ditempa nasib sejarah namun sekaligus bertahan dengan keyakinan akan harkat dan tujuannya. Lihatlah Kali Code Yogyakarta, peziarahan Sendangsono, Sekolah Dasar Mangunan,  Gereja Maria Asumpta Klaten serta Bentara Budaya Jakarta!  Semuanya mencitrakan budi bahasa dari seorang perancang yang memihak nasib manusia.

Bangunan Gereja Maria Assumpta karya Romo Mangun
Romo Mangun bukan arsitek, ia menolak bergerak dalam arus dunia arsitektur yang genit dan penuh gelagat narsistik yang akut. Ia melakukan budi bahasa dengan penuh semangat dan karena ia percaya bahwa seni membangun merupakan cara manusia menciptakan ulang semesta, ia pun membangun citra semesta manusia.


Pesan Romo Mangun kepada para pembelajar 
Wastu Citra melekatkan bangunan, ruang, lingkungan terbangun kepada perilaku kita sehari-hari. Ketika ia dikritik karena desainnya perlu perawatan sangat rutin, ia menjawab bahwa bangunan adalah perwujudan tubuh manusia yang meluas, karena itu perlu diperhatikan setiap hari, dirawat dan dibersihkan rutin. 
Ia juga dikritik karena penggunaan material bambu serta kayu yang tidak akan bertahan lama dan karenanya turut berperan memusnahkan hutan. Ia mempersoalkan mengapa kayu menjadi langka: karena lahan hutan beralih fungsi. Desainnya dianggap tidak standar, melawan ketersediaan bahan bangunan sehingga membuat para tukang harus membuat sendiri material atap, dinding dan ubin lantai. Bangunan Romo Mangun mahal justru pada ongkos kerja. Ia memang suka bermain dengan bahan dasar beton, tanah lempung serta kelenturan batang besi. Beliau menjawab bahwa para tukang memang harus dibayar tinggi untuk kerja membangun. Kreativitas yang tidak didikte oleh industri merupakan penghargaan pada budi bahasa yang unik pada masing-masing manusia dalam menciptakan ulang semesta.
Semua jawaban sederhana ini memperlihatkan kedalaman kontemplasi yang tidak dimiliki para arsitek umumnya. Arsitek selalu mencari peluang untuk menegaskan kariernya dan berusaha tampil secara meteoristik di antara etalase kreativitas dunia desain. Tetapi bahkan dengan ego sedemikian tinggi, arsitek sebetulnya diperintah oleh industri dan selera rendah konsumen yang tidak mengenal budi bahasa otentik manusia.

Gatra-gatra pada peziarahan Sendangsono, karya Romo Mangun
Warisan Romo Mangun
Pulcrhum Splendor est Veritatis, Keindahan adalah Pancaran Kebenaran. Kutipan dari budi bahasa Thomas Aquinas yang berakar pada Socrates, Plato dan Aristoteles, bisa kita terima sebagai tantangan yang Romo wariskan pada para pembelajar arsitektur atau pencari Wastu Citra. Keindahan bukan sebuah kategori yang bisa didikte oleh industri atau tataran selera. Keindahan itu memancar dari keberanian untuk mengangkat perjuangan manusia mencipta ulang realitas semesta. Sebuah kemerdekaan hakiki yang bisa di narasikan dalam desain ruang-ruang yang menampung dan mewadahi kegiatan manusia. Kerja desain, kerja membangun adalah Citra dasar kemanusiaan kita. Kita merancang ulang nasib kita, membangun realitas semesta yang sejajar dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kita menuturkan budi bahasa membangun sebagai cara kita berada, cara kita mewarisi kehidupan.

[PIKIR] BELAJAR DARI WEELEWO, SUMBA


Oleh: Umbu Justin 

A querencia is a place the bull naturally wants to go to in the ring, a preferred locality... It is a place which develops in the course of the fight where the bull makes his home. It does not usually show at once, but develops in his brain as the fight goes on. In this place he feels that he has his back against the wall and in his querencia he is inestimably more dangerous and almost impossible to kill."
-Ernest Hemingway, Death in the Afternoon
Umbu Robaka

Ketika para arsitek muda dari Construye Identidad Peru, melakukan survei arsitektur di kampung adat Weelewo, Sumba, mereka mengajukan pertanyaan biasa kepada wali adat Marapu,  Rato Umbu Robaka: Apakah dianggap penting anak-anak diajarkan kecakapan membangun rumah? Rato tersebut menujuk ke langit, pada bintang-bintang yang menaungi Weelewo, "Jalan terdekat!"serunya.
Construye Identidad adalah kelompok aktivis-arsitektur yang pergi ke sejumlah negara sepanjang lintasan lintang khatulistiwa untuk membawa pesan keberlanjutan kepada dunia. Mereka belajar kebijaksanaan berkelanjutan yang dijalankan oleh masyarakat lokal tradisional.  Di Weelewo mereka tinggal dan belajar hidup bersama warga kampung tersebut sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan hidup dan seni membangun rumah.

Para arsitek tersebut menangkap beberapa hal yang sukar dipahami terutama masalah gender, biaya pernikahan yang sangat mahal, paham ketuhanan yang tidak mengarah pada entitas personal dan juga hubungan kekerabatan dalam kampung yang ternyata bersumber pada satu garis keturunan bersama. Namun yang paling sulit dipahami pada saat pertama kali diungkapkan adalah jawaban Rato Umbu Robaka tentang pewarisan keahlian membangun kepada generasi muda.




Membangun Rumah sebagai Jalan Terdekat

Umbu Robaka adalah penjaga warisan Marapu, keyakinan suci setiap orang Sumba tentang alam semesta, hidup, dan pelaksanaan diri manusia serta 'Tuhan' pemilik segala sesuatu. Marapu bukan agama. Itu lebih mirip sebuah visi kosmologis yang bersifat mistis, dimana ide ketuhanan bukan merupakan faktor sentral meskipun di sana-sini ada cukup indikasi spiritual tentang pengakuan adanya relasi transenden antara manusia dan roh yang sangat suci darinya segala sesuatu memancar menjadi kehidupan.

Jawaban Umbu Robaka pada Construye Identidad tentang kecakapan membangun berasal dari visi kosmologis Marapu tersebut. Umbu itu 'master builder' ahli membangun rumah sumba.
Membangun rumah Sumba dimulai dengan menemukan empat tiang utama. Para Rato, pemuka adat,  masuk ke dalam hutan larangan dan meminta kesediaan pohon-pohon tua untuk menginisiasi kehidupan di kampung. Pohon-pohon tua yang telah memikul tugas mengikat air dari langit, memberi rumah pada burung-burung, binatang-binatang kecil, keteduhan bagi tetumbuhan muda di dasar hutan. Dengan tarian dan lantunan syair, batang pohon ditarik menuju kampung untuk menjadi peneduh kehidupan baru. Master builder,  Umbu Robaka akan memilih sejumlah tukang untuk mengukir keempat tiang utama tersebut dan sesudah itu dengan upacara meriah seisi kampung dan anggota suku dari rumah tersebut akan mendirikanmya dan melanjutkan penyelesaian rumah tersebut.


Rumah Sumba melambangkan roh Marapu, berupa orangtua penuh kebaikan yang memangku anak-anaknya. Figur anthropomorphicdari rumah Sumba tergambar dari kesepadanan antara bagian-bagian bangunan dengan wujud tubuh manusia. Atap teduh dengan menara menjulang mengambarkan tubuh yang dihiasi dengan kepala berikat kain destar yang sekaligus mewakili daya feminin dan maskulin. Rangka atap melambangkan rusuk dan tali-tali hutan yang mengikatnya melambangkan otot. Tiang-tiang utama melambangkan tumpuan ke atas tanah, kaki yang kokoh, sekaligus membawakan pesan kehadiran penghuni rumah, anak lelaki dan menantu perempuan di depan, serta ayah dan ibu di belakang mereka. Di ruang tengah antara keempat tiang utama terdapat perapian yang senantiasa bernyala, menyebarkan kehangatan dan membumbungkan asap untuk memuliakan peti suci di atasnya. Peti suci itu berisi hasil panenan serta ari-ari dari setiap keturunan keluarga suku tersebut.

Daya simbolik yang dinyatakan oleh rumah Sumba menjadi lengkap ketika keluarga berkumpul di sekitar perapian dan makan bersama. Di sinilah Marapu, yakni daya kehidupan berlangsung dalam keseharian yang sahaja. 

Membangun rumah dengan demikian merupakan tindakan hakiki manusia yang melekat pada semesta raya. Manusia tidak berdiri mengambang pada lanskap lingkungannya melainkan melekat dan hidup darinya. Marapu adalah ikatan yang dihayati sedemikian itu. Rumah adalah pernyataan paling kuat dari hakikat manusia, berdiri ditopang oleh alam, oleh kehidupan yang maha luas yang melingkupi sebuah keluarga dan setiap individu. Dengan membangun rumah, manusia percaya pada daya topang kehidupan dari lanskap tersebut, bahwa di tanah tersebut ia akan hidup dan bertahan dan tidak terkalahkan. Membangun rumah adalah tindakan penuh keyakinan, menjadi penerus daya hidup, energi manusia, daya tumbuh batang-batang pohon di hutan, api upacara dan api rejeki makanan sehari-hari, peti suci yang bergantung di tengah di antara keempat tiang utama. Semuanya adalah satu kehidupan yang disebut Marapu. Itulah pernyataan kepercayaan pada sebidang tanah, ketika manusia yang berjuang keras mau menaruh hidupnya serta keberlanjutannya pada sebidang tanah pilihan. Persis seperti seekor banteng di tengah arena menemukan querencia-nya dan di situ ia akan bertahan dan tak terkalahkan.

Rumah Sumba dengan demikian adalah sebuah cerita tentang manusia yang mempercayakan hidupnya pada Marapu, daya hidup semesta. Kecakapan membangun, pengetahuan, penghayatan relasi eksistensial antara manusia dengan lanskapnya, dengan alam mahaluas, tindakan berumah itu sendiri, semuanya  menjawab pertanyaan kita tentang Jalan Terdekat dari Umbu Robaka.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...