[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 24/DESEMBER 2019


Salam transformasi!
Di penghujung tahun 2019 ini, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Sejalan dengan momen akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020, Pro:aktif mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan kembali keterlibatan kita masing-masing dalam perubahan dunia serta secara khusus menggali kembali isu kesadaran diri dan kemandirian di dalamnya. Renungan tersebut dapat kita refleksikan bersama dengan membaca artikel-artikel pada edisi no. 24/Desember 2019 ini, dengan tema “Self Awareness, Kemandirian dan Perubahan Dunia”.

Berikut ini sekelumit gambaran artikel pada edisi no 24/Desember 2019 ini. Rubrik PIKIR yang ditulis oleh Umbu Justin, menawarkan sebuah perjalanan atas dinamika pemaknaan menjadi manusia dalam sebuah peradaban sejak jaman prasejarah sampai dengan era digital saat ini, apa artinya menjadi manusia di saat industri memetakan manusia sebagai informasi dan mengolahnya melalui algoritma bernama artificial intelligence?

Dalam rubrik MASALAH KITA, Any Sulistyowati akan mengajak kita untuk memperluas kesadaran diri dengan menelusuri piramida kebutuhan Maslow. Salah satu yang disorot oleh penulis adalah bahwa mungkin ketidaknyamanan kita selama ini karena cara kita memenuhi kebutuhan hidup belum tepat.

Pada Rubrik OPINI yang dibawakan Anthony Dalimarta, mengulas persoalan yang dihadapi aktivis, terlebih di zaman modern yang idealnya tiap individu memiliki kesadaran tinggi tentang persekusi, namun ternyata tetap rentan terkena persekusi secara sporadis. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menemukan dan mengenali diri sendiri.

Anastasia Levianti membawakan rubrik TIPS tentang berbagai jenis konflik yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengurai konflik yang terjadi, diperlukan langkah-langkah berbasis self awareness terhadap situasi konflik tersebut.

Pada rubrik MEDIA, Jeremia Bonifasius Manurung mengungkapkan tentang tren baru media saat ini, yang disebut sebagai New Media. Jika di jaman old media, dibutuhkan banyak wartawan untuk menggali berita. Di jaman New Media, hanya dibutuhkan segelintir orang dengan kemampuan IT di atas rata-rata untuk memonopoli sebuah informasi dan menggunakannya untuk suatu tujuan tertentu.

Pada rubrik JALAN-JALAN, Ombri Kaho memaparkan tentang tradisi masyarakat Belu yang turut membentuk kemandirian dan kesadaran diri pada masyarakat Belu.

Rubrik PROFIL kali ini mengangkat kisah sepak terjang Ceu Nden dalam membantu orang-orang memperluas kesadaran diri melalui program-program yang digagas oleh Initiatives of Changes (IoC), sebagaimana dituliskan oleh Lindawati Sumpena.

Pada rubrik RUMAH KAIL, Deta Ratna Kristanti menuturkan mengenai jatuh bangun KAIL dalam menerapkan kemandirian di setiap kegiatan di KAIL. Sesungguhnya telah banyak ide kemandirian yang lahir dari kesadaran akan pentingnya kemandirian. Namun, tak sedikit pula tantangan dihadapi KAIL dalam mewujudkan ide-ide tersebut.

Akhir kata, keseluruhan artikel yang diusung dalam edisi no.24/Desember 2019 ini, diharapkan dapat menginspirasi pembaca dalam hal (1) Sejauh mana diri kita menyadari potensi dan kemandirian di dalam diri, (2) Sejauh mana kemandirian tersebut telah kita sumbangkan kepada perubahan dunia yang selaras alam dan sesama?

Selamat tinggal 2019, selamat datang 2020!

Tim editor:
Ari Ujianto
David Ardes Setiady
Navita Kristi Astuti

[PIKIR] MENJADI MANUSIA

Oleh : Umbu Justin

Homo Sapiens atau Homo Appendictis

"I can't go back to yesterday because I was a different person then"
Alice in the Wonderland

Pertanyaan tentang makna manusia belum lama ada, dibandingkan dengan 2 juta tahun kehadiran spesies kita Homo Sapiens, pertanyaan itu baru muncul sekitar 2500 tahun lampau di Yunani, kemudian menghilang dan muncul kembali pada masa renaisans (tahun 1300-1600 masehi).

Pada permulaan lahirnya bahasa, ketika alam masih sedemikian lekat dengan kita, tidak ada jarak yang cukup untuk menyadari eksistensi kita di tengah dunia. Bahasa belum terbangun untuk mengajukan pertanyaan, yang ada hanya bunyi penanda kehadiran, yang kita suarakan secara spontan untuk menjadi awas atau sekadar memberitahu kejadian-kejadian yang harus kita waspadai demi kelangsungan hidup. Relasi kita dengan alam, dengan persekitaran kita, dengan sesama, selalu bilateral, aku dan engkau[1], relasi komplementer, langsung, mengikat dan saling menjamin keberadaan.

Kesadaran kita tentang hidup belum terbangun sebagai sebuah pengetahuan abstrak, segala sesuatu mengikat kita secara sangat kongkrit dan sensasionik, kita merasa dengan peka, meraba dan menyentuh semuanya secara langsung. Kita terapung dalam sebuah keserbaadaan yang magis, sebuah dunia mistik yang dengannya kita melebur dan mengalir dan hidup sedemikian lekat.

1. Manusia magis, para shaman pemandu kehidupan, penutur kejadian:
Ketika kita semakin berkembang, menyadari ikatan-ikatan vital antara sesama, membangun hidup berkelompok, muncullah representasi pengalaman hidup sehari-hari dalam diri para shaman, dukun, para penutur cerita. Mereka adalah penyentara mistik yang mampu menafsir serta mengikat semua ingatan dan memberitahu bagaimana harusnya kita hidup. Mereka memberitahu asal usul segala sesuatu, menafsir kejadian-kejadian, dan meramal masa depan. Mereka adalah para penafsir, penyimpan rahasia, penyembuh pelihat, visionaris handal dan penjamin kelangsungan hidup.
Perlahan-lahan dengan peran para shaman ini bahasa menjadi abstrak, mereka mampu menyimpan pengalaman dalam kata-kata, memberi nama dan memanggil subyek atau bahkan peristiwa-peristiwa yang kita inginkan terjadi. Kita mulai membangun kesadaran bahwa kita berada secara khas, mampu membuat jarak dengan alam, menyadari pelintasan waktu, menamai musim-musim, membuat peta tempat-tempat yang kita kenal, dan membangun ritual-ritual, membahasakan mantra-mantra penjinak hidup untuk mengelola dan mempengaruhi berlangsungnya alam dan kehidupan. Dunia tidak lagi terlebur bersama kita, tidak lagi mistik, ia sudah punya nama yang bisa dipanggil dan dimantrai. Kita percaya pada daya-daya magis yang dimiliki para shaman, mereka mewakili hubungan kita dengan alam, dengan kejadian-kejadian. Melalui mereka kita memandang hidup, menggunakan kata-kata magis dengan cermat dan penuh rahasia, dan menuturkan hadirnya bentuk kehidupan yang kita inginkan.

2. Manusia Mitos, agama pelantun mantra-mantra penakluk semesta
Kebiasaan untuk menuturkan hadirnya kehidupan yang diinginkan, memanipulasi peristiwa dengan mantra dan bahasa rahasia, 'melembaga' secara sporadik, melahirkan mitologi-mitologi lokal yang dituturkan oleh para shaman. Kekuasaan memanipulasi kejadian alam, menghadirkan peristiwa, menjadi kultus, memisahkan daya tafsir, daya magis sebagai kekuasaan istimewa yang terpisah dari keseharian. Bahasa terbagi dua menjadi tutur lokal yang pragmatik untuk komunikasi sehari-hari di satu pihak, dan di lain pihak ada bahasa rahasia yang hanya dipakai oleh para shaman dalam doa-doa pengelolaan kehidupan. Bahasa sehari-hari berkembang dengan pengayaan yang spontan dan ringan sedang bahasa-bahasa mantra menjadi langka dan semakin tersembunyi, tidak sembarang dituturkan, dikhususkan pada peristiwa tertentu dengan tata upacara yang pantas.

Inilah suatu situasi baru di mana manusia sudah melepas diri dari alam, tetapi terikat pada tata upacara yang dibangun oleh para kelembagaan shamanik. Manusia diikat oleh mitos-mitos lokal tentang asal-usul dan masa depan nasib manusia. Di mana-mana secara sporadik kelompok-kelompok masyarakat melembagakan adat kepercayaan, agama-agama asli yang menyimpan khazanah bahasa suci, mantra-mantra, doa-doa khas untuk memanipulasi alam dan peristiwa kehidupan.

Mantra-mantra lokal kemudian melembaga ke dalam nama-nama khas yang rahasia, nama-nama figuratif, lalu mewujud pada dewa-dewi lokal, tuhan besar dan kecil, penguasa daya-daya alam khas, pengendali laut, panen, pohon besar, binatang, musim, matahari, rembulan, penghalau bahaya, penyembuh, nama-nama terlarang, hanya bisa dituturkan dan dipanggil melalui tata ritual yang sepantasnya. Pada para shaman dan bahasa ilahiah inilah manusia bergantung dan bercermin untuk mendapatkan makna serta tugas hidupnya. Dunia segera menjadi jelas bagi benak manusia, terstruktur dan berkaidah lewat tatanan bahasa. Bahasa suci lewat orakel dan tata upacara para shaman, para tetua agama, menafsir dan mendoktrin jalannya bintang-bintang dan letusan gunung api, mengatur makna kelahiran dan kematian, menetapkan dan merestui pemimpin-pemimpin, dan meramal keberuntungan dan memetakan jalan hidup setiap orang.

Nasib manusia lantas diikat oleh bahasa suci, bahasa mantra dan bahasa kekuasaan. Bahasa suci ini menata alam semesta dan menjajah hati manusia, mengikat manusia ke dalam mantra penaklukan yang menghentikan kemampuannya bertanya dari dalam relung kegelisahannya sendiri. Dan selama beratus ribu tahun manusia tidak mampu bertanya, tidak mampu merespon kekuatiran hatinya, menjadi gagu pada rasa takut yang dibangun oleh ancaman shamanik, sebab merekalah yang empunya bahasa suci penjinak semesta.

Rasa takut dan penaklukan oleh bahasa suci ini ini menjadi pola-pola yang efekif untuk mengelola publik. Lantas parallel dengan kekuasaan kaum agama, para penguasa memanfaatkan bahasa suci sebagai bahasa mereka untuk mengesahkan ideologi kekuasaan politik. Mereka bahkan dengan restu shamanik menyatakan diri ilahi, putra-putri dewata, pemangku dan pengendali aksis semesta dan penguasa dunia nan terberkati melalui bahasa suci bertuah, penakluk segala sesuatu. Bahasa suci lantas menjadi ideologi yang berbanding lurus dengan ketakutan publik manusia biasa penutur bahasa-bahasa pragmatis, bahasa-bahasa pergaulan yang tidak punya tuah apa pun.

3. Fajar Manusia Filsuf, perenung permata eksistensi, masa Yunani klasik
Rupanya manusia biasa tidak sedemikian takluk, sebab bahasa keseharian yang tidak bertuah, ternyata menjadi stimulan perasaan. Bahasa biasa menggali jauh ke dalam kalbu manusia, menemukan 'permata' di pusat keberadaan, dan terutarakan dalam alun syair, puisi, sajak-sajak kegelisahan yang bertanya dari dalam hati manusia. Socrates, pionir filsafat, lebih dari 2 milenia yang lampau di pelataran kuil Athena Yunani, mulai mempertanyakan semuanya. Ia membangun metode berpengetahuan dengan bertanya, terutama pada kebenaran-kebenaran ideologis yang mapan selama ribuan tahun. Untuk pertama kalinya, bahasa jalanan, bahasa urban, mengusik tatanan bahasa keramat, dan mengurai tali ikatan penakluk manusia. Socrates-lah yang menyatakan bahwa dengan mengurai segala sesuatu melalui bertanya, melakukan dialektika, kita dapat menemukan kebenaran keberadaan kita, permata di pusat kehadiran kita. Kebenaran bukanlah doktrin, ketetapan, dogma atau orakel, bukan pula kesepakatan atau kontrak perjanjian perbudakan manusia di altar para agamawan atau di kaki para tuhan. Manusia bisa melepas kungkungan rasa takut pada kekuasaan semu bahasa keramat dan menyadari kembali keberadaannya.

Tentu saja Socrates dihukum mati sebagai penanda serius atas kecerobohan berbahasa. Efektivitas hukuman ada pada sugesti yang diciptakannya, mengingatkan manusia pada ketakutannya, pada tali perbudakan absolut yang melilit kehadirannya. Murid-murid Socrates terutama Plato dan kemudian Aristoteles melanjutkan ikhtiar filsafat untuk menemukan esensi dari permata keberadaan tersebut. Plato menggunakan bahasa suci, menunjuk pada dunia ide, sedangkan Aristoteles mencarinya dengan bahasa praksis, menunjuk pada dunia empirik. Metode Socrates, mempertanyakan kemapanan secara dialektik, sama-sama berlaku dalam cara berbahasa filosofis pada Plato dan Aristoteles. Plato berbicara tentang idealism tatanan manusia, tentang politik dan kepentingan bersama, merintis humaniora, dan Aristoteles berbicara tentang realism pencarian hakekat, tentang alam dan merintis ilmu pengetahuan empirik; keduanya mengurai ikatan perbudakan intelek manusia dari mitos dan dogma agama.

****
Tetapi agama tidak tidur, bahkan menggunakan filsafat untuk melayani tatanan dunia baru, di mana Tuhan diletakkan pada hierarki tertinggi, manusia luhur antara Tuhan dan malaikat lalu di tengah, di bumi sedangkan manusia pendosa di bawah bumi, di neraka. Melalui institusi pengikat kosmik (Gereja Katolik Roma), dibangunlah tatanan semesta (Great Chain of Being), di mana Tuhan menjadi ide tertinggi dan alam semesta menjadi manifestasinya berdasarkan tingkat keluhurannya sendiri-sendiri. Manusia sekali lagi tidak memiliki independensi eksistensial, terikat pada hukum kosmik yang tertulis dalam doktrin Gereja.

4. Thomas Aquinas dan martabat manusia melalui intelek
Setelah lebih dari 1300 tahun kekuasaan dogmatik Gereja, dari pemikir dan teolog terbesar abad pertengahan, kesadaran filsafat Yunani klasik lahir kembali. Thomas Aquinas menyakini intelek manusia dalam kemandiriannya mampu menjangkau Tuhan. Bukan Tuhan perwahyuan yang dikumandangkan agama-agama, melainkan Tuhan absolut, yakni kebajikankebajikan
luhur kehidupan: Kebenaran, Keindahan, Kebaikan dan Keutuhan. Thomas Aquinas lah yang menafsirkan ulang defenisi esensi manusia oleh Aristoteles menjadi Homo Sapiens, mahluk
intelektual. Penghargaan pada kontemplasi intelektual ini membuka jalan pada sebuah pemerdekaan yang mengubah wajah dunia selama-lamanya: Renaisans; suatu pancaran martabat kemandirian humanitas yang merdeka, yang mengubah tatanan kosmikal Gereja menjadi medan kesadaran baru terhadap dunia yang mesti dieksplorasi.

5. Manusia Renaisans, terapung dan tanpa tujuan tetapi yakin
Masa Renaisans menandai pembalikan kesadaran dari yang serba ilahi menjadi serba menggairahkan. Ketika Gereja klasik sebelumnya membekukan kesadaran manusia, Filsafat Yunani klasik lahir kembali, membuat dunia menjadi tak bernama dan menunggu untuk ditandai oleh ilmu pengetahuan yang bebas dari dogma. Filsafat Plato memberi jalan pada para pemikir seperti Descartes yang menentukan keberadaan manusia sejauh aktifitas inteleknya (cogito ergo sum: saya berpikir maka saya ada) dan Immanuel Kant yang meletakkan kebenaran etis pada adanya manusia itu sendiri, bukannya pada hukum Tuhan.

Pada masa ini ilmu pengetahuan berkembang dan manusia menjadi sedemikian realistis, terikat dan terpesona pada hal-hal yang teraba oleh indera. Bumi kehilangan tempatnya sebagai poros dunia, dan di antara hal-hal yang terlihat tersembunyi penglihatan-penglihatan baru (penemuan mikroskop dan teropong) dan berkembangnya fenomenologi yang menyadari kekhasan cara memahami pengalaman serta psikologi sebagai jalan melihat ke dalam psyche manusia.

Alam semesta terurai ulang dan kemudian tertata dan terikat pada hukum-hukum keniscayaan intelek (gravitasi dan mekanika pergerakan benda-benda langit) dan kehilangan kualitas mistisnya yang pernah diyakini berpuluh ribu tahun.
Hubungan komplementer (aku dan engkau) berubah menjadi subyek dan obyek. Kita menjadi eksplorer menjelajar dunia tak bernama dengan rasa ingin tahu yang melampaui daya jawab keilmuan itu sendiri.

Pertanyaan tentang makna dan tugas manusia tidak lagi relevan, meski ada optimisme terhadap daya eksplorasi manusia dan kecakapan inteleknya, tempat manusia sendiri tidak lagi terpijak pada dunia, manusia terapung dan tersihir oleh penemuan-penemuannya sendiri. Humanisme renaisans memang sungguh memerdekakan manusia tetapi sekaligus menghanyutkannya pada keasyikannya menjalankan daya inteleknya sejauh mungkin.

6. Manusia Post Intelectual, terintegrasi ke dalam sistem data, tanpa keyakinan dan tak bernama:
Kita sekarang tidak memiliki apa pun untuk diperjuangkan. Intelek kita sudah bisa diserahkan pada mekanisasi robotic (Artificial Intelligence). Kita adalah konsumen dari sebuah sistem provider yang mendunia yang menyediakan semua kemudahan hidup. Kita adalah mahluk penjalan kehidupan, melakukan pola-pola rutin yang semakin hari semakin terpetakan dan terdata secara detail. Dan kalau sistem ini sempurna, kita sudah bukan manusia lagi tetapi semacam 'usus buntu' dari sebuah organisme algoritmik pengolah data yang mendikte segala sesuatu. Kita adalah relik, sisa-sisa pemeran kehidupan yang kehilangan tugas vitalnya. Hidup yang kita kenal membuntu dan selesai di sini, sekarang. Kita puas duduk di cafe-cafe menjalankan pola-pola rutin, menunggu para provider menyempurnakan data dan mempertajam algoritme mereka dengan komputer quantum. Kita menonton, berbagi tontonan di antara kita, menggairahkan gambar-gambar yang itu-itu juga dan ide-ide statik agar selalu tersaji dengan topeng baru yang mengejutkan.

Dunia algoritmik masa kini adalah pembakuan universal dan absolut dari rekaman data kehadiran kita di bumi. Para provider atau pengelola industri 4.0 memetakan ke-siapa-an kita. Kita adalah rekap data tertentu berdasarkan pola penghayatan realitas yang terbaca setiap saat. Kita adalah informasi, dan dalam kelumpuhan kita mencari makna, para provider menggunakan artificial intelligence untuk memelihara kita bagai ternak, menggembalakan kita ke padang rumput, memberi makan dan menyatakan dogma ketidak-bergunaan daya pikir kita. Esensi intelektualitas kita dalam defenisi Homo sapiens, menjadi hampa dan kehilangan fungsi, kita menjadi Homo appendictis (serupa usus buntu, ada tapi menggelantung tak berguna lagi)

Pesan dari Wonderland:
Lewis Carroll (1832-1889) novelist, lewat tokoh kanak-kanak Alice, bertanya tentang makna diri dan identitas: 'Who in the world am I? Ah, that's the great puzzle! Lalu ia menggumamkan kebingungannya: "How puzzling these changes are! I'm never sure who I am going to be from one minute to another."
Ini adalah sebuah kisah tentang Alice yang terperosok ke dalam lubang kelinci, sebuah dunia dengan tatanan absurd di mana semua pemahamannya tentang dunia nyata dijungkirbalikkan. Sama seperti para filsuf Yunani Klasik, ia merenungkan arti dirinya, namun dalam sebuah dunia yang serba jungkirbalik itu, esensi dan defenisi tidak bisa jadi pegangan.
Alice memberi inspirasi bahwa defenisi apa pun itu tidak berguna bagi kita. Jika kita sekali lagi mau terpesona pada misteri kehidupan, menyadari kesementaraan kita, dan meninggalkan ketergantungan kita pada kekakuan esensi, melepas mantra-mantra algoritmik, menjadi merdeka, menjalin kembali hubungan bilateral dengan kehidupan, relasi aku-engkau, komplementer dan interdependen, maka sebuah dunia imajinatif akan membuat kita memandang realitas dengan empati, yakni dengan rasa terlibat yang menyambung kita pada kehidupan. Dunia mengubah kita. Kita bukan tuan atas semesta, kita adalah denyutan semesta, perenung, artisan, penyair, pelakon hidup dan filsufnya.

Di salah satu bagian lain Alice merasa yakin: "Imagination is the only weapon in the war against reality". Realitas adalah kesimpulan, data, rekap algoritmik, tak terubahkan, baku dan terbukti. Realitas sepanjang sejarah manusia telah menjadi mata uang pembeli kesadaran manusia. Realitas adalah tenung kekuasaan baik oleh agama, mitos, sains mau pun algoritmic intelligence. Realitas selalu ada sebagai topeng kekuasaan, seakan sebuah tembok tak tertembus. Realitas mewujud setiap kali imajinasi berhenti berlangsung. Imajinasi adalah peruntuh realitas, pencair dogma dan pelantun kata-kata penciptaan baru setiap kali dunia membeku pada nasibnya.

Imajinasi adalah senjata, sebab dengannya kita bisa mengubah realitas, menguraikannya dalam relasi yang otentik dengan kehidupan. Menjadi manusia adalah tugas, tetapi bukan pelaksanaan doktrin, bukan pesan Tuhan para agamawan yang menggantung kita pada ayunan bandul nasib antara kesucian dan dosa, mengayun ke surga atau neraka, juga bukan data-data algoritmik dunia digital yang tercirikan lewat pola-pola dan data-data akurat.

Manusia adalah pesan tentang hidup, nafas rohani semesta, kata kerja, gairah dari dalam dunia. Kita bukan elemen mekanis dalam semesta, kita adalah jiwa dan roh, tenaga dan ide yang mengubah realitas, kita senantiasa adalah gerakan, daya empati yang menyeberangi kutukan nasib sedemikian sehingga kehidupanlah yang menang.



[1] Before Philosophy: The Intellectual Adventure of Ancient Man, Henri and H. A. Groenewegen Frankfort, John Wilson, and Thorkild Jacobsen

[MASALAH KITA] PEMAHAMAN DIRI, KEMANDIRIAN, DAN PERUBAHAN DUNIA

Oleh: Any Sulistyowati

Aktivis dan Perubahan Dunia
Dunia berubah dengan sangat cepat. Di antara perubahan-perubahan dunia itu, ada perubahan yang kita inginkan dan ada yang tidak kita inginkan. Sebagai aktivis, kita terlibat untuk membuat perubahan-perubahan tersebut agar berjalan ke arah yang kita inginkan. Mempengaruhi sebuah proses perubahan bukan perkara gampang. Ada banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum perubahan yang diinginkan tersebut dapat terwujud.
Persoalan-persoalan tersebut ada yang terletak di luar dan di dalam diri kita. Untuk persoalan-persoalan di luar diri kita, kita perlu bekerjasama dengan banyak pihak yang terlibat dalam persoalan tersebut agar masing-masing dapat mengambil peran dan bersinergi dalam membuat perubahan itu. Untuk persoalan-persoalan di dalam kita diri sendiri, kitalah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Persoalan-persoalan di dalam diri ini sangat penting untuk diselesaikan. Jika tidak, langkah-langkah yang kita pilih akan tersendat atau terhambat oleh persoalan-persoalan tersebut.
Salah satu persoalan yang sering dihadapi para aktivis adalah pemenuhan kebutuhan hidup. Apabila kebutuhan hidup kita tidak terpenuhi, maka langkah kita untuk mencapai perubahan akan lebih sulit atau terhambat.

Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Maslow merumuskan kebutuhan hidup sebagai tingkatan anak tangga, yaitu : (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan akan cinta dan keterikatan (rasa memiliki-dimiliki), (4) kebutuhan akan penghargaan, dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri.
Termasuk di dalam kebutuhan fisiologis adalah berbagai kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, udara dan tempat tinggal. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, maka secara bertahap pemenuhan-pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya akan terjadi. Pemenuhan kebutuhan jenis ini sangat penting untuk keberlanjutan hidup manusia. Misalnya, tanpa pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup, manusia tidak dapat melanjutkan kehidupan. Kekurangan pemenuhan kebutuhan pangan akan membuat manusia menjadi kurang gizi, sakit dan akhirnya mati. Berbeda dengan kebutuhan lain yang pemenuhannya tidak terbatas, pemenuhan kebutuhan fisiologis mememiliki batas. Sebagai contoh, apabila kita lapar, maka kita memerlukan makanan. Tetapi setelah kita makan, kita tidak lagi merasa lapar. Kalaupun kita masih ingin makan, yang mendorong bukan lagi kebutuhan fisiologisnya, tetapi kebutuhan lainnya, misalnya kepuasan makan, variasi makan atau hal lain yang dapat dipenuhi dari proses makan. Demikian juga rasa mengantuk. Apabila kita merasa mengantuk, maka tidur akan terasa nikmat dan ketika kita bangun, kita akan merasa segar. Sebaliknya apabila kita terlalu banyak tidur, maka ketika bangun malah akan terasa pusing atau tidak nyaman.
Kebutuhan tingkat yang kedua adalah kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman ini ada yang terkait dengan hal-hal fisik, tetapi ada juga yang terkait dengan hal-hal yang non fisik. Terkait dengan kebutuhan fisik, misalnya adalah kita akan lebih sulit untuk merasa aman apabila rumah yang kita tinggali terkena bencana alam. Atau kita tidak merasa pasti apakah stok makanan kita cukup untuk hari ini. Meskipun rasa aman berasal dari dalam diri, faktor luar juga dapat ikut mempengaruhinya. Di negara-negara dengan tingkat kriminalitas rendah atau kondisi ekonomi, politik dan sosial yang lebih stabil, perasaan aman warganya secara umum tentu lebih tinggi dari pada negara-negara dengan tingkat kriminalitas tinggi atau kondisi ekonomi, politik dan sosial yang tidak stabil.


Piramida kebutuhan pada manusia
(sumber: dokumen pribadi)
Setelah kedua kebutuhan di atas dipenuhi, kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan akan cinta dan keterikatan (perasaan memiliki dan dimiliki). Kebutuhan ini dapat diperoleh antara lain dari keluarga, sahabat dan pasangan.  Ciri-ciri kebutuhan ini terpenuhi adalah perasaan nyaman, diterima dan dicintai. Kebutuhan ini dapat menjelaskan mengapa di negara-negara dengan standar kehidupan yang begitu tinggi, masih ada beberapa orang yang bunuh diri. Padahal di negara-negara tersebut pemenuhan kebutuhan dasar bukan lagi merupakan persoalan dan konflik antar orang hampir tidak ada. Mereka bunuh diri karena merasa kesepian, hidup tidak bermakna, tidak dicintai dan mencintai, merasa merana karena tidak memiliki siapapun di dunia ini.
Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan ini terkait dengan konsep diri dan harga diri seseorang. Harga diri rendah atau inferiority complex dapat terjadi akibat ketidakseimbangan pemenuhan hirarki kebutuhan. Orang-orang dengan harga diri rendah sering membutuhkan pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Namun, penghargaan dari luar tersebut tidak akan dapat membuat seseorang membangun harga diri mereka sampai mereka sendiri dapat menerima siapa diri mereka apa adanya. Jadi yang terpenting di dalam pemenuhan kebutuhan akan penghargaan ini adalah bagaimana kita memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri mengarah ke pengembangan "ekspresi yang terbaik dari diriku". Bagaimana aku menemukan diriku yang terbaik. Bagaimana diriku yang terbaik itu bisa muncul dan memberikan kontribusinya untuk dunia.
Persamaan dari keempat kebutuhan yang pertama adalah kebutuhan karena kekurangan (deficiency needs). Semakin tidak terpenuhi, maka kita semakin merasa kekurangan. Jika sudah terpenuhi, maka motivasi untuk mencari pemenuhannya akan berkurang. Sebaliknya, kebutuhan yang kelima, merupakan kebutuhan karena pemenuhan (growth need). Artinya semakin aktualisasi diri kita terpenuhi, kita akan semakin mencarinya.
Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Kemandirian dan Perubahan Dunia
Seseorang disebut semakin mandiri apabila ia dapat memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan hidupnya tanpa tergantung dari orang lain. Yang dimaksud tidak tergantung di sini tidak berarti mengerjakan semuanya sendiri, tetapi bisa juga berarti dapat mengakses pemenuhan kebutuhan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung melalui mekanisme pertukaran. Kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan berarti kita sendiri bertanggung jawab akan pemenuhan kebutuhan tersebut. Bertanggung jawab berarti secara sadar melakukan proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Diharapkan bahwa, semakin kebutuhan tersebut dapat kita penuhi secara mandiri, maka kesempatan kita melakukan perubahan-perubahan yang kita inginkan akan semakin besar.
Masalahnya, tidak semua aktivis melakukan proses pemenuhan kebutuhan dirinya secara sadar. Sebagian besar bahkan tidak menaruh perhatian pada dirinya  secara memadai. Hidupnya seolah habis untuk perubahan yang diinginkan. Padahal dirinya merupakan aset utama untuk melakukan perubahan tersebut. Tanpa diberi perhatian cukup, mustahil diri kita dapat melakukan proses perubahan dalam jangka panjang.
Ada banyak alasan mengapa para aktivis tidak dapat memberikan perhatian pada dirinya secara memadai. Alasan utama yang paling banyak dijumpai adalah keterbatasan waktu. Roda perubahan berjalan begitu cepat. Ada banyak momentum yang harus dikejar. Kejar sekarang atau hilang kesempatan. Kondisi ini membuat kita terjebak pada kerja berkepanjangan tanpa waktu istirahat yang cukup memadai. Istirahat cukup merupakan kebutuhan fisiologis, yang artinya semakin tidak dipenuhi maka akan terasa semakin kekurangan. Saya menemukan banyak aktivis makan serampangan, kurang gizi dan akhirnya mengidap berbagai macam penyakit. Yang lebih sering lagi, banyak sekali aktivis yang tidak menjadikan olah raga sebagai bagian hidupnya. Padahal gerak atau olah raga juga merupakan kebutuhan dasar yang membuat kita menjadi sehat. Apabila kita tidak sehat, maka kemampuan kita untuk mengejar impian-impian kita akan perubahan dunia pun akan berkurang.


Olahraga untuk kesehatan, mencapai terpenuhinya kebutuhan fisiologis.
(sumber: dokumen KAIL)

Alasan kedua adalah "karena tidak ada orang lain yang dapat mengerjakannya maka sayalah yang  harus mengerjakannya". Kalau pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang saya sukai dan penting untuk tujuan hidup saya mungkin tidak apa-apa. Tetapi jika pekerjaan tersebut sebetulnya bukan merupakan pekerjaan yang saya sukai, mungkin akan jadi masalah. Apalagi kalau pekerjaan itu sebetulnya bukanlah pekerjaan yang penting untuk tujuan hidup saya. Apalagi kalau saya sebetulnya sudah punya sekian banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan di komitmen sebelumnya. Apalagi jika kita (terpaksa) mengambil pilihan tersebut hanya karena orang lain tidak ada yang mengambilnya, maka kita sebetulnya tidak secara mandiri mengambil pilihan tersebut. Termasuk apabila kita disuruh atau diminta orang lain padahal kita sebetulnya keberatan atau tidak suka; tetapi tidak kuasa menolak dan akhirnya mengiyakan. Semua itu adalah bukti-bukti ketidakmandirian kita. Apalagi setelah itu kita misuh-misuh di belakang atau menyesal atau merasa terpaksa mengerjakannya. Itu artinya tingkat kemandirian kita lebih rendah lagi. Apapun alasannya, komitmen semacam itu pastilah akan menghabiskan energi diri dan (kemungkinan juga) teman kerja kita.
Dalam situasi di atas, kita membuat diri kita berada dalam situasi di mana pemenuhan kebutuhan dan juga impian akan perubahan sulit terjadi. Pertama, untuk melakukan setiap pekerjaan dibutuhkan waktu. Apabila waktu kita habis untuk hal-hal yang tidak kita sukai atau tidak penting untuk hidup kita, maka waktu kita untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan terpenting untuk perubahan yang kita inginkan tentu akan berkurang. Ini tentu akan mengurangi efektivitas kita sebagai aktivis. Selain itu, kita akan kehilangan kesempatan untuk melakukan hal-hal untuk pemenuhan aktualisasi diri kita. Kedua, ketika kita (terpaksa) mengambil pekerjaan yang tidak kita sukai, maka sebetulnya kita membuat diri kita sendiri berada dalam posisi tidak aman. Melakukan hal yang demikian terhadap diri sendiri, berarti kita tidak cukup menyayangi, menghargai dan menghormati diri kita sendiri. Jika kita sendiri tidak melakukannya untuk diri sendiri, bagaimana kita bisa berharap orang lain dapat melakukannya untuk kita? Jika kita tidak secara jujur menolak pekerjaan/peran yang tidak kita sukai, bagaimana orang lain tahu? Kalau kita sendiri mengabaikan kenyataan pada diri kita tersebut, bagaimana kita berharap orang lain akan mengetahuinya dan mendukung kita?


Berkarya dengan kain perca, salah satu bentuk aktualisasi diri.
(sumber: dokumen KAIL)

Alasan ketiga mengapa kita tidak memenuhi kebutuhan hidup kita adalah karena kita tidak menyadarinya. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran diri. Ada banyak cara untuk memperluas kesadaran diri. Ada yang mengikuti kegiatan spiritual dan keagamaan. Ada yang melakukan meditasi secara rutin. Ada yang melakukan proses konseling. Ada  yang mengikuti kegiatan-kegiatan khusus untuk meningkatkan kesadaran. Ada yang membaca berbagai buku tentang pengembangan diri. Apapun cara yang dipilih, pastikan bahwa cara tersebut nyaman untuk Anda.

Kesadaran diri adalah pengetahuan dan penerimaan akan kondisi kita apa adanya. Tanpa penerimaan, kesadaran diri bagaikan mesin peneror dari dalam jurang kedalaman diri kita. Tanpa penerimaan, yang akan terjadi adalah proses penolakan. Kadang-kadang keluar dalam bentuk menyalahkan pihak lain ataupun keadaan dan bahkan Tuhan. Kita menganggap diri kita merupakan korban. Korban orang lain dan korban keadaan. Memposisikan diri seperti itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak mandirinya kita. Di dalam situasi semacam itu, sebetulnya penolakan terutama bukan kepada orang lain atau situasi (bisa jadi keduanya malah tidak terpengaruh oleh pandangan kita), tetapi penolakan terbesar sebetulnya terjadi pada diri kita sendiri. Hal itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengambil tanggung jawab yang memadai untuk menjalani hidup kita. Dan karenanya kita tidak merasa postif terhadap diri kita.
Penerimaan membutuhkan keikhlasan. Keikhlasan artinya, secara sadar bertanggung jawab mengambil pilihan. Bertanggung jawab dalam mengambil pilihan berarti tidak ada misuh-misuh atau penyesalan di kemudian hari atau di dalam hati. Keikhlasan berarti mengambil tanggung jawab dengan bangga dan bahagia. Keikhlasan berarti kita mengambil keputusan dengan rasa aman. Hal ini akan menunjukkan bahwa kita menghormati diri sendiri, kapasitas diri sendiri, serta mengekspresikan nilai nilai yang kita  perjuangkan, dan menjadi bagian dari aktualisasi diri kita. Secara tidak langsung, hal ini akan memastikan pemenuhan berbagai kebutuhan kita. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, peluang untuk mencapai impian-impian kita akan lebih mudah tercapai.
Pilihan sikap dalam bertindak

Melakukan pemenuhan kebutuhan diri sendiri di tengah hiruk pikuknya perjuangan mungkin terasa egois. Banyak dari kita dididik untuk selalu mendahulukan orang lain, apalagi mereka yang lebih lemah. Saya percaya nilai tersebut baik, tetapi caranya bukan dengan mengorbankan diri sendiri dan apalagi sampai akhirnya merasa menjadi korban orang lain atau keadaan. Ingat prosedur keselamatan penerbangan? Dalam kondisi darurat, kita perlu memasang masker oksigen untuk diri sendiri dulu, baru menolong anak kita yang masih kecil, bukan sebaliknya. Kalau kita tidak selamat, kita tidak dapat menyelamatkan anak kita.

Bumi saat ini dalam kondisi darurat dan tingkat daruratnya makin bertambah dari waktu ke waktu. Terjadi eskalasi persoalan di berbagai bidang kehidupan. Dibutuhkan perubahan-perubahan di banyak lini kehidupan. Semua itu membutuhkan kecerdasan, bukan sekedar melakukan hal yang sama berulang-ulang hingga kelelahan dengan hasil minimal.

Kecerdasan membutuhkan kewarasan. Pengalaman saya, saya akan mampu berpikir dan bertindak lebih waras, minimal ketika saya sehat dan bahagia, tidak lapar atau kurang tidur atau vertigo saya kambuh karena kelelahan. Ini artinya, apabila saya mengabaikan pemenuhan kebutuhan fisiologis saya sendiri berarti saya mengorbankan kewarasan saya dan peluang saya untuk menyelesaikan berbagai persoalan penting di dunia ini dengan cerdas. Ini berarti sebuah kehilangan besar di dalam sejarah perkembangan peradaban.

Pada akhirnya, semua itu akan berpulang pada diri kita, pilihan apa yang kita ambil.

https://en.wikipedia.org/wiki/Maslow%27s_hierarchy_of_needs                             

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...