Editorial Pro:aktif Online Edisi April 2015

Salam Inspiratif dan Transformatif!

Apa kabar? Semoga kita semua dalam keadaan sehat dan sejahtera.

Setelah menyajikan tema tentang Ibu pada edisi sebelumnya, Pro:aktif Online memilih menu yang bertema “Peran Ayah Masa Kini” untuk edisi April 2015 kali ini.

Istilah ayah kerap diasosiasikan pada peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Namun, peran ayah terus mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Kini semakin banyak ayah terlibat dalam pekerjaan domestik, termasuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Dalam Proaktif Online edisi April 2015 ini, kami akan mencoba membahas potret kehidupan ayah masa kini dan peran penting mereka bagi keluarga.

Apa saja peran ideal yang diharapkan dari para ayah dan tantangan-tantangan apa yang mereka hadapi dengan kondisi-kondisi mereka yang unik? David Ardes Setiady yang berkolaborasi dengan Navita Kristi mencoba menggambarkan peran ayah masa kini di dalam keluarga. Mari kita simak hasil kerja sama mereka dalam rubrik Masalah Kita.

Dalam rubrik Pikir, Yully Purwanti ikut mewarnai sajian Pro:aktif Online edisi April ini dengan mengajak para ayah untuk mengasuh para buah hatinya. Tulisan yang berjudul “Ayah, Mari Mengasuh...”, membuat kita merenungkan kembali bagaimana peran ayah yang utuh dalam keluarga.

“Meningkatkan kesadaran akan peran ayah melalui cara ayah”, itulah yang dilakukan Idzma Mahayattika dan teman-teman melalui gerakan Ayah ASI Bandung. Siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan dalam mendukung keluarga? Simak tulisan hasil wawancara Deta Ratna Kristanti dalam rubrik Profil.

Penelitian internasional yang dimuat di Science Daily edisi 12 Juni 2012, menyebutkan bahwa kasih sayang ayah sama penting—bahkan bisa lebih penting—dengan kasih sayang ibu dalam pembentukan kepribadian anak. Oleh sebab itu semestinya sudah tidak ada lagi alasan bagi setiap ayah untuk cuci tangan dalam pengasuhan serta pendidikan anak. Tulisan Anggayudha Ananda Rasa tentang pentingnya kehadiran Ayah dalam kehidupan seorang anak, disajikan dalam rubrik Opini.

Dalam rubrik Jalan-jalan, Any Sulistyowati mencatat hasil selancarnya di dunia maya untuk meliput kelompok-kelompok pendukung para ayah dalam mengoptimalkan perannya di dalam keluarga. Dalam tulisan ini, penulis menceritakan hasil liputannya tentang misi organisasi-organisai tersebut dan inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan untuk mendukung peran ayah sebagai “agen perubahan.”

Dapatkah seorang ayah bertahan dalam perjuangan hidup, sekaligus tetap hadir untuk anak-anaknya? Penggalan kisah kehidupan Chris Gardner yang divisualisasikan dalam film “Pursuit of Happyness”, disajikan dalam rubrik Media oleh Agustein Okamita.

Apa saja tips untuk menjadi ayah yang dibanggakan oleh anak? Rubrik Tips kali ini melengkapi seluruh rangkaian artikel Pro:aktif Online edisi April 2015 ini. Dalam tulisan ini, Melly Amalia mewawancarai beberapa orang aktivis dan merangkum saran-saran mereka bagi para ayah, agar bisa menjadi ayah yang dibanggakan oleh anak-anak mereka.

Melalui semua artikel di atas, kami berharap kita semua dapat terinspirasi sekaligus bertransformasi, agar lebih baik dalam menjalani peran-peran kita sebagai agen perubahan.

Selamat membaca,

Redaksi

[PIKIR] Ayah, Mari Mengasuh...

Oleh: Yully Purwanti


Di banyak kota besar di Indonesia, salah satu indikator kemapanan ekonomi keluarga, bisa terlihat dari semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Baik yang roda dua, maupun roda empat. Dengan semakin banyak kemudahan untuk memiliki kendaraan yang menunjang mobilitas ini, sementara perluasan, apalagi penambahan ruas jalan tidak berjalan seiring peningkatannya, maka tak heran jika jalanan pun jadi semakin padat alias macet.  

Dampaknya? Jelas, semakin lama waktu tempuh menuju tempat beraktivitas, termasuk perjalanan saat kembali pulang ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga. Sahabat pembaca, begitu besar tantangan para petarung jalanan, khususnya mereka yang tinggal di perbatasan kota,  untuk beraktivitas di tengah kota.

Siapa saja para petarung jalanan ini? Tak terkecuali anak-anak yang berangkat ke sekolah, hingga orang dewasa, para pria - wanita pekerja ataupun pencari kerja, pengusaha kecil, menengah, hingga kelas kakap, baik yang masih melajang maupun yang sudah menikah, di antara mereka terdapat para AYAH dan BUNDA….

Lantas bagaimana dengan di pelosok daerah? Pada sebagian keluarga, para ayah sebagai kepala keluarga, mencari nafkah dengan cara merantau. Jika pun tidak, ada yang punya waktu berkumpul bersama keluarga terbatas beberapa hari sekali, seminggu sekali, sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali, tak pasti. Bahkan di beberapa daerah yang potensi TKI-nya besar, para suami yang ditinggal pasangannya, istri mereka, merantau di negeri yang jauh. Sementara ayah belum tentu memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk mengasuh anak-anak dengan cara yang patut, sesuai dengan tahapan usia anak. Sahabat pembaca mungkin sudah tahu, kultur pengasuhan di banyak negara di Asia, diserahkan sepenuhnya kepada para Bunda. Padahal anak-anak, juga butuh ayah mereka. Bukan hanya butuh fisiknya, tapi juga keteladanannya, dan jiwa anak-anak ini pun membutuhkan ayah… inilah yang masih menjadi PR.

Gambaran di atas memberikan ilustrasi yang cukup jelas, bahwa tantangan utama para ayah untuk terlibat dan terikat dalam pengasuhan adalah WAKTU. Dan yang berikutnya, adalah KETERAMPILAN MENGASUH.

Sahabat pembaca, inilah potret keluarga kita kini. Tantangan hidupnya kian besar, pun tantangan dalam pengasuhan anak. Masih begitu banyak anak yang belum sepenuhnya mendapat sentuhan pengasuhan ayah secara utuh. Sebuah penelitian dari salah satu lembaga parenting di Indonesia beberapa tahun silam bahkan mengungkapkan bahwa di negeri kita ini ber-Ayah Ada, ber-Ayah Tiada. Ayah ada secara fisik, tetapi tidak atau minim sekali secara psikologis. Ayah hanya berperan sebagai pencari nafkah, atau ATM, singkatan untuk Ayah Tunai Mandiri. ‘Penyakit’ yang kemudian muncul pada anak-anak yang minim sentuhan ayah pun muncul, yaitu ‘Lapar Ayah’.

Ada banyak peristiwa yang memprihatinkan sebagai dampak ‘Lapar Ayah’ dalam pengasuhan. Berbagai penelitian para psikolog maupun ahli parenting mengungkapkan, bahwa tanpa ayah berperan dalam pengasuhan, anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang peragu, tidak utuh memahami jati dirinya, tidak berani menghadapi masalah, malah lari dari masalah. Selain itu, mudah terpengaruh dan terlibat dalam tindak kriminal bahkan terjerumus menggunakan obat-obat terlarang. Pada anak perempuan, banyak terjadi kasus hamil di luar nikah dan tidak tahu bagaimana anak-anak laki-laki seharusnya memperlakukan mereka dengan hormat. Amat perih melihat kenyataan seperti ini.

Sebagai orangtua, sebagai pendidik, bunda, tentu juga ayah, akankah kita  diam terpaku dengan keadaan seperti ini? Mari Ayah dan Bunda, bergerak dan melangkah, berbuat agar semakin banyak para ayah yang menyadari peran sesungguhnya sebagai ayah yang utuh seluruh. Bunda tak akan hebat jika tak didukung oleh Ayah yang luar biasa, pun sebaliknya, Ayah tak kan jadi ‘Superman’ jika tidak bergandeng tangan dengan ‘Supermom’. Anak-anak, di masa pertumbuhannya yang sangat berharga, 0 – 15 tahun, membutuhkan keduanya. Bunda, tak seharusnya sendiri dalam pengasuhan….

Sahabat pembaca, sejatinya tidak ada pemisahan peran ayah dan bunda dalam pengasuhan. Anak membutuhkan kasih sayang, bimbingan dan keteladanan keduanya, untuk tumbuh kembang jiwa raganya secara maksimal. Tinggal disesuaikan saja dengan kebutuhan mereka di setiap tahapan usia dan perkembangan anak. Ada masa, antara usia 0-15 tahun anak lebih membutuhkan ibu. Sebaliknya juga ada masa ketika mereka membutuhkan ayahnya.

Sangatlah penting diketahui dan dilaksanakan, bahwa pada 1000 hari usia anak (mulai sejak proses pembuahan janin hingga anak berusia sekitar 2 tahun), untuk mengupayakan semaksimal mungkin kecukupan gizi dan nutrisi serta pengasuhan anak yang ditangani sendiri oleh ayah bundanya. Bukan orang lain. Kenapa? Karena 1000 hari pertama kehidupan anak ini menentukan kualitas sumber manusia saat anak ini dewasa kelak. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini adalah kunci untuk membangun karakter anak yang tangguh dan memiliki budi pekerti.[i]

ayah 1 - foto kredit: Sherly Novita
Saya yakin, jika para pembaca, Ayah dan Bunda, sadar dan sungguh memahami hal ini, tak akan dengan mudah menyerahkan atau menitipkan pengasuhan anak-anak mereka kepada orang lain, meski masih keluarga sendiri. Setidaknya, sebelum menitipkan anak, akan benar-benar memastikan terlebih dahulu ilmu, pengalaman dan yang terpenting akhlak orang yang dititipi buah hatinya, tentu haruslah baik serta menerapkan pola asuh yang telah disepakati bersama oleh ayah dan bunda. Tidak mudah ya? Benar. Namun percayalah, dengan kesadaran penuh perannya sebagai orangtua, bunda, juga ayah, akan mampu menjalani dan menikmati setiap proses dalam masa perkembangan putra-putri yang mereka kasihi.

Kembali pada peran ayah. Jadi apa sih peran ayah seutuhnya, jika lebih dari sekadar mencari nafkah? Sahabat pembaca, ayah adalah figur dunia luar yang penuh tantangan. Maka ayah perlu memakai banyak ‘topi’ untuk mengajarkan kepada anak-anak bagaimana menaklukan banyak tantangan itu. Beragam ‘topi’ yang ayah kenakan ini akan membantu perkembangan pribadi anak, baik sosial, emosional maupun intelektualnya. Ayah juga menumbuhkan motivasi (bersikap positif), kesadaran dirinya, identitas (fisik – seksualitas) dan keterampilan (kognitif) yang berpengaruh pada perkembangan dalam setiap tahapan usia anak. Peran ayah yang paling kuat terletak pada dukungannya terhadap prestasi anak dan hubungan sosialnya yang harmonis. Hal ini akan memberikan dampak signifikan di masa dewasanya kelak, di kehidupan pribadinya maupun bermasyarakat.

ayah 2 - foto kredit: Sherly Novita
Apa saja ‘topi’ ayah? Berikut ini beberapa diantaranya:

·         ‘Topi’ Ayah Penghibur
 “Dalam mengasuh, ayah dapat berperan sebagai entertainer (penghibur) dengan memanfaatkan anggota tubuhnya sendiri, sehingga tidak perlu membeli mainan.”Ayah bisa menggunakan ekspresi wajah dan mata yang lucu, gerakan tangan bahkan kaki. Tak perlu ‘jaim’ (jaga image). Yang penting fun! Ayah bisa sambil mendongeng, menumbuhkan karakter positif anak untuk percaya diri dan berani berekspresi.

·         ‘Topi’ Serba Ada Ayah
Dalam keadaan terbatas sekalipun, apalagi jika berkecukupan, ayah utamanya berupaya memenuhi kebutuhan materi / fisik dan keuangan anak, yang antaranya untuk biaya sekolah, membeli peralatan dan perlengkapan belajar sehingga anak merasa aman serta dapat belajar dengan lancar di rumah dan di sekolah.

·         ‘Topi’ Guru Ayah
Sebagai guru, tugas ayah adalah mendidik. Artinya menolong anak agar ia menjadi dewasa. Dewasa secara fisik, akal dan jiwanya. Tanda minimal kedewasaan anak adalah dapat membedakan yang baik dari yang buruk, serta anak dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan tahapan usianya.

·         ‘Topi’ Motivator Ayah
Sebagai motivator, ayah memberikan dukungan dan penghargaan (apresiasi) pada minat, potensi pribadi atau hal-hal positif yang menjadi perhatian anak. Minat yang berkembang dengan baik dengan dukungan dan keterlibatan ayah bukan semata secara materi, melainkan secara moril akan mewujudkan keterampilannya lebih serius. Membantu anak lebih bersemangat menjalani hari-harinya, juga membantunya lebih siap menghadapi kegagalan.

·         ‘Topi’ Persahabatan Ayah
Anak memerlukan teman yang membuatnya merasa nyaman dan terbuka mengungkapkan isi hati, pikiran dan persoalan yang tengah dihadapinya. Sebagai teman, ayah bisa bergurau dan bergaul secara sehat. Tidak berjarak dan bersikap santai. Bersahabat. Memahami anak dari sudut pandangnya, sekaligus menyisipkan wawasan / masukan yang bisa membuat berpikir lebih dewasa.

·         ‘Topi’ Pelatih Ayah
Agar berhasil dalam kehidupannya, antaranya anak perlu berlatih dan mendapat bimbingan ke mana ia akan melangkah. Berlatih untuk fisiknya memerlukan disiplin, berlatih untuk psikisnya harus pantang penyerah. Ayah mengambil peran sebagai pelatih (coach) tanpa mengenal lelah. Karena untuk melatih perlu komitmen dan konsistensi melakukan dari waktu ke waktu, sesuai perkembangan usia anak.

·         ‘Topi’ Tong Sampah & Penasehat Ayah
Dalam keseharian banyak hal dialami anak terutama mereka yang menjelang remaja. Pengalaman buruk dan tidak menyenangkan membutuhkan bantuan orang lain minimal sekadar mendengarkan curahan hati anak. Ayah menjadi rujukan berbagai masalah yang dihadapi anak yang paling mudah dijangkau. Ayah juga diharapkan mampu menasehati, tanpa harus bersikap menggurui.

Sahabat pembaca,
Terlibat dan terikatnya ayah dalam mengasuh anak-anak bukan berarti mengecilkan peran pengasuhan yang bunda berikan kepada anak-anak. Sekali lagi anak-anak membutuhkan keduanya. Pengasuhan anak, tak perlu dikotak-kotakkan. Yang terpenting antara bunda dan ayah dapat saling berbagi dan saling mengisi menjalankan kesepakatan dalam mengasuh ananda.

Tulisan sederhana ini mungkin memunculkan sudut pandang yang berbeda pada setiap pembaca,mengingat pengasuhan anak dalam tiap keluarga adalah salah satu wilayah yang personal dan berbeda dalam setiap keluarga. Berharap masih bisa memberikan manfaat.

Mari Ayah, bersama Bunda, kita asuh anak-anak kita…


ayah 3 - foto kredit: Sherly Novita




[i] Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),  Fasli Jalal pada Rapat Kordinasi Nasional Bunda PAUD tahun 2013, di Hotel Sahid Jakarta, 11/11/2013.


[PROFIL] Ayah ASI Bandung


Sumber gambar: https://roisz.wordpress.com/2014/01/25
dua-tahun-aab/
“Meningkatkan kesadaran akan peran ayah melalui cara ayah.” Itulah yang dilakukan Idzma Mahayattika dan teman-teman melalui gerakan Ayah ASI Bandung. Dengan adanya gerakan ini, diharapkan akan semakin banyak ayah yang peduli dan mau terlibat dalam pengasuhan anak-anaknya.

Idzma, co-founder Ayah ASI Bandung, lebih suka menyebut gerakan ini sebagai Komunitas Ayah ASI Bandung. Meskipun Ayah ASI Bandung muncul setelah adanya gerakan ID Ayah ASI, namun menurut Idzma, bentuknya berbeda. “Kalau ID Ayah ASI menyatakan diri sebagai social media movement, sedangkan Ayah ASI Bandung bentuknya lebih cocok disebut komunitas. Juga, karena Bandung itu kota komunitas, maka kampanye Ayah ASI Bandung lebih mudah dengan cara menggandeng komunitas-komunitas yang melibatkan para ayah. Jadi kerjasama antar komunitas,” jelas Idzma.

Komunitas Ayah ASI Bandung menempatkan diri sebagai teman ngobrol pada ayah. Yang dikampanyekan sebenarnya isu parenting, namun penyampaiannya dikemas dengan mengikuti gaya ayah. “Ayah itu tidak suka diceramahi, lebih suka ngopi, bersepeda, kegiatan yang cowok banget lah,” kata ayah dari tiga anak ini. Berbekal pemahaman akan kebiasaan dan perasaan para ayah inilah, kampanye Ayah ASI Bandung dijalankan dengan pendekatan yang berbeda dengan seminar-seminar parenting yang biasa digelar. Ayah ASI Bandung memanfaatkan momen-momen santai para ayah untuk menyelipkan isu-isu tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak.  Selama ini, cara yang umumnya dilakukan untuk mengampanyekan parenting kepada para ayah dinilai Idzma jauh dari efektif. Jumlah ayah yang dengan sukarela mau hadir dalam acara-acara parenting jumlahnya sedikit sekali. Mengapa demikian? “Dalam banyak acara parenting, yang membawakan kebanyakan perempuan, lalu ayah yang hadir ditunjuk-tunjuk, ayah harusnya dukung ibu, ayah harus begini, harus begitu. Ayah jadi malas untuk ikut lagi. Ayah merasa dituntut, dan mereka tidak suka,” jelas Idzma.

Padahal, peran ayah untuk mendukung ibu sejak kehamilan dan pasca melahirkan sangatlah penting. Dalam hal menyusui misalnya, tanpa peran dan dukungan ayah, keberhasilan ibu menyusui hanya sekitar 26%. Sedangkan, dengan keterlibatan ayah, keberhasilan ibu menyusui dapat meningkat hingga 98%. “Masa-masa awal ibu menyusui adalah masa yang berat untuk ibu. Masalahnya banyak. ASI tidak keluar, payudara membengkak dan luka, jam tidur yang tidak teratur, banyaklah. Pada masa-masa seperti ini, tanpa dukungan dari Ayah, peluang susu formula masuk besar sekali. Seorang ibu secara alamiah ingin memenuhi kebutuhan bayinya. Pada saat ia kelelahan, dan ASI yang keluar sedikit, ibu tidak bisa lagi berpikir panjang dan jernih. Maka memilih susu formula jadi solusi jangka pendek. Lain halnya jika ayah terlibat. Sebagai orang yang mendampingi ibu, ayah bisa berlaku lebih tenang dan berpikir lebih panjang,” kata Idzma. Hal kedua yang ingin disasar Ayah ASI Bandung adalah keberlanjutan dari keterlibatan ayah dalam mengasuh anak. Jika sejak kelahiran anak, ayah sudah terlibat, maka ayah akan melanjutkan keikutsertaannya mengasuh anak. “Sudah terlibat selama dua tahun di awal, masa tidak berlanjut?" tambah Idzma.

Dari aktivitas twitter @AyahASI_Bandung, terlihat bahwa selain mengampanyekan pentingnya peran ayah, Ayah ASI Bandung juga menyediakan diri sebagai wadah para ayah untuk eksis – menunjukkan kebanggaannya bermain bersama anak dengan mengunggah foto di twitter, - wadah berkegiatan dan kumpul bersama para ayah, hingga menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar parenting.  Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para ayah, dianggap Idzma sebagai salah satu keberhasilan kampanye Ayah ASI Bandung. “Dulu, hanya ibu-ibu yang sering bertanya seputar hal pengasuhan anak. Sekarang para ayah mulai bertanya-tanya. Para ayah menemukan wadah yang nyaman untuk berbagi dan bertanya. Karena sesungguhnya mereka juga ingin tahu, tapi selama ini tidak tahu mau membahas dengan siapa.  Ya, kegiatannya tetap ngopi-ngopi, jalan dengan Land Rover mereka misalnya. Gaya  obrolannya tetap khas para laki-laki.  Tapi kalau saya dan teman-teman Ayah ASI sudah ngobrol tentang parenting, paling tidak sedikit-sedikit mereka juga dengarlah. Lalu mulai ikut mengobrol dan bertanya.”
Menurut Idzma, pembentukan figur laki-laki yang peduli pengasuhan anak juga efektif mendorong keberhasilan kampanye parenting.  “Kalau dulu, figur laki-laki yang peduli dan membahas parenting itu rapi, klimis, berkemeja, kayak kak Seto. Sekarang, siapa yang menyangka, rambut gondrong dan tampang sangar juga bisa jadi ayah keren. Kalau jalan-jalan di mal, ada anak kecil manggil, 'Mamaaaa...!', orang lain lihat, ah, biasa, manggil mamanya. Tapi kalau ada anak yang manggil, 'Ayah!' lalu ayahnya menghampiri, orang lain lihat apa? Wah,  itu ayah keren! Begitu, kan...?” katanya.

Sekarang, target Idzma dan teman-teman meluas pada kaum muda yang belum menikah. Mareka ingin para lelaki muda juga punya kesadaran sejak dini akan pentingnya peran ayah, sehingga mereka akan terlibat langsung dalam pengasuhan anak ketika membentuk keluarga kelak. Ayah ASI Bandung menggelar acara-acara parenting di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan kampus, mendekati mahasiswa dan mahasiswi. “Kemarin waktu menggelar acara di Salman –ITB, setelah acara para mahasiswi curhat. Mereka bilang, ‘Wah, Kak, lelaki yang peduli anak beginiKak, masa depanku!’  Artinya, laki-laki yang mau terlibat itu juga menjadi pertimbangan mereka dalam memilih pasangan hidup. Makanya Ayah ASI Bandung sedang mencoba menjaring para mahasiswa untuk mau datang ke acara-acara kami,” kata Idzma. Tambahnya lagi, “Selama ini orang-orang mungkin tidak punya role model ayah yang terlibat. Bukan tidak ada, ayah-ayah mungkin terlibat tapi tidak terlihat. Karena budaya atau alasan lain, ayah-ayah pada generasi terdahulu, tidak terbiasa  menunjukkan secara terbuka, bagaimana ia peduli dan mengasuh anaknya. Sekarang trend-nya tidak begitu. Bagaimana seorang laki-laki gayanya tetap cowok, asyik ikut kegiatan cowok, tapi juga keren karena  peduli dan terlibat dalam pengasuhan anak.”

“Dengan cara-cara yang dilakukan Ayah ASI Bandung selama ini, ayah akan melihat bahwa keterlibatan dalam pengasuhan anak itu adalah hal yang menyenangkan,” kata Idzma bersemangat.


Untuk mengetahui lebih lanjut dan mengikuti kegiatan Ayah ASI Bandung, ikuti twitter @AyahASI_Bdg atau email ke: ayasibdg@gmail.com

[MASALAH KITA] – Peran Ayah Dalam Keluarga Masa Kini


Pengantar


Foto: dokumen pribadi Navita
Peran seorang ayah kerap diasosiasikan dengan peran sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah yang harus berada di luar rumah. Selain itu, sosok ayah yang dingin dan kurang dekat dengan anak-anaknya kerap menjadi pemandangan umum dalam keluarga di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan dinamika sosial masyarakat, peran ayah dalam keluarga sedikit demi sedikit mulai bergeser. Desakan finansial sedikit banyak telah menempatkan ayah dan ibu sebagai pencari nafkah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan keluarga. Pada situasi yang lain, seorang ayah tidak lagi harus mencari nafkah dengan berada di luar rumah, bekerja bisa dilakukan dari dalam rumah, maka di sini ayah bisa turut berperan dalam mengerjakan tugas rumah tangga “yang biasanya” dikerjakan oleh para ibu. Secara umum, para ayah semakin banyak terlibat dalam pekerjaan domestik yang biasanya hanya dikerjakan oleh para ibu, seperti mengasuh dan mendidik anak.
Dalam edisi Proaktif Online kali ini, kami menyebarkan kuesioner kepada beberapa responden untuk mendapatkan gambaran mengenai peran ayah masa kini di dalam keluarga. Bagaimana tantangan yang dihadapi oleh para ayah tersebut dengan kondisi yang unik, serta menjadi bahan permenungan kita bersama tentang posisi dan peran ayah dalam keluarga masa kini.

Tugas Rumah Tangga : Keterlibatan Ayah dan Fleksibilitas
Dewasa ini, ayah dan ibu yang bekerja menjadi pemandangan yang semakin umum di Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah desakan ekonomi yang menuntut ibu untuk turun tangan dalam menambah pemasukan bagi neraca keuangan rumah tangga. Untuk itu, kami mengajukan pertanyaan kepada responden tentang bagaimana pembagian tugas rumah tangga di antara ayah – ibu.
Pada umumnya, para responden tidak memaparkan prinsip pembagian tugas yang jelas. Pembagian tugas tidak lagi didasarkan pada peran gender, di mana ayah wajib mencari nafkah sementara ibu yang wajib mendidik dan mengasuh anak. Umumnya para responden, sebagai ayah, terlibat dalam tugas rumah tangga. Namun skala keterlibatannya yang berbeda-beda sesuai kesepakatan dengan pasangannya masing-masing.
Di sinilah peran ayah menunjukkan fleksibilitas, di mana ayah tidak lagi sebatas sebagai pencari nafkah semata yang tidak terlibat dalam tugas rumah tangga. Seorang ayah bisa saja mencuci pakaian, memandikan anak, menemani anak belajar, menidurkan anak. Ayah semakin hadir dalam kehidupan anak-anak. Keterlibatan ayah dapat dimungkinkan karena pekerjaan tidak lagi mengharuskan seseorang untuk keluar dari rumah.
Dalam hal pembagian tugas rumah tangga, seluruh responden menyatakan terlibat dalam pekerjaan domestik rumah tangga, terutama dalam hal pengasuhan anak.

Peran Ayah  Ideal yang Diharapkan di Masa Kini
Setiap pria dulunya adalah seorang anak yang memiliki kesan tersendiri tentang ayahnya, yang sedikit banyak menjadi dasar ataupun pedomannya untuk mengambil perannya ketika menjadi ayah. Peran ayah yang lebih fleksibel dan lebih terlibat dalam tugas rumah tangga, terkait erat dengan pemahaman akan peran sebagai ayah dalam keluarga. Interaksi antara kesan (kenangan) dan kesadaran gender, sepertinya berpengaruh pada pemahaman tentang peran ayah di dalam keluarga. Para responden, secara umum, mengamini bahwa peran ayah ideal adalah sebagai mitra bagi istri dan sebagai teman bagi anak.
Hal ini teridentifikasi dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut :
  •           Menjadi rekanan yang sejajar bagi istri
  •           Ayah harus hadir di tengah urusan keluarga dengan prinsip : ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani
  •           Ayah dan ibu mengurus anak secara bersama
  •           Bisa berkomunikasi dengan anak
  •           Sebagai sahabat, teman, saudara
  •           Menjadi pendengar yang baik
  •           Intens memberikan perhatian dan pendampingan

Para responden juga menyadari bahwa peran ayah yang ideal adalah terlibat dalam proses tumbuh kembang anak, intinya adalah hadir dalam hidup mereka. Kehadiran tersebut terwujud dalam komunikasi yang terjalin di setiap hari, di sinilah ayah berperan sebagai teman bagi anak. Namun hubungan pertemanan ini menghendaki ayah yang tegas, bukan keras dalam artian otoriter, sebagaimana yang diungkapkan oleh 2 orang responden.

Father and child in arms
Tantangan Menjadi Seorang Ayah
Menjadi seorang ayah seperti yang diharapkan menemukan tantangannya pada setiap pribadi dan keluarga. Tantangan yang bervariasi yang diungkapkan oleh para responden, di antarnya :

  • Soal waktu untuk bersama dengan keluarga (istri dan anak). Ketersediaan waktu yang dimiliki seorang ayah dipengaruhi oleh beban pekerjaan yang ia kerjakan ataupun manajemen waktu yang dilakukan. Menyediakan waktu bagi keluarga, termasuk di dalamnya adalah hadir di dalam proses tumbuh kembang anak, hadir di kala anak membutuhkan sosok ayahnya. Terkadang dengan jenis pekerjaan yang menuntut waktu di luar rumah, hal pengasuhan anak terpaksa dipindahtangankan atau membutuhkan bantuan dari tenaga pengasuh.
  • Soal pengendalian emosi.Terkadang pada saat beban kerja sedang tinggi, ataupun pada kondisi yang kurang menyenangkan, bersikap tenang dan berkepala dingin menjadi tantangan. Terutama pada saat menghadapi anak-anak. Tidak jarang, anak-anak mendapatkan pelampiasan emosi negatif orang tua tanpa sempat memahaminya dengan bijaksana. Pengendalian emosi ini mungkin terkait dengan persoalan pengenalan diri dalam pribadi sang ayah. Salah seorang responden mengemukakan bahwa dengan mengenal diri akan membantu ayah untuk dapat berpartisipasi dalam mengelola keluarganya dengan baik.
  • Soal nilai-nilai yang berbeda dari lingkungan pergaulan.Setiap anak-anak tidak dapat terhindarkan untuk bergaul dengan lingkungan tempat tinggalnya, di mana interaksi nilai-nilai terjadi dan kemungkinan memiliki pertentangan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan kepada anak-anak.
  • Soal gadget smartphoneDewasa ini hampir semua keluarga memiliki smartphoneyang menawarkan berbagai fitur canggih, terutama untuk hiburan. Terkoneksi dengan internet setiap hari, kerap menyita perhatian orang tua dari perhatian. Di sisi lain, ketika anak-anak terpapar dengan smartphone menyebabkan mereka jauh dari realitas hidup sehari-hari dan kurang bergerak. Hal ini turut menurunkan kualitas kesehatan anak-anak. Disiplin dalam penggunaan smartphonedan kesepakatan antara ayah-ibu menjadi kunci dalam penegakan disiplin tersebut.
Tantangan-tantangan tersebut mungkin tidak dialami oleh semua ayah (keluarga), karena setiap keluarga memiliki tantangannya masing-masing.

Penutup
Dengan berbagai tantangan kehidupan di jaman sekarang ini, peran seorang ayah di dalam keluarga tidak lagi cukup sebatas pencari nafkah. Keterlibatan ayah dalam mengasuh anak dan mendampingi mereka dalam proses tumbuh kembang menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Di samping itu, relasi antara ayah-ibu semakin mengarah pada hubungan kemitraan yang setara, di mana ayah dan ibu bekerja sama untuk mengelola rumah tangga dengan pembagian tugas yang fleksibel.
Ke depannya, peran ayah dan ibu merupakan hasil kesepakatan di antara pasangan, bukan sesuatu yang diharuskan oleh masyarakat. Bagaimanapun, ayah dan ibu adalah yang paling mengerti apa yang mereka hadapi di dalam hidup sehari-hari. Ayah pun diharapkan dapat semakin hadir dalam hidup anak-anaknya.


Ayah - ibu - anak

[OPINI] Ayah: Bukan Sekadar Pencari Nafkah, Tapi Pengemban Amanah.


Zaman terus berganti dari waktu ke waktu. Mulai dari era pra sejarah, postmodernisme, era revolusi industri bahkan hingga saat ini. Banyak perubahan yang terjadi, mulai dari perubahan tata pemerintahan, sistem sosial, dan lain sebagainya. Namun demikian ternyata ada satu yang tidak pernah berubah: sosok ayah dalam keluarga.

Dahulu laki laki dikenal hanya sebagai orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Pekerjaannya adalah berburu, mencarikan makanan untuk keluarga. Urusan meramu makanan dan merawat keluarga adalah urusan para kaum wanita. Termasuk mendidik anak.

Tapi tampaknya paradigma tersebut mulai berubah, meskipun baru perlahan-lahan. Maraknya tindak kejahatan, kekerasan pada remaja, pelecehan seksual, narkoba dan berbagai bentuk tindak kriminalitas lainnya menuntut para orangtua bertindak lebih hati-hati dalam mendidik anak. Peran ibu saja kini tak cukup untuk mengawal tumbuh kembang anak.

Menurut psikolog anak Elly Risman, peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam mendidik serta mengasuh anak. Adanya keseimbangan pengasuhan oleh ayah dan ibu akan membentuk perilaku yang positif bagi anak. Sisi feminis dan maskulin pada diri anak, baik anak laki laki maupun perempuan perlu ditumbuh-kembangkan secara optimal agar tidak terjadi 'kelainan kepribadian' pada diri anak. Agar tidak ada anak laki laki yang lebih feminim dan anak wanita yang lebih tomboy.

Pentingnya peran ayah juga menjadi catatan penting dalam sebuah penelitian internasional yang dimuat di situs artikel sains, Science Daily edisi 12 Juni 2012. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kasih sayang ayah sama penting—bahkan bisa lebih penting—dengan kasih sayang ibu dalam pembentukan kepribadian anak.

Oleh sebab itu semestinya sudah tidak ada lagi alasan bagi setiap ayah untuk cuci tangan dalam pengasuhan serta pendidikan anak. Ayah perlu mengambil peran dalam mendidik anak baik secara langsung atau tak langsung. Demi terciptanya generasi berikutnya yang lebih baik dan kokoh.

Beberapa waktu yang lalu sempat diluncurkan sebuah buku berjudul Ayah Ada Tapi Ayah Tiada' yang diterbitkan oleh lembaga Ayah Untuk Semua. Buku itu berisi tulisan tulisan anak anak tentang apa yang mereka rasakan terhadap keberadaan ayah di rumah. Buku itu bercerita tentang jeritan hati anak anak usia 6-12 tahun yang 'memprotes', kecewa, marah dan sedih atas ketiadaan orangtua mereka dalam kehidupan mereka.

Berikut ini nukilan puisi yang dituliskan olehsalah seorang anakdalam buku 'Ayah ada, ayah tiada' yang disunting oleh Irwan Setiadi,

AYAH KEMANA

Kantukku telah tiba
Ayah dan bunda ada dimana 
Aku ingin kita bertatap muka 
Kenapa setiap hari begini saja
Kantukku telah tiba 
Aku kembali bertanya 
Kenapa aku dibiarkan tidur sendiri saja 
Padahal aku ingin berbagi cerita
Kantukku telah tiba 
Tempat tidur yang sepi tanpa cinta
Selimut yang dingin tanpa kata-kata 
Bantal dan guling tak bisa bicara

Adanya fenomena ayah ada tapi ayah tiada seperti yang dikutip oleh Irwan Rinaldi - praktisi pendidikan  keayahan- seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua tentang betapa mirisnya kondisi pengasuhan oleh ayah saat ini. Fenomena ayah yang pergi sebelum Matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam yang semakin lumrah terjadi semakin memperparah keadaan. Besarnya tuntutan pekerjaan memang membuat kondisi semakin dilematis. Antara tanggung jawab menafkahi keluarga yang 'mengharuskan' para ayah terjebak dalam rutinitas tersebut dan tanggung jawab mengasuh serta mendidik anak yang juga harus dipenuhi. Tidak mudah memang. Tapi kita yakin akan selalu ada solusi atas setiap permasalahan.


Sumber gambar: http://www.deanthebard.com/blog/
wp-content/uploads/2014/04/father-and-daughter-silhouette-494x329.jpg
Sebagai seorang ayah yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap kehidupan dan keberlangsungan keluarganya saat ini di masa yang akan datang, maka sudah semestinya kita tidak memisahkan begitu saja antara kewajiban mencari nafkah dan mengayomi keluarga (termasuk mengawal istri kita mendidik anak). Tidak bijak rasanya menjadikan kewajiban mencari nafkah sebagai alasan untuk cuci tangan dari kewajiban mendidik anak. Sebab bagaimanapun masa depan anak dan keluarga adalah tanggung jawab kita juga. Sebab bagaimanapun kelak kita juga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupan mereka.

Mari kita luangkan waktu meski sejenak untuk menyapa, menemani, memeluk, mengecup buah hati kita, sesibuk apapun urusan kita mencari nafkah. Mari kita luangkan sedikit saja waktu untuk menelponnya, berbincang dengannya, menanyakan apa kabarnya hari ini, apa aktivitas yang baru ia jalani, dan pertanyaan pertanyaan ringan lainnya, di sela sela padatnya aktivitas kita. Mari luangkan waktu sebentar saja untuk  membacakannya sebuah cerita yang sarat akan makna kejujuran, kebaikan, ketegasan dan mengantarkan tidurnya hingga ia terlelap.

Rasanya tak muluk muluk untuk bisa meluangkan waktu meski hanya 5 menit saja untuk melakukan aktivitas aktivitas itu. Sekalipun tentu akan lebih baik jika kita meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik anak kita.


Apalah artinya meluangkan 5 menit di antara ratusan menit yang kita sisihkan untuk pekerjaan? 
Apa gunanya bersikukuh dengan pekerjaan jika anak sendiri tak mampu kita bahagiakan? 
Jika kita berdalih mencari nafkah untuk mereka, lantas mengapa kita tak luangkan hati dan waktu yang kita punya untuk mereka meski sedikit saja? 

Materi masih bisa kita cari bahkan kita beli, tapi kebahagiaan, masa depan anak dan istri takkan dapat terganti.

Sebab tanggung jawab kita tak hanya sekedar mencari nafkah, melainkan mengemban amanah.


Renungan atas diri sendiri, 

Anggayudha A. Rasa

[TIPS] Menjadi Ayah Yang Dibanggakan Oleh Anak


Ayah adalah salah satu sosok yang dibanggakan oleh anak. Peran ayah dan ibu bisa disejajarkan dalam beberapa hal, misalnya berbagi peran dalam hal pengasuhan anak, mengerjakan pekerjaan domestik, dan sebagainya. Sebagian besar anak menganggap ayah itu adalah seorang pemimpin keluarga, pahlawan dan menjadi kebanggaan anaknya.  Sosok yang disegani selain ibu tentunya. Dari seorang ayah, anak pun bisa belajar banyak hal tentang kehidupan, bercerita dengan bebas tentang cita-cita dan harapannya.

Anak adalah pribadi yang tumbuh dan berkembang dari asuhan dan didikan ayah dan ibu. Seiring masa pertumbuhan, seorang anak membutuhkan sosok pribadi yang kuat, bisa menjadi panutan dan pelindung yang bisa mengayomi dirinya. Sehingga anak bisa tumbuh menjadi dirinya yang terbaik .

Dalam beberapa aspek, ada peran ayah yang ternyata tidak bisa tergantikan oleh ibu. Dan ini hanya didapat dari seorang ayah. Sosok ayah ideal bagi masing-masing anak pasti akan berbeda-beda. Bisa jadi gambaran ayah ideal diambil berdasarkan pengalaman dan impian sepanjang hidup seseorang.


Berikut ini tips bagaimana menjadi sosok ayah yang ideal menurut beberapa aktivis :
  • Ayah bisa menjadi tempat curhat.  Mau mendengarkan curahan hati atau cerita anak-anaknya. Bisa menjadi teman atau sahabat bagi anaknya. Termasuk memberikan solusi bila dimintai pendapat oleh anak.
  • Mempunyai waktu yang berkualitas dan interaksi yang cukup untuk keluarga. Misalnya mengajak anak-anaknya melakukan aktivitas sehari-hari atau bagi ayah yang senang bertualang, mengajak anak-anaknya melakukan kegiatan bertualang bersama.
  • Demokratis dan tidak memaksakan kehendak. Anak-anak bebas memilih jalannya sendiri tapi tetap memberikan arahan.
  • Bisa menjadi pelindung, inspirasi, dan teladan buat anak-anaknya. Biasanya anak akan meniru sikap dari orang tuanya. Apa yang dilihat dan dirasakan oleh anak-anak dari kecil, itulah yang ditiru oleh mereka. Jadilah teladan yang baik bagi anak-anak.
  • Bersikap tegas, adil dan bijaksana. Bukan dalam arti menakutkan atau pemarah. Ayah menjadi sosok yang disegani karena respek, bukan karena takut.
  • Bertanggung jawab secara finansial atau mencari nafkah untuk keluarganya. Dalam hal ini, kita sering terjebak bahwa seorang ayah harus memberi kelimpahan materi. Dengan begitu keluarga akan bahagia. Padahal dari sisi materi, terkadang malah menjerumuskan. Ayah lebih memilih hanya mencari nafkah atau keasyikan bekerja tanpa mau tahu urusan keluarga. Bahkan melupakan bahwa mendidik anak-anak itu adalah tanggung jawab ayah dan ibu, bukan semata urusan seorang ibu.
  • Bersikap jujur akan kesalahan dan kebenaran. Memberi teguran bagi yang salah dan memberi sanjungan bagi yg benar, dengan cara yang tepat sesuai dengan karakter anak.

Masing-masing anak mempunyai gambaran yang berbeda terhadap sosok yang dibanggakannya ini, sosok seorang ayah. Pastinya ayah yang sayang keluarganya, sayang dengan anak-anaknya. Meski itu diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari bahasa tubuh, ucapan bahkan dengan doa. Doa yang tak pernah putus sepanjang usia seorang ayah. Bagi yang sudah menjadi seorang ayah, jadilah seorang ayah yang dibanggakan oleh anaknya. Dan bagi yang belum menjadi seorang ayah, jangan pernah putus untuk belajar bagaimana menjadi pribadi yang baik untuk orang lain, terutama bagi anak-anak.(MA)


***




[MEDIA] The Pursuit of Happyness - Kehadiran Seorang Ayah

Perjuangan Hidup
Chris Gardner adalah seorang bapak yang memiliki seorang anak, mereka tinggal di San Fransisco, USA. Sehari-hari, Chris berprofesi sebagai penjual alat kesehatan. Isteri Chris, Linda, bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel. Kehidupan keluarga ini cukup sederhana. Mereka tinggal di sebuah rumah sewaan bersama anak laki-laki mereka, Christopher.

Sumber gambar: https://cronk3rdhoureng12.wikispaces.com/Pursuit+of+Happyness
Chris menjual portable bone-density scannersatau alat pemindai kerapatan tulang. Alat tersebut memberikan hasil yang sedikit lebih baik daripada x-ray scanners, tetapi harganya lebih mahal dua kali lipat. Penjualan alat ini tidak selalu berjalan mulus karena harganya yang mahal. Selain itu, banyak rumah sakit dan dokter merasa tidak memerlukan alat seperti itu.

Penghasilan Chris tidak menentu karena bergantung pada keberhasilannya menjual scanner itu. Jika bisa menjual dua buah alat dalam satu bulan, penghasilan Chris cukup untuk membayar sewa rumah dan pajak. Tetapi tak jarang juga Chris tidak bisa menjual satu alat pun.

Suatu hari, ketika sedang berjalan menuju sebuah rumah sakit untuk menawarkan alat kesehatan, Chris bertemu dengan Jay Twistle. Pertemuan itu memberi kesempatan pada Chris untuk bertanya tentang pekerjaan Jay. Jay adalah salah seorang stockbroker (makelar saham) di perusahaan Dean Witter. Ketika perusahaan itu membuka kesempatan untuk mengikuti pelatihan menjadi stockbroker di sana, Chris mengirimkan lamaran. Ia mendapat panggilan untuk wawancara dengan para direkturnya. Akan tetapi, sebelum tiba hari wawancara, Chris mengalami persoalan berat. Polisi mendatangi rumahnya dan menangkapnya.

Peristiwa itu terjadi saat Chris akan menawarkan alat pemindai di sebuah rumah sakit. Rumah sakit itu tidak memiliki tempat parkir, sehingga Chris memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Karena parkir di tempat yang salah, Chris harus membayar denda. Chris tidak bisa membayar denda, sehingga polisi menangkap dan menjebloskannya ke dalam penjara. Dia harus menginap di penjara selama beberapa hari, dan keluar pada hari dia akan diwawancara oleh para direktur perusahaan saham itu. Dia datang ke tempat wawancara dengan mengenakan pakaian yang dikenakannya saat ia ditangkap oleh polisi.

Chris lulus wawancara dan ditawari untuk ikut dalam pelatihan stockbroker  yang diadakan oleh perusahaan Dean Witter. Pelatihan itu gratis, tetapi dia tidak dibayar sepeser pun. Karena tidak digaji selama masa training yang berlangsung enam bulan, awalnya Chris menolak untuk ikut pelatihan itu. Akhirnya ia bersedia untuk ikut, setelah Jay membujuknya.

Ketidakpastian penghasilan Chris dan tuntutan kehidupan membuat isterinya merasa kepahitan. Linda sering mengeluh dan marah kepada Chris, yang dianggapnya tidak mampu memberi nafkah bagi keluarga mereka. Pada suatu hari, Linda berkata bahwa ia akan meninggalkan Chris dan pindah ke New York untuk bekerja di restoran kakaknya. Chris mengizinkan Linda pergi, tetapi meminta Linda membolehkannya untuk mengasuh anak mereka. Linda sepakat bahwa Chris yang akan merawat Christopher, lalu ia pergi meninggalkan suami dan anaknya.

Sambil mengikuti pelatihan untuk menjadi stockbroker, Chris tetap harus menjual alat kesehatannya, agar dia dan anaknya tetap bisa makan. Kehidupan memang tidak selalu berjalan lancar. Pada suatu waktu, Chris dan anaknya terpaksa meninggalkan rumah sewaan karena pemilik rumah mengusirnya. Mereka diusir karena Chris tidak membayar uang sewa selama beberapa bulan.

Karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar sewa rumah, mereka terpaksa menjadi tuna wisma. Mereka harus pindah dari satu tempat ke tempat lain setiap hari, sambil membawa barang-barang milik mereka. Kadang-kadang mereka harus menginap di stasiun atau di tempat-tempat yang dirasa aman. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya mereka bisa tinggal di barak-barak penampungan yang disediakan oleh sebuah gereja untuk para tuna wisma. Ini cukup melegakan, meskipun untuk mendapatkan tempat penginapan itu mereka harus antri dalam barisan yang panjang.

Titik balik
Chris Gardner bukanlah seorang yang bodoh. Ketika remaja, dia dijuluki oleh teman-temannya sebagai ‘ten-gallons head’ (orang yang kepalanya berisi), karena pintar. Di kelasnya dia selalu berada di peringkat pertama sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah. Chris pernah berpikir bahwa kepintarannya dapat membawanya ke mana saja dia mau. Dia berpikir bahwa dunia akan berpihak padanya kalau dia cerdas. Tetapi kenyataan yang terjadi tidaklah demikian.

Chris tidak pernah memberitahukan masalah keuangannya kepada teman-temannya, sehingga mereka tidak tahu bahwa Chris hidup berpindah-pindah. Meskipun menjadi tuna wisma, Chris tetap bekerja dan belajar dengan giat. Setelah mengikuti ujian, Chris dinyatakan lulus dan diterima bekerja sebagai stockbroker di Dean Witter. Sejak saat itu kehidupannya mulai membaik.

Ayah yang hadir
Film “Pursuit of Happyness” diambil dari sekelumit kisah nyata kehidupan Chris Gardner. Film ini menceritakan peristiwa ketika Chris mengalami masalah keuangan dan bahkan pernah menjadi tuna wisma, yang berlangsung kurang lebih selama satu tahun.

sumber gambar: www.popmatters.com
Hal yang menarik dari kehidupan Chris Gardner ini adalah, dia sangat memperhatikan anaknya dan selalu ada untuknya. Kehadirannya sebagai ayah terlihat dalam kesehariannya. Setiap pagi sebelum memulai pekerjaannya, Chris mengantar anaknya ke sekolah yang sekaligus menjadi tempat penitipan anak. Setelah mengantar Christopher, baru Chris memulai aktivitasnya pada hari itu. Sepulang dari bekerja, Chris menjemput anaknya dari tempat penitipan, dan mereka bersama-sama pulang ke rumah. Kadang-kadang mereka berjalan-jalan di taman bersama-sama dan menikmati kebersamaan mereka.

Chris Gardner pertama kali bertemu dengan ayah kandungnya pada usia 28 tahun. Pengalaman masa kanak-kanak yang sulit karena ayah tirinya membuat Chris berjanji untuk tidak meninggalkan anak-anaknya. Dia pernah bertekad, jika ia memiliki anak-anak, maka anak-anaknya harus mengenal siapa ayahnya dan mengetahui bahwa ayah tidak pernah meninggalkan mereka.[i]

Meskipun tidak mengenal figur seorang ayah yang baik ketika kanak-kanak, Chris tetap bertekad menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Selama masa-masa yang berat dalam kehidupannya dan ketika menjadi tuna wisma, tidak pernah sekali pun Chris meninggalkan anaknya. Meskipun harus berpindah-pindah tempat berteduh setiap hari, Christopher tetap ikut bersamanya.

Saat ini Chris Gardner adalah CEO dari perusahaan brokerage (penjualan saham) Gardner Rich & Co di Chicago, yang berbasis di Illinois, USA. Chris juga berprofesi sebagai seorang entrepreneur, stockbroker, dan motivator. Chris Gardner adalah dermawan yang mensponsori banyak organisasi amal, terutama Program Cara dan United Methodist Church Glide Memorial di San Francisco, di mana ia dan anaknya diterima pada saat sangat membutuhkan tempat berlindung. Chris membantu pembangunan rumah-rumah sederhana bagi orang-orang berpenghasilan rendah dan membuka kesempatan pekerjaan bagi orang-orang di San Fransisco, tempat dia pernah menjadi seorang tuna wisma. [ii]



[i] http://www.chrisgardnermedia.com/chris-gardner-biography.html
[ii] http://en.wikipedia.org/wiki/Chris_Gardner



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...