[Profil] La Via Campesina, gerakan global untuk kedaulatan pangan petani kecil

“Beli gula sih gula import aja, harganya lebih murah loh daripada harga gula lokal... lumayan kan ngirit!”
“Bukannya ngga cinta produk dalam negeri, tapi beras Thailand sudah lebih enak harganya juga ngga jauh beda sama beras kita...”
“Mana bisa menanam pada musim tanam sekarang? Harga pupuk dan bibit makin mahal! Harga panen makin murah saja!”

Begitulah komentar yang sering kita dengar terlontar dari masyarakat kita. Keadaan dengan berlimpahnya produk luar negeri di pasaran lokal, kalah bersaingnya produk lokal hingga ketidakberdayaan petani di suatu negara yang katanya negara agraris.

Masalah ini muncul tak lepas dari perubahan sistem pertanian dari pertanian organik yang menggunakan sarana produksi yang dibuat petani sendiri ke sistem pertanian kimia, yang menggantungkan pada sarana produksi buatan pabrik. Petani mulai tergantung pada Negara dari mulai pengadaan dan harga bibit, pupuk, insektisida dan infrastruktur lainnya. Padahal, dengan sistem pertanian kimia ini, banyak sekali kerugian yang dialami oleh para petani. Beberapa diantaranya adalah rusaknya kesuburan dan struktur tanah, hilangnya keseimbangan alam, rusaknya lingkungan serta rusaknya suatu sistem pertanian yang berkelanjutan.

La Via Campesina
Berangkat dari keprihatinan akan nasib yang dialami oleh petani hampir di seluruh belahan dunia, maka terbentuklah La Via Campesina. La Via Campesina merupakan suatu gerakan yang mengorganisir para petani kecil hingga menengah, para pekerja tani, perempuan desa dan penduduk asli di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa. Gerakan ini merupakan gerakan yang bersifat otonomi dan pluralis, tidak terikat oleh kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan lain. Sampai saat ini, La Via Campesina bergerak di delapan wilayah,- Eropa, Asia Tenggara, Asia Utara, Asia Timur Laut, Amerika Utara, Wilayah Karibia, Amerika Tengah, Amerika Selatan serta Afrika.

Kedaulatan Pangan
Konferensi La Via Campesina Internasional yang ke-4 diadakan di Sao Paulo, Brazil, tahun .... Tujuan umum dari konferensi ini adalah untuk mengembangkan hubungan antara organisasi-organisasi serta gerakan-gerakan para petani sehingga mereka memiliki kesamaan visi tentang bentuk perjuangan dan siapa lawan mereka; untuk membuat suatu lompatan dalam hubungan internal dan eksternal mereka sendiri dalam melawan situasi internasional.

Dalam konteks ini, isu kedaulatan pangan menjadi isu yang paling penting untuk mengerti proses-proses pengorganisasian dunia petani. Kedaulatan pangan adalah hak yang menyatakan bahwa semua orang berhak untuk mendefinisikan kebijakan sistem pertanian dan kebijakan pangan mereka tanpa adanya pengaruh dari negara lain. Definisi ini merupakan definisi politis penting yang oleh La Via Campesina telah disetujui dalam pertemuan World Food Summit di tahun 1996,- yang berseberangan dengan konsep “Keamanan Pangan” FAO.

Saat ini para petani dunia menghadapi model ekonomi yang berdasarkan pada konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang membuat berakhirnya kemerdekaan dan keamanan pangan secara mendunia; matinya keanekaragaman budaya dan ekosistem-ekosistem yang telah menyangga kehidupan di planet kita ini. Karena alasan ini, La Via Campesina tidak melupakan bahwa prioritas petani baik pria maupun perempuan adalah untuk menghasilkan makanan yang sehat, bebas dari organisme yang sudah dimodifikasi secara genetic (GMOs) dan tidak terlibat dari kepentingan perdagangan yang merusak yang diberikan oleh WTO.

Oleh karena itu, kedaulatan pangan menandakan partisipasi aktif dari gerakan-gerakan petani dalam proses mendefinisikan sistem pertanian mereka dan kebijakan-kebijakan pangan yang mana kapasitas produksi pangan didasarkan dari sistem produksi yang beragam yang akan menjamin kedaulatan dan kemandirian pangan penduduk dunia. Pada kenyataannya, masalah pelik ini semakin hari semakin problematik. Terlebih dengan adanya kontradiksi yang semakin meruncing seperti adanya kesepakatan perdagangan bebas.

Dengan tidak adanya pajak dan ketiadaan kebijakan kuota dari pemerintah, produksi petani lokal kita harus bersaing harga menghadapi gempuran produk petani luar yang datang. Sulit untuk memenangkan persaingan ini karena modal mereka lebih besar sehingga produk mereka dapat dijual dengan harga relatif lebih murah. Ditambah lagi dengan perdagangan berlandaskan politik dumping, harga produk pertanian di dunia sekarang dijual dengan harga lebih rendah daripada harga produksinya. Hal ini merupakan salah satu penyebab kesulitan untuk pertanian keluarga di seluruh dunia.

Sebagai manusia, sebagai organisasi dan sebagai petani, ada senjata-senjata yang dapat digunakan untuk melawan setan kapitalisme. Kemampuan untuk memegang kendali atas benih, bebas dari pestisida dan pupuk kimia menjadi salah satu kunci penting menuju ke arah kedaulatan pangan. Untuk meraih sukses dalam semua hal-hal ini, para petani yang bergabung dalam La Via Campesina merasa amatlah perlu untuk mengorganisir diri dan membangun gerakan global. Kemampuan untuk mengorganisasir diri tidak dapat diprivatisasi dan akan terus menjadi hak yang dimiliki oleh setiap orang di dunia.
(Sumber: www.viacampesina.org, ditulis oleh Oda)

[Pikir] Dari Kedaulatan Pangan Menuju Keberdayaan Pangan

Dari Kedaulatan Pangan Menuju Keberdayaan Pangan[1]

David Sutasurya[2] & Any Sulistyowati[3]
Kedaulatan pangan adalah suatu pengertian yang didasarkan pada paradigma imperialisme, di mana suatu kekuatan secara paksa mengambil kebebasan negera lain. Pengertian kedaulatan muncul sebagai pengakuan atas hak suatu negara untuk mengendalikan negaranya sendiri. Oleh karena itu dalam "Food Sovereignty: A Righ for All", Pernyataan Politik NGO/CSO pada Forum Kedaulatan Pangan di Roma, 8-13 Juni 2002 yang lalu kedaulatan pangan didefinisikan sebagai,
"HAK setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, perikanan, pangan dan tanah, sesuai dengan kondisi ekologi, sosial ekonomi dan budaya mereka".
Konsep imperialisme ini kemudian diperluas namun masih menyiratkan konflik vertikal antara negara utara dan selatan atau dalam suatu negera antara pemerintah dan rakyat. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam turunan konsep tersebut menjadi aksi. Misalnya La Via Campesina menyatakan bahwa persoalan bukanlah masalah kekurangan pangan tetapi masalah hak atas pangan. Hak atas pangan ini dapat dicapai antara lain dengan mereformasi perdagangan global, memberikan petani kontrol akan alat-alat produksi dan pertanian berkelanjutan.

Peta Konflik ke Depan

Salah satu ciri dominan peta konflik ke depan, dalam kaitan dengan pangan dapat dijelaskan dari peran perusahaan multinasional. Suatu jaringan lintas negara yang menguasai uang dan produk. MNC membuat konflik antar negara tidak lagi menjadi penting tetapi lebih sebagai salah satu bentuk metoda yang digunakan MNC untuk mencapai tujuannya.
Pengaruh MNC bisa muncul di mana saja dengan banyak alternatif instrumen. Selain melalui jalur ekonomi konvensional (sebagai sebuah perusahaan), mereka memiliki lobby kuat di tingkat negera, perundingan-perundingan internasional (walaupun mereka secara resmi tidak ada wakilnya). Semua itu dapat mereka jalankan dengan basis anggaran yang kuat.
Mereka juga layaknya sebuah negara dengan basis 'rakyat' yang cukup besar dan bersifat lintas negera. Para rakyat ini terlibat, baik sebagai tenaga kerja, konsumen, pemodal, mitra bisnis atau mitra politik. Di tingkat lokal situasinya sering tampak sebagai konflik yang tidak jelas maka kawan dan mana lawan, karena tidak mudah lagi mengidentifikasi keterkaitan antara seseorang dengan suatu perusahaan multinasional, tidak seperti pada konflik antar negera atau ras.
Yang paling mutakhir adalah: Keterkaitan seseorang pada suatu perusahaan multinasional seringkali terjadi secara sukarela, karena yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari perusahaan itu. Secara global situasinya mirip dengan yang disebutkan dalam teori imperialisme, di mana kaum buruh ‘non pemilik modal’ disogok oleh kaum pemilik modal. Dengan kenyamanan hidup yang diperolehnya ini, kaum buruh yang disogok ini menjadi apatis dan tidak peduli atau tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah para budak di bawah hegemoni perusahaan multinasional dan bahwa sogokan hidup yang diperolehnya itu sebenarnya diperoleh melalui penindasan/pemerasan terhadap kelompok non pemodal lainnya. Sogokan ini seringkali muncul sebagai semacam insentif bagi seseorang untuk masuk di bawah hegemoni.

Penyerahan Kedaulatan secara sukarela

Saat ini semakin disadari peran MNC dan kebijakan neoliberal yang dipromosikannya melalui berbagai jalur dalam berbagai produk pangan (salah satu yang mutakhir adalah makanan rekayasa genetik). MNC membuat berbagai pabrik di berbagai tempat, memperkerjakan banyak tenaga kerja (biasanya dipilih di tempat yang paling murah). Ini kemudian menjadi basis pengaruhnya di tingkat lokal.
Konflik seringkali tidak terjadi melalui penindasan langsung tetapi melalui insentif agar pihak yang ditindas menyerahkan diri ke dalam hegemoni mereka. Prosesnya dilakukan melalui berbagai cara halus seperti 'penyogokan' dengan gaji besar kaum non pemodal yang berstatus sebagai staff/karyawan. Walaupun tentu saja keuntungan jauh lebih besar akan tetap diperoleh pemodal dan uang yang digunakan oleh penyogok sering diperoleh melalui penindasan/pemerasan kelompok lain (buruh atau petani) ataupun dengan menciptakan kebergantungan (yang seringkali tidak perlu) kepada produk mereka.
Dengan menggunakan sistem insentif bagi para pekerja dan penciptaan kebergantungan konsumen sebagai senjata utama, tidak sulit bagi MNC untuk mengakui kedaulatan pangan tanpa sedikitpun merubah intensitas hegemoni mereka. Dalam hal ini situasinya adalah mereka tidak 'merebut' kedaulatan tetapi masyarakatlah yang secara sukarela meyerahkan kedaulatannya di bawah hegemoni MNC.
Lalu apakah perjuangan menegakkan kedaulatan pangan menjadi efektif dalam situasi demikian ?

Masyarakat sipil yang manja

Taktik memanjakan sekelompok masyarakat (dengan menguras sumberdaya masyarakat yang lain sehingga tidak terlalu mengurangi keuntungan yang diperoleh pemilik modal) adalah metoda baru yang perlu diwaspadai. Kelompok masyarakat yang dimanjakan inilah yang diharapkan memiliki daya beli yang cukup tinggi untuk produk-produk 'mewah' produksi MNC.
Tercipta sekelompok masyarakat yang hidup mewah dan apatis. Mereka merasa hidup mereka berkecukupan sehingga tidak merasa ada sesuatu yang salah. Misalnya,masalah pemerasan kelompok masyarakat yang lain untuk menghidupi kemewahan ini tanpa mengurangi keuntungan yang diperoleh pemodal tidak disadari atau terlalu dipikirkan. Mereka bahkan merasa hidup mereka bergantung pada pemodal dan tak dapat hidup tanpa mereka. Menjadi karyawan (baca: setengah budak) menjadi cita-cita kebanyakan golongan muda di Indonesia.
Kebergantungan juga tercipta antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini dilakukan semula melalui pengambilan paksa kedaulatan di berbagai tempat melalui berbagai kebijakan[4]. Akibatnya masyarakat terbuai untuk bergantung pada pemerintah, tanpa bersikap kritis tentang siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar pada situasi ini. Setiap ada masalah mereka bergantung pada pemerintah. Sementara itu sikap apatis yang semakin meluas ini membuat kotnrol terhadap berbagai elemen pemerintahan semakin lemah dan yang mengambil keuntungan adalah (sekali lagi) para pemodal. Akibatnya timbullah berbagai kebijakan yang sangat aspiratif kepada pemodal karena merekalah yang melakukan proses sistematis kepada berbagai elemen pemerintah. Sementara itu perkembangan sentralisasi kebijakan membuat proses mengakses kebijakan menjadi semakin mahal sehingga akhirnya para pemodallah yang paling memiliki sumberdaya untuk itu.
Contoh pada sektor pangan : kebergantungan pada BULOG untuk distribusi dan penyimpanan pangan, kebergantungan pada pemerintah untuk manajemen air.

Konflik kota-desa, penghisapan oleh kota, kehancuran bagi semua

Fenomena masyarakat sipil yang manja melalui proses penyogokan yang dananya diperoleh melalui eksploitasi kelompok masyarakat lain (yang menjadi korban), saat ini terkristalisasi menjadi kelompok masyarakat kota dan masyarakat desa. Urbanisasi adalah salah satu ciri masyarakat industri, meningkat pesat sejak pusat-pusat industri terbentuk pada awal revolusi industri dan sekarang semakin meningkat.
Orang kota khususnya kalangan menengah ke atas dapat diklasifikasi sebagai masyarakat sipil manja yang disogok. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat apatis yang hidup dalam hedonisme. Bagaimana sumberdaya untuk menyogok kelompok masyarakat ini diperoleh?
Revolusi hijau adalah teknologi yang muncul untuk melayani masyarakat kota. Intensifikasi produksi pangan sebenarnya dibutuhkan untuk memasok makanan untuk masyarakat kota yang tidak menanam makanannya sendiri. Masyarakat desa, apalagi petani kecil dan buruh tani, tidak mendapat keuntungan dari produksi makanan ini, malah kualitas hidupnya terus menurun. Pestisida, pupuk kimia dan sistem irigasi dll semakin menurunkan kualitas lingkungan pedesaan. Melalui kebijakan makanan murah, orang desa 'dipaksa' untuk mensubsidi orang kota secara finansial. Sementara itu para pemilik hegemoni justru dapat meningkatkan akumulasi modalnya.
Revolusi hijau adalah juga proses sentralisasi produksi. Input pertanian diperoleh secara tersentralisasi pada beberapa pabrik pupuk dan pestisida. Saat ini bahkan benih diproduksi secara tersentralisasi dengan dipromosikannya bioteknologi modern (rekayasa genetik dan kultur jaringan). Air diperoleh secara tersentralisasi pada bendungan-bendungan besar. Siapakah yang mendapatkan keuntungan pada proses produksi padat modal ini? Tentu saja para pemodal yang didukung oleh para semi-budak. Sentralisasi ini sekarang semakin mengkristal menjadi sentralisasi global di tangan MNC.
Para semi budak ini tidak sadar bahwa mereka hanya mendapatkan keuntungan untuk sementara. Kualitas lingkungan yang terus menurun pada akhirnya akan menurunkan produksi pangan itu sendiri dan setelah itu harga makanan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini para semi budak akan menjadi miskin (daya belinya menurun karena makanan semakin mahal), sementara itu para pemodal masih akan mampu membayar, atau dengan cara tertentu mengambil keuntungan dari situasi ini.
Sebaliknya masyarakat desapun mulai terpengaruh dengan gaya hidup kota ini, apalagi dengan gencarnya propaganda di media yang mengiklankan gaya hidup ini. Masyarakat desa dan orang-orang miskin, yang miskin informasi dan pengetahuan adalah korban paling besar dari iklan produk pangan yang kurang berkualitas. Sementara sistem produksi pertanian desa diubah untuk menghasilkan pangan bagi masyarakat perkotaan; masyarakat desa ingin mengkonsumsi produk makanan orang kota, misalnya aneka produk makanan instan yang kualitasnya diragukan.

Peran kegiatan perdagangan

Agenda liberalisasi perdagangan yang dilancarkan atas dukungan para perusahaan multinasional sebagai pemilik modal dan pemerintah yang mengadopsinya dalam bentuk berbagai kebijakan pembangunan ikut memperparah kesenjangan antara kota-desa dan negara kaya -miskin. Liberalisasi perdagangan mengandaikan bahwa setiap negara memiliki kesempatan dan kekuatan yang sama dalam sistem perdagangan (lapangan permainan yang seimbang/even playing field). Persaingan akan didasarkan pada siapa yang paling kompetitif, dialah yang akan menang. Setiap negara memiliki keunggulan komparatif yang berbeda dengan negara yang lain. Agar efisien, negara-negara dituntut menjadi spesialis menurut keunggulan komparatif masing-masing. Sebagai hasil akhirnya, total output secara global akan maksimal.
Dalam kasus pangan, misalnya, paradigma ini menggeser paradigma swasembada pangan di tingkat negara menjadi di tingkat regional/global. Misalnya untuk menjamin kecukupan pangan, Indonesia tidak perlu memproduksi sendiri seluruh beras yang dibutuhkan, tetapi melihat di pasar internasional. Apabila harga beras lebih murah di pasar internasional, maka lebih baik Indonesia memproduksi produk-produk hasil industri yang lebih mahal dan membeli beras. Dengan demikian Indonesia akan memperoleh surplus dari perdagangan tersebut.
Kenyataannya kebijakan liberalisasi perdagangan ini tidak menyelesaikan masalah pangan dan kelaparan, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Pertama, terbukanya pasar domestik pada produk pangan impor yang biasanya murah karena seringkali di negara asalnya disubsidi besar-besaran justru menyebabkan petani lokal (yang sudah terjebak pada mekanisme pasar modern) kehilangan daya saing. Akibatnya, ia tidak dapat bertahan dalam profesinya sebagai produsen pangan dalam jangka panjang karena tidak dapat bertahan hidup dengan profesinya sebagai petani. Dalam jangka panjang, kemampuan seluruh negara untuk memproduksi pangan di dalam negeri terancam. Kedua, begitu masuk dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan sebagai alat tukar. Padahal saat ini uang pun menjadi komoditi yang diperdagangkan; yang nilainya berfluktuasi. Konsekuensinya harga panganpun akan berfluktuasi sesuai dengan nilai mata uang serta hukum permintaan dan penawaran. Akan ada saat-saat di mana harga makanan begitu murah dan sebaliknya di saat lain sangat mahal. Hal ini mungkin tidak masalah untuk kalangan atas, yang hanya menggunakan sebagian kecil penghasilannya untuk pangan; tetapi ini akan bermasalah sangat besar untuk kalangan bawah (mayoritas penduduk) yang sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membeli pangan.
Ketergantungan pada sistem uang
Ekonomi modern menggunakan uang sebagai alat tukar yang praktis. Implikasinya, sistem ekonomi ini menghitung segala sesuatu dalam satuan uang. Misalnya GNP/GDP untuk menghitung tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara dan ukuran penghasilan dalam bentuk sejumlah uang tertentu untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga/komunitas. Sistem ini seringkali bias dan salah mengartikan realita. Petani-petani subsisten di komunitas-komunitas asli seperti Baduy mungkin memiliki sedikit sekali uang; tetapi kualitas hidupnya bisa jadi jauh lebih baik dari buruh di kota yang digaji di atas UMR. Dari segi pangan, petani-petani subsisten akan lebih aman posisinya dibandingkan dengan kaum buruh di kota yang sangat tergantung dari pangan murah hasil subsidi pemerintah dan penindasan kaum tani. Mereka ini sangat rentan pada kenaikan harga pangan, misalnya jika subsidi pangan dihapus atau harga BBM naik.
Masyarakat kota tidak memiliki mekanisme keamanan pangannya dalam jangka panjang dan menyimpan tabungannya dalam bentuk uang. Demikian juga pola revolusi hijau telah mengubah kebiasaan para petani modern dari budaya menabung dalam bentuk ternak, pohon buah-buahan dan hasil panennya menjadi dalam bentuk uang.
Padahal sistem uang ini telah terhubung secara global. Akibatnya, apa yang terjadi pada Bursa Saham di Tokyo atau New York akan mempengaruhi petani kopi di Timor. Dalam sistem yang sekarang, uang tidak sekedar menjadi alat tukar, tetapi juga komoditi. Artinya membeli uang untuk dijual lagi untuk memperoleh keuntungan berupa uang. Saat ini ekonomi uang mencakup 2/3 dari seluruh total ekonomi global dan nilainya berkembang jauh melebihi sektor riil yang menopangnya.
Sebagai komoditi, nilai uang juga berfluktuasi. Jika kita mendasarkan sistem tabungan kita pada uang, konsekuensinya nilai tabungan kita akan berfluktuasi pula sesuai dengan nilai uang. Celakanya, yang paling diuntungkan dengan sistem uang ini adalah para pemilik modal dan masyarakat banyak yang menanggung akibatnya. Contoh yang paling dekat adalah krisis moneter tahun 1999, di mana George Soros disebut-sebut sebagai salah satu kambing hitamnya. Dalam krisis tersebut, dalam waktu singkat penghasilan riil sebagian besar masyarakat Indonesia menurun hanya menjadi sekitar sepertiga sampai seperempat kali penghasilan semula, meskipun secara nominal angkanya naik.

Keberdayaan Pangan

Telah dijelaskan di atas bahwa taktik utama yang digunakan oleh para pemegang hegemoni saat ini adalah menciptakan insentif bagi kebergantungan masyarakat pada mereka. Insentif ini dijalankan melalui penyogokan melalui gaji besar untuk para karyawan atau iming-iming hasil produksi masksimal untuk para petani. Pemerintahpun menjadi pendukung mereka dengan janji perolehan pajak yang besar dan terbukanya lapangan kerja yang besar.
Padahal gaji itu diperoleh sebagai hasil penghisapan kalangan marginal (biasanya buruh dan petani) dan penciptaan produk yang memanjakan orang kota, antara lain dengan pemanjaan lidah dan kemudahan hidup, yang produksi dan penggunaannya biasanya juga merusak lingkungan dan mengandalkan kebergantungan konsumen dan produsen. Sementara untuk para petani; sejarah telah membuktikan bahwa peningkatan produksi dalam sistem pasar kapitalisme tidak akan menguntungkan petani dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, yang menyebutkan bahwa jika produksi meningkat maka harga akan turun. Mengikuti hukum ini, jika produksi berlebih dengan sendirinya harga akan turun yang artinya keuntungan petani akan ikut turun. Jika terjadi kelebihan produksi, maka petani akan merugi.
Sementara itu para pemegang hegemoni terus memperkuat diri dengan :
1. produk/teknologi yang semakin tersentralisasi secara global; yang paling canggih sentralisasi produksi benih dengan teknik rekayasa genetika dan kultur jaringan.
2. mengembangkan lobi-lobi politik untuk menciptakan iklim kebijakan yang kondusif seperti : hak paten, pendagangan bebas dan berbagai aspek ekonomi neoliberal lainnya yang menguntungkan mereka.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada proses perebutan kedaulatan secara kasat mata. Yang terjadi adalah penciptaan situasi yang mendorong penyerahan kedaulatan secara sukarela dan penciptaan pagar-pagar yang merupakan 'pemaksaan' penyerahan kedaulatan secara sangat halus dan canggih.
Dan pada akhirnya sekarang para pemegang hegemoni dalam keadaan yang cukup siap untuk mengakui secara formal kedaulatan tanpa kehilangan sedikitpun hegemoni de facto mereka. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat telah kehilangan kemampuan mereka untuk merealisasikan kedaulatan mereka.
Di sinilah letak pertempuran yang sebenarnya, selain mengembangkan strategi defensif[5] untuk menjaga kedaulatan pangan, saat ini sudah mendesak untuk melakukan proses pengembangan keberdayaan pangan. Yaitu: kemampuan masyarakat untuk menyediakan sendiri pangannya.
Masyarakat di sini adalah masyarakat tingkat akar rumput sampai tingkat yang paling kecil (sampai tingkat keluarga atau individu). Hal ini penting mengingat bahwa perang kedaulatan sekarang sudah tidak lagi pada tingkat negara tetapi di tingkat lokal menjadi konflik horisontal antar anggota masyarakat.
Pengembangan keberdayaan pangan ini akan membuat MNC kehilangan senjatanya. Ia akan kehilangan pasar karena masyarakat tidak lagi membutuhkan produknya. Ia akan kehilangan tenaga kerja karena masyarakat tidak lagi membutuhkan sogokan dari dirinya.

Bagaimana Mengembangkan Keberdayaan Pangan?

Kedaulatan pangan pada dasarnya dikembangkan dengan membuat masyarakat di tingkat akar rumput (termasuk di kota) dapat memproduksi makanan untuk dirinya sendiri, dengan demikian :
1. Situasi eksploitasi kota desa dihilangkan sehingga hilang kebutuhan untuk mengembangkan pertanian intensif yang merupakan lahan bisnis para pemegang hegemoni. Pestisida kimia dan bibit unggul yang hanya dapat dikembangkan oleh produksi intensif modal tidak dibutuhkan lagi.
2. Sebanyak mungkin memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri. Jika perlu pangan dari luar; maka dipilih yang diproduksi selokal mungkin. Dengan demikian yang memperoleh keuntungan dari proses produksi pangan adalah kita sendiri dan masyarakat di sekitar kita.
3. Mengurangi kebergantungan akan ekonomi uang dengan:
§ Meminimalkan kegiatan perdagangan yang selanjutnya akan mengerutkan ekonomi uang. Hal ini akan membuat para pemegang hegemoni semakin kehilangan kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal dalam bentuk uang.
§ Mengembangkan sistem pertukaran produk tanpa menggunakan uang, antara lain dengan sistem barter dalam komunitas-komunitas di tingkat lokal.
Membuat orang kota menghasilkan makanan sendiri dianggap mengurangi kesejahteraan orang desa. Hal ini tampaknya benar dalam kerangka ekonomi pertanian kapitalis. Padahal meskipun penghasilan orang desa dari segi uang meningkat, kualitas hidupnya justru menurun. Makanan bahkan perlu dianggap sebagai common resources sehingga tercipta kestabilan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini, makanan tidak akan terpengaruh oleh ketidakstabilan ekonomi. Uang akan semakin sedikit tetapi kualitas hidup semakin meningkat.
Pertanian bukan lagi menjadi kegiatan produksi dengan tenaga spesialis petani tetapi lebih merupakan kegiatan domestik semua orang. Petani bukan lagi menjadi profesi. Dengan ekoteknologi dapat dibuat sistem pertanian yang menghemat waktu dan tenaga sehingga waktu masyarakat dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan kebudayaan, pengetahuan dan spiritual yang akan meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini ditopang dengan sistem pendidikan yang merata yang akan meningkatkan kualitasi intelektual masyarakat.
Dalam percaturan ekonomi-politik saat ini ada berbagai peluang yang dapat kita ambil untuk mengembangan keberdayaan pangan :
1. Kembangkan ekonomi berbasis common knowledge yang tidak bisa dijangkau oleh IPR.
2. Setiap pengetahuan baru cepat-cepat didesimenasi sehingga cepat menjadi common knowledge. Hal ini dapat dengan mudah didukung oleh sistem komunikasi elektronik yang sudah berkembang pesat saat ini[6].
3. Kembangkan ekonomi berbasis sumberdaya dan lingkungan lokal. Pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia sangat kaya akan berbagai alternatif teknologi untuk mengembangkan ekonomi seperti ini. Teknologi seperti ini tidak terjangkau oleh IPR.
Untuk lebih memuluskan strategi di atas, kita juga dapat melakukan sejumlah perubahan kebijakan makro. Dari segi kebijakan, kondisi makro apa yang mendukung terjadinya keberdayaan pangan ini?
1. Harga pangan harus merefleksikan biaya produksi yang sebenarnya. Saat ini harga pangan murah karena subsidi dari pemerintah atau melalui eksploitasi terselubung terhadap kaum tani. Dengan harga pangan yang baik, minimal mencerminkan biaya produksi, akan mendorong semakin banyak orang untuk meproduksi pangan. Ini akan mengurangi urbanisasi dan membuat sektor ekonomi di desa-desa bergerak. Untuk kota sendiri akan menguntungkan karena mengurangi kepadatan penduduk yang membebani sumber daya kota.
2. Alokasikan luasan lahan yang cukup untuk petani, terutama untuk produksi pangan. Banyak petani kecil, terutama di Jawa tidak dapat hidup dari sektor pertanian karena lahannya terlalu kecil, sementara itu banyak lahan-lahan kosong dalam bentuk villa tanpa penghuni, padang rumput liar maupun alang-alang dimiliki oleh orang-orang kaya. Banyak lahan pertanian kelas satu yang semula untuk memproduksi pangan diubah untuk industri, perkebunan atau pertanian cash crop berorientasi ekspor karena dianggap lebih menguntungkan. Ini adalah bentuk-bentuk pemborosan penggunaan sumberdaya.
3. Desentralisasi produksi pangan. Desentralisasi produksi pangan akan meminimalisir biaya penyediaan dan distribusi pangan di tingkat nasional. Biaya tersebut antara lain biaya transportasi dan pergudangan dan penyediaan input-input pertanian. Daerah dapat menentukan sendiri kebijakan pangannya dan sedapat mungkin memproduksi kebutuhannya sendiri sampai di tingkat keluarga atau komunitas. Dengan demikian, misalnya beban daerah-daerah penghasil beras untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dapat berkurang. Ini menuntut cara baru pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bidang ekonomi; terutama pangan.
4. Pertanian yang didukung oleh teknologi lokal yang terdesentralisasi; misalnya pertanian organis. Pertanian organis tidak membutuhkan pupuk dan pestisida kimia; apalagi membeli benih transgenik buatan pabrik. Petani dapat membuat sendiri asupan pertaniannya; alat produksinya. Pertanian organis juga mensyaraktkan petani memiliki luasan lahan tertentu agar optimal. Dari karakteristiknya pertanian organis akan mendobrak hegemoni perusahaan multinasional penjual pupuk dan pestisida kimia. Hanya saja, yang perlu dicermati dalam pengembangan pertanian organis ini adalah jangan sampai terjebak pada paradigma lama; yang mengakibatkan perusahaan multinasional menjual pupuk dan pestisida alami dan menjadi pedagang utama produk pertanian organis untuk pasar ekspor. Jika ini yang terjadi pertanian organis akan kehilangan esensinya.
***



[1] Disiapkan untuk Seminar dan Lokakarya Membangun Kedaulatan Pangan Berbasis Gerakan Rakyat, Jakarta, 7-8 Mei 2003.
[2] Direktur Eksekutif Yayasan Biosains dan Bioteknologi.
[3] Peneliti ELSPPAT.
[4] Misalnya kebijakan pangan murah semasa orde baru.
[5] Sekalipun tidak menjadi satu-satunya yang esensial perjuangan ini tetap penting mengingat para pemegang hegemoni secara formal tetap akan berusaha tidak mengakui kedaulatan untuk mengangkat posisi tawar mereka.
[6] Teknologi yang fitrahnya bersifat nontersentralisasi ini sangat ideal karena tidak dapat dikuasai oleh siapapun. Namun di tingkat internasioal tetapi perlu diwaspadai setiap usaha penguasaan teknologi ini.

[Masalah Kita] Seputar Pangan Kita

Kebanyakan dari kita yang tinggal di kota besar tentu tidak pernah kesulitan memperoleh pangan. Tinggal jalan sedikit ke warung, atau jauh sedikit ke pasar, atau mau yang lebih keren mentereng tanpa becek, di mall-mall, di situ menumpuk makanan berlimpah. Berbagai jenis dan ukuran. Semua tersedia. Padahal kalau kita melihat kota kita, apa yang kita lihat di sekeliling kita. Bangunan, mobil, jalan raya! Mungkin ada satu dua pohon, tetapi bukan pohon yang menghasilkan makanan yang kita lihat di pasar atau supermarket itu.

Bagaimana semua makanan itu bisa ada di kota, padahal kota sama sekali bukan penghasil pangan?
Kekuatan uanglah yang membuat itu terjadi. Kekuatan uang yang dimiliki masyarakat kota, membuat semua makanan terbaik di desa pergi ke kota. Para petani menjual produk terbaiknya ke kota dan memakan sisa-sisanya. Demikian juga halnya di tingkatan internasional, Indonesia mengekspor semua produk pangan terbaiknya ke negara maju dan mengirim produk kualitas duanya ke supermarket di kota-kota besar dan menyisakan yang tidak terjual untuk di makan oleh petani, yang menanamnya.

Pernahkah kita terbayang, kalau suatu saat para petani di desa serentak berubah pikiran. Daripada kujual produk terbaikku, lebih baik kumakan sendiri. Apa jadinya kalau tidak ada yang menyediakan makanan ke kota kita? Bisakah kita hidup tanpa makanan? Pasti kita yang di kota ini yang kelaparan, bukan? Pastilah ada kerusuhan!

Mengapa ada pemikiran bahwa petani akan berubah pikiran?
Pertama, penggunaan pupuk kimia dan pestisida selama puluhan tahun telah membuat tanah-tanah petani makin rusak. Jadi produktivitasnya makin menurun. Kalau petani menghasilkan begitu sedikit, tentulah ia mementingkan untuk menyimpannya sendiri untuk di makan daripada di jual. Lalu kita yang di kota akan makan apa?

Kedua, pertanian yang menggunakan bahan kimia itu bisa berjalan dengan adanya minyak bumi yang disubsidi. Saat ini kita sudah melihat bagaimana pemerintah sedikit demi sedikit mengurangi subsidi minyak bumi dan kita telah melihat bagaimana itu berpengaruh terhadap harga pangan dan produk lain. Kenaikan yang sekarang sebetulnya tidak terlalu menguntungkan petani, karena sebagian besar untuk kenaikan BBM yang mengangkut makanan itu dari desa ke kota. Dan banyak ahli telah menghitung bahwa sebetulnya harga yang diterima petani itu sangat murah, artinya sebetulnya tidak cukup untuk mendukung kehidupannya secara layak. Jadi, kalau kita mau adil kepada para petani yang telah mendukung hidup kita melalui produksi pangannya, maka sebetulnya kita harus membayar pangan kita lebih mahal dari yang kita bayar sekarang.

Bagi mereka yang tinggal di kota dan kebetulan kaya, mungkin pengeluaran pangan tidak terlalu masalah. Apalagi bagi mereka yang terbiasa keluar masuk kafe. Yang pengeluaran sekali makannya mungkin sama dengan pengeluaran untuk makan satu keluarga di batas garis kemiskinan sebulan! Yang sengara tentu mereka yang rata-rata, apalagi yang miskin, yang pengeluaran untuk makannya lebih dari 50% dari seluruh penghasilannya. Kerasa deh, pengetatan ikat pinggang kalau harga pangan naik.

Sebetulnya, mungkin nggak sih kota menyediakan pangannya sendiri? Jawabannya bisa. Berikut ini ceritanya.

Mungkin cerita ini seperti mimpi, tetapi itu beneran terjadi di satu negara bernama Kuba dan terutama di ibu kotanya yang bernama Havana.

Tahun 90-an, Kuba menghadapi krisis pangan besar-besaran. Pasalnya, pada tahun itu Soviet runtuh dan tidak mampu mendukung lagi perdagangan dengan Kuba seperti sebelumnya. Sebelumnya, pertanian Kuba sangat berorientasi ekspor dengan produk unggulan utama tebu. Jadi semua lahan pertanian ang subur-subur ditanami tebu. Tebu ini dibeli oleh Soviet, sebagai sekutunya sesama negara komunis sebagai dukungan politik. Soviet juga menjual minyak ke Kuba dengan harga setengah harga pasar internasional dan menyediakan bahan pangan bagi Kuba. Dengan dukungan Soviet ini, Kuba hidup berkelimpahan dan kalau dilihat dari indeks pembangunan manusia, Kuba termasuk salah satu yang tertinggi di dunia, dapat disejajarkan dengan negara-negara maju dan apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Minyak impor dari Soviet inilah salah satu sumber enerji yang menghidupi pertanian modern Kuba yang bisa disetarakan dengan pertanian di Eropa atau Amerika.

Tanpa dukungan Soviet, Kuba tidak punya minyak, tidak ada pupuk kimia, tidak ada pestisida, tidak ada impor pangan lagi. Singkatnya, Kuba kelaparan. Satu-satunya produk yang masih ada adalah tebu karena memang semua lahan terbaik diperuntukkan untuk tebu. Pedesaan Kuba memang masih menghasilkan makanan, tetapi makanan itu tidak bisa diangkut ke kota karena tidak ada BBM. Rakyat Kuba ada dalam masalah besar.

Krisis memang membuat orang menjadi kreatif. Dengan dorongan untuk bertahan hidup, orang-orang di perkotaan mulai menanami halaman rumahnya dengan tanaman pangan. Padahal sebelumnya menanam tanaman pangan di halaman depan rumah adalah terlarang hukumnya di kota Havana karena dianggap identik dengan potret kemiskinan. Setelah krisis ini, pemerintah mencabut larangan itu dan justru memberikan dukungan penuh kepada masyarakat yang ingin memproduksi pangannya sendiri. Pertanian perkotaan mulai merebak di Havana.

Saat ini, kalau kita berjalan-jalan di Havana, kita akan dengan mudah menemukan lahan-lahan pertanian di sela-sela gedung bertingkat. Pohon buah-buahan di taman-taman kota dan sayur-sayuran sebagai pengganti tanaman hias di depan rumah. Havana yang dulu menjadi penerima pangan dari desa-desa di seluruh Kuba, kini mampu memproduksi setidaknya 60% dari seluruh kebutuhan pangannya. Semua di produksi dengan cara organis. Bukan untuk “gaya” ataupun alasan ramah lingkungan, tetapi memang karena bahan-bahan yang dibutuhkan untuk bertani ala kimia sudah tidak tersedia lagi.

Dalam setiap lahan di perkotaan, kita akan menemukan bahwa dalam setiap petakannya ditanam berbagai jenis tanaman pangan. Kombinasinya dipilih sehingga semuanya bisa hidup berdampingan saling berbagi dan mendukung kehidupan satu sama lain. Demikian juga antara petani dan konsumen. Di Kuba tidak dikenal pajak. Pajak para petani ini diberikan sebagai apa yang disebut “community service”, layanan kepada masyarakat. Bentuknya, adalah menyediakan bahan makanan yang diambilkan dari sebagian hasil produksinya untuk anak-anak sekolah atau rumah-rumah jompo di daerah tersebut. Siswa-siswa tersebut sesekali mereka berkunjung ke kebun untuk belajar Biologi dan Pertanian serta untuk mengenal lebih dekat kehidupan petani yang menyediakan pangan mereka. Para siswa tersebut merasa memiliki kebun dan lebih menghargai kerja para petani.

Setiap lahan kosong yang tidak ditanami dibagikan kepada rakyat yang mau bertani. Siapa pun yang ingin memproduksi pangan berhak mendapatkan lahan. Lahan-lahan tebu terbaik diubah menjadi lahan tanaman pangan. Satu lagi yang menarik, Kuba tidak lagi menggantungkan pangannya pada satu jenis makanan pokok, seperti beras untuk Indonesia. Rakyat Kuba tidak lagi hanya makan roti yang gandumnya diimpor dari negara-negara subtropis, tetapi juga kembali ke makanan-makanan asli seperti talas dan umbi-umbian lainnya. Mereka tidak lagi tergantung pada daging, tetapi mulai lebih banyak makan sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dengan kebijakan baru ini Kuba bisa kembali bangkit dari keterpurukannya. Tingkat konsumsi pangan meningkat setelah sempat terpuruk di tahun 90-an. Kuba menjadi makin mandiri dalam penyediaan produksi pangannya, tidak tergantung pada sedikit jenis pangan, kembali ke beragaman pangan yang diperoleh dari tanaman asli dan pertaniannya dilakukan selaras alam. Kota Havana menghijau dengan kebun buah dan sayuran. Tidak sekedar koleksi dinding beton semata.

Bayangkan kalau ini terjadi di Indonesia. Jakarta, katakanlah. Bayangkan kalau di lapangan Monas, rumput-rumputnya diganti menjadi kebun aneka buah-buahan dan di bawahnya kebun aneka talas dan umbi-umbian. Mungkin pemda kota Jakarta tidak perlu mengeluarkan biaya operasional sekian banyak untuk menjaga agar rumputnya tetap pendek sementara pada waktu yang sama dapat menyediakan pangan dan penghasilan bagi banyak orang. Bayangkan kalau halaman-halaman rumah mewah ditanami makanan atau tanah-tanah kosong ditanami tanaman pangan. Mungkin hasilnya bisa cukup untuk membantu orang yang busung lapar. Apalagi kalau lapangan golf, apartemen mewah dan real estate yang tidak berpenghuni digusur menjadi lahan untuk pangan. Indonesia dijamin tidak akan kelaparan. Jadi tidak ada lagi satu gedung mewah tingkat sepuluh yang hanya dihuni satu atau dua hari per bulan sementara kolong jembatan penuh sesak orang-orang mencari penghidupan.

Di banding Kuba, Indonesia sebetulnya punya lebih banyak pilihan. Dari sisi sumber daya alam sebetulnya kita jauh sekali di atas Kuba. Minyak ada, kenaekaragaman hayati hanya bersaing dengan Brazil yang punya Hutan Amazone. Sangat aneh, kalau kita mendengar ada orang yang sampai kelaparan. Ada begitu banyak anak yang kurang gizi. Apalagi mereka itu adalah anak-anak petani yang di atas kertas merupakan produsen pangan. Jelas-jelas ini masalah negara salah urus. Yang akhirnya jadi masalah kita semua. Entah bagaimana penyelesaian akhirnya. Yang pasti, setidaknya, kita bisa menanam tanaman pangan mulai dari halaman rumah sendiri. Jadi, kalau nanti ada krisis seperti di Kuba atau setidaknya pemerintah menaikan lagi harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga pangan, sebagian pangan sudah kita produksi sendiri.

Jadi, tunggu apa lagi…ayo kita mulai!

[Opini] Membangun Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan: Belajar dari pengalaman Kuba

Penulis: Any Sulistyowati
Kuba adalah satu-satunya negara di dunia yang menempatkan pertanian organis sebagai kebijakan pertanian nasional. Di tengah perdebatan internasional apakah pertanian organis mampu memproduksi cukup pangan untuk seluruh umat manusia, pertanian organis justru telah menyelamatkan Kuba dari krisis pangan hebat akibat hancurnya blok komunis Uni Soviet dan diperketatnya embargo Amerika Serikat. Pengalaman mereka ini sangat menarik untuk dipelajari; mungkin tidak cocok untuk diterapkan sepenuhnya di Indonesia, melainkan semoga dapat menjadi inspirasi yang menunjukkan bahwa model dunia yang lain juga mungkin dan masukan untuk membangun sistem ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan dalam konteks Indonesia.

Sebelum tahun 90-an, pertanian Kuba ditandai dengan pertanian skala besar, asupan impor berbasis minyak bumi dan monokultur ala revolusi hijau. Sistem ini telah membawa Kuba pada tingkat konsumsi pangan yang tinggi, yakni 2809 kalori per kapita per hari dan 77 gram protein per kapita perhari pada tahun 1989. Hal ini dimungkinkan dengan dukungan dari Uni Soviet yang mengimpor gula dari Kuba seharga lebih dari lima kali harga pasar internasional dan mengekspor minyak ke Kuba dengan setengah harga internasional. (Sinclair and Thompson, 2001. Laporan OXFAM America).
Hancurnya Uni Soviet menyebabkan Kuba jatuh ke dalam krisis besar, apalagi ditambah dengan diberlakukannya Torricelli Act (1992) dan Helms Burton Act (1996) oleh Amerika Serikat yang intinya adalah memperketat embargo, misalnya dengan memberikan sangsi kepada negara dunia ketiga yang berbisnis dengan Kuba dan pelarangan penjualan bahan makanan dan obat-obatan ke Kuba sejak 1994. (Romero, 2000. Laporan OXFAM Amerika).
Akibat krisis ini, terjadi kekurangan pangan besar-besaran akibat hilangnya impor pangan, minyak bumi dan asupan pertanian. Model pembangunan pertanian ala revolusi hijau tidak dapat dilanjutkan tanpa dukungan Uni Soviet. Dibandingkan tahun 1989, pada tahun 1992 tingkat import menurun masing-masing 53% untuk minyak bumi, 70% untuk pakan ternak, 77% untuk pupuk kimia dan sedikitnya 62.5% untuk pestisida. Pada tahun 1995, tingkat konsumsi kalori dan protein menurun sampai 40% dari tingkat konsumsi tahun 1989. Masa-masa ini dikenal sebagai Periode Khusus di Masa Damai (Special Period in Peacetime). (Rosset & Benjamin, 1994a).
Situasi di atas tidak membuat pemerintah Kuba menyerah terhadap kekuasaan Amerika Serikat dan mengubah pola pembangunan nasionalnya. Sebaliknya, desakan krisis justru memunculkan banyak alternatif baru baik di tingkat akar rumput maupun kebijakan nasional. Sebagai contoh, di bidang pertanian setidaknya ada tiga jenis reformasi kebijakan yang dilakukan, antara lain kebijakan teknologi, kebijakan produksi dan kebijakan distribusi. Reformasi-reformasi tersebut berhasil meningkatkan produksi pangan Kuba secara signifikan. Pada tahun 2000, bila dibandingkan dengan tahun 1988, produksi pangan meningkat masing-masing 767% untuk jagung, 113% untuk beras, 208% untuk umbi-umbian dan 351% untuk sayuran. Petani adalah yang paling diuntungkan dari reformasi tersebut. Penghasilan mereka menjadi salah satu yang tertinggi di negara tersebut. Kondisi ini mengundang banyak orang untuk kembali ke desa, ke sektor pertanian atau menjadi petani.
Berikut ini adalah ringkasan perubahan kebijakan tersebut:
1. Perubahan di bidang teknologi
Di bidang teknologi pertanian, Kuba mendeklarasikan model alternatif yang dapat diklasifikasikan sebagai pertanian organis. Pertanian ini dicirikan dengan penggunaan sumber daya lokal yang tinggi, termasuk penanaman kembali spesies-spesies lokal; sistem multikultur dan pengurangan besar-besaran asupan luar seperti pestisida dan pupuk kimia. (Rosset dan Benjamin, 1994a&b). Perubahan ini juga dibarengi dengan pengembangan sarana pendukung, misalnya pengembangan bioteknologi berbasis masyarakat dan perluasan lahan yang digunakan untuk memproduksi pangan antara lain dengan pertanian perkotaan.
1a. Pertanian Organis[1]
Mereka menggunakan teknik pengolahan tanah dengan prinsip minimum tillage, kompos dan pupuk kandang untuk menggantikan pupuk kimia, oxen sebagai pengganti traktor, rotasi tanaman dan multikultur. Pupuk kandang diperoleh dari limbah peternakan. Kompos dibuat dari limbah panen sebelumnya, sampah makanan, limbah perkebunan tebu dan pabrik gula. Kompos cacing juga cukup populer digunakan. Untuk pengendalian hama digunakan pengendalian hama biologis dengan produk-produk bioteknologi, musuh alami dan tanaman pengusir hama.
1b. Bioteknologi oleh Petani[2]
Tidak seperti di banyak negara di mana bioteknologi identik dengan perusahaan multinasional, di Kuba bioteknologi dikembangkan oleh masyarakat, di koperasi-koperasi yang dimiliki oleh petani. Petani dapat mengakses produk bioteknologi, yang merupakan ujung tombak pengendalian hama mereka, seperti entomophagus[3] dan entomopatogen[4] dengan harga relatif murah. Meskipun demikian, CREE (Centros Reproductores de Entomofagus y Entomopatogenos, pusat produksi entomofagus dan entomopatogen) tetap meraih keuntungan. Penghasilan mereka cukup untuk membiayai gaji staff, biaya produksi dan membayar angsuran ke bank.
1c. Pertanian Perkotaan[5]
Sebelum krisis, pertanian perkotaan tidak berkembang di Kuba. Di Havana bahkan ada aturan yang melarang masyarakat untuk menanam tanaman pangan di halaman depan rumah mereka karena dianggap identik dengan kemiskinan. Setelah krisis, justru pertanian perkotaan memegang peran yang sangat penting sebagai penghasil pangan masyarakat perkotaan yang selama ini tergantung pada produk impor dan kiriman dari desa. Bahkan pada tahun 1994, dibentuk dapartemen khusus yang mengurus pertanian perkotaan ini.
Di pusat Havana pertanian perkotaan mencakup areal seluas 15 ribu hektar yang memproduksi sekitar 30% kebutuhan sayur mayur (standar FAO = 300 gram perkapita perhari) sekitar 2 juta penduduk kota tersebut pada tahun 1999. Di kota-kota yang lain bahkan terjadi kelebihan produksi, misalnya di Cienfuegos (148%), Sancti Spiritus (121%), Ciego de Avila (134%) dan kotamadya Havana (117%). Bila dirata-rata untuk seluruh Kuba, produksi pertanian perkotaan ini mencukupi sekitar 72% kebutuhan sayuran penduduk perkotaan. Pengalaman mereka ini menunjukkan bahwa kota dapat berubah status dari konsumen menjadi produsen pangan.
Pertanian perkotaan di Kuba bervariasi dalam bentuk, ukuran, teknik bercocok tanam dan kepemilikan. Popular garden adalah yang paling mudah ditemui. Ukurannya bervariasi mulai dari beberapa meter persegi sampai beberapa hektar dan dikelola secara perorangan atau berkelompok. Sebagian untuk dikonsumsi sendiri, sebagian disumbangkan untuk makan siang di sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit atau untuk orang-orang yang tidak mampu dan sisanya dijual untuk mendapatkan keuntungan. Teknik yang paling banyak digunakan dikenal dengan istilah organoponico, yang menggunakan gundukan tanah subur sebagai bed, karena buruknya kualitas tanah di daerah perkotaan.
2. Perubahan di bidang produksi[6]
2a. Alokasi lebih banyak lahan untuk tanaman pangan
Sebelum krisis, sebagian besar tanah pertanian di Kuba digunakan untuk perkebunan tebu sebagai produk pertanian unggulan mereka. Sektor ini berkontribusi untuk memberikan 400 ribu lapangan kerja dan menghasilkan sekitar 600 juta dolar Amerika (80% dari total ekspor). Setelah krisis, pemerintah mengalokasikan lebih banyak tanah untuk tanaman pangan. Lahan-lahan tersebut antara lain digunakan untuk memproduksi pangan untuk konsumsi para pengelola (self provisioning plot).
2b. Distribusi tanah negara kepada koperasi-koperasi
Sebelumnya sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh perusahaan negara. Perusahaan ini disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Namun demikian, produktivitas mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan koperasi yang lebih sedikit mendapat subsidi dan apalagi bila dibandingkan dengan petani-petani kecil yang tidak disubsidi.
Setelah krisis, terjadi reformasi dalam pengelolaan lahan. Sebagian tanah perusahaan negara dibagi-bagikan ke koperasi (UBPC, Unidad Basica de Produccion Cooperative, semacam koperasi produksi unit desa). Para karyawan perusahaan negara tersebut diberi pilihan untuk tetap menjadi karyawan atau secara berkelompok membentuk koperasi. Tanah tetap dimiliki oleh negara, tetapi koperasi-koperasi memperoleh usufruct right, semacam hak guna lahan dalam jangka panjang. Pada tahun 1989, tanah yang dikelola oleh perusahaan negara mencapai 78%, sementara pada tahun 1997 tinggal 24%. Sementara luasan yang dikelola koperasi bertambah dari 10% (1989) menjadi 57% (1997).
2c. Pembagian tanah untuk mereka yang ingin menjadi petani
Pemerintah juga membagikan tanah bagi individu yang ingin menjadi petani. Misalnya di daerah perkotaan, mereka diijinkan mengelola lahan-lahan kosong yang tidak digunakan dengan usufruct right. Sebagai kompensasi kepada pemerintah, mereka diwajibkan memberikan sumbangan untuk masyarakat sekitar misalnya menyediakan bahan makanan untuk makan siang anak-anak sekolah di daerah tersebut, rumah sakit atau orang-orang miskin.
2d. Perubahan sistem insentif
Perusahaan pertanian negara telah lama dikritik karena ketidakefisienannya. Meskipun menikmati subsidi paling besar, banyak di antara mereka kurang produktif bila dibandingkan dengan koperasi dan petani kecil. Untuk memacu produksi, pemerintah mengubah sistem produksi antara lain dengan: mengubah sistem penggajian dari berdasarkan jam kerja menjadi berdasarkan hasil produksi, memberikan tanggung jawab luasan lahan tertentu kepada orang tertentu agar produktivitasnya lebih dapat dikontrol dan memberikan insentif pembayaran dengan harga yang lebih tinggi untuk hasil produksi di atas kuota. Hal ini ternyata memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pangan.
3. Perubahan di bidang distribusi[7]
3a. Pembukaan pasar produk pertanian: harga produk pertanian yang cukup tinggi
Sebelum krisis, pemerintah mengontrol seluruh sistem distribusi pangan. Ketika krisis sistem ini tidak dapat berjalan karena adanya pasar gelap, pencurian oleh distributor dan kerusakan-kerusakan di perjalanan. Tahun 1994 dibuka pasar produk pertanian untuk mengantisipasi permasalahan tersebut dan memudahkan akses masyarakat terhadap produk-produk pertanian, terutama pangan. Harga produk pertanian di pasar ini cukup tinggi sehingga para petani tergerak untuk menjual produk-produk mereka di pasar yang resmi dan lebih banyak orang tertarik untuk menjadi petani.
3b. Hubungan langsung antara petani dan konsumen
Sebelum krisis, distribusi pangan langsung ditangani oleh pemerintah secara sentralistik melalui ACOPIO (semacam BULOG untuk segala jenis produk pangan). Krisis menyebabkan sistem tersebut tidak dapat berlanjut dengan lancar antara lain akibat kurangnya bahan bakar menyebabkan produksi pangan seringkali tidak dapat diangkut tepat waktu dan akhirnya rusak. Sebagai alternatif, dibuat desentralisasi sistem distribusi dengan cara mendekatkan konsumen dan produsen. Dengan cara ini konsumen dapat menerima produk yang lebih segar, dalam waktu yang lebih cepat, harga lebih rendah (lebih sedikit rantai pemasaran) dan memotong kebutuhan transportasi.
Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Kuba:
Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konversi dari pertanian konvensional ke PO membutuhkan waktu 3-7 tahun. Masalahnya Kuba tidak punya sekian banyak waktu. Mereka butuh pangan pada saat itu juga, terutama di daerah perkotaan di mana 80% masyarakat bermukim. Berikut ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan cepatnya perubahan yang terjadi di Kuba.
1. Faktor internal:
1a. Solidaritas pemerintah pada rakyat, kompaknya birokrasi dan keberanian menolak dominasi asing dalam proses pembangunan
Kuatnya solidaritas pemerintah terutama terhadap mereka yang miskin tercermin dalam setiap kehidupan masyarakat. Jabatan tinggi di pemerintahan tidak menjadikan mereka kaya. Menjadi sama seperti mayoritas adalah ideologi negara. Seorang menteri yang lebih miskin dari guru sekolah dasar adalah fenomena umum di negeri tersebut.
Birokrasi cukup kompak dalam kerjasama lintas instansi. Ini pula yang menyebabkan penyebaran teknologi baru bisa terjadi dengan sangat cepat di tingkat basis. Poder Popular, semacam organisasi masyarakat tingkat rendah mengorganisir kerja sama ini dan menjamin keberhasilan mobilisasi massa.
Keberanian pemerintah untuk bertahan pada cita-cita revolusi, menyebabkan pemerintah cukup memiliki keberanian untuk menolak setiap dominasi asing, meskipun konsekuensinya negeri itu tetap "miskin" bila dilihat dari segi konsumsi barang-barang mewah. Di Kuba, sangat jarang ditemui orang dengan mobil BMW (kecuali turis) tetapi tidak ada seorang anakpun yang mati kelaparan atau putus sekolah karena tidak punya biaya ataupun orang mati karena tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Dengan sedikit yang mereka punya, mereka telah menempatkan prioritas utama untuk kebutuhan dasar masyarakat banyak: pangan, kesehatan dan pendidikan[8].
1b. Petani yang berkualitas
Faktor pertama adalah akumulasi pengetahuan para petani kecil. Petani kecil yang tidak pernah menerima subsidi asupan kimia telah lama menguasai teknologi ini. Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa dari mereka, apalagi yang telah bertani organis selama puluhan tahun, mereka berpendapat bahwa PO lebih produktif dalam jangka panjang dan lebih ramah lingkungan. Mereka yakin bahwa semakin mereka bertani organis, tanah akan semakin subur. Hal ini didukung dengan hasil panen mereka yang makin meningkat dan termasuk yang tertinggi bila dibandingkan dengan koperasi dan perusahaan pemerintah. Dengan dukungan pemerintah berupa kredit dan subsidi asupan organis mereka makin produktif lagi.
Faktor kedua adalah tingkat pendidikan di Kuba cukup tinggi, termasuk bagi para petani. Berdasarkan pengalaman saya berkunjung ke Kuba tahun 2001, kebanyakan dari mereka mengenyam sekolah tinggi pertanian. Pendidikan gratis untuk semua orang. Beberapa indikator pendukung antara lain: tingkat melek huruf 92%; terdapat satu peneliti untuk setiap 830 penduduk; satu dokter untuk setiap 190 penduduk. Faktor ini menyebabkan masyarakat Kuba termasuk para petani cukup kritis dan responsif dalam menerima dan mengolah informasi, termasuk teknologi yang akan mereka gunakan untuk memproduksi pangan mereka.
1c. Penelitian yang mendukung
Sebetulnya, teknologi PO telah dikembangkan di Kuba sejak lama oleh para peneliti Kuba telah sebagai persiapan jika hal-hal yang tidak diinginkan mengancam sistem keamanan pangan ala revolusi hijau mereka. Ketika krisis sungguh-sungguh terjadi, teknologi tersebut telah siap disebarkan melalui instrumen-instrumen kebijakan pendukung.
1d. Insentif untuk menjadi petani dan bekerja di sektor pertanian
Di Kuba berbagai upaya dilakukan untuk menarik orang bekerja di sektor pertanian, antara lain jaminan hak pengelolaan tanah yang cukup untuk petani, harga produk pertanian yang tinggi dan penghargaan terhadap profesi petani. Intinya, orang dapat hidup dengan layak dengan profesi ini; bahkan salah satu yang bepenghasilan besar.
Usaha untuk menghargai profesi petani dilakukan lewat sekolah; misalnya program kunjungan ke lahan pertanian untuk pelajar SD dan bekerja di daerah perdesaan, biasanya di perkebunan tebu selama dua minggu bagi para remaja dan program sukarelawan untuk bekerja di daerah pertanian selama beberapa bulan bagi pemuda/mahasiswa. Meskipun banyak orang tidak menyukai program ini, minimal mereka menjadi sadar bahwa petani adalah pekerjaan berat, berguna untuk semua orang dan wajib dihargai.
2. Faktor Eksternal:
2a. Tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional: IMF dan World Bank
Tidak seperti kebanyakan negara dunia ketiga yang terjerat hutang dengan lembaga keuangan internasional, Kuba relatif bebas untuk memilih model pembangunan mereka. Pada tahun 1997, Kuba hanya menerima US$ 67 juta; itupun melalui perjanjian bilateral dan dana-dana bantuan untuk NGO. Tidak ada hutang kepada World Bank, IMF dan bank-bank pembangunan Amerika. (Sinclair & Thompson, 2001). Karena itu, pemerintah Kuba lebih bebas dan dapat secara mandiri merencanakan program penyelesaian krisis tanpa intervensi lembaga-lembaga internasional tersebut.
2b. Bebas dari kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional
Akibat embargo Amerika, Kuba relatif bebas dari cengkeraman perusahaan multinasional. Pemerintah menguasai semua sektor strategis dan mensubsidi habis-habisan tiga sektor utama: pangan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dua sektor yang terakhir, fasilitas diberikan secara gratis untuk seluruh penduduk.
Krisis menyebabkan pemerintah tidak mampu lagi menyediakan pangan untuk seluruh penduduk, karena itu reformasi di bidang pangan di Kuba pada intinya adalah mengembalikan kedaulatan pangan pada petani sebagai produsen pangan.
Konsekuensi perubahan kebijakan
Konsekuensi dari sistem yang berlaku di Kuba adalah tidak ada yang akan menjadi terlalu kaya maupun terlalu miskin. Dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis untuk semua orang, semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju dan hidup layak.
Harga makanan yang tinggi menyebabkan sebagian besar penghasilan mereka digunakan untuk makanan (mencapai 66% dari penghasilan). Akibatnya tidak banyak yang tersisa untuk membeli barang-barang tersier atau menumpuk begitu banyak tabungan dan hidup dari bunga tanpa bekerja. Dalam sistem semacam ini orang lebih sulit untuk menjadi konsumtif; apalagi untuk produk-produk yang tidak mendesak.
Kedua, kurangnya minyak dan impor asupan pertanian, memaksa Kuba untuk melakukan desentralisasi sistem produksi dan distribusi. Lebih banyak digunakan sumber daya lokal dan masyarakat didorong untuk mengkonsumsi makanan lokal untuk meminimalisir kebutuhan energi untuk transportasi dan penyimpanan.
Ketiga, PO yang berdasarkan sumber daya lokal tidak membutuhkan institusi besar untuk memproduksi asupan pertanian dari luar, seperti pupuk kimia/pestisida. PO tidak membutuhkan konsentrasi modal, misalnya perusahaan multinasional sebagai produsen asupan tidak dibutuhkan keberadaannya. Akibatnya benefit dapat terdistribusi dengan lebih merata.
Keempat, perlu ada jaminan luasan lahan tertentu untuk petani. PO membutuhkan luasan lahan tertentu agar bisa dikelola secara efisien, tergantung dari kondisi lokalnya. Jika terlalu luas, maka petani tidak mampu mengelola seluruh lahannya. Sebaliknya jika terlalu sempit, maka cukup sulit untuk membangun keseimbangan ekosistem yang saling mendukung satu sama lain.
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia
PO telah menyelamatkan Kuba dari kelaparan. Krisis telah mendesak mereka untuk menghentikan pertanian ala revolusi hijau dan untungnya mereka telah memilih pola pertanian yang lebih berkelanjutan dan kebijakan nasional yang berpihak ke petani sebagai produsen pangan.
Dibandingkan dengan Kuba, Indonesia memiliki jauh lebih banyak sumber daya alam, terutama di sektor pertanian. Pertanyaannya, mengapa kondisi masyarakat Indonesia secara umum, terutama kaum tani jauh di bawah Kuba?
Semoga pertanyaan di atas menjadi tantangan bagi kita untuk memikirkan strategi ketahanan pangan Indonesia yang lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua orang; dan memberi semangat dan keberanian untuk mengusahakannya.
Literatur Utama:
Murphy, Catherine (1999). Cultivating Havana: Urban Agriculture and Food Security in the Year of Crisis. Oakland: Food First, Policy Brief, 50 pp.
Romero, Bernice (2000) The Case for Unrestricted Food and Medicine Sales to Cuba. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba as on 21/08/01.
Rosset, Peter (1997a). Cuba: Ethics, Biological Control and Crisis. Agriculture and Human Values 14:291-302.
Rosset, Peter (1997b). Food security and local production of biopesticides in Cuba. ILEA Newsletter 13(4):18-19.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994a) Two Steps Back One Step Forward: Cuba's National Policy for Alternative Agriculture. London: IIED.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994b) The Greening of the Revolution. Cuba's experiment with Organic Agriculture. Melbourne: OCEAN Press.
Sinclair, Minor and Martha Thompson (2001) CUBA. Going Against the Grain: Agricultural Crisis and Transformation. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba/index.html as on 14/08/01.
Sulistyowati, Catharina Any (2001) Breaking The Myths: Lessons from Agricultural Policy Changes in Cuba during the nineties. Master Thesis. The Hague: Agriculture and Rural Development Program



[1] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset & Benjamin, 1994b.
[2] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset, 1997a dan b.
[3] Entomopagus adalah serangga yang memakan atau menjadi parasit serangga lain yang menjadi hama tanaman dan dengan demikian dapat dijadikan pengendali hama biologis. Sebagai contoh yang digunakan di Kuba antara lain Tricogramma dan Lixophaga (Rosset & Benjamin 94b:38-39).
[4] Entomopatogen adalah penyakit serangga, tetapi tidak menyebabkan penyakit pada manusia dan dengan demikian dapat digunakan sebagai penggendali hama yang tidak beracun. Termasuk di dalamnya bakteri, jamur dan virus. Di Kuba mereka menggunakan antara lain: Bacillus thuringiensis, Beauvaria bassiana, Metarhizium anisopliae dan Verticillium lecanii (Rosset & Benjamin 94b: 39-40).
[5] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Murphy, 1999.
[6] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[7] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[8] Hal ini juga tercermin misalnya dari gaji. Yang secara resmi memiliki gaji terbesar adalah orang-orang yang berprofesi guru, petani dan dokter.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...