Editorial Edisi 3

Akhir-akhir ini istilah pendidikan partisipatif mulai marak digunakan baik untuk pendidikan informal gaya LSM maupun pendidikan formal di bangku sekolah. Karena itulah Pro:aktif kali mengangkat tema Pendidikan Partisipatif: Sebuah Proses Demokratisasi.

Tulisan-tulisan yang disajikan antara lain pengalaman jalan-jalan seorang aktivis KaIl dalam memberikan Pendidikan Partisipatif untuk Para Pemilih Perempuan di berbagai kota di Indonesia; sebuah tulisan berjudul Demokrasi berawal dari rumah menghiasi rubrik gaya hidup; rubrik pikir kali ini menyajikan sebuah artikel berjudul Pendidikan untuk Orang Dewasa:
Pelatihan Partisipatif vs Seminar; sementara rubrik tips untuk fasilitator mengangkat analogi peran antara FASILITATOR dan BIDAN yang bersumber pada metodologi yang sama; Profil kali ini mengisahkan Ibu Lusia Ping, Sang Penyambung Generasi Dayung di Kalimantan Barat; dan dalam media diulas MONALISA SMILE, sebuah film yang mengangkat cerita tentang metode pendidikan yang tidak umum pada zamannya. Dalam masalah kita dibagikan curah pendapat bertajuk “Bekerja dengan keyakinan”, yang semoga makin memotivasi kerja-kerja aktivis kita.

Kegiatan-kegiatan Kail pada bulan Maret- Mei 2004 diangkat dalam Bagi-bagi Cerita, yaitu Pendidikan Pemilih bekerja sama dengan UNISOSDEM Bogor, Pelatihan untuk Para Trainer untuk Materi Cara Berpikir Sistem untuk Menganalisis Permasalahan Sosial, Lingkungan dan Gender serta Pelatihan Cara Berpikir Sistem untuk Menganalisis Permasalahan Sosial, Lingkungan dan Gender Angkatan ke-4; dan jangan lewatkan, Agenda Kail beberapa bulan ke depan, INFO ASSOCIATES serta Serial Terbitan KaIl.

Selamat Membaca!

[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung


Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya’ subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar, mereka memiliki 2 budaya besar, yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang kemudian di masyarakat Kayaan Mendalam adalah budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yang dilantunkan dengan irama tertentu dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan dalam upacara adat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yang berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir semua dayung dalam sepanjang sejarah Kayaan, adalah perempuan. Ketiga, istilah dayung ini pada jaman dahulu dikenakan juga pada mereka yang memiliki kemampuan untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan juga perempuan.

Sejarah dayung, baik dalam arti sebuah doa maupun imamnya, berkaitan erat dengan sejarah (upacara) Dange [2].

Begitu sentralnya peran dan posisi seorang dayung, maka fungsi ini tidak bisa dijalankan oleh sembarang orang. Karena itulah, posisi seorang dayung dalam masyarakat sangat terhormat dan penting. Sekarang, setelah agama resmi masuk di bumi Mendalam, peran dan kedudukan dayung-pun bergeser. Walaupun agama sekarang berusaha mengakomodir adat dan tradisi dulu, tapi kedudukannya menjadi lebih subordinat.

Justru akhirnya yang terjadi pada para dayung sekarang adalah multi beban, karena mereka tetap harus menjalankan fungsi domestik, fungsi produksi (berladang, berkebun dan kadang menganyam), fungsi sosial kemasyarakatan, dan sekaligus fungsi religiositas (sebagai dayung). Apalagi kalau mereka kebetulan juga adalah guru. Tidak jarang terjadi konflik-konflik juga, tapi mereka tetap bertahan.

Dalam konteks inilah, sosok seorang Lusia Ping, atau yang biasa dikenal dengan Bu Ping hadir dan bermakna. Bu Ping, seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahun, sehari-hari berprofesi sebagai guru sekolah dasar sekaligus petani. Bersuamikan seorang pensiunan guru yang beretnis Jawa, mereka kebetulan tidak memiliki anak. Yang menarik dan menonjol dari sosok perempuan Kayaan satu ini adalah perannya sebagai dayung.

Ketika Dange dan segala ritualnya mulai diakomodir oleh agama resmi, Bu Ping, sebagai perempuan muda waktu itu, yang bukan seorang dayung adat, menjadi tokoh di garis depan bersama dengan nenek Tipung-sang dayung aya’ (dayung besar/senior) untuk kembali menghidupkan dan melestarikan adat mereka. Walaupun belum berstatus dayung, Bu Ping mengambil posisi sebagai motivator dan penggerak serta “penyambung generasi para dayung”. Ia belajar dan menggali kembali serta mengumpulkan kebijakan lokal yang sempat hilang, belajar dari subjek sejarah yang masih hidup waktu itu, yakni nenek Tipung dan beberapa tokoh adat yang sudah tua. Kearifan tradisional yang dituangkan dalam dayung dan hidup dalam dayung itu mulai dicatat dan dibukukan.

Para dayung ini melakukan proses kaderisasi dan pembelajaran dengan cara-cara yang informal, dengan tradisi lisan dan dilakukan sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari perempuan. Bahkan dalam sakitnya yang cukup parah, nenek Tipung masih juga menyediakan dirinya untuk belajar bersama Bu Ping, yang akan meneruskan kembali pada dayung-dayung muda (dayung uk) lainnya. Sambil berbaring, duduk di atas tikar, mereka belajar. Nenek Tipung melantunkan dan mempraktekkan dayung, diikuti Bu Ping, sambil dihafalkan dan dicatat. Demikian berulang-ulang sampai betul-betul menguasai. Semua ini dilakukan di sela-sela waktu mereka yang sangat padat dan sibuk, terutama dengan banyaknya peran yang dipikul perempuan.

Proses kaderisasi ini kemudian diteruskan dengan merekrut para perempuan muda untuk melanjutkan tongkat estafet sejarah dayung. Bu Ping jugalah yang mempunyai peran besar dalam merekrut, memotivasi, bernegosiasi dan mendorong para perempuan ini untuk mau belajar adat dan sejarah mereka lagi. Pekerjaan ini diakui tidak mudah oleh Bu Ping, karena pada mulanya orang takut untuk mulai lagi menggali adat, dan karena tidak sembarang orang bisa menjadi dayung. Mereka takut nenek moyang mereka marah kalau tidak dilakukan sama persis dengan adat dulu. Mulai dengan 6 orang teman, Bu Ping tidak putus asa. Belum lagi mereka menemui kesulitan untuk belajar apa yang dulu sudah ditinggalkan. Ketakutan dan rasa malu serta tidak percaya diri dari rekan-rekan mudanya ini disikapi dengan sabar oleh Bu Ping. Ia tidak pernah memaksa seseorang untuk melakukan apa yang dia inginkan. Tapi dengan membiarkan mereka menemukan sendiri, diikuti dengan proses negosiasi dan diskusi, serta teladan yang tiada henti. Untuk itu beliau perlu memahami karakter rekan-rekannya, sehingga proses kaderisasi ini bisa berjalan mulus. Seperti yang dikatakan,” Kita tidak usah menunjukkan marah atau ngomel. Kita mau mendidik orang, nanti orang malah lari.”

Kesabaran dan tekatnya terbukti membuahkan hasil. Tahun ke-2 uji coba proses inkulturasi adat dange dalam liturgi resmi agama sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Makin banyak orang yang berminat untuk belajar dan bergabung. Perasaan takut dan malu juga mulai bisa diatasi.

Para dayung sekarang sudah bisa belajar dengan catatan, tidak harus menghafal, dan tidak harus dijadikan dayung lewat mimpi atau penyakit. Motivasi menjadi dayung sekarang lebih berdasarkan karena minat, hobbi ataupun keharusan untuk menjaga tradisi. Tapi banyak juga yang mau menjadi dayung, karena dayung merupakan doa, dan karena kehidupan religius mereka masih sangat pekat maka lewat doalah mereka memperoleh kelegaan, kedamaian dan pengharapan. Bu Ping sendiri merasa: “enak rasanya kalau berdoa dengan berdayung, sambil bernyanyi dan menari. Rasanya meresap...”

Dalam kehidupan religius, yang paling aktif dan berperan adalah para perempuan. Merekalah yang paling setia dan yang mengambil tanggungjawab terbesar. Tapi hal ini tidak berarti mereka tidak peka dan kritis terhadap masalah-masalah sosial, keagamaan dan masalah lingkungan di sekitar mereka.

Adalah beberapa orang yang masih punya kesadaran dan kekritisan, yang mau melihat dan memperjuangkan kembali keberlangsungan hidup di lingkungan Kayaan Mendalam. Bu Ping, sebagai salah satunya, ikut serta dalam momen itu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, sekitar 300 orang Kayaan berdemonstrasi ke DPRD untuk menuntut dicabutnya HPH dan HTI, dan melarang mereka beroperasi lagi di wilayah Mendalam. Para perempuan ikut serta dari awal proses hingga akhir. Mereka menari di depan kantor DRPD dengan menggunakan pakaian adat.
Bu Ping, nenek Tipung (yang tanggal 29 April 2004 lalu meninggal), serta para perempuan Kayaan ini juga menyadari dan mengalami akibat dari kerusakan lingkungannya, tidak hanya hutan, tapi juga air sungai. Kekritisan dan peran serta mereka yang teramat besar dalam sejarah hidup masyarakat Kayaan patut diberi acungan jempol. Kesetiaan dan perjuangan mereka yang tak kenal lelah untuk terus mengembangkan budaya kehidupan selayaknya kita dukung. Bu Ping, beserta perempuan-perempuan Kayaan yang ada nun jauh di Mendalam sana, telah memberi kita teladan bagaimana membangun sebuah proses belajar bersama yang lebih arif, tidak otoriter dan penuh kekerasan, sekaligus kritis dan konsisten.

Catatan:
[1] Budaya ngayau adalah budaya yang berkaitan dengan peperangan (yang lebih bersifat fisik) untuk memerangi dan mengalahkan musuh, biasanya menggunakan senjata seperti parang, yang disebut mandau. Secara spesifik, musuh biasanya dikalahkan dengan memolong leher mereka (cara seperti inilah yang dikenal dengan me-ngayau). Sedangkan budaya dayung adalah budaya yang berkaitan dengan segala bentuk kehidupan religiositas mereka.
[2] Dange adalah upacara terpenting dan terbesar bagi masyarakat Kayaan Mendalam. Dange adalah sebuah upacara pesta panen, yang merupakan ungkapan syukur mereka atas hasil panen, dan segala berkat dan rahmat yang telah mereka terima selama satu tahun. Sekaligus, mereka meminta berkat dan perlindungan untuk masa tanam yang akan datang.
(Intan Darmawati)

[PIKIR] PENDIDIKAN BAGI ORANG DEWASA: PELATIHAN PARTISIPATIF VS SEMINAR

Pelatihan partisipatif adalah istilah yang sedang marak digunakan saat ini. Banyak orang menggunakan metode tersebut untuk kepentingan pengenalan pendidikan secara partisipatif baik bagi mahasiswanya, bagi karyawannya, maupun bagi relasi kerjanya. Namun demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap istilah yang sedang nge-trend ini, banyak orang menyebut diri sedang melaksanakan pelatihan partisipatif, tetapi ternyata tidak lebih dari sekadar seminar. Tulisan ini ingin memberikan pemahaman baru mengenai definisi dan hal-hal mendasar yang kiranya perlu diperhatikan dalam sebuah pelatihan partisipatif.

PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan pada partisipasi aktif para peserta. Berangkat dari hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap peran-peran yang ada dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya disebut dengan trainee. Dalam pelatihan ala tempo dulu, para instruktur adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan peserta tinggal menerima. Sejalan dengan perkembangan jaman, pelatihan-pelatihan tidak lagi harus dengan model top-down seperti di atas, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah untuk peran-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator dan bukan trainer, serta istilah trainee berubah menjadi partisipan.
Pergeseran terhadap istilah peran tersebut semakin menunjukkan bahwa dalam sebuah proses pendidikan yang disebut dengan pelatihan partisipatif, fungsi fasilitator adalah memfasilitasi sebuah proses pendidikan, memfasilitasi para partisipan dalam menemukan sendiri makna-makna baru yang diperoleh dalam pelatihan tersebut. Sehingga dengan demikian, tampak jelas bahwa fungsi narasumber dalam sebuah seminar sangat berbeda dengan fungsi fasilitator dalam sebuah pelatihan. Jika dalam sebuah seminar, solusi masalah harus dipecahkan oleh narasumber maka dalam sebuah pelatihan, fasilitator hanya memfasilitasi proses sedemikian rupa sehingga masalah ditemukan sendiri secara sadar oleh para partisipan dan solusi masalah pun ada pada para partisipan itu sendiri.
Dalam pelatihan partisipantif, tidak ada metode satu orang di depan, dan yang lain duduk mendengarkan. Namun justru semua orang duduk dan berdiri dalam posisi melingkar. Semua orang dalam lingkaran memiliki kontribusi dalam keberhasilan proses belajar menggunakan metode pendidikan partisipatif. Fokus utama terletak pada partisipan dan bukan pada fasilitator.
Metode permainan merupakan metode yang sering digunakan dalam pendidikan partisipatif. Karena melalui metode ini diharapkan partisipan dapat berangkat dari pengalamannya sendiri-sendiri untuk lebih lanjut merefleksikan pengalaman tersebut menjadi makna-makna pembelajaran baru.

ATURAN DASAR MEMFASILITASI
Dalam pendidikan partisipatif, mutlak untuk selalu melibatkan partisipasi para partisipan dalam setiap prosesnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan partisipatif, pembuatan aturan main bukanlah ditentukan oleh fasilitator, namun ditentukan secara bersama-sama, yakni fasilitator dan partisipan. Demikian juga dalam realisasinya, aturan main dibuat dan dilakukan oleh semua orang yang terlibat dalam pelatihan, yakni seluruh tim fasilitator dan seluruh partisipan. Tidak berlaku dalam pendidikan partisipatif aturan main hanya bagi partisipan.

Dalam penentuan materi serta alur pelatihan pun, seorang fasilitator dalam pendidikan partisipatif hendaknya memiliki kesiapan dan kreativitas yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan, pendidikan partisipatif merupakan pendidikan yang menitikberatkan pada kebutuhan partisipan. Sehingga jika dalam proses pelatihan, alur materi yang disiapkan oleh tim fasilitator ternyata bukan menjadi kebutuhan partisipan, maka seorang fasilitator yang baik harus rela untuk mengganti seluruh skenario, baik modul, alur, maupun permainan yang telah disiapkan dengan skenario yang dibutuhkan oleh partisipan. Dengan demikian proses pelatihan benar-benar menjadi milik partisipan secara penuh.
Selamat memfasilitasi!
(Patty)

[MASALAH KITA] BEKERJA DENGAN KEYAKINAN

Motivasi orang untuk bekerja tentu beragam. Ada yang bekerja untuk sesuap nasi, ada yang untuk segenggam berlian, ada yang untuk idealisme ('panggilan' entah kemanusiaan entah religius). Kita sendiri mungkin bekerja untuk dan dengan alasan yang merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Semua sungguh sah-sah saja.

Siang tadi beberapa teman ngobrol-ngobrol tentang kerja, profesionalisme, idealisme dan realita. Perdebatannya, kalau kita bekerja profesional untuk tujuan sosial (baca: untuk NGO) apa oke saja kalau tidak dihargai dan tidak dibayar (diberi thank you pun tidak!)? atas nama sosial dan 'panggilan', apakah oke sebuah LSM besar tidak menggaji layak (jauh dibawah UMR) staf atau volunteernya? Apalagi banyak LSM yang berteriak-teriak soal HAM, hak buruh, hak sosial ekonomi di luar tapi terhadap staf atau orang-orang yang membantu mati-matian malah memberi janji bukan bukti. (Contoh nyata banyak! Ini sdh pendapat umum di publik non LSM).

Ada teman yang mencoba membela image LSM dengan menjatuhkan perusahaan (corporate). seraya mengkerutkan kening, ia mencela sebuah konsultan public relation yang, 'mau-maunya kerja membuat publikasi untuk konglomerat dan pejabat?!' ketika perdebatan memanas, saya hanya bisa jujur dengan apa yang saya pikir dan rasakan, 'Lu boleh makan itu idealisme, tapi kalo kepepet nggak bisa bayar uang sekolah anak, gue nggak akan malu jadi standguide lagi, pake rok mini senyum sana-sini dapat 200-300ribu rupiah satu shift! Masa bodo LSM, sama kaya VOC: kerja paksa tanpa bayar!'

Kami pulang dengan tertawa-tawa (maklum, baru kumpul-kumpul dengan teman lama). Tetapi ada penasaran tersisa buat saya. Tak adakah pekerjaan yang mendamaikan keduanya: idealisme dan kebutuhan kesejahteraan keluarga? Masa kita harus memaksakan aturan tidak boleh berkeluarga supaya bisa melayani sesama 24 jam tanpa bayaran?

Pikir punya pikir, apa pun pilihan kita, yang penting sesuai hati (atau sesuai tujuan kita diciptakan ha..ha..ha..). Yang juga penting, kita yakin akan apa yang kita kerjakan. Kalau gaji tinggi tapi kita gak yakin 'produk jualan' kita...? Atau sebaliknya kita percaya kecap kita nomor satu tapi disuruh kerja rodi, kerja seberat direktur tapi gaji dibawah office boy? Beratlah...

Tiba-tiba saya teringat Eddie Rickenbacker, mantan penerbang Perang Dunia I, pendiri dan CEO Eastern Airlines (Amerika). Selain karena 135 kali luput dari maut, ia terkenal karena prinsip-prinsip manajemen bisnis dan personal. Dalam paper berjudul "My constitution", Rickenbacker menulis,
"I will always keep in mind that I am in the greatest business in the world, as well as working for the greatest company in the world, and I can serve humanity more completely in my line of endeavor than in any other."

Nah.... apakah kita sudah seyakin itu dengan pekerjaan atau pilihan kita.....?

(Dikutip dari e-mail yang dikirimkan oleh Adeline MT, 15 Maret 2004)

[MEDIA] Resensi Film: MONA LISA SMILE


Judul : Mona Lisa Smile
Tahun : 2004
Produksi : Columbia Pictures dan Sony Pictures Entertainment
Produser : Elaine Goldsmith; Thomas Paul Schiff; Deborah Schindler
Sutradara : Mike Newell
Pemain : Julia Roberts; Kirsten Dunst; Julia Stiles; Maggie Gylenhaal

Latar belakang cerita ini didasarkan pada tahun 1953, di mana pembakuan peran gender (masih) sangat ketat dipegang. Seperti sudah dimulai oleh pendahulu mereka pada abad 18, pada masa ini jugalah para feminis liberal telah memulai gerakannya. Feminisme liberal sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran liberalisme dan modernisme yang menekankan kebebasan individual. Para pemikir dan aktivis yang tergolong dalam feminisme gelombang ini melihat adanya kebijakan yang tidak adil, dengan adanya perbedaan kesempatan serta hak antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan yang mengembangkan rasionalitas hanya diberikan pada laki-laki, di mana intelektual laki-laki dianggap superior dan pekerjaan perempuan “hanyalah” sebagai istri dan ibu – dan dianggap tidak penting.

Katherine Watson, tokoh yang diperankan oleh Julia Robert ini mewakili feminis liberal abad 20 yang menginginkan perubahan lebih baik bagi perempuan, lewat pendidikan. Sebagai seorang guru sejarah seni, Katherine datang ke Wellsley College, sebuah sekolah khusus perempuan yang terkenal sangat konvensional, untuk membuat perubahan! Pemikiran, gaya hidup, pendekatan dan cara mengajarnya yang di luar pakem menantang institusi dan segenap penghuninya untuk melihat melampaui apa yang dibayangkan dan dikonstruksikan selama ini. Sekolah yang reputasinya terkenal dan dianggap sukses karena berhasil mendidik anak-anak perempuan menjadi istri yang baik ini, terguncang dengan adanya sebuah pemikiran dan pendidikan “alternatif”, yang coba diusung dan diwakili oleh sosok Katherine ini.

Keluar dari konstruksi sosial dan menentukan pilihan secara bebas dan kritis memang tidak semudah membalikkan tangan. Menjadi pendobrak dan motivator bagi proses perubahan ini lebih tidak mudah lagi. Pergulatan seorang Katherine Watson dalam mewujudkan idealismenya mendapat tantangan dan pengkayaan lewat pertemuannya dengan murid-murid perempuan. Sebuah tawaran yang bagi sekelompok orang dianggap membebaskan dan adil, mungkin ditanggapi sebagai ancaman oleh mereka yang terlanjur diuntungkan dalam sistem seks/gender yang melenakan dan telah menghegemoni ini.

Film ini menyuguhkan kisah cukup menarik, serta didukung oleh para artis yang bermain cukup bagus, walaupun dengan bumbu-bumbu yang khas Hollywood, namun kiranya tetap layak untuk kita tonton. Nampaknya isu dan perjuangan para feminis liberal sejak abad 18 dan berkembang sampai abad 20 ini masih relevan dalam kehidupan kita. Perjuangan para feminis gelombang pertama ini nampaknya belum kunjung usia dan terwujud sesuai cita-cita. Lewat film ini kita bisa lebih mengenal sebagian pemikiran dan perjuangan feminis liberal abad-20. Sedikit banyak, kita jadi teringat juga dengan tokoh perempuan kita, yang masuk dalam golongan ini, yaitu RA.Kartini. Mungkin film ini bisa ditonton dan direfleksikan dalam rangka merayakan hari Kartini, sebagai ganti lomba kebaya dan merangkai bunga! (intan)

[TIPS] FASILITATOR dan BIDAN: Beda peran satu metodologi

Peran fasilitator memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan peran narasumber dan peran penceramah. Banyak orang menyebut dirinya sebagai fasilitator, namun seluruh metode pendidikannya tidak lebih dari seorang pembicara dalam sebuah seminar atau khotbah seorang Kiyai dalam sholat Jum’at.

Berikut ini beberapa tips untuk menjadi seorang fasilitator dalam arti yang sebenarnya.

Belajar dari Bidan
Peran fasilitator tidak ubahnya dengan peran seorang Bidan. Pengalaman bidan dalam membantu kelahiran seorang anak, merupakan filosofi dasar yang kiranya perlu direnungkan oleh seorang fasilitator. Kita tentunya pernah melihat bagaimana seorang bidan membantu proses kelahiran seorang anak, yang sudah jelas bukan anaknya sendiri. Namun dengan segala totalitas dan kompetensinya, semua itu dikerahkan semata-mata untuk kelahiran si bayi. Namun begitu si bayi lahir, ibunyapun langsung menggendongnya dan mendekapnya. Bidan pun cukup bahagia ketika dia dapat membantu proses kelahiran itu dan ketika melihat semua orang bahagia dengan keberhasilan proses kelahiran tersebut.
Seorang fasilitator dalam menjalankan peranannya juga tidak berbeda dengan seorang bidan. Peran fasilitator adalah berfungsi untuk memfasilitasi sebuah proses penemuan makna-makna baru dalam hidup partisipan, sama dengan bidan yang bekerja untuk memfasilitasi sebuah proses kelahiran. Ketika sebuah proses tersebut berhasil, hendaknya fasilitator pun seperti seorang bidan, yang cukup merasa bahagia ketika telah berhasil.
Penting juga untuk diperhatikan bahwa seorang fasilitator hendaknya menjauhkan diri dari pemikiran untuk menjadi yang paling didengarkan, yang paling diperhatikan, dan yang paling paling lainnya, karena memang keberhasilan proses terletak pada kedua belah pihak. Seperti pada proses melahirkan anak, Ibu adalah merupakan partisipan dan bidan adalah seorang fasilitator. Dapatkah proses kelahiran itu berhasil jika si bidan hanya berteriak-teriak namun si ibu tidak mengikutinya? Begitu juga sebaliknya, dapatkah si ibu melahirkan seorang diri tanpa bantuan bidan?

Menjadi Pelajar dari Pengalamannya Sendiri
Perhatian utama dalam proses memfasilitasi yang perlu diberikan oleh seorang fasilitator adalah pada kemampuan belajar masing-masing partisipan. Karena partisipan terdiri dari latar belakang serta kemampuan yang cukup beragam. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang fasilitator dalam menjalankan perannya:
1. Melibatkan diri dengan partisipan secara penuh dan terbuka. Hal ini untuk mengantisipasi adanya prasangka yang berlebihan dari partisipan terhadap pengalaman barunya.
2. Melibatkan partisipan dalam proses berefleksi serta menyimak pengalamannya
3. Menyatukan konsep dengan percermatan ke dalam teori yang logis
4. Menggunakan teori untuk memicu partisipan dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.

SiMaK (Sigap, cerMat, peKa)
Dalam proses memfasilitasi sebuah proses, tentu akan ada banyak problem yang muncul. Hal ini biasanya kemudian dihubungkan dengan masalah personal dan kemampuan dari fasilitator. Beberapa karakteristik di bawah ini dapat digunakan untuk mengembangkan hal tersebut, yakni:
1. Kepribadian yang menyenangkan, dengan kemampuannya untuk menunjukkan persetujuan dan apa yang dipahami partisipan
2. Kemampuan sosial, dengan kecakapan untuk menciptakan dinamika kelompok secara bersama-sama dan mengotrolnya tanpa merugikan partisipan
3. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang dapat membangkitkan, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan partisipan sendiri selama proses berlangsung
4. Cermat dalam melihat persoalan pribadi partisipan.
5. Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar partisipan
6. Pemahaman yang cukup atas materi pokok pendidikan
Uraian singkat di atas, dapatlah dikerucutkan dengan satu kalimat, yakni: Seorang pelayan bagi sesamanya manusia. Inilah kiranya nilai dasar yang perlu direnungkan bagi seseorang yang ingin mengambil peran sebagai fasilitator. Fasilittaor bukan sebagai tokoh, sebagai ahli, apalagi sebagai artis, namun sebagai pelayan. Semoga dengan belajar dari seorang pelayan, kita dapat menjadi seorang fasilitator sejati. Selamat memfasilitasi.
Daftar Pustaka:
Fakih, Mansour, Roem Topatimasang dan Toto Rahardjo (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Patricia Siswandi

[JALAN-JALAN] “Suara Perempuan Untuk Perubahan”: Pendidikan Pemilih Perempuan 2004

Pelatihan Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan 2004, yang diselenggarakan oleh Sekretariat JMP-KWI dan bipelwan PGI di 23 kota di Indonesia Februari-Maret 2004 yang lalu, mengambil tema “Suara Perempuan untuk Perubahan”. Sesuai dengan tujuan pelatihan, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi. Oleh karena itu, modul dan silabuspun dibuat konsisten dengan pilihan metode dan alur proses yang dibuat separtisipatif mungkin, dan mampu memberdayakan suara perempuan, melalui dan menuju demokratisasi.

Metode yang digunakan selalu dimulai dengan penggalian informasi dari para partisipan, dan membuat partisipan terlibat aktif. Proses dimulai dengan introduksi tentang latar belakang, tujuan dan garis besar alur proses pelatihan; kemudian perkenalan serta penggalian harapan dan motivasi. Pada sesi ini diharapkan terjadi keterbukaan; semangat berbagi dan bekerjasama antar partisipan, panitia dan fasilitator. Selain itu juga digali motivasi dan harapan ikut pelatihan serta apa yang bisa menjadi kontribusi masing-masing peran selama dan setelah pelatihan ini.

Dalam suatu pelatihan yang partisipatif, situasi yang kondusif perlu dibangun. Lewat sesi sebelumnya pengkondisian sudah dimulai, dan dilanjutkan dengan dibuatnya kesepakatan bersama yang akan berlaku selama proses supaya dapat berjalan lancar dan berhasil memenuhi harapan semua pihak. Jadwal dan aturan main selama pelatihan disusun bersama, sehingga masing-masing terlibat dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan proses. Ini adalah salah satu ciri pendidikan orang dewasa.

Setelah suasana mulai cair, masuk sesi pemetaan masalah dan kebutuhan lokal, masing-masing partisipan diajak untuk kritis serta peka dalam memahami masalah (sosial-politik) juga kebutuhan lokal baik secara makro maupun yang spesifik perempuan di masing-masing level kebutuhan. Curah pendapat dan sharing serta proses analisis ini kemudian dikelompokkan dan dipetakan sesuai kategori, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing wilayah. Dari peta ini partisipan mencoba melihat keterkaitannya dengan Pemilu serta proses demokrasi secara umum.

Kaitan antara peta masalah dan kebutuhan lokal dengan pemilu ini mengarah pada kebutuhan untuk memahami Pemilu 2004 secara khusus. Pada sesi ini diharapkan terbangun pemahaman dan kesadaran pentingnya proses demokratisasi dan transformasi sosial bagi seluruh masyarakat, dan kaitannya dengan Pemilu. Pada sesi ini, diberikan tambahan informasi dari nara sumber yang berkaitan dengan Pemilu 2004, yaitu dari KPU dan Panwaslu. Pada sesi pemahaman tentang sistem Pemilu, khususnya teknis pencoblosan, partisipan mendapat pengalaman langsung dengan simulasi.

Kemudian masuk tahap kesadaran kritis dan pemahaman akan pentingnya partisipasi aktif perempuan dalam proses demokrasi dan transformasi sosial-politik; makna suara dan keterwakilan perempuan; serta apa peluang, tantangan, hambatan serta implikasi sistem Pemilu 2004 bagi perempuan.

Dari sini proses bergulir pada kesadaran dan pemahaman akan pentingnya etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sesi ini partisipan mencoba melihat etika politik yang menjadi landasan dalam memilih.

Berdasar pada proses dalam sesi-sesi sebelumnya, partisipan bersama-sama mendiskusikan dan menyusun kriteria-kriteria parpol dan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan pilihan secara bebas dan kritis dalam Pemilu 2004. Kriteria yang ditetapkan sesuai dengan situasi, permasalahan dan kebutuhan lokal masing-masing. Dari kriteria ini mereka membuat analisis parpol dan caleg berdasarkan informasi yang ada.

Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi riil perpolitikan dengan kriteria ideal yang mereka buat dan dengan prinsip-prinsip etika politk yang diinginkan bersama. Karena itu, disusun strategi tindak lanjut dalam jangka panjang dan pendek untuk mensikapi kesenjangan tersebut. Pada sesi ini diharapkan dibuatnya kontrak politik, terbangunnya simpul-simpul jaringan perempuan dan komunitas basis perempuan yang dapat berfungsi sebagai “perlawanan” dan menjalankan fungsi pengawasan-kontrol.

Sebagai strategi jangka pendek, dipilih program sosialisasi. Karena itu para partisipan belajar bersama teknik memfasilitasi dan pengenalan metode pelatihan.

Keseluruhan acara ditutup dengan evaluasi bersama, yang diharapkan dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi perbaikan proses pelatihan selanjutnya. Evaluasi menjadi penting artinya bagi sebuah proses belajar bersama, di mana fasilitator dan partisipan dengan rendah hati mau menerima masukan serta kritik yang membangun; dalam suasana yang terbuka dan setara. Dari hasil evaluasi partisipan di 23 kota, hampir semua partisipan merasa bahwa proses pelatihan dan metode yang digunakan sangat partisipatif dan membantu untuk berproses bersama. Di beberapa kota, berubahnya jadwal nara sumber menyebabkan alur proses menjadi terganggu. Alur menjadi tidak runut/sistematis lagi, apalagi kalau penjelasan dari nara sumber tidak sesuai dengan tujuan/sasaran dari sesi.

Sebagai fasilitator yang menyusun modul, dan memfasilitasi pelaksanaan pelatihan, kita diharapkan memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang tinggi, terutama ketika menghadapi situasi yang di luar perencanaan kita. Baik itu berkaitan dengan nara sumber ataupun dengan dinamika partisipan.
(intan)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...