Editorial Edisi 5

Selamat Hari Valentine!!! Banyak orang yang mengambil mementum ini untuk mengungkapkan kasih sayangnya. Bentuk ungkapan yang beraneka ragam tidaklah menjadi masalah. Dari sekedar ucapan, tindakan, hadiah, hingga bentuk ungkapan yang khusus lainnya coba disampaikan kepada orang yang dikasihinya, baik pasangan, keluarga, teman,dan sebagainya.
Sebagai ungkapan kasih dari Pro:aktif untuk pembaca sekalian, pada edisi kali ini pun sengaja dipersembahkan tema “Aktivis dan Kehidupan Cinta”.

Edisi kali ini diawali dengan kisah Cinta Ku dari Seberang Lautan. Lalu ada rubrik Masalah Kita yang membahas tentang Cinta dan Perbedaan Etnis. Berikutnya rubrik Pikir menyajikan artikel mengenai pilihan hidup untuk Menikah atau Melajang. Opini seputar cinta dikemas dalam sebuah artikel berjudul Bersit-Bersit Makna Cinta.

Tak lupa pula kami membagikan tips Agar Anda dan Si Dia Tetap Dekat dan Irit. Pada rubrik jalan-jalan kami bawakan oleh-oleh Cerita dari Bali. Media kali ini mengangkat film hasil garapan PEKKA-PPSW bekerja sama dengan Komnas Perempuan dengan judul Sebuah Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga Bercerita. Lalu Gathering PT. Calmic Cabang Bandung dan Pelatihan Cara Berpikir Sistem untuk Menganalisis Permasalahan Sosial, Lingkungan dan Gender – Angkatan 5, Lokakarya Perancangan Paket Pendidikan Lingkungan serta Workshop untuk Gagasceria merupakan kegiatan-kegiatan yang kami angkat dalam rubrik Bagi-bagi Cerita.

Selamat membaca!

[Profil] Cinta Ku dari Seberang Lautan

Sosok hitam manis yang berpenampilan cuek ini untuk kedua kalinya dipercaya sebagai SekJen JPL (Jaringan Pendidikan Lingkungan). Ninil R Miftahul Jannah yang lahir dan dibesarkan di Surabaya ini sudah menggeluti isu lingkungan sejak duduk di bangku SMA. Kecintaannya terhadap lingkungan dan rasa senang jika bisa membantu orang lain telah mendorongnya untuk melakukan berbagai aksi atau kegiatan yang tentunya berkaitan dengan lingkungan.

Pengetahuan yang dimilikinya mengenai konservasi, pendidikan lingkungan, advokasi untuk lingkungan dan sebagainya, membuatnya merasa lebih logis untuk tetap konsisten pada jalur yang dipilihnya. Pilihan untuk menjadi aktivis ternyata memberikan peluang untuk bertemu banyak orang, termasuk Sang Belahan Hati.

Bekerja di LSM berarti bekerja dengan banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Maka tidaklah aneh jika kemudian seorang aktivis menemukan pasangan hidupnya dari dunia yang sama. Karena di mana ada kesempatan orang bertemu, di situ ada kesempatan untuk menjalin relasi, hubungan asmara, atau apa pun namanya.

Jika seorang Ninil menemukan Belahan Jiwanya yang berasal dari belahan bumi yang lain, itu tidaklah semata-mata mengikuti tren para artis yang mencari ekspatriat untuk menjadi pasangan hidupnya. Menurutnya, menjadi penting bagi seorang aktivis untuk memiliki pasangan yang bisa memberikan dukungan. Biasanya aktivis itu mempunyai ‘hero’ yang dapat didefinisikan sebagai orang yang punya pemikiran yang bagus, punya idealisme, atau kapasitas yang bisa bersinergi. Pengalaman pribadinya mengatakan bahwa pasangan yang bisa mengimbangi kekurangannya juga menjadi faktor pertimbangan yang penting.

Proses menilai calon pasangan lebih terbantu ketika ada forum pertemuan antara aktivis. Dalam forum-forum seperti itu kita bisa memperoleh gambaran dan menganalisis seseorang dari bagaimana ia bicara, bagaimana cara berpikirnya, apa isi pembicaraannya dan sebagainya.
Dengan begitu kita bisa tahu isi otaknya duluan, sedikit performancenya, lalu kita tinggal mencari tahu kebiasaan-kebiasaannya yang lain. Lain halnya kalau kita ketemu dengan seseorang di mall, misalnya. Kita cuma bisa melihat penampilannya saja.

Dari berbagai kualifikasi, pilihannya kemudian jatuh pada Neville J. Kemp, pria bule yang kini menjadi ayah dari putrinya yang berusia hampir 3 tahun. Pilihan aktivitasnya sebagai aktivis membuat pasangan ini harus pandai-pandai membagi waktu antara aktivitas dan putri mereka. Pekerjaan-pekerjaan kontrak yang sifatnya berpindah-pindah seringkali membuat keluarga kecil ini berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama.

Keluarga kecil ini pun tidak lepas dari kerumitan masalah keimigrasian. Indonesia menganut kewarganegaraan dari garis ayah sehingga Alissa, putri mereka, yang lahir di Indonesia pun secara otomatis menjadi warga negara asing. Lalu karena kebetulan suaminya tidak pernah mendapat ijin tinggal sementara (hanya visa kunjungan biasa yang waktunya maksimal hanya 60 hari dan bisa diperpanjang sampai beberapa kali), maka setiap 6 bulan sekali suaminya harus ke luar negeri dengan putrinya. Untuk mengurus ijin tinggal sementara diperlukan KTP untuk wilayah di mana kantor imigrasi yang bersangkutan berada. Selama ini, hal itu belum bisa diurus karena tempat tinggal yang berpindah-pindah. Mungkin itu bukan masalah bagi yang memiliki banyak uang. Namun bagi para aktivis yang tidak bekerja di suatu lembaga besar atau yang sudah establish (mapan), itu bisa mejadi masalah.

Berbagai hal yang menjadi konsekuensi dari apa yang menjadi pilihan kita, baik aktivitas, pasangan hidup, lokasi tempat tinggal, dan sebagainya ternyata bisa dilalui secara bersama. Perbedaan cara pandang dan latar belakang pasangan tidak lagi menjadi masalah ketika keduanya sudah saling mengetahui dan menghargai ideologi dan nilai-nilai yang dibangun oleh pasangannya. Setidaknya itulah yang diceritakan oleh Ninil untuk kita.

[Pikir] Menikah atau Melajang? Sebuah Refleksi Atas Pilihan Hidup Dalam Mengekspresikan CINTA

"….ternyata sepatu kaca itu sangat cocok dengan kaki Cinderella. Maka, dibawalah Cinderella ke Istana sang Pangeran. Akhirnya, Sang Pangeran dan Cinderella menikah, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Tentunya cerita di atas sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi para gadis dan remaja putri. Ada banyak cerita dan dongeng lainnya yang mirip dengan dongeng Cinderella ini, di mana seorang gadis cantik tapi miskin dan malang, atau gadis dari kalangan rakyat biasa, yang seumur hidupnya menderita (karena ibu tiri dan saudara tiri perempuan yang jahat dan kejam), akhirnya menikah dengan seorang Pangeran yang akan datang padanya. Pada akhir cerita selalu digambarkan sang gadis menikah dengan Pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya.

Dongeng yang dikenal sejak kecil ini menjadi begitu melegenda dan menginternalisasi dalam diri anak-anak perempuan. Terutama mereka yang merasa menderita, miskin dan tidak bahagia, selalu punya harapan bahwa suatu saat akan datang sang Pangeran bagi mereka, dan akan membawa mereka ke pernikahan yang membahagiakan, mengakhiri segala penantian dan penderitaan mereka.
Gejala atau sindrom seperti ini pada akhirnya tidak hanya melanda para perempuan yang miskin dan tertindas oleh ibu tiri dan saudara tirinya, tetapi telah melanda seluruh lapisan perempuan (dan seluruh sistem masyarakat yang bukan perempuan). Sindrom yang dikenal sebagai Cinderella Complex[1] ini secara tidak sadar telah melegitimasi konstruksi sosial yang terlanjur dianggap kodrat dan alamiah : bahwa panggilan dan kodrat setiap manusia adalah menikah. Di situlah puncak kebahagiaan bisa dicapai.
Lalu Mengapa Dengan Pernikahan?
Di luar makna persetubuhan itu sendiri, pernikahan sebenarnya bukan suatu yang semata-mata alamiah saja. Ia juga bukan merupakan sebuah kewajiban sosial yang menafikan kehendak bebas setiap individunya. Seringkali memang pernikahan hanya dipandang sebagai sebuah kontrak sosial yang harus dipatuhi, yang akan mendapatkan sanksi bila tidak dilaksanakan. Pernikahan dalam konteks sosio-kultural pada akhrinya hampir selalu berarti konstruksi. Telah terjadi proses rasionalisasi pelegitimasian dalam pernikahan, yang berarti pula institusionalisasi pernikahan. Dengan demikian ada berbagai kepentingan masuk dan mewarnai pernikahan. Termasuk dalam kepentingan itu adalah komersialisasi pernikahan, penghegemonian kuasa negara dan agama serta adat, dan di atas itu, ada kepentingan patriarkhisme di sana.
Di Indonesia, secara eksplisit dan diakomodir oleh hukum, serta ditunjang oleh institusi agama, negara telah ikut campur tangan dalam pilihan perkawinan. Perkawinan antar agama tidak diperbolehkan, atau minimal dipersulit dengan prosedur birokrasi dan uang yang tidak sedikit. Dalam kasus perkawinan antar bangsa, pihak perempuan bisa kehilangan hak kewarganegaraannya hanya karena pernikahan.
Selain demi pemurnian keturunan dan ras, rekayasa kultur telah menggiring pernikahan menjadi lembaga pewaris dan pelindungan hak kepemilikan. Mulai dari pewaris tradisi, nilai-nilai sampai kekayaan material, yang ujung-ujungnya adalah pewarisan kekuasan, dijaga terus dengan alasan pernikahan. Kelangsungan warisan dapat diukur dari jelas-tidaknya perkawinan dan dalam lingkup tradisi apa perkawinan itu disahkan.
Perkawinan atau pernikahan juga bisa menjadi lembaga penjamin stabilitas perekonomian dan tenaga kerja. Bagi kalangan marjinal, institusionalisasi perkawinan yang meriah, birokratis dan glamour sangat jauh dari realita mereka. Alasan material atau ekonomi dan penyediaan tenaga kerja seringkali menjadi faktor dominan bagi keberlangsungan sebuah perkawinan. Bagi keluarga menengah ke atas, perkawinan menjadi sebuah ajang prestise dan memamerkan kemampuan ekonomi serta kekuasaan mereka. Dalam masyarakat modern, pengesahan perkawinan bukan merupakan ritual yang murah dan mudah. Ada banyak sumber daya dan energi serta pengorbanan yang dibutuhkan bagi pengatualisasian hegemoni kekuasaan melalui lembaga perkawinan ini. Akhirnya, lembaga perkawinan sangat berpotensi jatuh menjadi lembaga borjuis dan menjadi ajang obyektifikasi manusia.
Lewat pernikahan yang dilembagakan inilah, negara (dan juga agama serta budaya) mengontrol dan mengatur warganya. Kontrol lewat lembaga perkawinan yang menghasilkan keluarga ini terbukti cukup efektif di Indonesia selama ini. Mulai dari sosialisasi konsep Ibuisme[2], kontrol atas Pegawai Negeri dan ABRI, sampai pada kontrol atas reproduksi perempuan lewat program KB. Lewat Undang-Undang Perkawinan dan PP 10, negara mendapat legitimasi untuk mengatur kehidupan perkawinan dan seksual warganya.
Dengan demikian, perkawinan menjadi sebuah institusi yang sarat dengan kekuasaan yang hegemonis, dan cenderung merepresi orang-orang yang ada di dalamnya, apalagi yang tidak termasuk di dalamnya.
Lantas, Apakah Melajang Menjadi Sebuah Pilihan Alternatif?
Walaupun selama ini posisi pelajang berada di batas ada dan tiada, tetapi justru dengan kehadiran para pelajang, pernikahan dapat dikembalikan pada posisi alamiahnya yang lebih adil dan setara. Karena pelajang mempunyai peran penting dalam pendefinisian sebuah makna maupun dalam pemaknaan sebuah identitas (baik dalam lingkup pribadi, sosio kultural, politis, maupun ideologis).
Masing-masing manusia lengkap dan utuh pada dirinya, bukan setengah manusia. Maka, tidak harus melalui lembaga perkawinan, seorang manusia baru bisa menjadi sepenuhnya manusia, dan untuk saling melengkapi. Dalam diri setiap manusia (perempuan, laki-laki, dan yang tidak dikategorikan keduanya) masing-masing mengandung unsur feminitas dan maskulinitas pada dirinya sendiri. Tidak dikotomis dan dualistis, tidak terpisah dan tidak rimpang. Pilihan untuk tidak menikah atau melajang justru ingin menguak kapasitas diri untuk menyeimbangkan diri dan menuju pada keutuhan diri, justru dengan menempatkan diri dalam posisi “bebas untuk”.
Melajang atau tidak menikah memang bukan pilihan satu-satunya dan mutlak. Ia adalah pengalaman konkret. Ia bukan pula karena “jomblo sepanjang hidup”, "tidak laku", atau "tidak normal". Ia merupakan pilihan karena pengalaman interseksualitas sendiri menyiratkan berbagai peluang berelasi.
Kesadaran untuk memilih melajang bisa jadi merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap tubuh dan seksualitas yang tidak tunggal/seragam. Kesadaran akan reaksi-reaksi kimia yang menimbulkan berbagai gejolak emosi yang biasanya disebut CINTA itulah yang membawa orang semakin mendalami ekspresi-ekspresi relasi interseksualitasnya.
Mengutip terminologi yang digunakan oleh Victor Turner, para pelajang ini bisa menjadi komunitas liminal, di mana distingsi seksualitas menjadi tidak nyata. Sebagai komunitas liminal, mereka punya potensi besar menjadi agen transformasi sosial, yang membawa pemaknaan baru bagi kebudayaan manusia.
Pada Akhirnya…
Melajang, menikah atau hidup bersama dengan pasangannya merupakan beragam bentuk pilihan hidup masing-masing orang. Pilihan bentuk relasi ini tidak akan pernah dilepaskan dari relasi sosial yang lebih luas, antar masyarakat dalam institusi-institusinya. Tetapi setidaknya, biarlah masing-masing pribadi bisa memperoleh ruangnya untuk bertanggungjawab bagi hidupnya dengan memberi ruang bagi kehendak bebasnya untuk membuat pilihan yang diyakininya membahagiakan! Kekuasaan dalam bentuknya yang paling romantis sekalipun tetaplah punya potensi untuk menghegemoni dan menimbulkan keterkungkungan, ketidakadilan, dan juga ketidakbahagiaan.
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, laki-laki ataupun yang tidak dianggap kedua-duanya….
Memiliki kuas dan kanvasnya sendiri,
Menorehkan sapuan warna-warninya sendiri,
Di atas cakrawala, di antara bentangan langit, dan di atas bumi yang berputar dan terus berputar….
Karna setiap orang adalah pelukis,
Karna setiap orang adalah penari,
Yang mungkin melakukannya tunggal,
Duet, trio, atau kuartet…
Biarkan setiap insan yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, laki-laki maupun yang tidak dianggap kedua-duanya…
Melukis dan menari lukisan dan tariannya masing-masing….
Melukis dan menari bersama kosmis, mengikuti hati dan naluri, bersama kehendak bebas yang melayang….
(Intan)


[1] Istilah ini diperkenalkan oleh Collete Dowling untuk mendefinisikan peristiwa psikologis perempuan dalam perkawinan.
[2] Istilah ini diperkenalkan oleh Julia I. Suryakusuma; yang mengacu pada konsep perempuan yang dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru; dimana perempuan hanya dilihat sebagai istri yang keberadaannya tergantung pada suami, keluarga dan negara.

[Masalah Kita] Sebuah Cinta Kasih: Ikatan Suci Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa

Saya tidak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada orang dari etnis lain
Saya tidak pernah punya impian untuk menjadi anak tidak berbakti, hanya karena saya mencintai orang dari etnis lain.

Saya seorang anak Tionghoa berusia 27 tahun, yang telah hampir 7 tahun ini berpacaran dengan seorang anak dari etnis Jawa. Kami satu almamater, namun uniknya kami baru berkenalan dengan cukup dekat justru di saat-saat di mana salah satu dari kami sudah hampir lulus kuliah S1nya.

Seperti mungkin Anda para pembaca sudah menduganya, hubungan kami mendapat tentangan yang cukup keras yakni dari keluarga saya, keluarga Tionghoa. Lewat beberapa kesempatan, saya (dan kami terkadang) mencoba untuk membuka ruang dialog. Namun hanya penolakan, penolakan, dan penolakan yang kami terima. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang tua saya, menurut saya mengalami titik buntu untuk diperdebatkan -Seperti apa nanti kata orang kalau anakku menikah dengan orang Jawa? Apa nanti kata teman-teman dan kolegaku jika melihat diriku punya menantu orang Jawa? dan banyak lagi alasan-alasan sejenis-.

Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang sangat ironis bagi saya, yang masih terucap di jaman modern seperti ini. Bahkan predikat sebagai anak yang tidak berbakti itupun saya peroleh. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kerelaan orang tua untuk kehilangan anaknya yang berpacaran dengan orang Jawa ini, demi mempertahankan gengsi, penilaian atau pun omongan orang lain. Singkatnya mempertahankan status sosial, yang tentunya tidak kekal sifatnya dibandingkan dengan hubungan darah yang telah mengalir dalam diri anak dan orang tua.

Pada satu sisi tertentu saya dapat memahami mengapa orang tua saya berperilaku demikian? Latar belakang pendidikan orang tua saya adalah pendidikan Belanda. Saya sendiri tidak begitu tahu apa yang terjadi pada zaman Belanda tersebut. Namun yang pasti saya ketahui adalah rata-rata para orang tua yang mengenyam pendidikan Belanda, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok dengan etnisnya dan cenderung mengeklusifkan diri. Orang tua yang pernah mengalami zaman itu cenderung menilai etnis Tionghoa adalah etnis yang paling baik, paling berderajat, dan paling-paling yang lain. Sementara etnis Jawa adalah tidak lebih dari sekumpulan orang yang memiliki derajat di bawah etnis Tionghoa dan hanya bisa meminta-minta tanpa mau berusaha keras layaknya orang-orang etnis Tionghoa.

Ditambah lagi susunan keluarga, di mana saya anak paling kecil dan perempuan satu-satunya. Itu semua tentunya menjadikan hal yang wajar jika orang tua saya berperilaku demikian. Namun masalah lebih lanjut adalah saya hidup di zaman ini (dan bukan di jaman Belanda), di mana pada masa ini setiap manusia dewasa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama besarnya untuk mengkomunikasikan apapun (termasuk perasaan cintanya) secara terbuka, dewasa, dan logis.

Mungkin memang cinta itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, karena ini menyangkut hati. Mungkin ini juga yang disebut bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Namun pertanyaan reflektif berikutnya adalah jika cinta di antara dua etnis yang berbeda ini menjadi sebuah bentuk pelanggaran seorang anak pada orang tua, dapatkah kemudian masyarakat sebagai kelompok yang lebih besar daripada keluarga mewujudkan cinta dalam negara yang dipenuhi oleh manusia dari beragam etnis ini? Jika tidak sampai kapankah topeng keharmonisan, keguyuban, kerukunan antar etnis akan terus dipakai oleh orang-orang Indonesia yang katanya negara majemuk??

[Opini] BERSIT-BERSIT MAKNA CINTA

Cinta adalah energi yang sangat besar. Karena itu seringkali kita kesulitan melukiskan makna cinta. “Cinta terlalu luas, terlalu dalam untuk dipahami, diukur atau dibatasi dengan sekedar bingkai kata-kata”, kata M. Scott Peck, dalam The Roadless Travelled. Namun definisi cinta tetap penting, setidaknya karena banyak orang bingung memaknai cinta.

Sesuatu yang bukan cinta, dikira cinta. Seorang pria yang tidak pernah mengijinkan pacarnya, untuk pergi sendiri ke suatu tempat tanpa ia dampingi, mengira dirinya sangat mencintai sang pacar. Padahal sesungguhnya pria itu hanya sangat memanjakan sang pacar, dan sangat memanjakan tentu sama sekali tidak sama dengan mencintai. Banyak orang salah memahami cinta, dan perasaan-perasaan tertentu mereka kira sebagai cinta sejati. Sering kita dengar “cinta itu perasaan”, “cinta itu romantika”, “saya akan menemukan tujuan hidup dengan belahan jiwa saya”, “cinta akan menyembuhkan kesepian dan penderitaan”.

Miskonsepsi lain tentang makna cinta bersangkut paut dengan jatuh cinta. Jatuh cinta dikira cinta, padahal bukan sama sekali. Jatuh cinta adalah pengalaman seksual erotik. Ia selalu berlandaskan motivasi seksual. Di samping itu, jatuh cinta, kendati selalu dihayati manusia sebagai pengalaman luar biasa menakjubkan, selalu bersifat sementara. Seperti bulan madu dan romantika manusia, jatuh cinta selalu berkesudahan, bahkan tak jarang berakhir setelah suatu kurun yang singkat. Pada jatuh cinta, ego boundaries atau dinding ego mengalami kehancuran parsial dan sementara. Kehancuran itu bersifat mendadak, spontan, dan terjadi tanpa kerja energi insan pemiliknya. Dinding ego adalah pengetahuan manusia tentang batas-batas dirinya, yang berada dalam khazanah mentalnya. Ia memungkinkan manusia menghayati keterpisahan dan sense of identity. Ketiadaannya mengakibatkan seseorang berusaha merengkuh komitmen, namun kemudian takut mewujudnyatakan komitmen itu. Anak yang mendadak ditinggalkan orang tuanya, misalnya karena kedua orangtuanya meninggal dunia, bisa mengalami rasa nyeri hebat, karena kematian orangtua memutuskan pengalaman komitmen yang sebelumnya telah dirintis kedua orang tuanya. Anak itu bisa bertumbuh menjadi insan yang takut merengkuh komitmen. Dia membutuhkan pengalaman baru yang mendasar dan memuaskan dalam naungan komitmen yang andal.

Cinta: Kebahagiaan dalam Penderitaan
Ternyata cinta tidak sefantastik jatuh cinta. Cinta membebaskan manusia dari kesepian. Ia membuahkan kelegaan, keleluasaan, kehangatan. Dengan kata lain, ia membawa kebahagiaan. Namun cinta juga membawa rasa nyeri, karena ia hanya dapat diwujudnyatakan manusia dengan upaya aktif, kerja keras, bahkan perjuangan sadar. Bahkan ternyata cinta penuh risiko. Acapkali manusia yang mencintai mesti berani menanggung risiko perubahan, yang juga membawa rasa takut. Risiko lainnya adalah keniscayaan melepaskan ketergantungan, keniscayaan mempertahankan komitmen, dan risiko hidup di tengah kearifan konfrontasi dan kritik. Singkatnya, cinta membawa bersit-bersit rasa nyeri bahkan bercak-bercak penderitaan. Cinta merangkum kebahagiaan dalam penderitaan.

Namun barangkali itulah penderitaan yang disebut Carl Gustav Jung, legitimate suffering, penderitaan yang sah, penderitaan yang patut dan layak ditanggung manusia yang sungguh menginginkan kebahagiaan. Bahkan secara implisit Jung mengatakan bahwa legitimate suffering merupakan syarat yang niscaya buat kebahagiaan. Kata Jung: Neurosis is always a substitute for legitimate suffering. Manusia yang menghindar dari keniscayaan menanggung legitimate suffering, akan mengidap kecemasan jiwani, neurosis. Dan tentu, di tengah kecemasan jiwani itu sesungguhnya manusia kian banyak mengalami penderitaan. Rupanya kebahagiaan hanya bisa sungguh diraih manusia, jika ia berani menanggung penderitaan (yang sah), dalam cinta bisa diandalkan untuk menyangga peradaban umat manusia yang terus menerus membutuhkan energi cinta. Maka pengalaman jatuh cinta mengingatkan insan berjiwa dewasa untuk terus memperjuangkan cinta sejati yang lestari.

Cinta Bukan Perasaan, Ia Mengatasi Perasaan
Ada perintah emas mengatakan, “Cintailah musuh-musuhmu, dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian”. Bisa dibayangkan seandainya cinta hanyalah perasaan, niscayalah perintah itu hanyalah sebuah utopia, tak ada insan yang bisa mewujudnyatakannya. Jika cinta adalah perasaan (just a feeling), manusia yang pada umumnya digelantungi perasaan benci atau tak suka pada musuhnya tentu tak mungkin mencintai si musuh. Love is not a feeling.

Memang cinta bisa disertai perasaan. Namun ia bukan sekedar perasaan itu. Ia mengatasi perasaan. Cinta bisa terjadi tanpa adanya perasaan senang pada orang lain, karena cinta dilandasi pilihan dan keputusan sadar nan arif. Cinta adalah kehendak untuk mengembangkan diri dan merawat tumbuh kembang orang lain. Lantas pelaku cinta memutuskan dirinya memilih mencintai.

Dengan demikian komitmen merupakan bagian otentik yang sangat penting dalam cinta. Komitmen merebakkan rasa aman, yang sangat diperlukan untuk perluasan ego, suatu peristiwa yang teralami sebagai suatu perubahan dan penjelajahan ke dunia baru yang beresiko. Manusia butuh rasa aman yang merekah dari komitmen, untuk melakukan perubahan dan penjelajahan yang pasti ia rasakan mengandung risiko. Di samping itu, komitmen memungkinkan konsistensi proses. Cinta adalah proses yang konsisten. Karena itu, ia membutuhkan komitmen.

(Bagus T. Nugroho)

[Media] Sebuah Dunia Tanpa Suami


Judul : Sebuah Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga Bercerita
Produksi : PEKKA-PPSW bekerjasama dengan Komnas Perempuan
Tahun : 2004
Pernikahan, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer diartikan sebagai perjanjian resmi antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga ini, pada dasarnya sangat terbuka untuk dimaknai oleh siapa saja dan selalu dimungkinkan untuk munculnya counter-hegemoni ataupun hegemoni alternatif.
Pernikahan, yang oleh mainstream masyarakat selalu dikonotasikan sebagai pernikahan heteroseksual, sekaligus juga mengusung pelbagai mitos dan konstruksi sosial. Kontruksi sosial gender telah menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berarti pemimpin dan penentu kebijakan dalam keluarga tersebut serta menjadi pencari nafkah dan tulang punggung bagi keluarganya. Sedangkan perempuan sebagai ibu dan istri dituntut pengorbanannya serta diberi beban sebagai penjaga moral keluarga dan bangsa.

Pemikiran tentang pernikahan sebagai sebuah keniscayaan (beserta peran gender sebagai paketnya) pada ujungnya membangkitkan berbagai persoalan pelik yang tak berkesudahan. Mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dll. Pertengkaran, selingkuh, ketidaksetiaan, pengkhianatan dilihat sebagai resiko yang harus ditempuh dalam sebuah keluarga.
Padahal, banyak orang mendamba pernikahan, dengan kebahagiaan sebagai titik akhirnya. Seakan pernikahan sepasang insan adalah kata akhir dan puncak hidup bagi setiap orang. Sepertinya, pernikahan menjadi “kodrat karena Yang Mahakuasa pun telah “memilihkan” pasangan atau jodoh untuk setiap orang. Pernikahan menjadi lembaga yang normatif, dalam artian ia menjadi patokan kebahagiaan sepasang insan.
Lalu, bagaimana para pelaku pernikahan yang terkonstruksi dan terinstitusionalisasi ini bergelut dengan realita mereka? Mampukah mitos dan konstruksi sosial gender seputar pernikahan dan keluarga ini mewujudkan dambaan para pelakunya atas pernikahan itu sendiri?
Ketika pernikahan tidak lagi ‘ideal’ seperti tuntutan konstruksi itu, bagaimana nasib para pelaku dan pernikahan serta keluarga itu sendiri? Akankah mereka bertahan?
Para perempuan dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sambas yang tergabung dalam PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) menuturkan cerita dan pengalaman mereka lewat film ini. Mereka adalah para perempuan yang pernikahannya dianggap “cacat” atau “tidak ideal”, karena pasangan mereka tidak bisa mengambil peran yang dikonstruksikan bagi laki-laki untuk menjadi kepala keluarga.
Pengambilalihan peran perempuan sebagai kepala keluarga bukan pilihan mereka pada awalnya. Banyak dari mereka yang terpaksa menjadi kepala keluarga karena sang suami selingkuh, mabuk-mabukan, memukul, berbohong, menipu dan mencuri hartanya, memperkosa, atau karena suaminya sakit, terbunuh atau hilang karena diculik.
Dalam film ini, kita bisa belajar dari para perempuan ini bagaimana mereka mengatasi situasi yang pada awalnya merupakan keterpaksaan dan beban ini. Satu per satu mereka menuturkan bagaimana harapan-harapan dan impian mereka dahulu tentang pernikahan, yang kemudian kandas di tengah jalan. Berbagai peristiwa dialami mereka masing-masing menyangkut relasi dengan pasangannya. Kesakitan dan kesedihan demikian sarat. Tetapi, yang hebat adalah proses kebangkitan mereka. Bagaimana mereka menyemangati diri, memotivasi diri untuk bertahan hidup bagi keluarganya dan dirinya sendiri. Pengalaman jatuh bangun menjadi kepala keluarga dan menjadi orang tua tunggal tidak terelakkan. Semua proses itu dilakukan semata-mata karena rasa cinta: cinta pada anak, cinta pada kehidupan. Rasa cinta pada kehidupan inilah yang menggerakkan mereka untuk bersama-sama mentransformasi hidup mereka dan orang lain. Di sinilah makna seorang aktivis....
Pada gilirannya, kesadaran baru serta kehidupan baru terbit sebagai hasil dari pengorganisasian diri dan bersama. Hingga akhirnya mereka bisa berkata: “to forget, to forgive and to continue our live”. (ID)

[Tips] TIPS MENCARI PASANGAN VIA INTERNET

Tersedianya fasilitas komunikasi yang canggih ini tidak disia-siakan oleh banyak kawula baik muda atau pun tua untuk mencari teman sebanyak-banyaknya, untuk mencari pasangan, urusan bisnis atau pun keperluan lainnya. Dari sekian banyak pilihan, tampaknya chatting atau komunikasi melalui instant messaging menjadi favorit. Selidik punya selidik, ternyata banyak juga rekan-rekan yang menemukan pasangan hidupnya melalui media ini. Wah, hebat!!! Lalu bagaimana ceritanya?? Kurang lebih inilah yang disharekan oleh salah seorang rekan kita yang kebetulan menemukan belahan jiwanya lewat kecanggihan teknologi ini.
Sebenarnya tidak ada niat khusus untuk mencari pasangan lewat internet. Itu hanyalah satu alternatif untuk memperluas relasi. Chatting melalui internet ini dapat menghubungkan kita ke banyak orang yang ada di berbagai tempat. Namun akan jauh lebih menguntungkan kalau kita bisa bertemu langsung dengan siapa kita berkomunikasi.. Ada banyak kendala ketika kita berkomunikasi melalui dunia virtual seperti internet. Kita sulit untuk mengetahui apakah lawan bicara kita itu mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak. Kalau kita berhadapan langsung, kita akan terbantu untuk bisa menilai seseorang dari bahasa tubuhnya.

Jika motivasinya adalah untuk mencari pasangan, maka bisa dipastikan bahwa orang yang bersangkutan harus siap berjudi. Ada banyak ‘orang baik’ yang memanfaatkan media ini, namun ‘orang yang tidak baik’ juga tidak kalah banyaknya. Yang jelas banyak orang yang enggan menggunakankan identitas asli. Jadi kita memang harus jeli ketika memilih ‘kawan maya’ kita ini. Salah satu tips untuk itu adalah dengan melihat konsistensi pembicaraan lawan bicara kita. Kalau lawan bicara kita tidak konsisten, biasanya ada sesuatu yang tidak beres.
Yang penting ketika kita memasuki dunia ini adalah otentisitas. Tidak ada ruginya kalau kita menjadi diri kita sendiri. Hubungan apa pun kalau dilandasi oleh kebohongan tidak akan berjalan baik. Namun jangan lupa bahwa komunikasi melalui dunia maya itu hanyalah sebuah permulaan. Komunikasi langsung alias copy darat yang terjadi setelah itu merupakan proses pengenalan yang jauh lebih penting.
***

[Tips] Kiat berinternet untuk komunikasi jarak jauh: Agar Anda dan si Dia Tetap Dekat dan Irit

Siapa bilang internet ‘cuma' media komunikasi yang hanya bisa email dan chatting? Dengan perkembangan internet sekarang ini, bentuk komunikasi manusia perlahan-lahan semakin dimudahkan dan dilengkapi. Hal yang menarik adalah ternyata semua itu makin ekonomis dan terjangkau.

Bagi Anda, pasangan istri-suami atau pacar atau yang terlibat dalam sebuah relasi, yang membutuhkan komunikasi intensif tetapi sementara sedang dalam keadaan terpisah ruang, jarak dan waktu; internet bagai oase di tengah gersangnya media komunikasi murah meriah. Mari kita susuri apa saja aplikasi-aplikasi internet yang bisa ditawarkan untuk membuat hubungan Anda dan si dia yang berjauhan mata tetap dekat di hati. Berikut diantaranya yang populer.

Email
Ini adalah aplikasi internet yang legendaris. Email merupakan sebuah ‘penyempurnaan’ dari bentuk surat menyurat konvensional via pos, karena lebih mudah dan cepat penyampaiannya dengan biaya yang tak kalah ekonomis. Cukup dengan membuat alamat email gratisan di tempat-tempat seperti yahoo, hotmail, lycos, dsb. Fiturnya yang menarik adalah ‘attachment’ yang memungkinkan mengirim file, foto, dsb. Email membutuhkan jeda waktu respon tergantung antar penerima dan pengirim email. Tetapi jika Anda dan si dia mempunyai komitmen “tiada hari tanpa email”, paling tidak dalam jangka waktu 1x24 jam selalu ada kabar via email.

VoIP
VoIP atau voice over internet protocol adalah suatu bentuk sistem komunikasi suara seperti halnya fix telepon biasa (PSTN) tetapi menggunakan teknologi dan saluran internet. Dengan layanan ini berarti kita bisa saling berkomunikasi dengan siapa saja di belahan bumi ini asalkan terhubungkan dengan internet.

Penyedia jasa VoIP yang populer di indonesia dilayani oleh TelkomGlobal 017 dan Indosat GlobalSave 17001. Kelebihan dari layanan ini adalah bisa diakses via telp biasa (PSTN) juga via handphone. Biayanya pun lebih hemat sekitar 80% lebih murah dibandingkan layanan SLI dengan kualitas lumayan.

VOIP-Merdeka
VOIP-Merdeka pada prinsipnya serupa dengan VOIP biasa yaitu menggunakan jaringan Internet Protokol (IP) sebagai media. Perbedaannya dengan VoIP di atas adalah bahwa VoIP-Merdeka hanya dilakukan antar Personal Computer (PC). VoIP-Merdeka lahir dari swadaya masyarakat yang dipelopori Onno W Purbo untuk mewujudkan sarana komunikasi rendah biaya.
Operasionalnya tidak terlalu sukar karena tersedia tutorialnya di website. Hal yang tidak kalah penting adalah keharusan komputer menyediakan fasilitas multimedia yang cukup seperti soundcard, speaker dan microphone. Sama halnya dengan komunikasi berbasis IP, koneksi VoIP-Merdeka ini mensyaratkan kondisi jaringan internet yang stabil.

Skype
Skype merupakan program bebas yang menggunakan teknologi jaringan P2P (peer to peer) yang menjanjikan komunikasi suara kualitas tinggi antar pengguna di seluruh dunia. Operasionalnya juga mudah, cukup download programnya dari website skype.com, instalasi lalu registrasi. Jika Anda dan si dia sudah teregistrasi dan sama-sama online, Anda berdua dapat melakukan percakapan. Sama halnya dengan aplikasi internet untuk komunikasi lisan, Skype memerlukan komputer dengan fasilitas multimedia yang cukup.

Instant Messaging
Ada juga layanan lain yang komplit, Anda bisa ngobrol via teks (chatting) lengkap dengan audio maupun visual. Selain layanan YahooMessenger! (YM!) sebetulnya banyak juga layanan lain seperti AOL Instant Massanger (AIM), MSN Messenger dsb yang mampu menyediakan fitur-fitur ini, tetapi kali ini akan dibahas YM! saja. YM! mirip sebuah komunikasi lisan tetapi menggunakan sarana text sebagai interaksinya. Jika Anda mahir mengetik cepat (blind system) tentu komunikasi via YM! lebih hidup. Operasionalnya pun juga mudah. Cukup download dan instalasi programnya dari website, maka Anda dan si dia dalam contact list yang sama dapat saling berkomunikasi.

Dalam perkembangannya, YM! dan layanan Instant Messaging ini juga menawarkan komunikasi suara dan visual. Tentu otomatis memerlukan hardware baru untuk aktivasinya seperti komputer yang harus mempunyai fasilitas multimedia dan webcam (untuk komunikasi visual). Selain itu agar komunikasi ini lancar diperlukan koneksi internet yang lumayan bagus dan stabil terlebih jika menggunakan webcam. Tetapi tak usah khawatir karena sekarang sudah banyak warnet yang menyediakan fasilitas ini walaupun memang biayanya lebih mahal daripada warnet biasa.

Kesimpulan
Anda bisa saja memakai semua layanan itu secara bergantian karena memang tidak ada yang paling sempurna. Jadi jika hari ini Anda ingin memberi kabar dengan foto, pakailah email dengan attachmentnya. Jika ingin ngobrol tetapi terbatas jaringan internetnya, hari berikutnya pakailah chatting. Jika ada ekstra biaya, hari-hari lainnya pakai saja VoIP dsb. Semua bisa secara kreatif Anda gunakan sehingga Anda dan si dia tetep lengket hingga bertemu kembali!

(Kukuh Ari Yuswanto)

[Jalan-jalan] Cerita dari Bali

Pertengahan desember 2004 lalu saya bersama 5 orang tim fasilitator KaIL mendapat kesempatan terlibat dan memfasilitasi kegiatan Pertemuan Nasional (PeNas) Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) yang diselenggarakan di tempat salah satu anggotanya di Bali. Lokasinya di daerah wisata Pantai Sanur, sekitar 200 meter dari tepian pantai, cukup beberapa menit saja waktu yang diperlukan untuk mencapainya.

Tema yang diangkat pada pertemuan nasional kali ini adalah Peran Pendidikan Lingkungan Hidup Dalam Realitas Kemiskinan dan Permasalahan Gender. Peserta yang hadir merupakan utusan dari sekitar 40 anggota JPL yang diseleksi dari semua anggota yang ada di seluruh Indonesia, baik atas nama lembaga ataupun perorangan. Selain itu ada banyak juga undangan dalam acara ini, yang memiliki latar belakang kegiatan sesuai dengan tema besar yang di angkat pada PeNas.

Acara berlangsung di tengah musim hujan yang kerap turun cukup deras di sela-sela kegiatan. Namun tetap saja saya dan beberapa fasilitator dari Bandung masih merasa kegerahan karena kami memang terbiasa dengan udara Bandung, walaupun belakangan ini suhu Bandung lebih panas dari biasanya.

Tuan rumah yang cekatan
PPLH Bali (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali), itulah nama lembaga yang dipercaya menjadi tuan rumah hajatan nasional JPL kali ini. Walau hanya dengan jumlah staff tidak lebih dari 10 orang namun tuan rumah ternyata punya cukup banyak relawan yang membantu hajatan ini, sehingga mereka nampak tidak mengalami kesulitan dalam mengorganisasi seluruh kegiatan.

Selain itu penyelenggara acara ini terlihat sangat cekatan menangani segala macam urusan peserta, apalagi bila terkait akomodasi dan pelayanan bagi peserta. Ini tentunya karena tempat acara berlangsung ini sehari-harinya merupakan hotel dan penginapan yang dikelola oleh PPLH Bali, tak heran bila tuan rumah terlihat profesional dalam urusan akomodasi peserta ini. Walaupun jika dilihat dari namanya, hotel milik PPLH Bali yang diberi nama Hotel Santai, bukan berarti mereka memang santai-santai dalam mengelola acara ini.

Seminar di tengah kawasan mangrove
Hari pertama rangkaian kegiatan PeNas ini dimulai dengan seminar sehari yang diselenggarakan di Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Centre) JICA Bali. Kompleks Pusat Informasi Mangrove ini berdiri cukup megah di tengah-tengah kawasan hijau hutan mangrove yang rimbun dan terjaga. Kawasan yang menjadi tempat penelitian dan pusat informasi mangrove ini tentunya juga mempunyai fungsi utama sebagai sabuk penyangga pesisir pantai dari pengikisan air laut. Selain itu kawasan hutan mangrove ini menjadi tempat hidup beberapa jenis burung laut.

Memang jarak dari penginapan ke lokasi itu cukup jauh bahkan harus menggunakan bis untuk mengangkut peserta sebanyak itu. Namun tuan rumah berhasil memberdayakan banyak potensi di Bali untuk terlibat dan membantu terselenggaranya acara ini. Seperti halnya Pusat Informasi Mangrove JICA yang menurut panitia sengaja dipinjamkan kepada PPLH Bali untuk seminar, bis yang mengangkut seluruh peserta dari hotel menuju lokasi seminar pun merupakan pinjaman dari Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Bali. Jadi sekali lagi ini menunjukkan bahwa panitia tidaklah santai-santai seperti nama resmi hotelnya yang terpampang besar di depan halaman hotel. Karena tentunya seluruh bantuan itu diperoleh dengan proses lobby yang tidak mudah. Yang tak kalah menariknya adalah beberapa pembicara dalam seminar itu sengaja datang dari berbagai wilayah di luar Bali seperti Jawa dan Sulawesi, yang khusus datang untuk membantu suksesnya hajatan ini, luar biasa.

Seminar ini merupakan awal rangkaian kegiatan Pertemuan Nasional yang mengupas isu kemiskinan dan kaitannya dengan permasalahan lingkungan dan gender yang menjadi tema besar pertemuan JPL. Isu dalam tema besar ini dikupas dengan cukup menarik oleh lima orang pembicara yang hadir, bahkan respon peserta terlihat sangat antusias. Karena isu yang diangkat merupakan isu yang cukup populer yang belum sepenuhnya digeluti oleh anggota JPL. Tidak heran bila cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta dalam seminar ini untuk memuaskan rasa penasaran mereka.

Dalam sesi terakhir peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk menggali dan merumuskan definisi kemiskinan berdasarkan pengalamannya masing-masing. Dari proses ini tergali cukup banyak dan beragam rumusan definisi kemiskinan. Tentunya semua itu berasal dari pengalaman masing-masing peserta di lapangan.

Misalnya menurut pendamping masyarakat petani, kemiskinan bagi masyarakat petani adalah ketika para petani tidak lagi memiliki tanah untuk pertanian dan mereka hanya menjadi buruh tani saja tanpa memiliki tanah, dan banyak definisi lain yang muncul dari beberapa peserta yang terlibat dalam penggalian definisi itu menurut bidang kegiatannya masing-masing. Seluruh rumusan tentang definisi kemiskinan ini menjadi modal awal lokakarya yang dilaksanakan pada hari-hari berikutnya.

Sore hari seusai seminar seluruh peserta mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kawasan mangrove di sekitar kompleks itu, sebelum kemudian kembali ke hotel tempat acara berikutnya dilangsungkan.

Metode Cara Berpikir Sistem dan Tantangannya.
Proses lokakarya yang dilakukan dalam 3 hari selanjutnya menjadi bagian yang sangat penting bagi KaIL karena tim ini terlibat penuh dalam fasilitasi proses untuk mencapai target yang optimal, di mana diharapkan dari lokakarya ini dihasilkan tema-tema pendidikan lingkungan yang terkait dengan realitas kemiskinan dan ketimpangan gender.

Metode untuk membawakan materi dalam proses lokakarya ini sebenarnya biasa dibawakan dalam kegiatan pelatihan rutin KaIL, yaitu menggunakan Metode Cara Berpikir Sistem untuk Menganalisa Permasalahan Sosial, Lingkungan dan Gender. Namun kegiatan kali ini menjadi jauh lebih menantang karena baru pertama kalinya bagi KaIL memfasilitasi kegiatan dengan metode cara berpikir sistem ini dengan jumlah peserta lebih dari 35 orang dengan usia dan karakteristik peserta yang beragam, walaupun bidang garapnya sama yaitu pendidikan lingkungan.

Metode yang digunakan ini memang bukanlah metode yang ringan karena menuntut banyak kesabaran dan ketekunan bahkan menuntut kita untuk berpikir dengan alur logika yang terstruktur yang dituangkan dalam peta permasalahan.

Selain itu metode cara berpikir sistem semacam ini masih jarang diketahui apalagi diterapkan oleh banyak kalangan termasuk oleh organisasi asal peserta lokakarya. Namun demikian peserta nampak sangat antusias mengikuti rangkaian proses ini. Walau terlihat wajah-wajah yang kelelahan namun mereka tetap tekun dan sabar menggeluti proses ini. Tentunya mereka sadar agar hasil yang diperoleh dalam hajatan tiga tahunan ini bisa bermanfaat optimal dan hasil kerja mereka tidak manjadi percuma.

Salah satu tantangan berat lainnya bagi KaIL adalah menyampaikan isu gender kepada peserta yang kebanyakan masih asing dengan kata ‘gender’, baik dari bahasanya maupun dari substansinya. Sepertinya bagi kebanyakan peserta yang hadir kata gender itu dipahami sebagai perempuan dan permasalahannya.

Untuk memberikan pemahaman dan esensi kata gender itu memang cukup memakan waktu. Apalagi bila peserta yang dihadapi itu dari awal cenderung enggan memahas isu ini. Keengganan ini mengakibatkan peran gender hanya sedikit terangkat dan sedikit mempengaruhi setiap peta permasalahan yang dibuat peserta. Memang masih menjadi tantangan berat bagi banyak kalangan untuk mangangkat dan memberikan pemahaman gender di tengah kultur masyarakat kita yang masih seperti sekarang.

Hasil Yang Tidak Sia-Sia.
Secara keseluruhan proses tiga hari lokakarya ini memang tidaklah sia-sia. Melalui kesabaran, saling berbagi pengalaman antar peserta serta ketekunan menggeluti sesi demi sesi, akhirnya peserta mampu menyelesaikan seluruh tugasnya dan tentunya target yang direncanakan dan diharapkan pun mampu tercapai. Terlepas dari itu semua, banyak kesan dan pengalaman baru yang saya peroleh selama terlibat dalam keseluruhan proses Pertemuan Nasional JPL. Tentunya karena dalam tim fasilitator KaIL ini saya menjadi salah satu fasilitator junior yang masih perlu banyak menambah pengalaman dan jam terbang melalui kegiatan semacam ini.

Perasaan senang bukan hanya dirasakan oleh peserta tetapi tentunya juga dirasakan oleh tim fasilitator KaIL. Bayangkan, selama tiga hari menguras tenaga dan pikiran bahkan waktu tidurpun selalu lewat tengah malam karena padatnya materi yang disampaikan setiap harinya.
Untuk mengobati rasa lelah setelah menyelesaikan sesi demi sesi kegiatan, jalan-jalan di tepi pantai atau sekedar berendam di kolam renang hotel menjadi pilihan yang di gemari kebanyakan peserta. Pilihan jalan-jalan di pantai pun tentunya berlaku juga bagi saya dan tim fasilitator KaIL, lumayan sekedar melepaskan rasa penat seharian di ruang lokakarya.

Terakhir dari Bali
Alokasi waktu selama tiga hari itu memang cukup padat sehingga tidak ada kesempatan bagi kami untuk sengaja jalan-jalan di pulau wisata ini, apalagi untuk belanja dan mencari oleh-oleh khas Bali. Tapi ada satu hal menarik yang sempat saya perhatikan selama di sana, selain kawasan mangrove yang terpelihara kelestariannya, di setiap wilayah yang sempat saya perhatikan juga di hampir setiap halaman rumah, begitu banyak pepohonan besar dan kondisinya terjaga. Serta begitu banyak juga daerah-daerah yang hijau dengan ditumbuhi beragam tumbuhan dan tegakan pohon mulai dari yang kecil hingga yang besar dan berusia tua.

Ini menandakan bahwa masyarakat Bali begitu menghargai nilai-nilai kelestarian alam sekitarnya, dan kabarnya bukan hanya kepada pohon saja mereka memberikan penghargaan, tapi juga pada hewan yang ada di sana. Sungguh luar biasa, satu perilaku yang perlu kita contoh bila kita memang menghargai alam ini.

(Dedy Supriatna)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...