[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif

Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang tidak asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yang lebih terkenal di luar negeri karena karya sastranya daripada di dalam negeri. Terkait dengan kesehatan alternatif, saat ini beliau sedang menyelesaikan buku “Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.”
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).

Asam garam telah mewarnai perjalanan hidupnya. Pada tahun 1968, beliau di penjara terkait dengan isu G30SPKI. Di penjara Salemba, beliau ditempatkan satu sel dengan seorang dokter bernama Lie Tjwan Sen yang mempelajari akupunktur di Korea Utara. Dokter inilah yang pertama kali mengenalkan dunia akupunktur kepadanya. Dengan segala keterbatasan yang ada di penjara, keduanya berusaha memberikan dan menerima ilmu sebaik-baiknya. Tidak ada catatan karena tidak ada buku ataupun alat tulis. Semua falsafah, teori dasar dan cerita tentang akunpunktur berpindah dari otak sang guru ke otak sang murid. Keterbatasan jarum diganti dengan usaha membuat jarum dari senar gitar no. 5. Praktek langsung dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan petugas. Para tahanan yang sakit menjadi pasiennya dan jumlahnya banyak.
Setelah keluar dari penjara Salemba ke penjara seluas tanah air di tahun 1976, Pak Putu memperdalam akupunktur dan mengikuti ujian pembakuan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan pada tahun 1978. Pada tahun yang sama, Pak Putu meminta izin praktek dan menjadikan akupunktur sebagai sumber kehidupan. Dua tahun kemudian, Pak Putu menggandeng beberapa akupunkturis Tionghoa untuk membuka klinik dan menampung banyak bekas tahanan yang sudah lulus ujian negara akupunktur dan memperoleh izin praktek.
Di awal tahun 80-an, Pak Putu sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Beliau dipanggil ke Bangladesh dan Srilanka untuk mengajari akupresur pada peserta pelatihan. Tak hanya pada peserta pelatihan, Pak Putu juga masuk ke desa-desa untuk mengajari akupresur untuk para petani di sana. Kegiatan seperti ini berlanjut sepulangnya ke Indonesia. Tahun 1984, Pak Putu mengembangkan pelatihan akupresur untuk kader-kader kesehatan (PKK) dengan sepengetahuan Dinas Kesehatan. Namun di tahun 1989, Orde Baru yang dimotori oleh Golkar dan militer menggulung yayasan Pak Putu dengan alasan menampung terlalu banyak bekas tahanan.
Pak Putu mengalami tahanan lagi, digebuki dan disetrum karena sering ke luar negeri tanpa izin dan dianggap mengembangkan metode komunis. Beliau dituduh dibiayai oleh gerakan komunis bawah tanah untuk melakukan perjalanan. Pada awalnya beliau menempatkan praktik akupunktur sebagai mata pencaharian, tetapi peristiwa penahanan kedua mengubahnya. Sejak itu beliau secara konsisten menghadapi dan melawan apa yang disebut diskriminasi dan stigmatisasi. Akupunktur dijadikannya media perjuangan untuk membuktikan bahwa ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kesehatan modern. Dan ilmu non kedokteran modern ini dapat menjadi media pemberdayaan bagi setiap orang. Dalam teori akupresur, setiap orang tidak cepat-cepat menyerahkan dirinya ke pelayanan pengobatan, melainkan mencoba kemampuan dirinya terlebih dahulu, dengan mengaktifkan potensi yang ada di dalam tubuhnya.
Beliau ingin mengubah stigma bahwa tidak ada ilmu kesehatan lain selain ilmu kedokteran. Pak Putu ingin menghentikan pemberangusan budaya dan tradisi berkesehatan masyarakat yang menuduh pengobatan tradisonal itu tidak ilmiah dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang Pak Putu inginkan adalah pengobatan tradional dapat berkembang secara wajar sehingga dapat membuktikan dirinya sebagai ilmu kesehatan yang memiliki cara berpikir sendiri (baik itu terminologi, falsafah maupun paradigmanya). Dengan demikian, pengobatan tradional dapat terintegrasikan dalam pelayanan kesehatan, tidak diposisikan sebagai pengobatan komplementer semata. Biarlah semua obat kimia kedokteran dan tradional terintegrasi dalam sebuah atap pelayanan, berjalan harmonis dengan mengetahui keterbatasan masing-masing. Untuk mewujudkan keinginannya, Pak Putu masih sering memperbanyak kajian, membuat pendidikan secara teratur dan terencana dan mempraktekkannya, termasuk di Taman Sringanis.
Beliau membuka pelayanan akupunktur dan herbal di klinik pribadi selama 3 hari per minggu. Namun, akupunktur adalah profesi yang beliau kembangkan ke masyarakat. Tidak hanya mengobati, beliau juga mengajarkan cara-cara akunpunktur kepada publik. Berbekal pengalaman (tradisi) dan ilmu yang diperoleh secara otodidak dan learning by doing, beliau bersama istri yang tadinya penari kemudian beralih profesi menjadi akupunkturis dan herbalis.
Sejak tahun lalu, Pak Putu Oka Sukanta menjadi Direktur Program Komplementer untuk HIV/AIDS, sebagai bagian dari program Care, Support and Treatment, yang didukung oleh IHPCP/Aus AID. Kegiatannya adalah memberikan informasi, latihan dan terapi dengan cara akupresur, olah napas dan meditasi serta minuman sehat (jamu enak) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta, Penjara Bulak Kapal Bekasi, Penjara Paledang Bogor, dan Puskesmas Balimester Jakarta, serta menerbitkan buletin KOMPLEMENTER.
Sehat menurutnya adalah sebuah manifestasi terbentuknya keseimbangan (harmoni) relatif antara semua nilai kehidupan, baik itu fisik, mental, spiritual dan lingkungan.
Menurut Pak Putu, kendala yang sering dihadapi para aktivis adalah susahnya berkata tidak terhadap pekerjaan dan tantangan yang ada. Akibatnya, banyak aktivis sering mengalami kenaikan tekanan darah sering, nafas pendek dan emosional.
Menurut beliau, kendala tersebut dapat diatasi dengan berdamai dengan diri sendiri, serta menyadari keterbatasan kemampuan, ruang dan waktu. Selain itu, mengatur pola makan dan minum yang lebih sehat, berolah raga, beristirahat lebih banyak dan berani mengatakan TIDAK dengan santun dan hormat terhadap hal-hal yang diperkirakan akan membuat kondisi kesehatan terganggu.
Beliau melihat bahwa banyak sekali aktivis yang berpikiran maju, bersemangat tinggi, dan punya wawasan politik luas; tetapi sayang, dalam bidang kesehatan mereka masih lebih banyak berorientasi (bahkan ada yang bergantung total) kepada pelayanan kesehatan modern (industri kedokteran dan industri farmasi). Kesehatan tidak dirawat sebagaimana merawat organisasi dan programnya. Para aktivis sering lupa bahwa mereka mempunyai potensi diri dan alam yang dapat dijadikan pendukung,- alternatif perawatan kesehatan. Lupa punya sinar matahari pagi, lupa punya udara segar (oksigen), lupa punya bumbu dapur, lupa punya berbagai jenis buah dan sayuran dalam negeri, lupa punya jari tangan yang dapat difungsikan untuk kesehatan. Komentar guyonan beliau tentang para aktivis itu adalah; “Politik progresif, tapi kesehatan konservatif bahkan reaksioner”.
Namun Pak Putu tidak hanya berseloroh. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut memang terjadi karena selama ini kita terkooptasi pada anggapan bahwa hanya ada satu ilmu kesehatan yaitu ilmu kedokteran modern. Pandangan seperti ini adalah dampak dari agresi industrialisme dalam bidang kesehatan yang sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. “Ilmu kedokteran modern mempunyai keunggulan yang harus dibayar dengan uang banyak, tetapi masih ada ilmu kesehatan non kedokteran modern (non konvensional) yang belum diaktualisasikan dan dioptimalkan pemanfaatannya”, ujarnya.
Beliau mengajar kita semua untuk menyadari hak dan kewajiban kita dalam membina kesehatan diri sendiri dan masyarakat. Caranya yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu kesehatan non konvensional dan memilih mana yang paling mungkin dilakukan, artinya aman, bermanfaat, rasional, mudah dilakukan, tersedia cukup banyak dan harganya terjangkau.
Beliau juga membagikan tips-tips bagi para aktivis agar tetap sehat dan prima untuk membuat perubahan, di antaranya:
Olah napas: Tarik napas dalam-dalam, simpan di dalam tubuh (bisa di paru-paru, di perut atau bagian tubuh lainnya) sekuatnya (sampai setengah menit), kemudian keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Lakukan di mana saja, kapan saja dan berulangkali. Maknanya: penyerapan oksigen lebih banyak bisa sampai 80% untuk memperkuat Natural Killer di dalam tubuh.

Makanan dan minuman sehat: hindarkan zat penyedap, zat pengawet dan zat pewarna, nikotin. Jadikan makanan dan minuman sebagai obat, dan obat sebagai makanan dan minuman.
Jari-jari tangan: gunakan untuk memijat titik-titik penting di permukaan tubuh sesuai dengan teori akupresur.
Berpikir positif: perbedaan adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah dasar hidup bermitra.
***
(Ditulis berdasarkan wawancara via email oleh Hilda Lionata)

[Pikir] LIBERALISASI KESEHATAN

Para pendukung neoliberalisme mengajukan teori baru bahwa krisis dan kegagalan pembangunan di sektor kesehatan adalah akibat tidak becusnya pemerintah mengurus sektor kesehatan ini. Ada empat argumen mendasar yang mereka ajukan terkait efisiensi kinerja pemerintah. Pertama, pemerintah memberikan subsidi besar-besaran, sehingga harga yang dibayar masyarakat tidak mencerminkan harga yang sesungguhnya. Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan layanan yang komprehensif kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Ketiga, banyaknya korupsi dan tingginya biaya birokrasi di pemerintahan. Terakhir, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.

Berbagai alasan di atas mendorong keluarnya rekomendasi agar swasta diberi peluang sebesar-besarnya untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat, antara lain lewat mekanisme Program Penyesuaian Struktural (SAP, Structural Adjusment Program) bagi negara-negara yang memiliki hutang, serta aturan-aturan main yang dirumuskan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO. Mereka berpikir bahwa dengan masuknya sektor swasta, pemerintah tidak lagi memonopoli sektor ini sehingga kinerjanya menjadi lebih efisien, lebih menjamin akses yang merata bagi seluruh masyarakat dan memudahkan konsumen memperoleh layanan kesehatan sesuai dengan pilihannya.
Ada beberapa kritik dan pertanyaan bagi argumen-argumen tersebut.
Privatisasi Vs Korporatisasi
Privatisasi secara umum berarti penyerahan pengelolaan kepada lembaga privat baik yang bersifat profit maupun non profit, sedangkan korporatisasi secara spesifik adalah penyerahan pengelolaan kepada lembaga yang berorientasi profit. Dengan demikian, korporatisasi kesehatan adalah penyerahan layanan kesehatan kepada lembaga kesehatan privat yang bersifat profit.
Karakteristik utama dan paling mendasar dari lembaga profit adalah bahwa untuk meraih profit, pelaksana layanan kesehatan itu harus membagi sebagian uang yang diperolehnya kepada penanam modal. Maka, tujuan utama jasa kesehatan profit adalah mencari keuntungan dan bukannya menyediakan layanan kesehatan berkualitas.
Dari manakah uang untuk para penanam modal ini berasal?
Pertama, dengan menarik biaya kepada para pengguna lebih mahal dari seharusnya. Kedua, dengan mengurangi pengeluaran dengan menurunkan kualitas dan kuantitas layanan, terutama kalau dana diperoleh dari asuransi dan pemerintah. Ketiga, dengan menyarankan (memaksa secara halus) pengguna untuk membeli layanan yang sebenarnya tidak penting atau tidak diperlukan. Keempat, menawarkan layanan khusus kepada pembayar mahal. Kelima, hanya memberikan layanan yang sangat menguntungkan dan keenam dengan membayar pekerja kurang dari seharusnya atau menggantinyadengan pekerja yang kurang berkualitas dan dapat dibayar murah.
Adakah Kisah Sukses Korporatisasi Layanan Kesehatan?
Kita akan belajar dari negara-negara yang dianggap maju dalam sistem kesehatan. Pertama, dari Amerika Serikat, promotor utama neoliberalisme, privatisasi dan pasar bebas. Di negara ini pada dasarnya sistem kesehatan terutama dijalankan oleh lembaga layanan kesehatan profit, namun, sumber uang tidak hanya dari biaya yang dibayar langsung oleh pengguna. Pemerintah, dengan dana yang diterima dari pajak, memberikan subsidi ke lembaga-lembaga profit tersebut. Selain itu dana dari pajak juga digunakan pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan kepada penduduk miskin, manula, orang cacat dan militer. Kedua, dari Kanada, negara yang pemerintahnya masih cukup banyak berperan dalam sektor kesehatan. Di negara ini, sebagian besar layanan kesehatan diberikan melalui dana publik/pajak, namun layanannya sebagian besar diberikan oleh lembaga non pemerintah (privat) yang bersifat non profit.
Apa hasil akhir dari kedua jenis pendekatan layanan kesehatan yang berbeda ini?
Korporatisasi layanan kesehatan diyakini akan menciptakan efisiensi yang mengurangi total pengeluaran biaya kesehatan, khususnya anggaran pemerintah untuk kesehatan. Kenyataannya, pengeluaran pemerintah AS (US$ 1.599 perkapita per tahun) justru lebih besar daripada pemerintah Kanada( US$ 1.444 perkapita per tahun). Sementara itu, Kuba yang menerapkan sistem layanan kesehatan yang sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah menggunakan biaya hanya US$106 perkapita per tahun untuk menjalankan sistem yang mampu memberikan jaminan kesehatan pada 97% rakyatnya. Lebih jauh lagi, di AS, tagihan biaya kesehatan merupakan penyebab utama kebangkrutan pribadi. Total pengeluaran kesehatan per orang di AS adalah yang tertinggi di dunia, sebesar US$ 4.637 per tahun. Sedangkan rakyat Kanada, mengeluarkan hanya US$ 2.185 per tahun. Sedangkan rakyat Kuba hampir tidak perlu mengeluarkan dana pribadi demi kesehatan mereka. Hasilnya adalah: Kanada berada pada peringkat kedua dunia untuk harapan hidup dan AS berada pada peringkat ke-25. Tingkat kematian bayi di Kanada 5,6 per seribu kelahiran hidup dan Amerika Serikat 7,8 per seribu kelahiran hidup. Sedangkan Kuba, dengan dana lebih dari 10 kali lebih kecil dapat mencapai angka kematian bayi 7,2 per seribu kelahiran hidup.
Data ini menunjukkan bahwa sistem layanan kesehatan di Kanada dan Kuba jauh lebih efisien dan efektif daripada Amerika Serikat. Lalu mengapa layanan publik yang bersifat profit semakin populer, sementara tidak berprestasi di negara promotor utamanya sendiri? Adakah kisah sukses korporatisasi layanan kesehatan?
Korporatisasi layanan kesehatan telah berhasil mempromosikan tujuan mereka dengan membangun argumentasi seakan layanan kesehatan publik tidak efisien dan berkualitas rendah, sedangkan layanan kesehatan berbasis korporasi lebih baik. Padahal dasar berpikir argumentasi tersebut sangat lemah dan didasarkan pada bukti-bukti yang semu, sehingga tidak lebih dari mitos-mitos belaka.
Mitos-Mitos Korporatisasi
1. Layanan Kesehatan dari Korporasi Lebih Efisien
Pernyataan bahwa lembaga profit lebih efisien dari lembaga publik tidak masuk akal jika efisiensi diartikan pemberian kualitas layanan yang sama dengan pengeluaran yang lebih rendah. Bagaimana lembaga profit dapat lebih efisien sementara pada kenyataannya mereka harus membayar ‘upeti’ kepada pemilik modal, sedangkan lembaga non profit dan lembaga publik tidak. Artinya, jelas bahwa dengan jumlah uang yang sama lembaga non profit dan lembaga publik akan mampu memberikan layanan yang lebih maksimal.
Jadi efisiensi seperti apa yang sebenarnya dimaksud oleh para pendukung korporatisasi kesehatan ?
2. Pasar Bebas Tanpa Subsidi Akan Menghasilkan Harga Yang Sesungguhnya
Para penganut neoliberalisme mendefinisikan harga sesungguhnya adalah yang diperoleh dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran, yang selanjutnya berhubungan dengan keputusan konsumen untuk membeli atau tidak. Umumnya peyedia produk cenderung akan berperilaku tetap yaitu menjual sebanyak mungkin. Dasar motivasi konsumen umumnya juga cenderung tetap yaitu memiliki sebanyak mungkin, sampai batas daya belinya.
Namun teori ini tidak berlaku pada sistem kesehatan. Tidak ada konsumen yang ingin sakit. Sehingga perilaku konsumsi di sektor kesehatan secara alamiah akan lebih dipengaruhi oleh tingkat kesehatan konsumen daripada daya beli. Kondisi ini menyebabkan pasar kesehatan berperilaku berbeda dari produk konsumsi pada umumnya. Keinginan korporasi untuk menjual sebanyak mungkin, tidak sesuai dengan konsumen yang justru meminimalkan pembelian. Untuk mengoreksi ini maka akhirnya para pengusaha melakukan pengeluaran besar-besaran dalam promosi. Pengeluaran ini tentunya ditanggungkan pada harga yang harus dibayar konsumen.
Apakah ini yang disebut dengan harga yang sesungguhnya?
3. Subsidi Kesehatan Menghasilkan Inefisiensi Layanan Kesehatan
Secara umum, harga yang tidak sesungguhnya karena subsidi, baru berarti sebagai pertimbangan kebijakan bila mengarah pada penggunaan yang tidak rasional serta misalnya: penggunaan produk yang berlebihan karena harganya yang murah, dan subsidi yang tidak mencapai sasaran.
Namun sudah tentu layanan kesehatan tidak dapat disamakan dengan penggunaan barang konsumsi seperti BBM. Artinya, tiadanya BBM tidak akan membunuh seseorang. Sedangkan masalah layanan kesehatan terkait dengan hidup-mati seseorang, sehingga menjadi bagian integral dari hak asasi seseorang. Selain itu, tidak banyak orang yang cenderung boros menggunakan layanan kesehatan seperti halnya mereka boros menggunakan BBM. Jadi hanyalah kemungkinan kecil bahwa subsidi mendorong penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan.
4. Korporatisasi Kesehatan Menghasilkan Keadilan Pelayanan Kesehatan
Pendapat bahwa korporatisasi kesehatan merupakan jawaban terhadap permasalahan keadilan layanan kesehatan berbenturan dengan kenyataan bahwa karena sifatnya yang bertujuan memaksimalkan profit, maka korporasi akan cenderung memberikan layanan kepada yang memiliki banyak uang dan daerah perkotaan. Singkatnya, korporasi cenderung akan melayani mereka yang sebenarnya tidak menjadi prioritas dalam layanan kesehatan, bila kita menggunakan logika layanan kesehatan publik. Malah, karena uang yang dibayarkan ke korporasi lebih banyak dari seharusnya, uang yang seharusnya dapat digunakan untuk hal yang lebih menjadi prioritas malah dinikmati oleh para pemilik modal yang seharusnya tidak begitu membutuhkan uang.
5. Pemerintah Tidak Memiliki Cukup Dana Menjalankan Layanan Kesehatan Publik
Kegagalan pemerintah untuk menggalang sumberdaya mayarakat, terkait dengan kebijakan makro seperti kurangnya keberanian menerapkan pajak progesif. Sementara itu, kebijakan neoliberal yang diadopsi oleh banyak negara dan terlebih di negara berkembang yang harus mengikuti structural adjustment program IMF, justru mendorong pemotongan pajak. Jadi, tampaknya kebijakan neoliberal akan mendorong rekayasa kebijakan untuk menciptakan asumsi yang dibuatnya sendiri (bahwa pemerintah tidak punya cukup dana untuk membiayai kesehatan), untuk mempromosikan privatisasi kesehatan.
6. Layanan Kesehatan Korporasi Lebih Berkualitas
Peningkatan kualitas layanan kesehatan melalui pengelolaan berorientasi profit adalah argumentasi yang sangat lemah karena berlawanan dengan dasar keadilan dan prinsip pemerataan layanan kesehatan yang merupakan hak asasi manusia. Motivasi untuk mencari profit justru mengakibatkan penurunan kualitas dalam bentuk rendahnya kualitas perawatan pasien seperti semakin singkatnya waktu layanan, berkurangnya pilihan layanan, atau bahkan banyaknya kesalahan perawatan.
7. Layanan Kesehatan Berbasis Korporasi Akan Melepaskan Kebergantungan Pada Pemerintah
Para pendukung korporatisasi kesehatan juga menyatakan bahwa karena pemerintahan yang tidak efisien dan korup, maka peran pemerintah perlu dikurangi dan peran swasta perlu ditingkatkan. Benarkah peningkatan peran swasta dalam pasar bebas akan melepaskan kebergantungan layanan kesehatan kepada peran pemerintah? Argumentasi yang sering digunakan adalah bahwa ekonomi pasar bebas akan menciptakan proses demokratisasi yang menguntungkan rakyat. Proses demokratis ini akan menghasilkan harga yang murah dan layak, dibarengi dengan kualitas layanan tinggi melalui mekanisme pasar. Sedangkan, sistem yang dimonopoli pemerintah dikatakan tidak profesional, rentan korupsi dan tidak efisien. Adam Smith mengatakan bahwa suatu mekanisme pasar, di mana para pelakunya adalah individu-individu egois, akan menghasilkan keuntungan maksimal bagi publik (dalam bentuk keuntungan maksimal dengan biaya minimal) bila pasar berada di dalam keadaan pasar sempurna. Pasar sempurna terjadi bila semua pelaku pasar memiliki kekuatan yang relatif berimbang. Artinya, pasar sempurna tidak bisa terjadi dengan sendirinya, ia perlu dipelihara secara intensif. Siapakah lembaga yang biasanya didaulat untuk menjadi wasit? Pemerintah.
Jadi, perdebatan tentang kebergantungan pada pemerintah baik pada sistem berbasis lembaga profit dan berbasis pemerintah sebenarnya tidak lebih sebuah zero sum game. Sektor privat hanya akan berkontribusi maksimal bagi kesehatan publik bila berada dalam sistem kontrol yang kuat. Hasil akhirnya sama saja, kebergantungan pada pemerintah! Pemerinthan yang korup akan sama-sama membuat kedua sistem ini tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian yang lebih dibutuhkan adalah pemerintahan yang bersih dan bukannya korporatisasi layanan kesehatan.
8. Layanan Kesehatan Korporasi Sejalan Dengan Proses Demokratisasi
Hal yang paling membahayakan bila layanan kesehatan publik diganti dengan layanan kesehatan berdasarkan profit adalah hilangnya akuntabilitas . Seburuk apapun layanan kesehatan publik, selalu masih ada kesempatan untuk memperbaikinya melalui proses politik. Tetapi begitu layanan ini dialihkan kepada bisnis, proses monitoring dan kontrol akan menjadi jauh lebih sulit.
9. Bisnis Tidak Korup
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan juga menyatakan bahwa pemerintahan tidak efisien dan korup. Kenyataannya; kejahatan ekonomi yang terjadi seperti kasus Bank Bali, adalah kisah nyata usaha beberapa pelaku pasar untuk mencegah terjadinya pasar sempurna demi memelihara monopoli mereka. Caranya seringkali dengan menyogok pemerintah dan memanfaatkan berbagai lubang dari pemerintahan yang korup. Karena itu, jadinya sama saja dengan keadaan di mana kita bergantung pada pemerintah untuk mengoperasikan atau mendistribusikan dana bagi layanan kesehatan.
10. Korporatisasi Kesehatan Menghilangkan Birokrasi Yang Tidak Efisien
Para pendukung korporatisasi layanan kesehatan menyatakan bahwa banyak pemborosan dana dari layanan kesehatan yang menggunakan dana publik terjadi karena birokrasi yang tersentralisasi. Kenyataannya, suatu studi yang dilakukan oleh peneliti Harvard, Woolhandler dan Himmelstein yang dimuat dalam New England Journal of Medicine, yang menganalisa data dari 5.201 rumah sakit, menemukan bahwa rumah sakit profit 5%lebih mahal dibandingkan rumah sakit non profit, dan 53% dari perbedaan biaya disebabkan oleh biaya administrasi yang lebih mahal. Selain itu, perusahaan profit juga harus mengeluarkan biaya operasional tambahan.
Jadi, layanan kesehatan secara profit tidak memangkas birokrasi tetapi malah menggelembungkan birokrasi. Dan lebih parah lagi, birokrasi ini justru mengejar profit.
11. Pasar Sempurna Akan Terjadi Dalam Sistem Kesehatan
Taft dan Stewart dalam bukunya yang berjudul Clear Answers: The Economics and Politics of For-Profit Medicine, mengajukan lima syarat berlakunya pasar sempurna: (1) ada banyak penjual dan pembeli yang dengan mudah dapat keluar dan masuk ke dalam pasar, (2) pembeli memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusan, (3) produk terstandarisasi, (4) harga dapat bebas naik turun tanpa halangan dan (5) konsumen dengan bebas dapat mengganti suatu produk dengan produk lainnya untuk fungsi yang sama. Kondisi ini tidak berlaku di dalam dunia kesehatan: (1) pasien yang sakit sulit mengambil keputusan yang bebas, (2) pengetahuan tentang kesehatan tidak dikuasai oleh kebanyakan orang, (3) kepercayaan sangat fundamental dalam bisnis kesehatan, (4) kalangan bisnis sekarang melakukan upaya-upaya sistematis untuk secara sengaja mendistorsi pasar sempurna dengan mendorong terjadinya monopoli atau setidaknya oligopoli. Padahal, mengacu pada syarat pasar sempurna yang dikemukakan oleh Taft dan Stewart, monopoli membuat jumlah penjual terlalu sedikit dan terciptanya halangan bagi harga untuk naik dan turun secara bebas.
Kepentingan Sosial dan Profit : Akankah Terdamaikan?
Inkompatibilitas sifat sosial layanan kesehatan dengan kepentingan profit menjadi demikian mendasar. Konflik yang paling mendasar adalah bahwa layanan kesehatan berbasis profit bergantung pada maksimalisasi dan pertumbuhan konsumsi sedangkan layanan kesehatan yang efisien dan efektif justru meminimalkan konsumsi.
Selain konflik dasar tersebut, kita juga dapat melihat pada tingkat yang lebih rumit dan tidak kasat mata bahwa layanan kesehatan berbasis profit mengakibatkan pemborosan, ketidakadilan dan penurunan kualitas layanan. Sementara itu, penyakit-penyakit dalam layanan kesehatan publik seperti kebergantungan pada pemerintah, monopoli, birokrasi dan korupsi / penipuan yang selama ini dijadikan dasar untuk mendiskreditkan layanan kesehatan publik sama sekali tidak disembuhkan oleh privatisasi, tetapi justru ‘kambuh’ kembali dalam bentuk yang lebih sulit dikontrol dan disembuhkan.
* Tulisan ini disarikan dari buku Liberalisasi dan Tantangan Dalam Penyedian Jasa Kesehatan Kepada Publik, oleh Tim Peneliti The Business Watch Indonesia ( Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti), tahun 2004, khususnya bab 6.


[Media] Resensi Buku: Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik

Judul :Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan
Kepada Publik
Penulis :Tim Peneliti The Business Watch Indonesia (BWI);
Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti
Tahun : 2004
Penerbit :The Business Watch Indonesia- WIDYA SARI PRESS,
SURAKARTA didukung oleh NOVIB OXFAM NETHERLANDS
Tebal : 214 hlm

Sehat, semua orang ingin selalu sehat. Hanya dalam keadaan sehatlah kita bisa beraktivitas apapun yang kita mau. Namun sejatinya manusia, kita tidak bisa selalu sehat. Terkadang kita jatuh sakit, dari ‘kelas ringan’ sampai ‘kelas berat’. Terutama untuk sakit ‘kelas berat’ yang sering kita rujuk ke pusat-pusat pelayanan kesehatan, kita berhadapan dengan sebuah sistem layanan kesehatan itu sendiri.
Layanan kesehatan adalah sebuah sistem yang jika ditilik lebih jauh lagi, ternyata adalah sebuah sistem yang rumit, panjang, kompleks, penuh intrik dan terkadang terkesan manipulatif. Oleh karena itu, sering kita melihat potret buram dari sistem layanan kesehatan ini. Namun, persoalan buruknya layanan kesehatan jelas bukan akibat dari krisis ekonomi semata. Banyak perkara lain yang terlibat.1

Buku Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik, memaparkan permasalahan seputar sektor kesehatan, mulai dari yang sangat konkret yang sering dialami masyarakat, analisis kebijakan di tingkat negara; paradigma apa saja yang mempengaruhi sektor kesehatan, beberapa pilihan dan konsekuensinya dan beberapa contoh kasus.2
Buku ini merupakan hasil penelitian deskriptif mengenai privatisasi sektor kesehatan, khususnya di Indonesia. Buku yang terdiri atas delapan bagian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan (seperti yang tertuang di dalam bagian pendahuluannya); (1) bagaimanakah cara kerja umum privatisasi di sektor kesehatan dan apa saja potensi dampaknya terutama bagi negara berkembang?, (2) bagaimanakah perkembangan situasi makro sektor kesehatan di Indonesia dan trend yang sedang berjalan?, (3) bagaimanakah realitas sektor kesehatan di Indonesia seperti yang dialami masyarakat?,(4) paradigma apakah yang menjadi latar belakang sektor kesehatan saat ini? Adakah pilihan model yang lain dan apakah konsekuensinya?, (5) bagaimanakah prediksi situasi kesehatan ke depan, adakah pilihan-pilihan yang dapat diambil dan apa prasyaratnya?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan memaparkan argumen-argumen dari penyokong liberalisasi penyediaan jasa kesehatan yang kemudian penulis periksa dengan mengajukan beberapa kritis dan pertanyaan dengan logika sederhana bagi argumen-argumen tersebut. Dengan cara ini, meskipun materi yang diulas berat, bahasa buku ini terasa santai.
Seperti yang diungkapkan oleh editor buku ini, bahwa buku ini mengajak para pembacanya untuk melihat berbagai detil yang mungkin selama ini tidak teramati ketika menelaah persoalan-persoalan di bidang kesehatan, khususnya di Indonesia kemudian mempersilahkan pembaca untuk menentukan sikapnya sendiri.
Jika ingin mendapatkan buku ini silakan menghubungi:
The Business Watch Indonesia (BWI)
Jln. Cokrobaskoro VII no. 33,
Puspan, Tipes,
Surakarta
Telp. 0271-728560
(Lola Amelia)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...