Editorial Pro:aktif Online Edisi Agustus 2016

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Merdeka atau Boneka? 

17 Agustus 1945 dapat digambarkan sebagai momentum berakhirnya catatan tragis sebuah bangsa yang menjadi budak atas tanahnya sendiri. Raungan ”Merdeka atau Mati” dari para pejuang, pemuda, rakyat, pos-pos pertahanan terdengar di tiap pelosok negeri ini, hingga akhirnya kemerdekaan itu dapat direbut, benarkah bangsa ini sudah betul merdeka?

20 Tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 bangsa ini mengalami periode keterbukaan politik yang diakhiri dengan perebutan kekuasaan oleh Soeharto pada 1965. Terulang lagi sebuah luka akibat jatuh dalam periode kediktatoran selama 33 tahun lamanya, hingga muncul gerakan bak bulir-bulir didih dari bawah menuju permukaan dan bersatu menjadi pergolakan hebat akibat api yang ditebar sendiri oleh orde tersebut.

Proaktif kali ini akan mengulas 71 tahun setelah hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, benarkah kita sudah merdeka? Untuk itu dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan catatan sejarah yang telah lalu hingga saat ini dan merefleksikan makna dari kemerdekaan itu sendiri. Dalam rubrik Masalah Kita, penulis menghadirkan sudut pandang beberapa aktivis tentang sejauh mana Indonesia telah merdeka dalam berbagai bidang, ancaman yang sedang dihadapi serta cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Lalu apa saja kegiatan-kegiatan aktivis dalam memaknai kemerdekaan dan apa peran aktivis sebagai pelaku gerakan sosial? Hal tersebut akan dipaparkan dalam rubrik Opini. Rubrik Profil Pro:aktif Online kali ini mengangkat profil Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator Anak Bertanya.com. Hasil wawancara penulis dengan Pak Hendra dirangkum menjadi sebuah tulisan menarik tentang pentingnya kemerdekaan dalam peningkatan kualitas dan membangun budaya bernalar agar siap menghadapi tantangan zaman.

Pembahasan kemerdekaan pun dibahas dari sisi terdekat dalam kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kita dapat merdeka dari penjajahan waktu dan penggunaan gadget, rubrik Tips akan memberikan kiat-kiat terbebas dari penjajahan waktu dan belenggu pemakaian gadget.

Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang narasi dalam buku yang merekam perjalanan lahirnya sebuah bangsa dan bagaimana buku tersebut pula yang dapat membuat sebuah bangsa bertahan. Rubrik Jalan-jalan yang menceritakan tentang ruang publik yang dapat memerdekakan kegiatan-kegiatan para aktivis. Semoga setiap rubrik yang kami sajikan dalam edisi ini dapat menginsipirasi sehingga bersama kita dapat terus memaknai kemerdekaan. Merdeka!

[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti 

Prof. Hendra Gunawan
Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, karena keterikatan seringkali diartikan sebagai belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yang mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator anakbertanya.com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yang Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar 

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.


Dalam kurun waktu 71 tahun kemerdekaan Indonesia dan di masa yang akan datang, kemerdekaan untuk anak masih penting untuk terus disuarakan dan diupayakan karena tantangan setiap zaman berbeda. Pada saatnya, pengetahuan dan konsep yang kita anut akan usang juga. Perlu konsep baru, perlu upaya berbeda. Karena itu, anak-anak perlu merdeka untuk berpikir dan bertindak, tidak boleh terkungkung oleh guru atau orang tuanya, sehingga dapat mengembangkan kualitas dirinya. Mahasiswa jangan sampai merasa dikungkung kebebasan berpikirnya oleh dosen. Guru-guru sebagai pendidik juga tidak boleh terkungkung perkembangannya karena terbentur kurikulum, sehingga ada peningkatan dan pengembangan kualitas guru. Kemerdekaan bernalar tidak boleh sampai tertindas oleh regulator, atau orang yang (merasa) lebih senior. Menurut Pak Hendra, kemerdekaan penting untuk peningkatan kualitas, karena merupakan solusi atas waktu dan zaman yang bergerak terus. Kurikulum Indonesia, menurut Pak Hendra, membuat anak tidak merdeka dan cenderung ketinggalan zaman. Kurikulum di Indonesia cenderung membuat anak dan guru terjebak pada urusan administrasi, tidak membuka ruang bagi anak untuk mengembangkan budaya bernalar, dan tidak memberi ruang pada guru untuk berkembang dan meningkatkan kualitasnya.

"Anak-anak yang menjadi “boneka” itu mekanis, jadi seperti robot, karena ada pengendalinya, dikendalikan oleh pihak lain, dalam hal ini kurikulum. Anak-anak hanya tahu kulitnya, misalnya hanya tahu rumusnya saja. Mereka nggak bisa berbuat apa-apa kalau nggak di-input, Hanya anak-anak yang bisa mempertahankan kemerdekaan berpikir yang bisa memimpin, bisa lepas dari kungkungan zamannya. Tokoh seperti Sukarno bisa melampaui tantangan zamannya, karena memiliki inovasi, daya kreatif,", kata Pak Hendra tentang kemerdekaan anak.


Kemerdekaan juga terkait berani mewujudkan. Dalam hal ini keberanian dalam arti “courage” bukan “brevity”, yaitu mewujudkan apa yang dia pikir menjadi masalah di masa depan. Misalnya orang-orang yang menciptakan ponsel pintar, dia bisa berpikir sejak10 tahun sebelumnya. Orang yang tidak merdeka adalah yang bilang bahwa hal itu tidak mungkin (ada). Kemerdekaan itu dibutuhkan untuk melompat, melampaui zamannya. “Anak-anak perlu didorong untuk membuat sesuatu, bukan sekedar untuk Indonesia, tapi hingga menyumbang karya untuk peradaban, Karya harus terus bermunculan. Saya rasa salah satu bentuk kemerdekaan ya bisa berpikir out of the box. Tidak semua orang bisa seperti Soekarno, hanya orang-orang tertentu yang bisa membuat prediksi untuk 50 tahun yang akan datang.”

Pada tanggal 18 Mei 2013, Prof. Hendra Gunawan dan Prof. Iwan Pranoto dari ITB, Gustaff Hariman Iskandar dari Common Room, Alexander Iskandar dari Eureka, Avivah Yamani dari Langit Selatan dan beberapa rekan lainnya mengadakan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) Festival dengan tujuan mengampanyekan budaya bernalar. Setelah festival diadakan, Pak Hendra merasa misi yang dibawa harus dilanjutkan dalam bentuk lain. “Membangun budaya bernalar itu sesuatu yang penting. Maka saya mengikatkan diri dengan tujuan tersebut, karena ini penting untuk dilanjutkan, dilakukan, juga terutama bagi anak-anak” Awalnya Pak Hendra memiliki ide membangun sekolah virtual, “Sudah sempat mengonsep dan mencari orang-orang yang bisa berkontribusi pada produknya. Namun kemudian ternyata saya lihat, tidak mudah juga.” Pak Hendra lalu berdiskusi dengan salah satu temannya, Bapak Hadi Nitiharjo, Kepala SOS Desa Taruna Kinderdorf, Lembang. Setelah berdiskusi panjang, kemudian keluarlah ide untuk mengetahui: Sebenarnya apa yang dibutuhkan anak-anak? Apa yang ingin anak-anak ketahui? Apa yang ingin mereka pelajari?

Berangkat dari hasil diskusi tersebut, Pak Hendra lalu menggagas Anak Bertanya Pakar Menjawab (www.atpj.com, sekarang menjadi www.anakbertanya.com), sebuah pintu atau media virtual yang disediakan bagi anak untuk menanyakan berbagai hal menarik yang ingin diketahuinya. Dari pertanyaan yang diajukan, tim anakbertanya.com mencarikan jawaban dari para ahli, atau orang yang berkemampuan menjawab sesuai dengan bidangnya. “Ada misi lain yang ingin diwujudkan oleh anakbertanya.com, yaitu mempertemukan anak dengan tokoh yang menjawab pertanyaannya. Mudah-mudahan, orang yang menjawab pertanyaan dapat menjadi sosok panutan atau tokoh idola dari anak-anak itu” Pak Hendra melihat, di Indonesia, anak-anak kekurangan sosok panutan. “Seolah-olah, orang hebat itu harus politisi, artis atau pengusaha yang punya jabatan atau ngetop. Dan sayangnya, banyak di antara mereka yang menjadi terkenal atau memperoleh jabatannya bukan karena kepakaran mereka dalam ilmunya. Memangnya bangsa ini bisa besar jika dikawal tiga golongan itu? Sementara di luar banyak orang hebat yang modal utamanya ilmu mereka. Mereka-mereka inilah yang dapat menjadi panutan bagi anak-anak” tutur Pak Hendra. Pak Hendra juga mengumpulkan profil-profil tokoh-tokoh hebat dunia dalam laman www.indonesia2045.com

Lewat anakbertanya.com, Pak Hendra ingin menggabungkan 3 hal: sosok – bidang keilmuan dan dunia kerja/ profesi. “Dunia sekolah itu inginnya menyiapkan anak untuk punya profesi, tapi ya mesti ditopang oleh keilmuan. Anak-anak harus punya cita-cita supaya tahu dan bisa memilih profesi sesuai dengan minatnya.”

Pak Hendra juga memiliki alasan personal ketika menggagas gerakan Anak Bertanya. “Saya punya anak. Beberapa teman yang bersama saya menggagas ini juga. Saya bisa saja hanya membekali anak saya dengan kemampuan bernalar yang baik. Namun, kalau saya hanya memikirkan anak saya, anak saya nantinya juga tidak akan hidup, karena nanti ia akan hidup dengan anak-anak lainnya. Saya juga harus memerdekakan anak-anak yang lain. Kalau kita memikirkan sesuatu secara intens, pasti nanti ada jalannya.. Misalnya saja, ide tentang menampilkan sosok panutan. Ketika saya punya anak, saya juga perlu bacaan untuk anak saya. Suatu saat, kebetulan ada Seri Buku Tokoh Dunia untuk anak. Ada tokoh-tokoh hebat yang ditampilkan. Dari Indonesia siapa? Saya terinspirasi oleh penulisnya yang mengatakan, 'Saya bukan orang besar tapi ingin menghadirkan orang-orang besar'.”

Dari Online ke Offline: Memperluas Kesempatan Berjumpa Panutan

Gerakan Anak Bertanya memang berbasis dari blog, yang tujuannya mempertemukan pakar dengan anak-anak di dunia maya. “Nah, jadi tantangan juga buat pakar, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak. Menjawab pertanyaan anak-anak lewat tulisan di blog.”

sumber foto: http://semipalar.sch.id/?p=2941)
Pak Hendra juga membuat acara offline Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara pertama diadakan bulan November 2013 di SOS Kinderdorf Lembang berbarengan dengan peluncuran gerakan Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara yang kedua diadakan di Rumah Belajar Semi Palar, Jalan Sukamulya, Bandung. Di kedua acara tersebut, tim Anak Bertanya mengumpulkan banyak pertanyaan dari anak-anak yang kemudian diunggah ke laman Anak Bertanya setelah dijawab oleh pakar yang tepat. Selain mengumpulkan pertanyaan, Pak Hendra juga menggandeng beberapa komunitas yang terbiasa berkegiatan dengan anak-anak untuk menampilkan berbagai kegiatan menarik bagi anak-anak, di antaranya mencoba roket air, membuat kacamata 3D dan awan di dalam botol, dan berbagai percobaan sains. Pertanyaan-pertanyaan anak-anak ini juga sudah dibukukan dalam beberapa jilid buku Anak Bertanya Pakar Menjawab.

Langkah selanjutnya, Anak Bertanya menyelenggarakan Festival Anak Bertanya di tahun 2015 dan 2016. “Di Festival Anak Bertanya, anak-anak dipertemukan langsung dengan pakar dari lembaga-lembaga dengan tema yang berbeda-beda. Penyelenggara perannya menjadi “toko serba ada”. Anak-anak bisa bertanya di booth-booth lembaga, komunitas-komunitas juga masih ada yang perlu memperkenalkan diri. Jadi win-win untuk semua,” kata Pak Hendra.

Dalam keseharian, Pak Hendra lebih banyak berjumpa dengan orang dewasa, karena itu untuk menghadapi anak-anak, ia memiliki trik tersendiri. “Tidak serta merta saya langsung berinteraksi dengan anak-anak. Seperti saat acara pertama Anak Bertanya Pakar Menjawab di SOS Kinderdorf Lembang, saya bawa “pasukan” teman-teman yang biasa berinteraksi dengan anak-anak, seperti Kak Avivah Yamani dari Langit Selatan, Kang Robi DC dari Ensembel Tikoro , Karina Adistiana dari Peduli Musik Anak, waktu itu ikut juga. Ini salah satu ciri khas Anak Bertanya, crowded funding, melibatkan teman-teman dari banyak komunitas yang biasa berinteraksi dengan anak. Kalau saya lebih berperan menggagas saja.”


Memerdekakan Masa Depan

Pak Hendra membayangkan di tahun 2045, kalau Indonesia masih tetap eksis (itu masih peluang juga, katanya) dan menjadi lebih baik, orang-orang yang mengawal negeri ini terinspirasi, tercerahkan dan memiliki cita-cita tinggi, maka itulah kontribusi laman anakbertanya.com. Misalnya seorang anak menjadi ilmuwan hebat karena terinspirasi datang ke seminar misalnya dan bertemu dengan ilmuwan idolanya. Seperti Neil Tyson, seorang astrofisikawan dunia yang tertarik mempelajari bidang astrofisika karena pengalaman belajarnya bersama Mark Chartrand III, direktur Planetarium dan Carl Sagan, seorang astronomer dari Cornell University. Di bidang lain, ada Joseph Schooling seorang perenang yang mengalahkan idolanya, perenang Michael Phelps pada pertandingan 100 meter gaya kupu-kupu di Olimpiade Rio beberapa minggu yang lalu. Pada tahun 2008, Schooling masih menjadi anak sekolah yang ngefans dengan Phelps. Namun delapan tahun kemudian, Schooling bahkan memenangkan medali emas mengalahkan Phelps di kejuaraan tingkat dunia.


Masa kecil menurut Pak Hendra penting karena memungkinkan seorang anak bertemu sesuatu yang bisa berkaitan dengan bakatnya, juga tokoh panutannya. Sementara sekarang ini di Indonesia masih banyak anak yang tidak berkarya sesuai dengan bakatnya, karena kesempatan itu belum banyak tersedia juga belum difasilitasi orang dewasa di sekitar anak. “Terhadap Joey Alexander, saya kagum, tapi saya lebih kagum lagi pada orang tuanya, karena memberi ruang, bahkan berani pindah mengikuti bakat si anak. Sementara, di sisi lain, sekarang banyak guru atau ortu jadi “pagar” anak. Pagar diperlukan tapi jangan sampai membatasi anak, Guru dan orang tua mestinya membuat anak justru bisa melampaui dirinya dengan kemampuannya.”

Sementara itu, mahasiswa yang dihadapinya sehari-hari punya karakter yang berbeda dari anak-anak. “Untuk level mahasiswa, saya ingin menantang anak-anak muda, bisa apa dengan gadget yang kamu punya, bisa berbagi sesuatu yang original/ ide dari diri sendiri, Untuk apa punya gadget canggih kalau penggunaannya tidak optimal. Janganlah bertanya sesuatu yang jawabannya sudah ada di Google. Kita harus berpikir satu langkah ke depan daripada Google. Tingkat mahasiswa seharusnya sudah bisa produksi game sendiri” imbuh Pak Hendra.

Menyiapkan anak untuk tantangan masa depan seringkali dikaitkan dengan kehidupan berkompetisi dan berkolaborasi. Bagi Pak Hendra, sangat disesalkan jika kemampuan kita digunakan untuk berkompetisi dengan orang lain. Baginya, kompetisi merupakan upaya kerja keras untuk melawan diri sendiri, berjuang untuk mencapai misi pribadi. Misi pribadi kita mestinya mendukung misi besar dan dengan demikian kita perlu berkolaborasi. Makanya, anak perlu punya cita-cita, sehingga tahu langkah-langkah yang harus dilakukan. Sehingga kalau orang tua memasukkan anaknya ikut les, kursus dan sebagainya, lesnya itu menjadi bermakna.

Mimpi-mimpi Pak Hendra yang lain ia wujudkan dalam dua buah buku yang telah ditulisnya: Lingkaran dan Menuju Tak Terhingga. Dalam kedua buku tersebut, Pak Hendra menulis dengan bercerita. “Jadi tidak seperti textbook, tapi ada sejarahnya juga. Seperti di buku Lingkaran, saya sebut “hantu” Lingkaran, tapi ini “hantu” yang kita mau pecahkan misterinya bersama-sama.” Tambahnya,”Selain menjadi dosen, saya punya tujuan-tujuan lainnya, menulis buku, mengisi blog.”

Sekali lagi, Pak Hendra menekankan , untuk mewujudkan mimpi kita perlu punya keinginan kuat dan mengikatkan diri pada tujuan tersebut. “Makanya saya tidak terlalu terpengaruh pada penggantian-penggantian menteri, mau pejabatnya ganti, presidennya ganti, saya sudah punya tujuan saya, yang penting untuk saya wujudkan.”


Profil:

Prof. Hendra Gunawan
Dosen Matematika ITB 1988 – sekarang
Blogger sejak 2013:
www.indonesia2045.com, www.anakbertanya.com, www.bersains.wordpress.com, www.bermatematika.net
Inisiator Anak Bertanya 2013: Blog ditampilkan sejak Mei 2013, Peluncuran gerakan di November 2013

[PIKIR] Terus Memaknai Kemerdekaan

Oleh: P. Krismastono Soediro 


Mahatma Gandi - Menginspirasi
gerakan tanpa kekerasan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 merupakan bagian dari arus sejarah besar dunia abad ke-20 seiring dengan kehendak bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Waktu itu habislah sudah kesabaran bangsa-bangsa itu sesudah hidup sebagai koloni dalam belenggu kekuasaan bangsa lain yang melakukan kontrol politik-ekonomi-sosial-budaya.

Kolonisasi dan Dekolonisasi

Praktik kolonisasi sudah terjadi sejak zaman kuno, seperti oleh bangsa Mesir, bangsa Funisia, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi. Kolonialisme modern dimulai setelah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi wilayah-wilayah di lepas pantai mereka. Berbagai penemuan dan revolusi perdagangan mendorong bangsa-bangsa lain Eropa mengikuti jejak Portugis dan Spanyol, menguasai wilayah-wilayah lain, dan saling berebut kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu.


Marxisme memandang kolonialisme sebagai bagian dari kapitalisme. Melalui kolonialisme, dilakukan pemaksaan dan ekploitasi demi keuntungan kaum kapitalis yang mencari bahan mentah secara murah dan/atau mencari kesempatan berinvestasi dengan imbal hasil yang sangat tinggi. Akibatnya, terjadilah ketidaksetaraan, bahkan kebergantungan. Kaul liberal pun mengkritik kolonialisme; mereka tidak menyukai pandangan para pedagang yang picik dan curang; mereka memiliki filosofi perdagangan bebas (free trade) di antara para pelaku pasar, dan menginginkan fair play bagi semua pemain (a level playing field). Ide dekolonisasi bermula sejak Revolusi Amerika (1776) ketika 13 koloni Inggris memerdekakan diri. Proses dekolonisasi kemudian terjadi di Amerika Latin sejak abad ke-19. Dekolonisasi juga berlangsung di sejumlah wilayah di Eropa Tenggara pada abad ke-19. Gagasan dan gerakan dekolonisasi terus menyebar hingga Asia dan Afrika. Gerakan tentang Indonesia yang lebih sejahtera mulai bertumbuh pada awal abad ke-20.

Perang Dunia I (1914-1918) dan Great Depression (1930-an) melemahkan kaum kolonial, sekaligus menguatkan gerakan dekolonisasi. Kaum sosialis maupun liberal di negeri-negeri maju terus mengkritik praktik-praktik kolonialisme.

Perang Dunia II di Eropa antara lain didorong oleh motif kolonialisme Nazisme-Adolf Hitler dan Fascisme-Benito Mussolini untuk meguasai wilayah-wilayah yang dapat menyediakan bahan-bahan untuk kepentingan industri. Di Asia Pasifik, militerisme-Jepang ingin menciptakan “Asia Raya” dengan berusaha menguasai koloni-koloni Inggris, Prancis, Belanda, dan Amerika Serikat di Asia Pasifik.Akhir Perang Dunia II memperbesar arus dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika. Satu demi satu bangsa-bangsa menyatakan kemerdekaan mereka: Indonesia (1945), Vietnam (1945), Filipina (1946), India (1947), Burma (1948), Srilanka (1948), dan seterusnya. Kerajaan Belanda tidak menerima begitu saja Kemerdekaan Indonesia hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949). Di berbagai belahan dunia proses dekolonisasi hanya diterima dengan terpaksa, dengan berat hati, oleh para kolonialis yang kehilangan keuntungan mereka atas koloni-koloni.

Indonesia Pascakolonial

Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Revolusi Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan Konferensi Meja Bundar pada ujung tahun 1949. Mulailah babak baru sebuah bangsa yang masih begitu muda, dengan wilayah yang begitu luas, yang menjadi sebuah bangsa karena merasa senasib-sepenanggungan dalam ketidakadilan sistem kolonial. Sepanjang dasawarsa 1950-an bangsa Indonesia melakukan eksperimen-eksperimen kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksperimen pertama berlangsung dalam periode yang dijuluki sebagai periode demokrasi liberal (1950-1959). Kemerdekaan diisi dengan menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Aspirasi-aspirasi bertaburan, saling bergesekan, bertabrakan, menimbulkan perbedaan, perselisihan, bahkan pemberontakan. Presiden Soekarno tidak tahan dengan situasi yang dinilai membahayakan persatuan nasional. Pada tahun 1959 ditetapkanlah Dekrit Presiden, yang membawa Indonesia pada periode demokrasi terpimpin, dalam panduan “Pemimpin Besar Revolusi”, “Penyambung Lidah Rakyat”. Kemerdekaan diisi dengan memompa semangat nasionalisme dan kebanggaan nasional. Politik menjadi panglima, yang berorientasi kekiri-kirian, tetapi ekonomi kurang mendapat perhatian, inflasi membubung tinggi.

Tragedi Nasional 1965 dan rentetannya membalikkan situasi nasional, dengan memakan begitu banyak korban jiwa, tahanan politik, dan trauma yang begitu mendalam. “Orde Baru” dalam kepemimpinan Presiden Soeharto mengusung pembangunanisme ekonomi yang cenderung otoriter. Kemajuan dalam bidang makroekonomi dan fisik kurang disertai dengan – bahkan mengorbankan -- kemajuan dalam bidang sosial-politik dan bidang sosial-budaya. Pembangunan disertai dengan peningkatan luar biasa utang nasional, dan sementara itu korupsi merebak di lingkungan kroni-kroni penguasa.

Reformasi Nasional pada tahun 1998 bermaksud mengisi kemerdekaan dengan melakukan perubahan-perubahan struktur dan proses kehidupan nasional sebelumnya. Krisis multidimensional yang bermula pada tahun 1997/1998 sedikit demi sedikit dapat diatasi. Setiap presiden – sejak Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnopoetri, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dan kini Presiden Joko Widodo – berupaya menjaga kemajuan bidang sosial-ekonomi sembari juga memperbaiki bidang sosial-politik dan sosial-budaya.

Terus Memaknai Kemerdekaan

Apakah Indonesia – dan kita masing-masing – benar-benar sudah merdeka? Inilah pertanyaan reflektif yang sering dilontarkan. Para pemikir membedakan dua macam kemerdekaan (kebebasan, freedom, liberty), yaitu “kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif” dan “kemerdekaan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif”. Freedom from bersifat dari luar ke dalam (outside in), sedangkan freedom to bersifat inside out (dari dalam ke luar).

Kemerdekaan dari (freedom from) hal-hal negatif-lah yang sering disorot pada tataran publik. Sebagai contoh, apakah kita sudah merdeka dari kemiskinan? Jawabannya barangkali tidak hitam-putih. Lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi trend peningkatan HDI dari tahun ke tahun sejak tahun 1990 hingga kini walaupun masih di bawah rata-rata dunia maupun rata-rata Asia Pasifik. Tentu saja HDI perlu dilihat secara lebih rinci, dan ini pun perlu dilengkapi dengan indikator-indikator lain. Contoh lain, apakah kita sudah merdeka dari korupsi? Jawabannya barangkali lebih baik bila kita antara lain melihat Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index, CPI) Indonesia dari waktu ke waktu. Memang terjadi persepsi yang lebih baik terhadap upaya pemeberantasan korupsi di Indonesia. Tentu saja jalan menuju kemerdekaan dari korupsi masih sangat terjal.

Kemerdekan untuk (freedom to) melakukan hal-hal positif lebih bersifat privat/individual. Terutama anak-anak memang hendaknya memperoleh freedom from hal-hal negatif dengan derajat yang tinggi. Seiring dengan usia seseorang, hendaknya dia mampu mengembangkan freedom to melakukan hal-hal positif. Semakin dewasa seseorang, hendaknya semakin mampu pula dia proaktif dalam menentukan arah hidupnya dan berkontribusi kepada orang-orang di sekitarnya. Inilah pentingnya budaya dan edukasi. Budaya dan edukasi yang bagus akan mendorong seseorang mengembangkan freedom to.

Adakah manusia yang benar-benar merdeka? Apa pun situasinya, tanpa perlu menuntut kondisi apa pun, batin manusia semacam itu selalu merdeka untuk bersikap proaktif, untuk menentukan pilihan. Manusia semacam itu tidak menuntut syarat ini-itu untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, untuk berkontribusi demi kebaikan bersama. Barangkali itulah manusia yang telah mengalami pencerahan.

Selamat terus memaknai kemerdekaan. 

[MASALAH KITA] Refleksi 71 tahun HUT RI : Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Any Sulistyowati


Latar Belakang 

Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.


Pertanyaan-pertanyaan refleksi dalam survey ini terdiri atas beberapa bagian utama, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di berbagai bidang, ancaman yang dihadapi serta bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup dengan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.

Rangkuman Persepsi Responden tentang Tingkat Kemerdekaan Indonesia 


Menurut para responden, secara umum sampai saat ini Indonesia belum sepenuhnya merdeka di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ringkasan pendapat mereka dapat dilihat di grafik di bawah ini.


Secara keseluruhan hanya dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 100%, yaitu satu orang untuk bidang Agama dan satu orang untuk bidang seni dan budaya. Sebaliknya selalu ada responden yang menjawab Indonesia sama sekali belum merdeka (0% merdeka) di berbagai bidang, kecuali di bidang Seni dan Budaya tidak ada responden yang memilih Indonesia baru 0% merdeka. Di bidang-bidang lain, yang menjawab Indonesia masih 0% merdeka adalah di bidang Agama (tiga orang), Ekonomi (tiga orang), Kesehatan (dua orang), Lingkungan (dua orang), Pangan (satu orang), Pendidikan (dua orang), Perumahan (dua orang), Politik (satu orang), Sandang (dua orang), Sosial (satu orang) dan Teknologi (dua orang).


Jika di lihat di masing-masing bidang, maka di bidang Agama, hanya satu dari 25 orang yang menganggap Indonesia telah merdeka 100%. Sebaliknya tiga dari 25 orang menganggap belum merdeka sama sekali (0%). Sisanya tersebar dua orang menganggap telah merdeka 80%, delapan orang menganggap telah merdeka 60%, lima orang mengganggap telah merdeka 40% dan enam orang mengganggap telah merdeka 20%.


Di bidang Ekonomi, satu orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sembilan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan tiga orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Kesehatan, satu orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tujuh orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Lingkungan, tidak ada responden yang menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Mereka menjawab dengan komposisi sebagai berikut: empat orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka di bidang lingkungan, sembilan orang menjawab 40% merdeka, sepuluh orang menjawab 20% merdeka dan dua orang menjawab belum merdeka sama sekali. Seperti pada bidang Lingkungan, di bidang Pangan juga tidak ada responden yang menjawab Indonesia telah merdeka lebih dari 60%. Di bidang ini enam orang menjawab Indonesia telah 60% merdeka di bidang lingkungan, sepuluh orang menjawab 40% merdeka, delapan orang menjawab 20% merdeka dan satu orang menjawab belum merdeka sama sekali.


Di bidang Pendidikan, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Perumahan, tiga orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, tiga belas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Politik, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, satu orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, dua belas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan satu orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Sandang, empat orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sebelas orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, dua orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Seni dan Budaya, satu orang menganggap Indonesia telah sepenuhnya merdeka, lima orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, sepuluh orang menganggap Indonesia telah merdeka 40% dan tiga orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20%. Tidak ada yang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka di bidang Seni dan Budaya.


Di bidang Sosial, tiga orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, sembilan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, delapan orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, empat orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan satu orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Di bidang Teknologi, dua orang menganggap Indonesia telah merdeka 80%, enam orang mengganggap Indonesia telah merdeka 60%, tujuh orang menganggap Indonesia telah merdeka 40%, delapan orang mengganggap Indonesia telah merdeka 20% dan dua orang menganggap Indonesia sama sekali belum merdeka.


Persoalan-persoalan Seputar Kemerdekaan Indonesia 

Meskipun sudah secara resmi 71 tahun merdeka, Indonesia belum sepenuhnya dianggap merdeka oleh para responden. Ada banyak persoalan, tantangan dan ancaman yang dihadapi negeri ini untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Anilawati Nurwakhidin dari YPBB menyatakan bahwa sebenarnya secara status Indonesia memang merdeka, tapi ancaman datang dari berbagai sisi dan dari berbagai bidang. Masalahnya ancaman-ancaman ini seringkali tidak disadari. Sementara itu, Huyogo berpendapat bahwa merdeka sepenuhnya memang mungkin tidak ada. Masih banyak pengaruh dari luar. Kukuh Samudra dari Unit Tenis ITB berpendapat bahwa dalam hampir semua bidang, Indonesia masih dikendalikan oleh orang lain. Barangkali secara deklaratif, secara hukum Indonesia telah merdeka. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Melly Amalia dari KAIL dan YPBB bahwa persentase kemerdekaan Indonesia di segala bidang masih di bawah 80%. Indonesia masih banyak disetir atau diarahkan oleh pihak ketiga. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan masih dibutuhkan banyak waktu untuk merdeka pada berbagai bidang tersebut.

Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF ID berpendapat bahwa semua hal tersebut terkait, terutama budaya dan sistem, mempengaruhi kemerdekaan. Merdeka selayaknya dimulai sejak dari pikiran. Namun terkadang sistem yang langgeng membatasi hal tsb dan aksi-aksi manusia.

Pesa Pecong dari Front Api, Bandung, menganggap bahwa merdeka, atau yang disebut menjadi sebuah negara sendiri tidak merubah keadaan dari bentuk negara sebelumnya yaitu Hindia Belanda. Menumpuknya harta pada segelintir orang, institusi pendidikan hanya mencetak calon buruh untuk perusahaan, banyak rakyat yang tidak memiliki tanah, bahkan tanahnya dirampas negara, rakyat dibuat tak berdaya dan banyak terjadi perampasan-perampasan hak kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan aparatnya adalah bukti-bukti bahwa kemerdekaan belum dirasakan oleh rakyat Indonesia. Kukuh juga menekankan bahwa bentuk penjajahan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Indonesia saat ini tidak memiliki kepercayaan-diri (mental negara terjajah). Semua yang baik seolah-olah berasal bukan dari diri sendiri. Mental yang seperti ini pada akhirnya mempengaruhi sistem produksi yang pada akhirnya mempengaruhi kembali ke mental. Mulai dari pangan. Indonesia memiliki bahan pangan pokok beraneka macam. Tapi mengapa harus nasi dan kentang? Toh, keripik singkong pun jika diolah dengan benar tidak kalah rasanya. Sementara sandang, mengapa pakaian dari Bandung atau kota sentra garmen perlu melewati benua biru sekedar untuk mendapatkan label garis-tiga atau centrang?

Seperti Kukuh, Navita K.Astuti dari KAIL juga mengungkapkan salah satu bentuk ketidakmerdekaan dari aspek pangan yaitu tidak merdeka dari jenis pangan sehat dan bergizi. Orang-orang termakan (terjajah) oleh trend masa kini, seperti makanan instan maupun makanan cepat saji. Sementara untuk sandang, tampak pola konsumtif orang saat berbelanja baju. Mereka masih terjajah oleh pandangan, misalnya, harus membeli baju baru saat lebaran.

Menurut Ajat Sutarja (Mang Ayut), pemerintah masih berpihak pada korporasi-korporasi dibanding pada kepentingan hajat hidup rakyat yang sejati, kurang mendukung sektor produksi ekonomi lemah dan menengah terbukti dengan lebih banyaknya import barang-barang jadi.

Abrori dari Turun Tangan, Bandung, juga memberi catatan mengenai produk pangan impor. Sebetulnya bukan kita tidak mampu menghasilkan produk-produk pangan yang baik, hingga pemerintah mengambil langkah impor. Dalam beberapa hal, tentu memang baik impor sesuatu. Tapi apa betul hasil produksi terbaik kita memang mandul sehingga harus impor ataukah hasil produksi terbaik kita belum terjaga dengan baik? Sehingga podusen pangan kita lebih memilih mendistribusikannya ke luar daripada mengutamakannya untuk distribusi dalam negeri? Sejauh apa evalusi yang dilakukan pemerintah? Kita bahkan tidak pernah tahu sejauh apa daya kita dalam memberi makan bangsa sendiri. Kita tidak bisa merdeka sepenuhnya sebelum upaya dalam memproduksi pangan untuk bangsa sendiri dilakukan dengan semaksimal mungkin. Melakukan riset-riset dan menciptakan kualitas-kualitas unggulan untuk diutamakan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Selain pangan dan sandang, ketidak merdekaan juga terjadi dalam pelayanan kesehatan dan berbagai bidang sosial. Abrori menyatakan bahwa semua sangat terpengaruh oleh politik. 'Parapelaku' politik kepentingan selalu berbicara mengatasnamakan rakyat. Korupsi ketika mengurusi berbagai 'proyek untuk rakyat', dampaknya ialah pandangan sini masyarakat terhadap segala perbaikan yg dilakukan oleh pemerintah. Baik infrastruktur, atau apa pun. Masyarakat seolah diutamakan, padahal nyatanya 'sinisitas' mereka semakin beranggapan bahwa mereka semakin ditinggalkan oleh keputusan-keputusan yang mengutamakan rakyat.

Wisnu dari Bandung menyatakan bahwa masalah terbesar adalah masalah pendidikan. Abrori menyoroti layanan pendidikan yang semakin komersil. Sektor pendidikan yang semula menjadi andalan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan ternyata menjadi sumber kesenjangan sosial. Yang kaya dapat mengakses pendidikan yang bagus dan mahal, sementara si miskin cukup puas dengan pendidikan ala kadarnya. Pendidikan menjadi sumber pengelompokkan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi. Belum lagi pendidikan menjadi ajang adu gengsi antar orang tua atau menjadi tempat bagi para guru untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sekolah menjadi bentuk penjajahan baru, di mana orang tua dan murid terjajah oleh harga pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah. Abrori juga menyoroti soal teknologi. Ia mempertanyakan, sejauh apa pemerintah berani mengambil risiko memberi modal pada developer-developer dalam negeri, memberikan keleluasaan dan memfasilitasi para ahli dengan fasilitas yang tidak setengah-setengah, serta mewadahi paraahli untuk mencurahkan ide dan kreasi mereka. Ia melihat bahwa sejauh ini teknologi kita didominasi oleh produsen asing. Produksi dalam negeri sepertinya sulit sekali menghasilkan sesuatu. Proses birokrasi, tes uji kelayakan, surat izin edar, dan langkah-langkah lain nampaknya dirasa menyusahkan. Apalagi kadang terdengar selintingan yang melibatkan perut-perut profesi lain yang terancam terambil pangsa pasarnya.

Ancaman-ancaman terhadap Kemerdekaan Indonesia


Ancaman yang dirasa paling besar saat ini adalah kesenjangan antara yang kaya dan miskin (dipilih oleh 17 orang) dan Perubahan Hutan menjadi Perkebunan Sawit (dipilih oleh 15 orang). Ancaman yang dirasa cukup besar, yaitu dipilih oleh 12 orang adalah Putus Sekolah dan Buta Huruf serta Polusi Udara dan Air. Diikuti dengan rawan Pangan yang dipilih oleh sebelas responden. Sembilan orang memilih Konflik antar Suku, Etnis dan Agama serta Bencana Alam terkait Perubahan Iklim sebagai ancaman utama. Sementara Kekisruhan Politik dalam negeri dipilih oleh delapan orang. Ketergantungan pada Gadget dan Intrusi Budaya barat di kalangan kaum muda dipilih oleh tujuh orang sebagai ancaman utama terhadap kemerdekaan Indonesia.

Lima orang menganggap Menumpuknya Sampah di TPA sebagai ancaman terhadap kemerdekaan, disusul ancaman-ancaman yang dipilih oleh empat orang adalah Penjarahan hasil Laut Indonesia oleh kapal asing, Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah serta Meningkatnya Jumlah rakyat Miskin di Perkotaan. Sisanya beragam ancaman dipilih oleh satu sampai tiga orang dengan total 12 pilihan.

Bagaimana Cara Mengatasi Ancaman-Ancaman terhadap Kemerdekaan? Debby Josephine dari Rumput Kecil menyatakan bahwa mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan bagaikan mencari cara untuk membangunkan orang yang pura-pura tidur. Anilawati dari YPBB berpendapat bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut, kita perlu mempelajari dan menyadari masalah-masalahnya dan mulai memecahkannya sedikit demi sedikit. Sementara Pesa Pecong dari Front API berpendapat bahwa Rakyat harus bergerak untuk melawan; Abrori menambahkan pentingnya gotong-royong untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Navita Kristi Astuti dari KAIL menyatakan bahwa untuk membangun Indonesia diperlukan niat baik dan saling percaya satu sama lain baik dalam komunitas kecil RT/RW maupun dalam lingkup besar kabupaten, provinsi hingga lingkup negara. Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong menyatakan pengakuan terhadap keragaman dan penghargaan terhadap potensi lokal sangat penting untuk mengatasi ancaman-ancaman di atas.

Menurut Fransiska Damarratri dari ASF-ID, cara mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan perlu dimulai dari pendidikan. Aksi-aksi tersebut perlu digerakkan secara merata, di desa dan di perkotaan. Aksi dan pendidikan harus diorganisasi, dicatat, dikombinasikan. Literasi bangsa sangatlah rendah saat ini. Bangsa yang tidak membaca bisa jadi tidak berpikir - secara merdeka. Senada dengan Siska, Melly Amalia dari KAIL dan YPBB menyatakan perlunya upaya terus menerus untuk melakukan edukasi lewat penyuluhan dan pelatihan. Juga kampanye ke berbagai lini masyarakat dengan perubahan paradigma yang tepat. Ia berharap masyarakat Indonesia bisa mandiri, kreatif, berkarya dan bekerjasama (kolaborasi) lewat komunitas-komunitas terkecil.

Masih di bidang pendidikan, Wisnu menyatakan pentingnya perubahan sistem pendidikan dasar. Dhika Pranastyasih dari Yahintara dan Yayasan Sadagori Indonesia menekankan pentingnya edukasi sejak dini dalam keluarga. Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung menyatakan bahwa untuk mengatasi ancaman-ancaman di atas pendidikan harus diperbaiki secara mendasar. Ia menyatakan bahwa selama ini pendidikan yang berkembang di Indonesia tidak membebaskan. Krisna berpendapat bahwa pendidikan yang perlu dikembangkan adalah mengedepankan pemakaian nalar. Tien Widyaningrum dari WSDK, Bandung menganggap perlunya pendidikan dan berbagai media untuk menguatkan konsep tentang Indonesia pada diri masing-masing.

Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya investasi dan perombakan besar-besaran di bidang pendidikan dan penegakan hukum. Ia menyatakan bahwa selama ini penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal yang sama ditekankan oleh Abrori dari Turun Tangan Bandung. Ia menyatakan perlunya penegakkan hukum yang sangat tegas untuk mengatasi ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan. Ajat Sutarja (Mang Ayut) dari Bandung menyatakan vahwa untuk mengatasi lemahnya penegakkan hukum di segala sektor, maka sangat penting kesadaran masyarakat dan pemerintah terutama penegak hukum untuk berbuat yang terbaik dari lingkup terkecil

Selain penegakan hukum, Willy Hanafi menekankan perlunya peningkatan pemahaman masyarakat akan haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan. Mang Ayut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara kota dan desa serta Jawa dan luar Jawa masih menjadi masalah yang sangat penting di era kemerdekaan ini. Willy merasa prihatin akan banyaknya investasi modal besar yang datang ke Indonesia yang tidak di imbangi oleh niat baik pemerintah untuk mendapatkan akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Raden Rhea dari LISES UNPAD mengatakan bahwa hal yang paling mengancam kemerdekaan Indonesia adalah yang terkait ketersediaan bahan pokok. Ia meyakini bahwa jika masalah sandang pangan papan dan pendidikan sudah terpenuhi, masalah lain bisa teratasi. Seandainya rakyat sudah berpendidikan dan kebutuhan pokok mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak memiliki emosi negatif yang biasanya disalurkan dgn pergaulan bebas, atau mabok-mabokan yang berujung pada bentrok antar kelompok. Untuk menjawab hal tersebut Abrori dari Turun Tangan Bandung menyatakan bahwa Indonesia harus berdikari. Hal ini akan memunculkan kepercayaan diri bangsa. Ia berpendapat bahwa selama ini Indonesia sudah dijajah oleh Neo-kolonialisme. Hanya kita yang tidak sadar dan sudah terlanjur nyaman dengan kondisi yang terlalaikan ini. Untuk keluar dari situasi ini, dibutuhkan peran yang serius dari dua belah pihak; pemerintah dan pergerakan masyarakat. Tidak bisa jalan hanya salah satunya saja. Kita perlu mengembalikan integritas bangsa, barulah bisa merdeka. Indonesia harus berupaya semaksimal mungkin agar bisa berdikari dan berkedaulatan rakyat. Tentunya dengan mengesampingkan perut sendiri dan mengutamakan kemaslahatan umat.

Mendukung hal tersebut, Huyogo dari AJI Bandung menyatakan perlunya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bukan pemalas agar dapat mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Raden Rhea dari LISES UNPAD, Bandung, menekankan mandiri pangan, jaga lingkungan dan bijak pengelolaan sumberdaya manusia sebagai hal-hal penting untuk mengatasi ancaman terhadap kemerdekaan.

Selain itu Shintia Arwida dari CIFOR menyatakan perlunya perubahan sistem ekonomi dan pertanian yang lebih berdaya ke dalam. Untuk itu, Daniel Mangoting dari Koperasi Lestari menekankan pentingnya pembangunan gerakan di tingkat komunitas. Ia menyatakan bahwa Indonesia ini masih setengah merdeka karena masih jauh dari maju dan berdaulat.

Dewi Amelia melihat bahwa telah terjadi pelaksanaan kebijakan neoliberal di dalam negeri dan semakin berkembangnya monopoli dan perampasan tanah rakyat. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan reforma agraria sejati dan pembangunan industri dasar nasional.

Ismail Agung menekankan pentingnya pemimpin yang baik dan rakyat yang baik di dalam upaya mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Muhammad Habibullah dari ITB menyatakan bahwa salah satu bentuk konkret yang perlu dilakukan adalah menghapus budaya korupsi di pemerintahan. Hal senada disampaikan oleh Abrori dari Turun Tangan Bandung yang menekankan pentingnya Pembasmian hama-hama koruptor dan mafia peradilan. Krisna berpendapat contoh konkretnya adalah penghapusan Departemen Agama.

Dari aspek Bahasa dan Budaya, Ismail Agung menekankan minimnya kesadaran generasi muda terhadap integritas bangsa. Selain itu, Huyogo dan Dhika juga mencatat bahwa kepercayaan diri pada identitas bangsa mulai hilang, khususnya di kalangan generasi muda. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Habibullah bahwa bangsa kita belum punya rasa memiliki bangsanya sendiri. Untuk itu, Abrori menyatakan perlunya mengembalikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan tanpa ada embel-embel Bahasa Inggris karena dinilai lebih modern dan kekinian oleh anak muda. Kontrol dari pemerintah terhadap media pemberitaan dan hiburan terutama televisi juga diperlukan. Selain itu perlu dihidupkan kembali kegiatan-kegiatan pesta rakyat.

Selain bidang-bidang di atas, Kukuh Samudra dari unit Tenis ITB menyatakan bahwa Indonesia juga perlu mengembangkan olah raga. Melalui olah raga, Indonesia dapat mengembangkan kesehatan fisik rakyatnya. Selain untuk mencari sehat atau mencari kesegaran tubuh dan jiwa. lebih jauh lagi, olahraga adalah juga dapat menjadi kebanggaan. Misalnya di masa lalu, konon, Indonesia terkenal karena tiga hal, yaitu: Sukarno, Bali dan Bulutangkis. Indonesia juga pernah begitu perkasa di level Asia Tenggara bahkan tingkat Asia. Sayangnya hal tersebut tidak lagi terjadi di masa kini. Padahal hal-hal tersebut bisa menjadi sumber kebanggaan menjadi orang Indonesia.

Lepas dari berbagai ancaman yang dihadapi kemerdekaan Indonesia, Krisna menekankan bahwa Indonesia masih perlu bersyukur melihat peluang hidup di Indonesia. Potensi Indonesia sangat luar biasa, yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Untuk itu, marilah kita peringati hari ulang tahun RI ke 71 ini dengan penuh rasa syukur, sambil tak lupa menyiapkan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati !

***

[OPINI] Aktivis Sebagai Pelaku Gerakan Sosial

Oleh: Dadan Ramdan

Merdeka atau mati adalah jargon bersama yang menyemangati, disuarakan, ditulis di tembok-tembok rumah, kantor pemerintahan, pagar dan kain bekas yang usang oleh kaum muda yang belum mengenal istilah aktivis atau aktivisme. Mereka bergerak dan berjuang atas kesadaran pada keadaan penindasan penjajahan pemerintah Hindia Belanda di tanah Nusantara.

Kaum muda tanpa membedakan status sosial terus berjuang tanpa pamrih dengan visi, keterampilan, tenaga, keringat, darah, penjara hingga nyawa demi sebuah kehormatan “terbebas” dari penindasan sistem sosial, ekonomi dan politik kolonial Belanda masa itu. Hingga akhirnya, kemerdekaan politik dapat diraih dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Sukarno-Hatta tahun 1945.

Kemerdekaan politik memang diraih, terbebas dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, negara dan bangsa Indonesia terbentuk, sistem pemerintahan dibangun dengan fondasi konstitusi negara Republik Indonesia. Namun, hingga usia kemerdekaan Indonesia menginjak 71 tahun, kemerdekaan sejati sebenarnya belum diperoleh sepenuhnya. Bangsa Indonesia sejatinya belum merdeka sejak kemerdekaan itu sendiri diproklamasikan.

Belum Merdeka

Merekam sejarah dan fakta yang ada, dari tahun 1945 hingga sekarang, bangsa ini masih terjajah, bangsa ini tetap menjadi budak di tanahnya sendiri, menjadi boneka dari kekuasaan modal dan sistem sosial dan politik pemerintahan yang tidak adil. Sistem modern yang tidak memerdekaan bangsanya. Sistem ekonomi politik yang menghamba pada kekuasaan modal global dari imperialis modern yang melestarikan sistem oligarki kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

Merdeka yang sejati adalah terbangunnya sistem sosial, ekonomi dan politik yang memastikan keadilan bersama dalam kehidupan bersama baik di komunitas dan sistem masyarakat dalam organisasi negara dicapai. Merdeka ketika setiap individu tidak berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri, tapi mau berbagi dan berkontribusi untuk orang lain komunitas dan masyarakat luas tanpa paksaan dan tekanan siapapun, sehingga terbangun sistem dan tatanan kehidupan bersama yang adil dan makmur dalam berbagai skala kehidupan.

Dalam kehidupan sosial yang berada dalam cengkeraman sistem sosial, ekonomi dan politik negara yang melanggengkan oligarki kekuasaan era modern saat ini, peran dan posisi individu aktivis (istilah ini baru muncul tahun 80-an) menjadi penting, karena tidak semua orang kemudian mau memposisikan dan memerankan sebagai aktivis. Individu aktivis adalah pelaku gerakan sosial, bukan hanya sekedar pengrajin sosial. Inilah yang bisa kita pelajari, dari aktivis era kolonial.

Peran aktivis dalam perubahan sosial Belajar dari sejarah bangsa ini, dalam konteks merawat visi perubahan sosial untuk kehidupan bersama, setiap individu aktivis sebagai pelaku perubahan atau gerakan sosial bisa memerankan peran diantaranya:
a. Organizer
Sebagai organizer, individu aktivis bisa melakukan kerja perubahan sosial seperti mengorganisir rakyat, bersama rakyat membangun basis produksi (kekuatan ekonomi) sebagai alternative sekaligus antitesa dari sistem sosial dan ekonomi saat ini serta membangun agen dan kader-kader perubahan sosial ke depan untuk melestarikan gerakan sosial itu sendiri.

b. Media Maker
Seorang aktivis harus memerankan kerja media maker seperti menyuarakan kepentingan-kepentingan kaum marjinal/tersisihkan, mempromosikan praktik-praktik baik komunitas, mengembangkan dan menyebarluaskannya kepada individu, komunitas di wilayah lain. Seorang aktivis mampu menyampaikan gagasan-gagasan /ide dan karya-karya kepada fungsionaris negara seperti kepala desa, bupati/walikota, gubernur dan presiden serta parlemen.

c. Leader
Seorang aktivis bisa memerankan sebagai leader, sebagai pemimpin yang memiliki kemampuan dan keterampilan mengerakkan massa dan membawa ide serta gagasan perbaikan dalam ruang-ruang politik. Sebagai leader, seorang aktivis memang dituntut menjadi tauladan bagi komunitas/massa. Dalam konteks sosial politik kekinian, aktivis yang matang secara ekonomi dan memiliki keterampilan politik berani merebut ruang-ruang politik yang ada.

Perubahan yang terjadi

Belajar dari sejarah dan pengalaman yang ada, memang ada dampak dari kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh aktivis. Ada kencenderungan, saat ini komunitas-komunitas dan organisasi rakyat tumbuh subur terutama di isu lingkungan baik di perkotaan dan perdesaan. Namun, keberadaan komunitas dan organsisasi rakyat yang ada belum sepenuhnya bisa membawa perubahan tatanan sistem sosial yang lebih luas dan perbaikan kebijakan negara.

Dari kondisi objektif, dalam situasi sekarang yang semakin kompleks, memang tidak mudah kita mengubah keadaan sosial yang terjadi. Apalagi sistem politik pemerintahan di negara ini juga belum memberikan ruang yang luas bagi terakomodasinya ide-ide perbaikan kehidupan sosial dalam tatanan politik yang menjamin keadilan dan kehidupan bersama.

Kemudian dari kondisi subjektif, khususnya kapasitas aktivis. Walaupun saat ini, aktivis masih ada yang terus bekerja untuk perubahan sosial, bekerja di akar rumput/basis massa dan komunitas dan mampu beradaptasi dengan perkembangan keadaan yang ada, namun, belajar dari pengalaman masih terdapat kelemahan aktivis saat ini. Kelemahan ini menunjukan bahwa aktivis sejatinya belum merdeka. Kelemahan aktivis bisa dijelaskan sebagai berikut :

Tantangan saat ini

Tentu situasi kekinian sangat berbeda dengan situasi dulu, masa kolonial, masa orde baru walaupun sistem ekonomi politiknya tidak berubah. Keadaan sosial yang dihadapi pelaku gerakan sosial saat ini dengan di masa lalu jauh berbeda. Perkembangan pengetahuan, teknologi dan media informasi sangat mempengaruhi kehidupan kita, dalam komunitas, masyarakat, pengusaha dan fungsionaris negara.

Perkembangan teknologi dan media telah mampu mengubah sikap, perilaku dan tindakan individu, komunitas dan masyarakat, apalagi di masyarakat perkotaan. Pilihan-pilihan hidup bukan lagi pilihan bersama atas dasar kebutuhan bersama. Namun sudah ditentukan oleh iklan di media massa baik cetak dan elektronik, Saat ini, kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang individualis, konsumtif, Ini menjadi tantangan bagi aktivis yang harus dihadapi tanpa harus segera menyerah. Para aktivis pada akhirnya harus memiliki kemampuan lebih untuk menjawab tantangan kehidupan sosial saat ini.

Aktivis ke depan

Berefleksi dari sejarah, kenyataan objektif, subjektif dan tantangan yang terjadi, pertama harus terbangun kesadaran bahwa aktivis adalah pelaku perubahan/gerakan sosial transformatif. Kedua, sebagai subjek perubahan transformatif maka harus ada perbaikan kualitas aktivis. Minimalnya, ada tiga kualitas kemampuan aktivis merdeka yang perlu dibenahi yaitu kemampuan sosial dan ekonomi, kemampuan teknologi dan kemampuan memproduksi karya secara merdeka, mandiri, kreatif dan inovatif.

Pada akhirnya memang kita perlu menjawab dan berani menjawab dan meminimalkan kekurangan-kekurangan aktivis itu sendiri. Aktivis ke depan harus terus belajar dari keberhasilan aktivis lain, mengasah kemampuan dan pengalaman dengan telaten. Jika kita mampu menjawab kekurangan-kekurangan tersebut maka kapasitas aktivispun akan semakin meningkat dan teruji. Sebangun perubahan kapasitas, aktivis pun secara transpormatif mampu mengubah dirinnya dan keadaan sosial sehingga tatanan kehidupan bersama yang merdeka dapat diraih.

Sumber: indocropcircles.wordpress.com


[OPINI] Kegiatan-kegiatan Pengisi Kemerdekaan

Oleh: Any Sulistyowati

Pada tanggal 17 Agustus tahun 2016 ini, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 71. Jika melihat realitas Indonesia saat ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan. Banyak hal yang masih perlu dibenahi agar kemerdekaan sejati dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pilihan kegiatan yang dilakukan oleh para responden Pro:aktif Online, mengapa kegiatan-kegiatan tersebut mereka pilih untuk mengisi kemerdekaan serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mengisi kemerdekaan tersebut.

Kegiatan-kegiatan untuk Mengisi Kemerdekaan 

Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF-ID, arsitek lulusan UGM memilih mengambil jalan yang mungkin berbeda dari arus utama kebanyakan arsitek. Ketimbang bekerja di Biro Arsitek yang melayani kepentingan pemilik modal, ia memilih bekerja dan merintis sebuah NGO di bidang Arsitektur. Ia merasa ada yang tidak pas/baik di pendidikan dan praktek profesi arsitektur, yang terkait dengan semua sistem. Ia berpendapat bahwa perubahan bisa dimulai dari aksi dan pendidikan.

Kukuh Samudra (Kukuh) dari Unit Tenis ITB merasa bahwa sejauh ini belum ada yang dapat ia banggakan dalam mengisi kemerdekaan. Tetapi kalau secara subyektif mungkin satu hal yang dapat ia banggakan sebagai mahasiswa adalah bahwa ia sudah mulai berusaha sendiri dalam bentuk menjual buku, meskipun modal masih dari orang tua.
Baginya ini merupakan sebuah langkah untuk menjadi mandiri. Sebuah awal untuk melakukan hal-hal yang lebih besar ketika ia pulang kembali ke kampung halamannya, Karang Anyar. Ia ingin membangun lapangan tenis, usaha pertanian, tempat pertunjukan di sana. Tiga hal yang menurutnya merupakan potensi besar Karang Anyar, tetapi selama ini seakan diabaikan, terutama oleh pemerintah. Menurut Kukuh, tidak banyak orang mau pulang ke Karang Anyar lagi. Ia merasa yang dicari dari jalur usaha dan perdagangan ini adalah kunci untuk mewujudkan impiannya. Tujuannya bukanlah sekedar uang tetapi sumberdaya, semacam pengetahuan, relasi dan mental, tiga hal yang sangat ia butuhkan. Ia juga merasa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukanlah jalan yang ingin ia pilih. Selain terhalang kebebasan berpikir, hidup terkekang dan tidak bisa menjadi kaya, ia melihat tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh PNS. Menurut Kukuh, ide-idenya seringkali dianggap aneh. Untuk sebuah ide yang 'liar', masyarakat cenderung lebih memilih untuk cari aman. Kecuali, ide liar tersebut dapat terlaksana baik dalam waktu yang singkat. Sebuah ide liar (meskipun mungkin benar) susah untuk tetap menyala tanpa diasah. Dalam mengasah yang dibutuhkan adalah kawan yang sepaham, yang bisa diajak untuk berdialog dan diskusi. Secara garis besar mungkin ide sudah 'benar'. Tapi, sekali lagi, lingkungan pun butuh yang praktis.

Melly Amalia (Melly) dari KAIL dan YPBB ingin mengisi kemerdekaan dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan isu sosial, lingkungan, dan anak. Misalnya dampingan masyarakat, berkebun di lahan sendiri, pengelolaan sampah skala kecil, menemani anak bermain, dll. Ia merasa senang bila apa yang ia lakukan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Ia juga menikmati apa yang ia lakukan dan menemukan kedamaian.

Navita K. Astuti (Vita) mengisi masa mudanya dengan mendampingi para pengungsi di Timor untuk mengambil keputusan bagi diri mereka sendiri. Ia ingin melihat orang lain berdaya. Saat ini Vita bekerja di KAIL di Bandung.

Shelly Asmauliyah dari WALHI Jawa Barat melakukan sesuatu dari hal terkecil yang bisa dilakukan, contohnya membangun dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. Menurut Shelly, keluarga yang ideal adalah keluarga yang tetap pada ajaran agama dan selaras dengan alam. Ia meyakini bahwa semua perubahan berawal dari yang kecil.

Shintia Arwida (Shintia), peneliti dari CIFOR, sebuah lembaga penelitian internasional yang berkantor di Bogor, ingin menyumbangkan hasil penelitian kepada pengambil kebijakan. Ia tidak ingin hasil penelitian hanya tinggal sebagai tumpukan kertas tidak berguna. Hal ini terjadi karena organisasi tempat Shintia bekerja adalah organisasi internasional. Rasa nasionalisme mungkin tidak menjadi perhatian dari organisasi tersebut. Ia merasakan kurangnya dukungan dari supervisor dan tidak adanya penghargaan yang proper terhadap upaya advokasi yang sudah dilaksanakan kadang membuat semangat kerja menurun.

Krisna mengisi kemerdekaan dengan berkegiatan di Palang Merah. Ia menjadi relawan ke tempat bencana dan relawan di tempat asal. Ia juga melakukan Pendidikan Korps Palang Merah dan adventure education kepada adik angkatan. Ia melakukan semua itu karena ingin bersama teman-teman. Dhika Pranastyasih dari Yasintara dan Yayasan Sadagori Indonesia mengisi kemerdekaan dengan berbagi ilmu, ide, tenaga dan tawa. Bagi Dhika melakukan hal-hal tersebut menyenangkan. Ia juga meyakini bahwa kegiatannya bisa jadi sederhana, tapi jika dilakukan dengan hati dan secara konsisten bisa memberi dampak tidak terduga.

Ivan Sumantri Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan, Bandar Lampung, mengisi kemerdekaan dengan belajar bersama guru-guru PAUD tentang teknik bercerita/mendongeng. Ia meyakini bahwa kegiatan tersebut penting untuk kemajuan pendidikan pada level usia dini.

Bukik Setiawan dari Kampus Guru CIKAL, Serpong, ingin memberikan kado merdeka buat Indonesia. Ia suka saja melakukannya.

Abrori dari Turun Tangan, Bandung, mengisi kemerdekaan dengan cara turun tangan dalam pelestarian budaya. Ia merasa bahwa dalam budaya, bersingungan dengan aspek-aspek seperti pendidikan, sosial, nilai seni, sejarah, dan tinjauan moralitas bangsa. Menurut Abrori, melalui budaya, kita bisa secara bertahap sedikit-sedikit ikut mensosialisasikan apa yang bisa kita lakukan dalam pembangunan bangsa ini.

Ajat Sutarja (Mang Ayut) ingin mengisi kemerdekaan dengan berperan dalam pelestarian lingkungan terutama satwa liar melalui lembaga nir laba maupun penelitian. Ia melakukannya karena sesuai dengan bidang pendidikan. Ketika melakukan hal tersebut, ia merasa bahwa lembaga pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan dan lembaga penegak hukum kurang memberikan dukungan dalam upaya pelestarian satwa liar dan menindak para pelanggar.

Bagi Raden Rhea ber-Islam dan ber-Sunda merupakan suatu kemerdekaan karena ia dapat dengan bebas mempelajari akar budaya dan agama dan mengekspresikannya. Untuk membalas hak yang didapatkan tersebut, ia senang ikut kegiatan volunteer untuk membantu orang lain dan negara. Secara konkret ia mengikuti ekspedisi NKRI, berlatih tari tradisional, menjadi wartawan lokal, dan mempraktekkan menjadi islam bukan sekedar KTP.

Wisnu dari Bandung berpendapat bahwa apabila Indonesia sudah benar-benar merdeka, maka kita akan bebas dari masalah-masalah pelik yang terjadi saat ini. Seharusnya kemerdekaan bisa dirasakan setiap hari, bukan hanya sekali setahun. Apabila itu sudah terjadi, maka tidak ada lagi yang perlu dilakukan.

Dewi Amelia dari Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) ingin mengisi kemerdekaan dengan melakukan pengorganisasian perempuan. Ia ingin membangkitkan kesadaran perempuan agar berdaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya.

Willy Hanafi dari LBH Bandung mengisi kemerdekaan dengan melakukan penguatan masyarakat dalam pemahaman atas hak warga negara dan hukum serta hak asasi manusia. Hal ini ia lakukan karena keprihatinannya akan kurangnya pengetahuan masyarakat atas hak sebagai warga negara. Ia mengatakan tantangan terbesar untuk kegiatan yang ia lakukan adalah kurangnya keterlibatan pemerintah dalam peningkatan pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai warga negara Dari Front Api, Bandung, Pesa Pecong mengisi kemerdekaan dengan berusaha memerdekakan orang lain, membuat orang berdaya sehingga mampu merebut haknya kembali dan membangun ekonomi mandiri. Hal ini ia lakukan untuk masa depan anak cucu saya yang lebih baik. Untuk dapat melakukan hal tersebut seringkali ia harus tetap pada jalan yang sudah dipilih, dengan tidak menghiraukan apa kata orang lain.

Rezza Estily dari AJI Bandung mengisi kemerdekaan dengan membuat multimedia story foto dan video mengenai kehidupan kaum urban.

Anilawati Nurwakhidin dari YPBB gemar melakukan kegiatan yang menyenangkan berbonus menyebar semangat perubahan ke teman-teman lainnya (semangat perubahan dalam kegiatan pengelolaan sampah, berbagi lewat menulis dan lain-lain). Semua itu dilakukannya karena aneka kegiatan itu menyenangkan pada banyak sisi.

Debby Josephine mengisi kemerdekaan dengan berkegiatan membuat dongeng di Rumput Kecil. Ia ingin semua orang dapat mengakses dongeng anak secara bebas. Ia juga berkegiatan di Rumah Kail, pusat pembelajarannya sebagai aktivis. Di situ ia dapat merefleksikan bagaimana semesta terkoneksi dengannya. Tidak semua orang dapat merasakan kemewahan ini. Ia merasa bangga karena ia dapat belajar dari orang-orang hebat. Ia juga berkegiatan di CreativeNet. Ia bangga karena dapat menyentuh langsung berbagai komunitas dan melihat perjuangan mereka untuk sebuah perubahan. Alasannya, ketika mengerjakan semua itu, ia merasa damai dan tenteram.

Di Bogor, Ismail Agung dari Inisiasi Alam Rehabilitasi, mengisi kemerdekaan dengan memberikan edukasi kepada generasi muda untuk menjaga satwa liar dan habitatnya. Hal ini sangat sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya.

Huyogo dari AJI Bandung bersedia melakukan apa aja, asalkan tidak merugikan negara untuk mengisi kemerdekaan. Menurutnya, bekerja akan mengurangi beban negara. Menurutnya, mungkin sekarang bukan saatnya mengisi kemerdekaan dengan melakukan perlawanan dengan bambu runcing. Lebih dibutuhkan untuk melakukan hal yang positif. Meskipun menghadapi banyak tantangan ia tetap berusaha untuk rileks saja. Tetap ikhlas walau pendapatannya pas pasan. Yang lebih penting baginya adalah kebahagiaan.

Tantangan dalam mengisi kemerdekaan 

Dalam mengisi kemerdekaan, ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para responden. Tantangan itu dapat berasal dari dalam dan luar diri mereka sendiri. Berikut ini adalah ringkasan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para responden dalam mengisi kemerdekaan. Kurangnya sumberdaya dan konsekuensi melawan mainstream adalah tantangan-tantangan yang paling banyak dipilih oleh para responden (12 orang), disusul dengan keterbatasan ketrampilan dan pengetahuan (11 orang).

Delapan orang memilih bahwa perjuangan yang mereka lakukan juga seringkali melelahkan dari sisi emosi merupakan tantangan besar dalam mengisi kemerdekaan. Tujuh orang menyebutkan penghasilan yang tidak mencukupi sebagai tantangan. Sementara enam orang menyebutkan kepercayaan diri dan kekompakan tim sebagai tantangan terbesar dalam mengisi kemerdekaan.

Kekurangan waktu juga disebutkan sebagai tantangan oleh lima orang responden, disusul dengan tidak disetujui oleh keluarga dekat, kepercayaan dari kelompok sasaran dan tidak adanya perubahan yang berarti padahal sudah bekerja keras disebut-sebut sebagai tantangan oleh masing-masing empat orang responden.

Tiga orang responden menyebutkan ancaman terhadap keselamatan pribadi dan tekanan dari penguasa sebagai tantangan terbesar dalam mengisi kemerdekaan. Sementara dua orang responden menulis dilema-dilema dalam menentukan pilihan terbaik sebagai tantangan terbesar.


Begitulah beberapa contoh kegiatan yang dilakukan oleh para responden untuk mengisi kemerdekaan dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Semoga membawa manfaat bagi perbaikan situasi bangsa ini menuju kemerdekaan sejati. Selamat HUT RI ke 71. Selamat menghasilkan karya-karya untuk membangun negeri.

***

[TIPS] Merdeka Dari Waktu

Oleh: Navita Kristi Astuti

Setiap orang mendambakan kemerdekaan atau kebebasan. Bebas dari segala hal yang mengekang tingkah laku, pendapat, maupun ekspresi diri sebagai manusia. Namun, ada beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali dianggap sepele, namun tanpa disadari, ia mampu mengekang kebebasan manusia. Salah satu faktor yang mampu mengekang kebebasan manusia tanpa disadari tersebut adalah : waktu.

Bagaimana mungkin manusia bisa terjajah oleh waktu? Mari kita simak cuplikan cerita berikut ini :

Suatu hari, Wendy mendapat tugas dari dosen untuk mengerjakan sebuah karya tulis sebanyak 50 halaman. Waktu pengerjaan karya tulis tersebut selama satu bulan. Dalam satu bulan itu, dosen mengizinkan setiap mahasiswa untuk menggali ide penulisan dengan cara wawancara lapangan maupun studi literatur untuk memperkaya isi karya tulis tersebut.Minggu pertama, Wendy berpikir, “Ah, baru juga minggu pertama, santai dulu saja, ah. Kan, tugasnya baru bulan depan dikumpul!”
Minggu kedua pun sama. Wendy belum bergeming memulai karya tulisnya.
Minggu ketiga, Wendy baru mulai bergerak mencari literatur maupun narasumber untuk diwawancara. Ternyata, literatur untuk karya tulisnya susah didapat. Narasumber yang ia hubungi juga sulit dihubungi.
Memasuki minggu keempat, Wendy mulai panik. Karya tulis yang dia garap baru mencapai seperempat dari target. Ia mulai gencar mengejar narasumber yang akhirnya berhasil ia temui. Ia bergadang selama satu minggu, dari pagi hingga larut malam mengerjakan karya tulis tersebut. Sampai akhirnya karya tulis tersebut dikumpulkan, Wendy merasa kurang puas, karena ia belum maksimal melakukan riset maupun wawancara terhadap narasumber.

Sesungguhnya, waktu adalah modal setiap orang. Waktu adalah kekayaan yang dapat menjadi anugerah bagi semua orang. Namun demikian, ketika manusia tidak menggunakan waktu yang ia miliki sebagaimana mestinya, maka waktu yang akan mengejar-ngejar manusia. Cerita di atas adalah contoh seseorang yang dikejar-kejar oleh waktu. Wendy dikejar waktu, yang disebabkan oleh penundaan yang ia lakukan sendiri.

Masalah yang sering terjadi adalah kebanyakan orang diperbudak oleh waktu. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia terseret oleh pergerakan waktu. Semua hal yang dilakukannya menjadi sangat tergantung kepada waktu. Itu disebabkan karena sebagian besar orang menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat, dibandingkan mengerjakan apa yang menjadi kewajiban mereka.

Beberapa orang tidak menempatkan prioritas kegiatan dalam skala waktu, sehingga seringkali waktu terbuang untuk kegiatan yang non-prioritas. Pada saat tiba mengerjakan kewajiban utama, mereka menjadi terburu-buru mengerjakannya.

Untuk melepaskan diri dari penjajahan waktu, maka berikut ini tips-tips yang dapat Anda ikuti.

Tips 1 : Kuasai waktu

Jangan biarkan waktu yang mengatur Anda. Sebaliknya, kuasailah waktu, dengan cara mengelolanya. Dengan mengelola waktu, Anda menempatkan rencana-rencana Anda ke dalam skala waktu pelaksanaan. Jadi, rencana tidak hanya sebatas rencana, tetapi juga sampai kepada target waktu pelaksanaan atau penyelesaian dari rencana tersebut. Ketika waktu pelaksanaan rencana itu tiba, lakukan rencana-rencana Anda dengan sungguh-sungguh. Setelah rencana itu selesai dilakukan, lakukan evaluasi atau refleksi atas kegiatan tersebut. Anda dapat melihat kembali, bagaimana perasaan Anda setelah rencana tersebut terlaksana, apakah yang harus diperbaiki dari kegiatan tersebut, apakah rencana tersebut telah terselesaikan seluruhnya atau memerlukan waktu tambahan. Dengan demikian, Anda menguasai waktu dan memaksimalkan rencana Anda hingga selesai. Jika Anda tidak menempatkan rencana Anda ke dalam skala waktu, Anda membiarkan diri Anda sendiri terhanyut oleh waktu.

Ada bermacam-macam cara setiap orang dalam mengelola waktunya setiap hari, seperti misalnya : menuliskan to-do lists setiap hari, membuat perencanaan dengan cara penentuan prioritas. Ada bermacam-macam pula alat (tools) yang digunakan untuk mengelola waktu. Ada yang menulis di buku agenda, ada yang membuat jadwal kegiatannya di papan atau kertas yang ditempelkan di dinding, ada pula yang menyimpan jadwal di gadget mereka.

Tips 2 : Memanfaatkan waktu

Waktu bersifat irreversible, tidak dapat diputar kembali. Waktu adalah sesuatu yang bergerak maju, tak pernah mundur. Oleh karena itu, manfaatkan waktu yang Anda miliki sebaik mungkin, untuk meraih setiap peluang yang ada, yang kemungkinan di masa depan tidak akan datang untuk kedua kalinya. Jangan buang waktu Anda dengan kegiatan yang tidak bermanfaat bagi perkembangan diri maupun orang lain. Orang yang memanfaatkan waktunya dengan hal-hal bermanfaat akan menjadi lebih ‘kaya’ dibanding mereka yang membuang waktu. Hal-hal yang dapat menambah manfaat pada Anda antara lain : membaca buku, berolahraga, menjalin waktu berkualitas dengan keluarga, menjalin kerjasama saling menguntungkan dengan orang lain. Ketika seseorang memanfaatkan waktunya untuk hal-hal berguna, maka ia lebih siap menghadapi tantangan atau persoalan yang menghadang dibandingkan orang yang tidak memanfaatkan waktu dengan hal-hal bermanfaat.

Tips 3 : Fokus pada proses yang berjalan

Waktu telah disediakan bagi kita untuk berproses bersama hal-hal yang kita kerjakan atau rencanakan. Namun, adakalanya orang tidak sabar pada proses yang berjalan, ingin serba instan. Maka ia tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya tanpa melihat kembali apakah hasil pekerjaannya sudah cukup layak dipertanggungjawabkan atau tidak. Pada kasus lain, ada orang yang justru membandingkan proses yang dijalaninya dengan proses yang dijalani oleh orang lain. Ia menyandarkan parameter keberhasilan dirinya pada keberhasilan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki bakat unik yang tidak dapat dibandingkan antara satu orang dengan yang lainnya. Jika diri Anda masih terpaku pada sikap-sikap tersebut, maka sikap-sikap tersebut justru akan semakin membuang waktu Anda. Anda menjadi tidak fokus pada kebaikan diri sendiri dan pada hal-hal yang Anda lakukan. Pada akhirnya, hasil pekerjaan Anda menjadi tidak maksimal.

Tips 4 : Percaya pada orang lain

Dalam setiap penyelesaian pekerjaan atau kegiatan yang Anda lakukan, Anda perlu mempercayai orang lain untuk membantu Anda. Anda tidak dapat melakukan semua hal sendirian. Hasil terbaik didapatkan dari kerjasama yang baik dan saling melengkapi, bukan dari kerja satu orang sendiri saja. Oleh karena itu, fokuslah pada bagian kegiatan di mana Anda bisa mengerjakan paling baik, sementara itu, delegasikanlah bagian lain dari kegiatan yang harus diselesaikan itu kepada orang lain yang memiliki kompetensi di bagian tersebut. Dengan bekerja bersama orang lain, Anda dapat menyelesaikan target-target Anda tanpa harus dikejar oleh waktu.

Tips 5 : Memaknai waktu

Ketika Anda telah berusaha sebaik mungkin menggunakan waktu untuk melaksanakan rencana maupun pekerjaan Anda, tetapi bila sesuatu terjadi, yang menyebabkan waktu penyelesaian pekerjaan menjadi mundur atau diperpanjang, Anda tidak perlu cemas atau gelisah. Jangan anggap diri Anda telah gagal mengelola waktu atau tidak becus melakukan pekerjaan tersebut. Anda perlu melihat peristiwa ini dengan sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi, Anda diberi kesempatan tambahan untuk mengasah keterampilan atau pengalaman Anda dengan lebih baik lagi, melalui perpanjangan waktu tersebut. Bisa jadi, saatnya memang belum tepat untuk menyelesaikan tugas-tugas Anda. Anda hanya perlu memaknai waktu yang telah Anda gunakan sebagai momen pembelajaran yang berharga untuk hidup Anda.

Waktu bisa menjadi teman atau lawan, tergantung pada bagaimana Anda memperlakukannya. Oleh karena itu, ariflah berproses bersama waktu. Atur dan manfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan demikian, waktu akan menjadi sarana yang mendukung perkembangan diri Anda menjadi lebih baik!

Sumber: www.albashiroh.net.jpg

[TIPS] Merdeka dari Belenggu Gadget

Oleh: Agustein Okamita

Gadget sering didefinisikan sebagai sebuah perangkat elektronik berukuran kecil yang memiliki kepintaran/kecanggihan tertentu. Saat ini, kata gadget diasosiasikan dengan smartphone, tablet, ipod, atau komputer berukuran kecil yang dapat dibawa ke mana-mana (mobile).

Abad ini dinamakan abad teknologi informasi dan komunikasi, karena semua teknologi yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi sedang berkembang dengan sangat pesat. Setiap detik bisa saja muncul gadget baru dengan fitur yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Di abad ini, pemanfaatan gadget juga semakin luas. Jika dulu gadget berupa telepon genggam hanya digunakan untuk komunikasi dan permainan sederhana, sekarang kegunaan gadget sudah sangat bervariasi. Selain sebagai alat komunikasi, gadget juga berguna untuk membantu dalam pekerjaan, mencari informasi, hiburan, dan permainan. Jika sepuluh tahun yang lalu penggunanya terbatas pada orang-orang di perkantoran dan kota besar, dengan perkembangan teknologi penyedia jasa jaringan, saat ini semua kalangan di seluruh dunia dapat menggunakannya. Rentang usia pengguna juga semakin lebar, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Bagi para aktivis, gadget sangat bermanfaat, baik dalam menghubungkan mereka dengan orang-orang yang berada di tempat lain, maupun membantu menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Dengan ukuran dan berat yang membuatnya mudah dibawa ke mana-mana, aktivis dapat mengerjakan berbagai pekerjaan meskipun tidak sedang berada di kantor atau di rumah. Ketika sedang berada di luar rumah/kantor, aktivis tetap dapat berkomunikasi atau melakukan rapat dengan rekan-rekan dengan memanfaatkan berbagai aplikasi teleconference. Komunikasi via aplikasi teleconference dapat dilakukan dengan orang-orang atau kolega yang sedang berada di luar kota atau luar negeri, tanpa harus terlebih dulu menyalakan laptop. Ketika di perjalanan dengan kendaraan umum, kita bisa membalas email, membuka spreadsheet, ataupun aplikasi-aplikasi lain yang membantu kita untuk menyelesaikan tugas-tugas kita. Dengan demikian, waktu-waktu tersebut dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang berguna. Dengan kata lain, gadget adalah pelayan kita yang sangat berguna.

Sebaliknya, jika kita tidak berhati-hati, gadget dapat berbalik menjadi penguasa kita. Ada kalanya orang-orang yang tadinya memanfaatkan gadget untuk membantunya bekerja, menjadi sangat bergantung pada gadget. Mereka menjadi tidak bisa hidup tanpa gadget. Beberapa ciri orang-orang yang ketergantungan pada gadget adalah: mereka lebih suka mengirim pesan lewat gadget/texting daripada berbicara langsung; tidak pernah meninggalkan rumah tanpa membawa gadget; lebih suka menghabiskan waktu bersama gadget daripada berkumpul bersama keluarga dan teman-teman atau melakukan kegiatan fisik yang disukai; meninggalkan momen-momen penting demi gadget; dan tidak bisa berhenti sekalipun sudah mengalami persoalan akibat gadget.

Pernahkah kita merasa seolah-olah mengetahui yang dikatakan oleh teman yang sedang berbicara, tapi ternyata kita tidak mengerti apa yang ditanyakan atau disampaikannya? Hal itu bisa saja terjadi karena pikiran kita sedang fokus pada hal lain daripada kepada teman kita. Demikian juga dengan fokus yang berlebihan kepada gadget. Ketergantungan pada gadget dapat mengakibatkan berbagai hal buruk, misalnya: pekerjaan utama terbengkalai, tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya karena terlalu berfokus pada gadget-nya, bahkan ada yang mengalami kecelakaan karena menggunakan gadget sambil berkendara. Penggunaan gadget yang berlebihan juga dapat mengakibatkan penyakit-penyakit fisik dan psikis, seperti kurangnya konsentrasi, perhatian, atau fokus; persoalan dalam mengingat atau mengambil keputusan; sakit kepala, punggung, dan masalah dalam penglihatan; masalah kesuburan akibat radiasi gadget yang berlebihan; dan lain-lain [1]

Pada satu titik tertentu - ketika kita menjadi sangat bergantung pada gadget -, tanpa kita sadari kita telah dijajah olehnya. Kita terbelenggu dan menjadi seperti boneka yang dikendalikan oleh gadget. Kita menghabiskan terlalu banyak waktu bersamanya dan tidak lagi peduli pada hal yang lain. Kebergantungan pada semua manfaat yang diberikannya, justru membuat kita tidak lagi menjadi orang yang merdeka. Gadget yang sebelumnya kita manfaatkan sebagai pelayan, telah berbalik menjadi penjajah kita.

Tentu saja situasi ini bukanlah tujuan kita ketika ingin memiliki gadget. Keinginan utama kita adalah memanfaatkan gadget untuk mempermudah pekerjaan dan komunikasi. Kita perlu kembali kepada tujuan kita semula.

Lalu bagaimana caranya agar kita menjadi orang-orang merdeka dari belenggu gadget? Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan agar kita dapat hidup merdeka dari ‘jajahan’ gadget:

1. Menetapkan tujuan kita menggunakan gadget 
Apa yang menjadi tujuan kita membeli dan menggunakan gadget? Apakah untuk komunikasi, mencari informasi, alat untuk membantu pekerjaan, hiburan, atau permainan? Setelah tahu tujuan kita, kita lihat aplikasi apa saja yang ada di gadget. Apakah aplikasi itu sudah mendukung tujuan kita? Adakah aplikasi yang keluar dari tujuan kita? Jika ada, sebaiknya aplikasi tersebut di-uninstall. Menghapus aplikasi selain mengurangi waktu yang terbuang untuk melakukan hal yang tidak menjadi tujuan, juga membantu meringankan beban gadget kita.

2. Membuat aturan penggunaan gadget 
Kapan saja kita mengaktifkan gadget? Apakah pagi hari, siang, sore, atau malam? Berapa lama kita akan menggunakannya pada waktu-waktu tersebut? Selanjutnya, tentukan prioritas kita selama waktu tersebut. Contoh: jika saya akan mengaktifkan gadget dua jam di pagi hari, maka dalam dua jam tersebut saya akan memprioritaskan untuk menjawab email-email yang masuk, membalas chat yang penting, atau mengerjakan tugas yang urgent. Di luar jam-jam tersebut, smartphone dapat di-setting agar hanya bisa digunakan untuk menerima telepon.

3. Prioritaskan aktivitas dengan manusia/dunia nyata
Aktivis adalah orang-orang yang banyak berhubungan dengan manusia atau dunia nyata. Kita bisa mendapat banyak informasi dari dunia maya, tetapi tujuan kita adalah membawa perubahan bagi dunia nyata. Untuk itu kita perlu memperbanyak interaksi dengan dunia nyata dan orang-orang yang ada di sekitar kita.

Keluarga dan orang-orang yang dekat dengan kita, mereka adalah orang-orang yang penting. Tentu kita lebih menyayangi mereka daripada gadget. Oleh karena itu, kita perlu menyediakan waktu untuk berkomunikasi secara fisik dengan mereka.

4. Menguasai diri 
Penguasaan diri adalah salah salah satu tindakan yang sangat penting dalam banyak hal. Menguasai diri adalah menahan keinginan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berdampak tidak baik bagi diri kita maupun orang lain. Penguasaan diri pada tingkat yang tertinggi adalah penguasaan diri yang tidak bergantung pada situasi, kondisi, maupun pada orang lain, tetapi berasal dari keinginan yang kuat di dalam diri kita.

Bagi sebagian orang menguasai diri dalam satu hal lebih mudah daripada dalam hal yang lain. Bagi beberapa orang, menguasai diri untuk tidak bergantung pada gadget mudah untuk dilakukan, tetapi bagi orang lain hal itu mungkin sangat sulit, demikian pula dalam hal gadget. Kita bisa mulai dengan komitmen untuk “puasa gadget” dengan tidak memegang gadget ketika berkumpul bersama keluarga atau pada akhir pekan. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan, kita bisa mencoba lagi dengan memberikan waktu puasa gadget yang lebih panjang. Jika kita berhasil menguasai diri untuk hal-hal sederhana, kita bisa naik level ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk hal-hal yang lebih rumit.

Kemerdekaan dimulai dari kesadaran akan keterbelengguan diri dan keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut. Jika kita sadar bahwa kita sedang terbelenggu atau terjajah, dan ingin menjadi seorang yang merdeka, kita akan bertindak untuk memerdekakannya. Kemerdekaan bukan hanya berkenaan dengan hal fisik, tetapi juga dengan pola pikir atau pola hidup. Kita bisa awali dengan hal-hal yang sederhana, misalnya dengan penggunaan gadget ini. Gadget bisa menjadi pelayan yang sangat efektif, tetapi juga dapat berubah menjadi penjajah yang sangat berkuasa atas diri dan hidup kita. Bagaimana kita memanfaatkannya, akan mempengaruhi kehidupan kita saat ini dan pada masa yang akan datang.




[1] https://www.online-therapy.com/blog/gadget-addiction-smartphone-tablet/ .
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...