Editorial Agustus 2014

Salam Transformatif! Salam Kemerdekaan!

Memasuki bulan peringatan kemerdekaan Bangsa Indonesia, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Namun, sebelum beranjak lebih jauh, kami ingin mengajak pembaca semua untuk mempertanyakan kembali, sudahkah Anda memaknai kemerdekaan bagi diri Anda sendiri? Sudahkah hidup Anda berdaulat, di tengah hiruk pikuk perkembangan jaman saat ini?

Dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, Pro:aktif Online hadir untuk memaknai kemerdekaan dari aspek mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu pangan. Oleh karena itu, tema yang kami usung kali ini adalah “Bangsa Indonesia dan Kedaulatan Pangan”

Pangan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan sarana dasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk melanjutkan hidupnya. Sebagai sebuah sarana, hendaknya manusia memiliki kebebasan dalam proses pengadaan pangan, bebas mengolah bahan baku pangan menjadi makanan sehat yang memperkuat tubuh, bukan menjadi penyakit bagi tubuh itu sendiri.
Namun, bagaimana ketika kebebasan dalam proses pengadaan pangan itu justru membelit manusia dalam lingkaran ketergantungan yang merugikan? Dengan keadaan demikian, dapatkah dikatakan bahwa manusia telah berdaulat dalam hal pangan?

Pengertian kedaulatan pangan sebuah bangsa,menurut Serikat Petani Indonesia, adalah hak setiap bangsa untuk memproduksi pangan secara mandiri, serta hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan dan perikanantanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.

Mencermati definisi di atas, apakah Bangsa Indonesia telah berdaulat dalam hal pangan? Oleh karena itu, mari kita telusuri jawabannya bersama-sama dalam edisi Pro:aktif Online kali ini.
Pertama-tama, untuk mengetahui hakikat kedaulatan pangan itu sendiri, Anda dapat membaca rubrik Opini yang ditulis oleh Angga Dwiartama. Dalam artikelnya, ia membedakan antara ketahanan atas pangan (secure of food) atau ketahanan melalui pangan (secure through food).
Rubrik Opini yang kedua, ditulis oleh Anton Waspo, mengulik tentang fenomena impor bahan pangan di Indonesia yang telah mematikan produk pertanian lokal. Hal ini tentu saja mengurangi upaya bangsa Indonesia untuk berdaulat dalam bidang pangan. Bagaimana upaya mengurangi kecenderungan mengimpor bahan pangan, dapat kita cermati di dalam artikel ini.

Rubrik Pikir yang ditulis oleh Angga Dwiartama mengajak pembaca untuk merenungkan kembali mengenai cengkeraman kapitalisme terhadap proses pengadaan pangan. Rubrik Pikir yang kedua, ditulis oleh David Ardes.Dalam rubrik tersebut pembaca diajak untuk merenungkan secara khusus tentang kedaulatan pangan dalam skala Indonesia sebagai suatu bangsa.

Rubrik Masalah Kita, yang ditulis secara kolaboratif oleh Agustein Okamita dan Navita Astuti, mengulas tentang penurunan mutu pangan, mulai dari proses pengolahan di lahan pertanian, proses panen hingga proses pengolahan menjadi bahan pangan. Artikel ini mengajak kita semua untuk kritis mencermati proses-proses pengadaan pangan yang mengutamakan mutu serta mendukung kesejahteraan dan kesehatan konsumen.

Rubrik Media ditulis oleh Shintia D. Arwida, mengulas berbagai bacaan yang akan mencerahkan pembaca mengenai persoalan pangan.

Rubrik Tips ditulis oleh Maya Pujiati.Ia membahas tentang mudah dan murahnyamenghasilkan pangan sendiri dari kebun keluarga. Ia juga memberi contoh praktik-praktik yang dilakukannya sendiri di rumah, untuk menghasilkan makanan sehat tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Di rubrik Tips yang kedua, Melly Amalia mengulas berbagai tips memilih bahan makanan yang menyehatkan tubuh.

Any Sulistyowati membawakan rubrik Profil berisicerita tentang gerakan Koperasi Teikei. Keistimewaan koperasi ini adalah sistem pengadaan pangan secara langsung dan sehat yang diciptakan secara mandiri antara produsen dan konsumen di Provinsi Chiba, Jepang.
Melly Amalia membawakan rubrik Jalan-Jalan, yang mengulas tentang kegiatan sebuah organisasi bernama Bandung Berkebun. yang fokus pada pemanfaatan lahan untuk kebun. Rubrik ini hendak menunjukkan tentang berbagai keuntungan yang didapat dari berkebun.

Menilik artikel-artikel yang ada di edisi ini, satu hal yang perlu direnungkan bersama, bahwa kemerdekaan bukan sekedar status, atau sekedar angka-angka atau semata-mata standar yang telah dicapai, melainkan sebuah upaya atau gerakan, yang berawal dari hati masing-masing individu. Sudahkah kita sendiri membebaskan diri dari belenggu ketergantungan akan sesuatu? Terkait dengan tema ini, kita perlu bertanya kembali pada diri kita sendiri, sudahkah kita merdeka untuk menentukan sistem pangan sehat dan berkelanjutan bagi diri kita sendiri? Sudahkah Bangsa Indonesia memiliki kesadaran untuk mewujudkan itu semua?

Mari, berjuang untuk merdeka!

[PROFIL] Gerakan Koperasi Teikei di Jepang

Penulis: Any Sulistyowati
Sistem Pertanian Jepang dan Perkembangan Pasar Global
Di negeri Jepang, 70% lahan adalah hutan dan lahan-lahan pertanian sangat terbatas. Delapan puluh persen petani Jepang mengelola kurang dari 1.5 hektar tanah. Meskipun sempit, lahan-lahan tersebut sangat subur sehingga dapat ditanami 2-3 jenis tanaman secara bergantian, seperti gandum, padi dan sayuran maupun buah-buahan. Produksi pertanian di Jepang berkembang pesat setelah perang dunia kedua, di mana para tuan tanah diminta untuk menyerahkan lahan-lahannya kepada para penggarap, yang dengan penuh semangat menghasilkan produksi pangan nasional. Pertanian di Jepang berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat Jepang di tingkat lokal.
Sejak tahun 1954, Amerika Serikat mengirimkan surplus gandumnya ke Jepang sebagai konsekuensi kesepakatan militer kedua negara.  Akibatnya Jepang mengalami surplus pangan dan ekonomi Jepang pun makin berkembang pesat. Dalam kondisi tersebut masyarakat di perdesaan Jepang banyak yang berpindah ke kota untuk menjadi buruh di pabrik-pabrik. Dengan kelangkaan tenaga kerja, pertanian di Jepang berubah menjadi pertanian modern, skala besar, monokultur, padat modal, menggunakan mesin, terspesialisasi dan bergantung pada bahan kimia dan bahan bakar minyak.
Sebagai akibatnya, pertanian di Jepang menghadapi krisis besar. Sementara pangan yang diproduksi terkontaminasi dengan bahan kimia, para petani makin tergantung pada sumber penghidupan lainnya. Hidup sebagai petani terasa sungguh berat. Selain terkena resiko penyakit akibat penggunaan bahan kimia, penghasilan mereka dari sektor pertanian semakin sedikit. Semakin sedikit orang mau menjadi petani. Produksi pangan petani Jepang semakin sedikit. Produk pangan didominasi oleh produk pangan impor.  Trend semacam ini terjadi di seluruh dunia. Sistem pasar global mendominasi sistem produksi dan penyediaan konsumsi pangan seluruh dunia. Manusia sebagai konsumen pangan makin terpisah dari produksi pangannya.
Di tahun 80-an, khususnya setelah kecelakaan Cherynobyl di tahun 1986, masyarakat makin peduli dengan keamanan pangan. Kebutuhan akan produk yang sehat meningkat. Para pedagang merespons pasar ini dengan menjual produk organis dengan harga lebih  mahal dari produk biasa. Banyak pedagang mengeruk keuntungan dari harga yang mahal ini. Badan-badan sertifikasi mendapatkan keuntungan dari memberikan jaminan kepada produsen akan kualitas produk. Tentu saja biaya tersebut dibebankan kepada konsumen.
Pada sistem pasar global ini, harga ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan. Hukum penawaran dan permintaan ini menyebabkan fluktuasi harga pasar. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian, baik bagi produsen maupun konsumen, yang dapat berujung pada kerugian pada kedua belah pihak.
Di dalam pasar konvensional, produsen dan konsumen terpisah sama sekali. Di dalam sistem yang terpisah tersebut, konsumen tidak memiliki informasi mengenai produk apa saja yang seharusnya tersedia pada waktu tertentu. Akhirnya para produsen akan memproduksi sesuai dengan prediksi mereka akan kebutuhan konsumen. Ada kalanya konsumen menginginkan sesuatu yang di luar musimnya. Produsen terpaksa memproduksi sesuatu di luar siklus alam. Akhirnya diterapkan berbagai teknik pertanian yang bukan saja mahal tetapi berdampak negatif terhadap alam. Selain itu, di dalam sistem pasar yang sekarang dominan berjalan, sering terdapat informasi yang mengacaukan persepsi, baik bagi konsumen maupun produsen. Produsen sering menyampaikan informasi yang bias sehingga mendorong konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu. Sebaliknya konsumen sering menyampaikan kebutuhan akan produk tertentu yang sebetulnya tidak dibutuhkan.
Lahirnya Sistem Teikei
Pada tahun 70an, konsumen di Jepang mulai peduli dengan bahaya produk pertanian yang terkontaminasi dengan pestisida, pupuk kimia, herbisida dan antibiotik. Pada tahun 1975, Sawako Ariyoshi menulis buku Fukugouosen, yang dalam bahasa Jepang berarti polusi kompleks. Sementara itu di perdesaan, para petani menderita berbagai macam penyakit akibat penggunaan pestisida dan herbisida. Akibatnya muncul kesadaran kritis untuk mencari solusi bersama untuk menghasilkan makanan dan ekosistem pertanian yang sehat dan menguntungkan bagi konsumen sekaligus produsen pangan. (Hashimoto, 2009)
Sistem Teikeiberawal pada tahun 1960-an ketika ibu-ibu di Jepang kuatir akan kualitas susu akibat tercemar limbah merkuri. Untuk menjamin keamanan susu dan bahan pangan lainnya yang mereka konsumsi, mereka membentuk asosiasi konsumen yang berkolaborasi dengan asosiasi produsen untuk menghasilkan pangan yang sehat bagi semua.
Dalam bahasa Jepang, teikei bermakna ‘kerjasama’, ‘koperasi’, ‘bisnis bersama’ atau ‘terhubung’. Sistem Teikei adalah bentuk kerjasama kreatif antara produsen pangan dan konsumen, yang dilakukan secara langsung, sukarela dan dalam skala lokal. Kerjasama ini menguntungkan kedua belah pihak. Pihak produsen tidak mencari keuntungan secara finansial, bahkan turut menjaga alam dengan menjalankan praktek pertanian organis. Sementara konsumen, tidak hanya sekedar mengonsumsi, melainkan turut mendukung produsen dalam menjaga keseimbangan alam dan pengadaan pangan yang sehat. Sistem Teikeimerupakan contoh konkrit produksi dan konsumsi pangan yang ramah lingkungan. Sistem ini bukan lagi sekedar praktik teknis pertanian organis, melainkan praktik gaya hidup baru yang menghormati sesama manusia dan alam.
Salah satu penggagas sistem teikei adalah JOAA[1]. Ketika JOAA didirikan pada tahun 1971, Jepang sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan ekonomi. Ekonomi mereka tumbuh lebih dari 10% per tahun. Industri berat berkembang pesat. Dampaknya adalah kontaminasi limbah kimia dan kerusakan alam. Tragedi Minamata adalah yang terparah. Saat itu produk pertanian didominasi oleh pertanian kimia dan penggunaan bahan bakar fosil.
Salah satu contoh koperasi teikei adalah koperasi yang beranggotakan 26 petani di Desa Miyoshi di Provinsi Chiba. Masing-masing petani mengelola lahan sekitar 1.2 hektar. Koperasi ini mendukung sekitar 800 konsumen di Tokyo dan sekitarnya. Para petani mengirimkan produknya secara rutin di sekitar 116 tempat di mana konsumen dan produsen dapat bertemu secara langsung.


Filosofi Sistem Teikei
Di dalam sistem teikei, fungsi utama pertanian adalah pertama-tama menghasilkan pangan untuk menghidupi keluarga petani. Pangan adalah kebutuhan dasar dan tidak seharusnya diperjualbelikan untuk menghasilkan keuntungan. Di dalam sistem teikei, pertanian seharusnya penuh vitalitas yang selaras dengan alam. Hal ini terkait erat dengan fungsi pangan yang utama yaitu untuk melanjutkan kehidupan. Pangan bukan lagi komoditas. Kemandirian adalah hal kunci yang perlu dicapai dengan menghasilkan seberagam mungkin jenis meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Dengan keberagaman ini risiko gagal panen akibat serangan hama dan perubahan cuaca akan lebih kecil.

Di dalam sistem teikei, terjadi hubungan persahabatan antara produsen dan konsumen. Keduanya terlibat dalam proses distribusi. Harga ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak melalui negosiasi langsung. Harga tersebut seringkali lebih tinggi daripada di pasar grosir tetapi masih lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar swalayan. Harga ini menjamin kehidupan petani tercukupi sekaligus  menjamin kesehatan dan keselamatan pangan bagi konsumen. Dalam kondisi sulit seperti kasus gagal panen, konsumen ikut bertanggung jawab dan berkontribusi pada biaya yang harus ditanggung oleh produsen. Produsen juga dijamin untuk mendapatkan harga yang baik untuk setiap produk yang dihasilkannya. Hal ini akan menjamin hubungan jangka panjang antara produsen dan konsumen.



Kontribusi Sistem Teikei pada Penyelesaian Krisis Ekologi

Produksi dan konsumsi pangan zaman sekarang banyak menimbulkan krisis ekologi. Salah satu bentuknya adalah banyaknya sampah dari kemasan dan dari proses seleksi produk yang tidak memenuhi standar. Selain itu di dalam sistem pasar ini, produk diangkut [T1] dari tempat yang jauh menggunakan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui dan menghasilkan polusi.

Di dalam sistem Teikei, produsen dan konsumen saling mengenal. Konsumen mengenal kualitas produk yang dihasilkan petani, yang mereka yakini kaya gizi dan aman dikonsumsi. Mereka tidak memerlukan kemasan yang berlebihan. Mereka tidak perlu melakukan seleksi berdasarkan bentuk, ukuran maupun warna seperti yang dilakukan oleh supermarket atau pasar modern.
Di dalam sistem Teikei, pangan dihasilkan sesuai musimnya. Terjadi efisiensi biaya produksi karena tidak ada kebutuhan untuk melakukan proses tambahan untuk memproduksi hasil pangan di luar musimnya. Pangan dihasilkan secara alami di lahan-lahan pertanian organis di Jepang. Di setiap petak lahan pertanian, terdapat beragam jenis tanaman dan dapat dipastikan keragaman alaminya. Keragaman ini menjamin keanekaragaman hayati dan konservasi alam lokal.



Setelah mengikuti teikei, terjadi perubahan gaya hidup di tingkat konsumen. Pertama-tama, terjadi perubahan secara signifikan pada pola makan dan belanja. Mereka mengkonsumsi apapun yang diproduksi di kebun, lepas dari bentuk, ukuran dan warnanya. Mereka secara kreatif menciptakan resep-resep yang cocok untuk bahan-bahan yang diproduksi. Mereka menyesuaikan konsumsi mereka dengan musim. Konsumsi menyesuaikan apa yang tersedia, bukan sebaliknya. Produk yang dihasilkan diyakini sehat karena sesuai dengan musim dan tidak perlu asupan bahan kimia tambahan atau perlakuan buatan. Bahkan konsumen menyerahkan sisa makanannya untuk dikompos menjadi pupuk oleh petani.
Melalui sistem teikei, konsumen berkesempatan belajar mengenal sistem pertanian. Mereka dapat mengunjungi atau menjadi relawan di lahan-lahan pertanian organis. Dari proses tersebut mereka dapat melihat secara langsung proses produksi pangan. Mereka makin menghargai makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Proses ini sangat penting, khususnya bagi warga perkotaan yang hidupnya terpisah dari alam. Sebaliknya, para petani juga berkesempatan berinteraksi dengan konsumen dan memahami harapan mereka dengan lebih baik. Melalui interaksi tersebut muncul banyak gerakan sosial dan lingkungan, di antaranya adalah berbagai gerakan dukungan terhadap lingkungan, protes terhadap nuklir, insinerator, dll.
Penyebaran ke seluruh dunia
Pertemuan Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 membuka peluang diskusi dan pilihan jawaban akan persoalan lingkungan global. Di dalam pertemuan tersebut, setiap negara menyepakati pentingnya membangun masyarakat yang berkelanjutan di negara masing-masing. Pertanian organis adalah bagian penting dari masyarakat yang berkelanjutan. Sejak saat itu muncul banyak gerakan pertanian organis di seluruh dunia yang dilakukan oleh banyak pihak. Sistem teikei merupakan salah satu cara untuk menghasilkan pertanian organis yang efektif dan efisien. Sistem teikei kemudian berkembang menjadi yang sering disebut sebagai community supported agriculture (CSA).
Di Jepang sendiri, JOAA mencatat ada sekitar 650 koperasi di Jepang dengan anggota lebih dari 16 juta orang. Dari jumlah tersebut, makin banyak yang menerapkan sistem teikei. Saat ini diduga ada sekitar 500-1000 kelompok konsumen yang tergabung dengan gerakan teikei di Jepang. Ukuran kelompok bervariasi mulai dari 10 sampai 5000 keluarga.
Apakah tidak ada masalah dengan sistem teikei? Tentu saja ada. Saat ini, beberapa koperasi teikei menghadapi masalah sebagai berikut: tidak ada pergantian kepengurusan selama puluhan tahun, berkurangnya jumlah relawan akibat banyak perempuan harus bekerja, dan tersedianya beragam produk organis dan sehat di pasar konvensional dengan harga yang lebih murah dan mudah didapat.  Banyak petani sudah menjadi tua, anak-anak mereka tidak ingin lagi menjadi petani, dan keterbatasan konsumen yang mau menjadi anggota teikei. Semuanya ini adalah tantangan yang harus dijawab agar gerakan teikei sungguh-sungguh berhasil dalam penyebaran gaya hidup organis ke seluruh dunia.
Referensi:
Shinji Hashimoto, 2009. Teikei System in Japan. http://blog.urgenci.net/, 6 Mei 2014.
Martin J. Frid, “Organic Farming in Japan: Lessons for the World”, Consumers Union in Japan. http://www.nishoren.org/, 6 Mei 2014.
Japan Organic Agriculture Association, "TEIKEI"system, the  producer-consumer co-partnership and the Movement of the Japan Organic Agriculture Association, http://www.joaa.net/english/teikei.htm, 6 Mei 2014.





[1] JOOA (Japan Organic Agriculture Association) adalah organisasi nirlaba yang dibentuk tahun 1971. Organisasi ini sepenuhnya dibiayai dari iuran anggota dan tidak disubsidi baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. Mereka menerbitkan newsletter tanpa sponsor dan iklan. Saat ini JOAA memiliki sekitar 3000 anggota, 20-25% di antaranya adalah petani. Sisanya kebanyakan adalah konsumen yang memiliki latar belakang berbagai profesi, seperti dokter, ekonom, pekerja, wartawan dan lain-lainnya.



[PIKIR] Sudahkah Bangsa Indonesia Berdaulat Pangan?

Penulis: David Ardes Setiady

1http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2011/10/Aksi-Pemuda-Peduli-Pangan3.jpg
Menyambut peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69, sebuah pertanyaan yang selalu relevan untuk ditanyakan adalah “sudahkah kita merdeka?”. Pertanyaan tersebut merupakan upaya pemaknaan yang diperlukan agar kita membangun kesadaran kritis tentang kondisi negeri ini. Bagaimanakah perkembangan kehidupan bangsa ini setelah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1945 silam? Mimpi para pendiri bangsa ini adalah menyaksikan rakyatnya berdaulat, mandiri dalam mengelola kehidupannya. Di sini, pertanyaannya bisa diganti menjadi “sudahkah bangsa ini menjadi mandiri?”.


Kemandirian bangsa ini, bukan persoalan administratif semata, melainkan segala aspek kehidupan, terutama hal-hal mendasar yang diperlukan bagi penyelenggaraan kehidupan. Di antaranya adalah persoalan pangan, yang kian hari kian mengkhawatirkan. Krisis pangan yang mulai mendera bangsa ini, menjadi sebuah tanda tanya besar karena tanah nusantara sesungguhnya tanah yang kaya dan berlimpah. Persoalan kekeringan yang disebabkan oleh tidak menentunya kondisi cuaca, sering dituding sebagai penyebab utama terjadinya krisis pangan. Sementara persoalan teknis pertanian, yakni ketergantungan pupuk dan bibit adalah penyebab lain yang menegaskan adanya krisis pangan. Hal lain terkait pangan yang cukup mengkhawatirkan adalah pola makan masyarakat Indonesia saat ini, yang cenderung menggunakan bahan sintetis/kimiawi dimana dampak terhadap kesehatan tubuh sangatlah berbahaya dalam jangka panjang. Sementara penggunaan bahan sintetis tersebut mulai mengarah kepada ketergantungan di tingkat rumah tangga. Belum lagi, serbuan makanan instan dengan kandungan bahan sintetis yang menyebar melalui supermarket ataupun warung-warung kecil. Kesemuaannya itu perlu kita lihat satu per satu sebagai sebuah upaya untuk menjawab “sudahkah kita mandiri?”, khususnya di bidang pangan.

Krisis Pangan, Kesalahan Pengelolaan?
Cukup mudah mendeteksi gejala krisis pangan yang mulai melanda Indonesia, salah satunya adalah melihat tingginya angka impor yang dilakukan oleh bangsa ini, baik melalui pemerintah maupun para pengusaha impor. Yang mengkhawatirkan adalah jumlah impor yang tinggi juga terjadi pada bahan pangan, yang sebetulnya bisa dihasilkan oleh lahan di Indonesia. Bahan-bahan seperti beras, jagung, kedelai, bawang, bahkan garam dan gula hanyalah segelintir bahan yang diimpor dari luar negeri. Periode Januari – November 2013, data BPS mencatat nilai impor Indonesia mencapai US$ 8,1 miliar dengan volume mencapai 17 miliar kilogram. Angka ini sebetulnya termasuk tinggi untuk negara yang mengklaim dirinya sebagai negara agraris dan maritim.

Kalau misalnya kita bandingkan dengan kondisi geografis negara Indonesia, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan mencapai 3.257.483 km2. Di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati yang tinggi, serta kenyataan bahwa alam Indonesia berada dalam jalur vulkanik (ring of fire), di mana debu gunung berapi mengembalikan unsur hara di dalam tanah yang baik bagi pertanian. Berbagaitumbuhan di Indonesia cukup banyak yang masuk ke dalam kategori tanaman pangan, misalnya umbi-umbian yang mengandung karbohidrat, buah-buahan, jagung, dll. Selain itu, sumber pangan lain terdapat pada hewan, baik di darat maupun yang hidup di perairan. Kalau berkaca dari negara Jepang, konsumsi ikan termasuk tinggi dan menunjukkan pengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat mereka. Artinya, alam Indonesia (baik darat maupun laut) sebetulnya menyediakan lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan bagi rakyat negeri ini.

Kisah yang cukup ironis dari dampak impor ini adalah sempat menghilangnya produk kedelai dari pasaran, yakni tahu dan tempe. Kondisi tersebut terjadi di pertengahan tahun 2013. Para pengrajin tahu dan tempe mengeluhkan dua hal : pertama adalah mahalnya bahan baku kedelai di pasar, kedua adalah minimnya ketersediaan bahan baku kedelai. Kedua hal tersebut saling berhubungan dalam mekanisme pasar, di mana harga bahan baku yang mahal adalah akibat dari minimnya jumlah bahan baku yang tersedia. Seperti yang sudah dituliskan di atas, kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang diimpor, nilainya mencapai US$ 1 miliar dengan volume 1,62 miliar kg. Angka tersebut termasuk tinggi[1].
Kondisi tersebut semakin memprihatinkan ketika melihat banyaknya para petani yang beralih profesi ke sektor lain. Data sensus pertanian 2013 yang dirilis oleh BPS menunjukkan penurunan rumah tangga pertanian yakni sejumlah 26,13 juta rumah tangga dibandingkan dengan tahun 2003 yang berjumlah 31,17 juta rumah tangga[2].

Ketergantungan Pangan : Haruskah Makan Beras?
“Kalau belum makan nasi berarti belum makan”, kata-kata ini sudah lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan persepsi masyarakat Indonesia terhadap pola makan. Kemudian kata-kata itu juga menunjukkan ketergantungan terhadap beras yang cukup tinggi sebagai makanan pokok. Mungkin kita sudah lupa bahwa makanan pokok suatu daerah tidak selalu beras. Di Papua, masyarakat asli biasanya akrab dengan umbi-umbian seperti sagu dan singkong sebagai sumber karbohidrat. Begitupun dengan pulau Jawa sendiri, sebetulnya juga mengenal umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat selain beras. Di Madura, jagung menjadi makanan pokok.

2http://www.ristek.go.id/file/gallery/2012/04/beras.jpg
Perubahan makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh Revolusi Hijau yang dijalankan oleh rezim Orde Baru hingga tahun 1990-an. Revolusi Hijau telah mengakibatkan perubahan alih fungsi lahan untuk menghasilkan beras sebanyak-banyaknya. Yang lebih lanjut berdampak kepada pola makan masyarakat yang menjadi bergantung kepada beras. Di saat ini, sudah mulai muncul gerakan untuk mengurangi konsumsi beras di masyarakat dengan mempromosikan sumber-sumber karbohidrat yang bisa ditumbuhkan oleh Indonesia, seperti sagu, ubi, singkong, jagung. Bahan pangan yang sebelumnya sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia.


Zat Aditif, Gaya Hidup Berbahaya
Sejak reformasi bergulir, ekonomi Indonesia cenderung dibuka seluas-luasnya untuk disusupi oleh asing sehingga terjadi industrialisasi di berbagai aspek. Industrialisasi pangan pun tidak terhindarkan hingga menyebabkan pengelolaan pangan dengan menggunakan mesin dan meningkatkan jumlah makanan dalam kemasan. Salah satu produk industri pangan yang “khas” Indonesia saat ini adalah mi instan. Sebuah kebiasaan yang mulai “membudaya” di masyarakat adalah ketika terjadi bencana alam, maka salah satu sumbangan yang diberikan berupa mi instan. Alasannya adalah agar lebih praktis dan cepat untuk segera menyantap jenis makanan yang dimaksud.

Menurut data World Instant Noodles Association (WINA), konsumsi mi instan di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 14,1 miliar bungkus. Dari peringkat yang disusun WINA, Indonesia berada di peringkat kedua setelah RRT[T1]  (Republik Rakyat Cina?) dalam hal mengonsumsi mi instan[3].
Padahal kita tahu, bahwa kandungan di dalam mi instan tersebut sangatlah tidak sehat bagi tubuh. Penggunaan zat-zat aditif seperti MSG (monosodium glutamate), pengawet, pewarna makanan, dsb, sangatlah banyak terdapat pada makanan yang diproduksi oleh pabrik. Gempuran makanan pabrik didukung pula oleh jaringan supermarket yang kian hari bertambah pesat hingga ke pelosok. Artinya, yang mengenal makanan pabrik tidak lagi masyarakat perkotaan, namun juga pedesaan.

3http://sin.stb.s-msn.com/i/8D/778C880E830314360945D96841F33.jpg
Kedaulatan Pangan Di Indonesia, Kapan?
Melihat situasi di atas, sesungguhnya kita belum dapat mengatakan bahwa Indonesia sudah berdaulat pangan. Tantangan yang kita hadapi tidak hanya soal menahan laju impor, namun lebih-lebih mengangkat kualitas manusia Indonesia untuk mengelola pangannya dengan baik. Pengelolaan pangan berupa kemampuan memproduksi sendiri yang baik, tentu dengan sendirinya bisa mengerem kebutuhan impor pangan. Selain itu, kita juga harus memiliki pendidikan tentang kesehatan pangan, untuk menanamkan kesadaran dalam pentingnya memilih pangan yang sehat dan alami. Karena kita sedang berhadapan dengan gempuran makanan pabrik yang mengandung berbagai bahan sintetis yang tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Setelah semuanya itu dilakukan, pertanyaan terakhir adalah “Kapankah kita berdaulat pangan?”



[1] Dikutip dari http://bisnis.liputan6.com/read/791549/daftar-29-bahan-pangan-yang-diimpor-ri-sampai-november
[2] Seperti yang dirilis melalui http://www.tempo.co/read/news/2013/09/07/092511259/BPSi-Jumlah-Petani-Berkurang






 [T1]RRT = Republik Rakyat Tiongkok, tahun ini pemerintah RI sudah setuju untuk menghapus istilah “Cina” dalam tulisan resmi dan segala jenis penyebutan. Cina diganti dengan Tionghoa atau Tiongkok, tergantung penggunaannya.
Tionghoa = manusianya
Tiongkok = Negaranya

[PIKIR] Pangan Dalam Cengkeraman Kapitalisme

Penulis: Angga Dwiartama

Berbagai kasus tentang pangan dan pertanian di Indonesia bermunculan dalam 68 tahun sejak Indonesia merdeka. Penggundulan hutan dan konflik dengan masyarakat adat akibat perluasan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, importasi jutaan ton beras yang mengancam kestabilan harga gabah antara petani padi di Jawa,masuknya Monsanto, perusahaan raksasa Amerika, dan bibit jagung transgenik ke Indonesia, rencana pendirian Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua yang mengancam keberlangsungan masyarakat lokal dan lingkungan, hingga terakhir kasus kriminalisasi petani di Karawang – semua dapat ditilik dari kuatnya kapitalisme mengakar di dalam sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Kapitalisme pangan adalah suatu sistem di mana pangan dan produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk memperoleh keuntungan (profit). Meski muncul dalam berbagai bentuk, kapitalisme pangan bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan ini bermaksudmengulas evolusi kapitalisme pangan di Indonesia dan dunia, dampaknya bagi petani, konsumen dan lingkungan, serta solusi aksi yang dapat kita berikan sebagai aktivis untuk melawan cengkeraman kapitalisme ini.

Tiga rezim pangan di dunia
Sejarah kapitalisme pangan di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi di tingkat global, setidaknya sejak Revolusi Industri di Eropa. Harriet Friedmann dan Phil McMichael, dua pakar sosiologi dari Amerika Serikat, membagi perkembangan kapitalisme pangan dunia semenjak awal Revolusi Industri hingga sekarang ke dalam tiga era (atau rezim): Kolonialisme pangan, Industrialisme pangan dan Neoliberalisme pangan1.

Revolusi Industri menciptakan kondisi di masyarakat Eropa saat itu, di mana petani di pedesaan beralih ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik, menyebabkan banyak lahan ditinggalkan dan kota-kota besar kekurangan pangan. Harapan terbaik adalah mengangkut produk pertanian dari negara-negara koloni di benua lain.Masa ini, dalam kerangka kapitalisme, dikenal dengan istilah rezim Kolonialisme Pangan (1860-an hingga 1930-an). Era ini dicirikan dengan eksploitasi lahan pertanian besar-besaran di daerah-daerah koloni, seperti Australia, Amerika Serikat, dan banyak negara tropis, disertai ekspor produk pertanian secara masif ke Eropa. Di banyak tempat, terjadi pergeseran paradigma pertanian, dari “pemenuhan kebutuhan sendiri” (subsisten) menjadi “komersialisasi produk pertanian untuk pasar global”.

Bentuk nyata kolonialisme pangan di nusantara tercermin pada sistem pertanian kulturstelselyang diterapkan Pemerintah Hinda Belanda untuk mengganti pertanian subsisten dengan komoditas ekspor (cash crops) seperti gula, kopra dan karet. Dengan sistem ini, petani harus membagi waktu, tenaga, dan lahan mereka untuk menanam tanaman pangan mereka sendiri di satu sisi, dan komoditas ekspor di sisi lain. Alhasil, pola pertanian menjadi lebih intensif, dan ini berakibat buruk bagi kualitas tanah pertanian mereka. Selain itu, petani dipaksa membayar pajak atas produksi pertanian mereka – seringkali dengan jumlah yang tidak masuk akal. 


Gambar 1-kulturstelsel di Hindia Belanda
Sumber: http://geschiedenis.kartonnen-platen.schoolplaten.webwinkel.lectorisalutem.nl/?pid=1454
Di Eropa, krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di penghujung abad ke-19, diikuti dengan Perang Dunia I dan II, memicu terjadinya restrukturisasi terhadap sistem pertanian dan perekonomian dunia. Amerika serikat (AS), sebagai pusat kekuatan baru, membangun hegemoni-nya melalui sistem keuangan dunia berbasis US Dollar dan teknologi pertanian yang kelak dikenal dengan istilah Revolusi Hijau. Sementara sistem moneter baru memperkuat posisi AS di negara-negara maju seperti Eropa, Revolusi Hijau mengakarkan AS di negara-negara berkembang.

Revolusi Hijau berawal dari dikembangkannya gandum varietas unggul oleh Norman Borlaug, seorang agronom dari AS. Dari sana, Revolusi Hijau menyebar ke berbagai penjuru dunia, untuk berbagai jenis komoditas pangan (seperti jagung, beras dan kentang). Varietas unggul memiliki ciri lebih responsif terhadap nutrisi cepat-serap, tumbuh lebih cepat, dan menyerap air lebih banyak. Memang, dengan ini varietas unggul dapat menghasilkan hingga tiga kali lipat hasil panen ketimbang varietas lokal. Akan tetapi, varietas unggul juga disertai dengan satumasalah:bahwa apa yang ditawarkan bukan hanya bibit, tetapi suatu paket teknologi yang padat modal, yang terdiri atas bibit varietas unggul, pupuk kimia, sistem irigasi intensif, mekanisasi pertanian, dan pestisida.Inilah yang mendasari industrialisasi pangan.

Alaminya, kapitalisasi sistem pertanian ini cenderung meningkatkan kesenjangan sosial di antara petani. Pertanian intensif menyebabkan terjadinya akumulasi modal. Petani dengan modal besarakan memperoleh keuntungan lebih besar pula. Sebaliknya, petani gurem tidak akan mampu meningkatkan kapasitas produksi mereka. Di kala terjadi kegagalan panen, mereka yang sudah terjerat hutang harus merelakan lahan mereka dibeli oleh para petani besar, dan beralih menjadi buruh tani, atau buruh pabrik di perkotaan.

Di Indonesia, program Revolusi Hijau baru dapat masuk setelah Soeharto membuka pintu investasi asing di tahun 1970. Badan PBB di bidang pertanian, FAO, bekerjasama dengan USAid, memberikan bantuan pertanian melalui pengadaan varietas unggul, pembuatan pabrik-pabrik pupuk nasional, dan paket pengendalian hama. Sepuluh tahun sejak Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia, data menunjukkan bahwa sebanyak 5% dari pelaku usaha pertanian padi di desa menguasai lebih dari 90% lahan pertanian2

Pola ini juga terjadi di Amerika serikat. Pemerintah AS memberikan subsidi besar-besaran untuk produksi gandum, jagung dan kacang kedelai, yang menyebabkan segelintirperusahaan tumbuh menjadi sangat besar dan mendominasi sektor pertanian – sebut saja Monsanto, Cargill, Novartis, dan Syngenta. Hal ini menjadi dasar bagi tumbuhnya rezim pangan berikutnya di dunia.
Krisis minyak bumi pada tahun 1973 akibat monopoli minyak oleh OPEC memukul mundur dominasi AS terhadap dunia. Pelaku usaha menyadari bahwa menggantungkan diri pada kebijakan suatu negara bukanlah suatu strategi yang baik. Perusahaan-perusahaan besar di AS mulai berinvestasi di negara-negara lain. Terbentuklah apa yang disebut Multi-National Corporations (MNC), perusahaan raksasa yang tidak lagi dikekang oleh batas-batas negara. Negosiasi yang terjadi di tingkat regional dan internasional, seperti melalui WTO atau AFTA, menuntut satu hal: negara harus menghilangkan pajak, subsidi dan apapun yang menghambat terjadinya proses perdagangan bebas dan menyerahkan semua ke mekanisme pasar. Karena itu, era ini dikenal dengan istilah Neoliberalisme Pangan.

Bercermin pada apa yang terjadi di negara-negara seperti AS dan Meksiko, neoliberalisme pangan menghimpit sektor pertanian kita dari dua sisi. Di satu sisi, bibit, pupuk, dan pestisida dikuasai oleh segelintir perusahaan. Melalui lobi terhadap pemerintah, perusahaan ini memiliki kekuatan untuk mengatur harga, memasang Paten atas produk mereka dan menindak petani yang melanggar. Di sisi lain, industri pangan raksasa juga menguasaipasar produk pangan dan mengontrol keinginan konsumen untuk membeli. Dari himpitan itu, petani lah yang paling banyak dirugikan. Seringkali petani tidak dapat menikmati keuntungan dari hasil panennya karena harga produk di pasar terlalu rendah, atau hutang untuk membeli sarana produksi pertanian terlalu tinggi. Tetapi konsumen pun turut menjadi korban. Seberapa sering kita digiurkan oleh produk-produk makanan yang rendah nutrisi dan kaya bahan penguat rasa, seperti yang ditawarkan oleh berbagai restoran siap saji (fast food). Seringkali kita tidak tahu apa yang terkandung di dalam makanan yang kita beli. Lebih lagi, sebagian besar produk konsumen di dunia dikuasai oleh tidak lebih dari 10 MNC (Lihat Gambar 2). Lalu bagaimana kita melepaskan diri dari jeratan mereka? 

Gambar 2-10 MNC menguasai sebagian besar produk konsumen
Diambil dari http://thepoliticalcarnival.net/wp-content/uploads/2012/05/10-multinational-corporations-control-most-consumer-brands.jpg
Penutup
Satu hal yang menarik adalah bahwa di awal abad ke-21, kapitalisme tidak lagi sekuat satu abad sebelumnya.Ulrich Beck3, seorang sosiolog dari Jerman, mengistilahkan masyarakat di abad ini sebagai risk society – masyarakat yang lebih peka terhadap informasi, lebih kritis, lebih memperhatikan resiko dari segala bentuk modernisasi, dan lebih mau berorganisasi untuk perubahan. Seiring dengan munculnya berbagai dampak buruk dari kapitalisme pangan, gerakan-gerakan akar rumput mulai bermunculan untuk melawan dominasi MNC.Hebatnya, mereka pun berhimpun di tingkat internasional. Sebagai contoh, La Via Campesina (di Indonesia diwakili oleh Serikat Petani Indonesia) yang menuntut kedaulatan pangan dan hak-hak petani gurem, Slow Food Movement sebagai respons terhadap meluasnya industri fast-food di berbagai belahan dunia,Fair Trade yang menyuarakan perdagangan yang lebih berkeadilan, hingga gerakan-gerakan lokal seperti pasar petani (farmers’ market), Community-Supported Agriculture, komunitas organik, dan sebagainya, mulai tumbuh dengan subur. Komunitas ini tidak lagi didominasi oleh petani dan masyarakat terpinggirkan, tetapi juga masyarakat kelas menengah di perkotaan.

Satu langkah nyata bagi kita untuk melawan kapitalisme pangan adalah melalui ekonomi komunitas – suatu aktivitas ekonomi yang tidak didasari sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Kita dapat memulai dari hal-hal kecil: membeli produk lokal dan berbelanja di pasar tradisional, menanam tanamanmu sendiri dan bertukar pangan (barter) dengan kawan-kawan di komunitas, dan ber-ekonomi dengan uang sesedikit mungkin.Suarakanpula kekhawatiranmu atas berbagai dampak kapitalisme pangan, serta sebarkan ide tersebut ke teman-teman terdekat, atau lewat media-media sosial. Lebih lanjut, mulailah terlibat dalam berbagai kegiatan di gerakan-gerakan akar rumput di komunitas kamu, dan mulailah berjejaring!

Rujukan:
1Friedmann, H. & McMichael, P. 1989. Agriculture and the State System: The Rise and Decline of National Agricultures, 1870 to the Present. Sociologia Ruralis 29, 93 – 117.
2Hart, G., A. Turton, B. White, B. Fegan & L. T. Gheen (Eds.) 1989, Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia. University of California Press.

3 Beck, U. 1992. Risk society: towards a new modernity. SAGE.

[MASALAH KITA] Krisis Mutu Pangan di Indonesia

Penulis: Agustein Okamita dan Navita Astuti

Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia. Makanan yang masuk ke dalam tubuh berperan penting dalam mendukung kehidupan kita dan segala aktivitas yang kita lakukan. Agar pertumbuhan dan regenerasi sel-sel di dalam tubuh berlangsung dengan baik, sel-sel tubuh membutuhkan berbagai vitamin dan mineral yang diperoleh dari makanan dan minuman yang kita konsumsi.

Makanan mendukung vitalitas manusia. Namun, dari makanan jugalah penyebab utama munculnya penyakit-penyakit yang diderita manusia. Baik itu penyakit yang timbul secara langsung setelah makanan dikonsumsi (keracunan akibat mengonsumsi makanan tertentu), maupun penyakit menahun akibat gaya hidup seseorang dengan pola makan tidak sehat yang ia jalani selama bertahun-tahun.

Kita mungkin sering mendengar, kasus-kasus keracunan makanan. Tragedi Minamata (http://en.wikipedia.org/wiki/Minamata_disease)di Jepang
merupakan salah satu kasus yang paling terkenal. Pembuangan limbah merkuri oleh pabrik kimia Chisso Corporation selama bertahun-tahun (1932-1968) mengakibatkan akumulasi bahan berbahaya tersebut di dalam tubuh ikan dan hewan air yang hidup di teluk Minamata dan laut Shiranui. Penduduk lokal di sana banyak yang mengalami kematian dengan gejala kelumpuhan syaraf karena mengonsumsi ikan-ikan dan hewan laut tersebut.

Tangan yang lumpuh akibat tragedi Minamata
Kasus lainnya adalah keracunan tempe bongkrek yang terkontaminasi oleh bakteri Burkholderia galdioli yang terjadi di Jawa Tengah beberapa tahun yang lalu (http://www.indosiar.com/patroli/3-warga-tewas-6-orang-kritis-diduga-keracunan_58711.html).Bakteri Burkholderia galdioli menghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin, yang meracuni sel-sel tubuh dan mengakibatkan kematian.

Umum pula diketahui bahwa pola makan tidak sehat, dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit-penyakit fatal seperti penyakit jantung, kanker dan diabetes.
Melihat semakin tingginya penyakit akibat rendahnya mutu pangan maupun pola makan tidak sehat dewasa ini, maka cukup penting bagi kita untuk mengembangkan sikap kritis dan waspada terhadap pangan yang kita konsumsi. Apakah masyarakat telah menyadari pentingnya memilih pangan yang aman, sehat dan bermanfaat bagi kehidupan mereka? Mari kita tengok sebentar apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam kancah industri pengadaan pangan di negara kita.

APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI DI DAPUR INDUSTRI PANGAN SAAT INI?
Revolusi Industri memberikan perubahan besar terhadap perkembangan teknologi di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam industripenyiapan, pengolahan, dan pengemasanbahan-bahan pangan. Manfaat dari kemajuan teknologi industri adalah kita bisa mendapatkan makanan dengan lebih mudah dan lebih cepat. Tetapi dampak negatif dari teknologi industri adalah penurunan kualitas bahan makanan tersebut. Dampak negatif tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut:
  • Teknologi pertanian menghasilkan pupuk-pupuk dan pestisida  sebagai sarana untuk mengoptimalkan hasil pertanian dan melindungi tanaman dari hama.  Namun, apakah para petani menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang tepat? Penggunaan pupuk kimiawi dalam dosis berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada struktur kimiawi tanah dan kerusakan ekosistem dalam jangka panjang.Sementara itu, pestisida kimia sintetik (non organik) yang digunakan memang terbukti efektif membunuh hama, tetapi residu pestisida  tertinggal di sayuran dan buah yang akan kita konsumsi. Mengonsumsi sayur dan buah yang mengandung pestisida non organik menyebabkan timbulnya penyakit dan gangguan fisik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sayur dan buah yang sejatinya menyehatkan tubuh manusia, justru menjadi racun bagi tubuh, akibat penggunaan pestisida secara berlebihan.
  • Teknologi pakan ternak menciptakan makanan dan hormon-hormon pertumbuhan bagi hewan-hewan di peternakan. Peternak skala besar mengganti makanan ternak alami dengan makanan olahan yang berasal dari pabrik, karena lebih murah dan lebih mudah didapat dibandingkan dengan makanan ternak alami. Untuk dapat memenuhi pesanan industri makanan siap saji, mereka menggunakan hormon-hormon pertumbuhan agar ternak mereka dapat memenuhi persyaratan berat dan ukuran tertentu. Ternak penghasil susu juga diberi makanan dan hormon-hormon tertentu untuk dapat menghasilkan lebih banyak susu. Hormon-hormon itu disuntikkan ke dalam tubuh hewan ternak atau dicampurkan ke dalam makanannya, agar pertumbuhannya menjadi lebih cepat atau menghasilkan susu yang lebih banyak. Sayangnya hormon itu tidak dapat terurai dengan mudah di dalam tubuh ternak, dan ketika kita mengonsumsinya, zat tersebut masuk ke dalam tubuh kita. Apakah kita menyadari dampaknya terhadap kesehatan kita.
  • Susu bukanlah bahan pangan yang asing bagi kita, karena sebagian besar di antara kita minum susu sapi sejak kecil, bahkan mungkin sejak bayi kita sudah harus minum susu sapi. Dahulu susu sapi segar bisa diperoleh dengan gampang, para peternak langsung mengantarkan susu yang baru dari pemerahan ke rumah-rumah kita. Sekarang ini perusahaan-perusahaan susu mengambil peran sebagai perantara antara peternak dengan konsumen. Mereka mengolah susu dari peternak dan mengemasnya sedemikian rupa sebelum dikirim ke toko-toko dan dibeli oleh konsumen. Proses pengolahan dan pengawetan juga menurunkan nilai nutrisi yang dikandung oleh susu, selain penambahan zat-zat kimiawi yang sulit dicerna oleh tubuh kita. Penggunaan hormon bagi sapi penghasil susu juga membuat konsumsi susu sapi menjadi perdebatan saat ini.
  • Teknologi industri pangan membuat proses penggilingan padi dan gandum menjadi lebih cepat. Jika dulu padi ditumbuk untuk menjadi beras, sekarang beras diperoleh dengan proses penggilingan. Proses penambahan pemutih (bleaching) juga dilakukan untuk menghasilkan warna putih yang menarik bagi konsumen. Akan tetapi, beras dan gandum yang dihasilkan dari proses penggilingan sudah kehilangan banyak nutrisi alami yang terkandung di dalam padi.
  •  Tepung terigu yang berasal dari gandum yang telah kehilangan nutrisi alami diolah menjadi roti. Untuk menggantikan nutrisi yang hilang, roti yang dibuat diperkaya dengan berbagai zat kimia sintetik dan vitamin-vitamin kimiawi (enrichment). Zat-zat kimia sintetikyang ditambahkan ke dalamnya sulit dicerna dan diserap oleh tubuh. Bahkan bahan-bahan kimia sintetis yang ditambahkan ke dalam beras atau terigu untuk mengawetkan dan menghasilkan warna yang menarik justru berbahaya bagi kesehatan kita.
  • Industri yang membuat mesin-mesin pengolahan dan pengemasan makanan mempermudah manusia dalam memperoleh makanan yang lebih awet dan lebih praktis untuk dibawa ke mana-mana. Salah satu hasil teknologi industri pangan yang sangat kita kenal saat ini adalah mi instan. Saat ini mi instan merupakan salah satu makanan yang paling banyak dijual dan dikonsumsi masyarakat, mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai orang kaya. Dengan kemajuan industri, mi dikeringkan dan dikemas sedemikian rupa agar mudah dibawa ke mana saja dan disajikan kapan saja.
  • Industri kimia membuat berbagai bahan-bahan kimia sintetik seperti pewarna, penyedap, dan pengawet, yang ditambahkan ke dalam bahan-bahan makanan. Daging olahan dan makanan siap saji memang terasa enak di lidah. Tetapi tahukah kita bahwa setiap proses pengolahan akan mengurangi nutrisi yang terkandung di dalam daging dan makanan tersebut? Selain itu, penambahan zat-zat artifisial seperti pengawet, pewarna, dan penyedap rasa, juga memberi dampak negatif bagi tubuh kita. 


Makanan Olahan Biasanya diberi tambahan bahan pengawet dan penyedap http://himikaung.files.wordpress.com/2011/03/bahan-kimia-dalam-makanan11.jpg

Tanpa makanan kita tidak bisa menjalani kehidupan dengan baik. Di dalam makanan terdapat komponen-komponen yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh kita. Tetapi, apa jadinya jika makanan yang kita makan sehari-hari justru merusak kehidupan normal kita?

APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN?
Pengadaan pangan yang aman, sehat dan bermanfaat bagi kehidupan merupakan tugas seluruh lapisan masyarakat, mulai dari produsen, konsumen, hingga aparatur negara. Oleh karena itu, untuk menghindari semakin merosotnya mutu pangan di negara ini, hendaknya masing-masing pihak mengambil langkah berikut :
  • Di pihak produsen, hendaknya tidak mementingkan keuntungan bisnis semata dalam mengolah bahan pangan. Produsen hendaknya mematuhi etika dan ketentuan produksi  pangan yang berkualitas. Di kalangan industri pangan dan pertanian kini telah dikenal sistem pengawasan mutu pangan yang disertai dengan standar dan parameter tertentu yang harus dipatuhi, misalnya ISO 9000, ISO 14000. Hal itu hendaknya juga disertai dengan praktik-praktik seperti Good Agricultural Practice(GAP), Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) yang kesemuanya merupakan prinsip-prinsip yang perlu dijalankan dalam upaya menaikkan mutu pangan yang aman dan berwawasan lingkungan hidup.
  • Di pihak konsumen, hendaknya juga mulai mengembangkan sikap kritis dalam memilah pangan yang akan dikonsumsi. Pepatah mengatakan, “You are what you eat” atau “Dirimu mencerminkan apa yang kamu makan” patut menjadi pegangan. Orang yang sehat dan segar jasmaninya, adalah orang yang selektif mengonsumsi makanan berkualitas bagi tubuhnya. Sebaliknya, orang-orang yang telah mengidap penyakit-penyakit seperti diabetes, hipertensi, adalah orang-orang yang semasa hidupnya tidak mengontrol asupan makanannya. Selain itu, kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan mutu pangan juga penting untuk dibangkitkan. Sikap kritis masyarakat dalam pengawasan mutu pangan tentu akan menjadi dorongan positif bagi para produsen untuk melakukan proses produksi pangan yang sesuai dengan peraturan dan etika yang berlaku.
  • Di pihak pembuat kebijakan, pemerintah dan penegak hukum, hendaknya memberlakukan sistem manajemen mutu pangan yang terintegrasi, dari hulu hingga hilir, disertai peraturan yang jelas, pengawasan menyeluruh serta sanksi-sanksi bagi yang tidak mematuhi.

Konsumen yang kritis dan peduli terhadap mutu pangan akan mendorong terciptanya produsen yang juga patuh pada proses produksi yang aman dan bermutu. Pada akhirnya, tanggung jawab terhadap upaya pengendalian mutu pangan terletak di tangan kita semua. Maka, sudah saatnya segenap lapisan masyarakat senantiasa mengembangkan sikap kritis terhadap produk pangan yang ada, dari proses pengadaannya di lahan pertanian, hingga proses pengolahan dan pendistribusian produk pangan tersebut. 

·  

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...