Editorial Pro:Aktif Online Agustus 2015

http://www.kidnesia.com/Kidnesia/
Potret-Negeriku/Warisan-Nusantara/
Mengibarkan-Bendera-Merah-Putih
Salam kemerdekaan!
Salam Informatif dan Transformatif!

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang merdeka, Pro:aktif Online ingin ikut mengambil bagian dalam mengisi kemerdekaan ini dengan menyajikan berbagai informasi yang memberikan perubahan positif bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat terjadi itu dimulai dari bagian terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Untuk itu, Pro:aktif Online edisi Agustus 2015 ini mengambil tema "Keluarga". Dalam edisi ini, kami mengangkat berbagai isu seputar keluarga.

Konsep keluarga mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Mulai dari keluarga besar di masa lalu, sampai keluarga inti di masa sekarang. Saat ini keluarga dianggap sebagai satuan terkecil di masyarakat. Di dalam keluarga terjadi proses transfer nilai-nilai yang ingin diwujudkan di masyarakat. Nilai-nilai tersebut yang diharapkan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

Keluarga banyak berperan dalam kemunculan para aktivis. Banyak aktivis yang tumbuh dan berkembang karena inspirasi dan dukungan keluarganya. Banyak pula aktivis yang justru tumbuh karena berbagai masalah yang dihadapi di dalam keluarganya..

Rubrik Profil Pro:aktif Onlinekali ini mengangkat profil keluarga aktivis Antonius Sartono (Black) dan Elisabeth A.S. Dewi (Nophie). Hasil wawancara penulis dengan keluarga ini dirangkum dalam sebuah tulisan menarik tentang bagaimana keluarga aktivis ini membagi waktu untuk menjalankan kegiatan keluarga dan aktivisme mereka.

Dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan tentang perubahan definisi dan bentuk keluarga dari masa ke masa serta peran penting keluarga dalam proses penemuan panggilan hidup seorang aktivis.

“Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang,” demikian salah satu kalimat yang disampaikan oleh penulis rubrik Masalah Kita. Dalam rubrik ini, penulis menceritakan pengalaman masa kecilnya bersama kedua orang tuanya yang menjadi aktivis. Selain kisah suka dan duka, penulis menceritakan bagaimana aktivitas kedua orang tuanya menginspirasinya sehingga menjadi seorang aktivis seperti sekarang ini.

Terbentuknya sebuah keluarga bukan semata-mata disebabkan oleh takdir. Ikatan suami dan isteri di dalam keluarga terjalin karena komitmen dan visi bersama. Penulis Rubrik Opini menguraikan mengenai pentingnya visi bersama di dalam keluarga. Ia juga mengungkapkan bahwa visi bersama di dalam keluarga juga perlu diarahkan menjadi sebuah visi transformatif. Visi transformatif merupakan sebuah visi yang mampu menempatkan peran setiap anggota keluarga di tengah lingkungan dan masyarakat, guna mendukung perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Bagi seorang aktivis yang banyak melakukan kegiatan, pengelolaan waktu secara efektif merupakan salah satu kunci keberhasilan. Bagaimana cara aktivis mengelola waktu mereka? Bagaimana agar mereka bisa menjadi aktivis profesional sekaligus sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan pribadi dan hubungan dengan anggota-anggota keluarga? Dalam rubrik Tips, penulis membagikan kiat-kiat pengelolaan waktu yang lebih efektif.

Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang cara pemanfaatan media sebagai sarana parenting di era internet dan rubrik Jalan-jalan yang menceritakan bagaimana para aktivis mengisi waktu luang mereka dan tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi bersama keluarga.

Semoga setiap rubrik yang kami sajikan dalam edisi ini dapat menginspirasi terjadinya perubahan baik dalam paradigma maupun di dalam cara kita mengisi kemerdekaan yang sudah kita jalani selama ini.

Selamat menikmati!

[PROFIL] Dinamika Keluarga Aktivis: Dialog, Komitmen, Pengaturan



Mbak Nophie dan Mas Black

Aktivis, umumnya punya segudang kegiatan. Ketika seorang aktivis memutuskan untuk berkeluarga, akan muncul berbagai dinamika baru terkait urusan keluarga dan kegiatan-kegiatannya. Apakah aktivis harus selalu memilih salah satu antara keluarga atau aktivitismenya? Dapatkah pasangan aktivis menjalankan kedua peran sekaligus, mengelola keluarga dan tetap menjadi aktivis?

Kali ini, Pro:aktif Online mengangkat profil keluarga Elisabeth A.S. Dewi "Nophie"dan Antonius Sartono‘Black’, pasangan suami istri dengan dua orang anak, yang berbagi kepada KAIL tentang pengalaman hidup mereka dalam berkeluarga sekaligus menjalankan peran sebagai aktivis . Berikut petikan wawancaranya:

Sebelum menikah, Mbak Nophie dan Mas Black sudah memiliki banyak aktivitas. Menyadari hal itu, apakah ada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat sebelum memutuskan untuk menikah?
Nophie (N):Mmm... tidak ada kayaknya ya, sambil jalan saja
Black (B):Sebelum menikah, kami sudah saling tahu, bahwa kami masing-masing sudah beraktivitas di mana-mana. Maka terjadi dialog antara kami, yang merupakan dialog dengan kesadaran, bahwa kami memang tidak bisa meninggalkan aktivitas yang dulu. Sekarang tinggal menyiasatinya saja, sambil prosesnya berjalan. Yang menjadi lebih enak adalah kami beraktivitas di bidang yang hampir sama, jadinya bisa saling melengkapi. 

N: Lebih mengalir, kami jalani saja, lalu dilihat ada kebutuhan-kebutuhan apa. Ketika sudah punya anak, ada kebutuhan mengatur jadwal: siapa yang menemani anak, siapa yang mengurus ini dan itu, macam-macam. Pada akhirnya, kami harus bersiasat bikin skala prioritas. Tapi tidak ada yang melarang, mengekang. Ya diatur saja. Kalaupun sampai dua-duanya harus pergi karena ada tugas, seperti sekarang, kebetulan kami berdua panitia Sinode, maka kami bersiasat dengan keluarga besar. Eyang atau bude mana yang mau dititipi atau menemani anak-anak. Melibatkan keluarga besar, mau tidak mau.

B: Saya kira keberuntungan orang Indonesia salah satunya itu, kami masih punya keluarga besar yang “mengerti” aktivitas kami, menerima, walaupun dengan bahasa yang lain, tapi mereka tahu kami beraktivitas seperti apa. Intinya keluarga besar sangat terbuka untuk membantu dalam pola pengasuhan anak-anak.

N: Dan anak-anak, ketika mereka sudah bisa diajak berdiskusi, ya kami ajak diskusi. Mereka tahu apa yang kita lakukan. Kami ada di mana, dengan siapa, itu mereka tahu. Dan kadang-kadang ada waktunya juga kami beri pilihan kepada anak-anak, mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, nanti kondisinya begini, begini, begini. Siap atau tidak. Kalau tidak siap, ya sudah, di rumah saja. Kalau siap, ya ayo ikut. Sebenarnya dari anak-anak masih kecil ya, zaman kami baru punya anak pertama, kalau kami harus pergi berdua, ya anak-anak kami bawa. Digendong ya digendong, sambil pelatihan. Jadi dari kecil anak-anak sudah tahu keadaannya. Dari kecil sudah melihat aktivitas kami, jadi mungkin.. hmm, saya tidak tahu mereka suka atau tidak suka ya, tapi tampaknya, mereka bisa menyesuaikan dirilah dengan irama aktivitas orang tuanya.

Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak supaya mereka dapat memutuskan mau ikut pergi atau tidak?
N: Jelaskan kondisinya seperti apa kalau kami tahu keadaannya. Tapi kalau kami tidak tahu ya kami jelaskan seburuk mungkin kemungkinannya. Lalu mereka mikir. Kami tidak pernah memaksa, karena kami tidak mau dipaksa juga.

Usia berapa anak-anak mulai diajak bicara?
N: Mulai dari usia sekolah, karena mau tidak mau urusannya dengan akademik. Ketika sudah sekolah, kami berusaha untuk tidak membuat mereka bolos. Mereka harus tahu bahwa ketika sudah bersekolah prioritas mereka itu sekolah. Kecuali kepepetbanget mesti ikut, mungkin terjadi sekali dua kali lah sepanjang mereka sekolah, karena tidak ada pilihan lain dan jauh. Lalu mereka ikut. Tapi mereka sudah tahu konsekuensinya. Tantangan (istilah untuk PR sekolah) akan menumpuk, review (ulangan)  akan lewat, kami beritahu. Tapi waktu anak-anak belum sekolah, terutama ketika mereka masih disusui, mau tidak mau mereka ikut. Ketika sudah lepas ASI, mereka sudah mulai diberi pilihan.

Kalau dalam bayangan Mbak Nophie dan Mas Black, pengaturan dalam keluarga aktivis idealnya seperti apa?
B: Di dalam keluarga ada pembagian peran. Orang tua tetap punya peran orang tua, anak tetap punya peran anak, pada proses perjalanan itu terjadi sebuah dialog, dalam arti, ada kepentingan orang tua dan ada kepentingan anak.  Ini yang dijadikan proses diskusi untuk mengambil keputusan. Dalam konsep ideal saya, kepentingan anak maupun kepentingan orang tua ini bisa disepakati bila terjadi dialog.  Jadi pertama, perlu adanya dialog. Kedua, tidak ada pemaksaan. Ketiga, pilihan bebas. Saya boleh atau tidak pergi beraktivitas, itu dikembalikan pilihannya kepada masing-masing. Keempat, kesepakatan pada  jadwal yang dibuat. Mungkin juga orang lain lihat kami aneh. Keluarga kok diatur dengan jadwal. Tapi ya memang dengan begitu di keluarga kami prosesnya bisa berjalan.
Kalau keluarga lain, pengaturannya mungkin berbeda. Kadang-kadang ada orang tua yang satu aktivis, satu lagi bukan. Saya tidak tahu apakah itu keputusan mereka untuk memilih, satu tetap menjadi aktivis dan satu tidak lagi menjadi aktivis atau bagaimana.  Tapi untuk keluarga kami, kalau membuat janji salah satu (beraktivitas) di rumah (saja) kayaknya tidak bisa.

N: Tentang menjadi ibu. Dari hasil ngobrol dan studi saya tentang motherhood, yang paling sering melanda ibu-ibu adalah perasaan bersalah. Ketika mereka harus pergi meninggalkan anak mereka, karena alasan harus bekerja atau apapun, mereka seringkali didera perasaan bersalah. Nah, buat saya itu sangat tidak ideal. Maka saya mencoba tidak punya perasaan begitu. Karena buat saya, saya pergi bukan buat apa-apa kok.  Beda kalau saya pergi, misalnya, mabuk mabukan, lupa daratan, lupa lautan, mungkin jadi wajar ada perasaan bersalah itu. Tapi saya pergi karena saya bekerja, saya beraktivitas. Suami dan anak-anak tahu saya ada di mana, saya sedang apa. Kami saling tahu. Jadi buat saya tidak penting ada rasa bersalah.  Karena begitu kita merasa bersalah, anak juga akan tahu. Lalu adalah istilahnya, terjadi konflik-konflik batin sebagai orang tua. Buat saya yang ideal adalah, kalau kita sebagai orang tua pergi, tidak perlu merasa bersalah. Karena yang kita lakukan itu baik kok. Mungkin tidak baik untuk anak kita pada saat itu karena merasa ditinggalkan. Tapi kita berbuat baik untuk orang lain. Somehow, saya tidak tahu gimana caranya, saya merasa, ketika saya melakukan kebaikan untuk orang lain, saya juga sedang melakukan kebaikan untuk anak saya, secara tidak langsung. Jadi saya mau menambahkan poin itu.
Ambil contoh, orang lain pernah bertanya, di keluarga kami kok nggak pernah telpon-telponan sih, nggak pernah bertanya lagi apa. Itu tidak penting buat kami. Karena kami sama-sama tahu dia lagi ada di mana, sedang apa. Buat kami itu cukup. Tidak ada telpon artinya aman. Kalau ditelpon, malah jadi deg-degan, ada apa nih. Kenapa demikian, karena kami sudah saling percaya. Anak percaya ibu, ibu percaya bapak, bapak percaya sama anak-anak. Ya sudah, tinggal jalan aja.

Pernahkah ada situasi di mana, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, ada pihak-pihak yang perlu mengalah, misalnya pekerjaan ditinggalkan, atau anak mau tidak mau mesti ikut ayah atau ibunya pergi bertugas?
 N:Oh ya, jelas, ada. Saat anak sakit, kalau sudah anak sakit, bubar semua rencana. Lepas. Jadwal tidak ada artinya. Kalau pasangan sakit, ya sudahlah ya, sudah besar, yang penting dia beristirahat cukup. Tapi kalau anak sakit, tidak bisa. Atau kalau anak-anak ada acara di sekolah. Kalau orang tua tidak datang, mereka merasa sangat sedih. Mereka bilang, “Ya udah deh, nggak apa-apa nggak ada ibu dan bapak, tapi aku sedih.” Nah kan, ya kita juga harus mengerti. Ya sudah, akhirnya, kegiatannya nanti ditunda atau berubah jadwal atau diatur ulang, tapi kemudian kami datang untuk kepentingan anak. Mau tidak mau ya harus fleksibel juga.

B: Saya kira kata lain dari fleksibel ya “berkorban”. Dalam konteks “keluarga aktivis”, sebetulnya kunci yang harus muncul ya rela berkorban. Seperti tadi, anak sakit, ya mau tidak mau semua kegiatan harus dilepaskan, dijadwalkan ulang lagi. Saya kira salah satu syarat perkawinan ya rela berkorban juga ya, menurut saya. Tidak bisa tidak, gitu. Apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak.  Saya rasa ini salah satu hal yang penting juga: rela berkorban.

N: Dan jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Karena kalau kita terlalu berpikir apa kata orang, pusing juga kita ya. Kadang-kadang ukuran orang itu beda dengan ukuran kita. Ukuran kebahagiaan, ukuran kesuksesan, beda-beda ya. Misalnya, kebahagiaan kita adalah bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, ya, beda kan. Ya cuekin aja.Karena kalau mikirapa kata orang, stres juga kita. Padahal, tinggal prioritasnya dikompromikan. Mana yang jadi lebih penting, itu dikompromikan. Hasil dari kompromi itu sendiri yang dijalankan.

Apakah Mbak Nophie dan Mas Black juga berasal dari keluarga yang orang tuanya aktivis?
B: Orang tua saya bukan aktivis, tapi PNS, pekerja. Dalam konteks pergi bertugas, dua-duanya memiliki jam terbang  tinggi. Bapak saya di bidang teknik, yang harus pergi pagi pulang malam, ibu saya seorang pendidik, dari pagi sampai sore. Kalau disebut aktivis seperti kami ya bukan, tapi memang dari dulu saya biasa lihat, bapak pulangnya sore atau malam.

N: Kalau bapak ibu saya kalau mau dibilang aktivis, ya aktivis sih, terutama aktivis di gereja ya. Bapak ibu dulu tim dari ME (Marriage Encounter), jadi mereka memberikan retret ME ke mana-mana. Zaman dulu mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, sering banget pergi. Lalu mereka juga aktivis kharismatik, sering juga ke mana-mana. Bapak saya dulu guru, pendidik, ibu saya ibu rumah tangga yang sibuk: berdagang, merias pengantin, menjadi penjahit. Karena saya keluarga besar, sudah biasa diasuh oleh banyak orang. Atau mengasuh diri sendiri. Dan saya merasa menjadi kaya dengan pengalaman, karena saya jadi tahu berbagai jenis orang dan situasi. Makanya anak-anak kami juga sekarang dicobakan dengan model seperti itu.  Masuk rumah nenek yang ini, di bude yang ini, yang itu. Bertemu orang mulai dari yang sangat biasa sampai yang sangat luar biasa. Mereka “terkontaminasi”, dengan sifat banyak orang,  dalam artian yang mudah-mudahan positif.

Dari pola pengasuhan keluarga yang diterapkan Mbak Nophie dan Mas Black ,apa imbasnya ke anak-anak?
N: Kalau kata orang lain, anak-anak kami mandiri ya. Kalau pakai ukuran yang rata-rata, mereka boleh dikatakan mandiri, karena mereka sudah biasa mengatur diri sendiri. Misalnya, kalau kamu lupa bawa baju ke rumah eyang, ya otomatis kamu tidak punya baju ganti. Mereka harus belajar resiko dan segala macamnya.

B: Kedua dari segi wawasan, mau tidak mau karena mereka berdua ikut ngobrol sama bapak ibunya. Memang lalu menjadi PR lagi bagi bapak ibunya untuk menerangkan istilah-istilah yang sebenarnya kita tahu dia belum tahu artinya apa. Jadi ada tambahan pekerjaan sih sebenarnya untuk kami. Macam-macam, sebab kami tidak menyangka juga kalau dia ikut menangkap pembicaraan kami. Meskipun saat itu dia kelihatannya lagi menggambar, misalnya. Kelihatannya sih baca buku, tapi ternyata kupingnya kebuka ya. Misalnya, pas pulang dia tiba-tiba bertanya, “Human trafficking tehapa?”. Itu yang menjadi resiko untuk kami, karena kami yang sudah memasukkan dia dalam “aktivitas orang dewasa”. Saya kira begitu. Orang sering bilang, nih anak umur berapa, kelas berapa, kok omongannya kayak gini. Mudah-mudahan sih tidak menjurus ke dewasa sebelum waktunya.. hahaha..

Adakah pengalaman paling mengesankan berkaitan dengan pengaturan sebagai keluarga aktivis atau sebagai keluarga aktivis?
N: Saya pernah lagi naik trem di tengah kota Melbourne, lalu ada orang manggil saya, “Mbak Nophie! Eh,  mbak,  masih ingat nggak, kita pernah ketemu waktu itu di Garut, lalu mbak Nophie ngasihtraining, bawa bayi, pakai ransel gitu. Saya tidak pernah lho, mbak,  lihat trainer bawa bayi pakai ransel. ” dan lalu dia cerita segala macam. Lucu ajaya, pengalaman unik. Orang mungkin tidak ingat materi yang saya saya sampaikan. Tapi saya membawakan training, sebagai trainer yang bawa bayi, buat dia menjadi hal yang mengesankan, sampai dia tidak lupa. Lalu bertemu berapa tahun setelahnya, di negara lain, dia masih ingat pengalaman itu. Dan kemudian orang tersebut bilang, “Saya mau lho, mbak, suatu saat seperti Mbak (Nophie).”
Buat saya sebagai seorang ibu, saya diingat. Setidak-tidaknya saya mencoba, mematahkan anggapan bahwa feminis itu tidak punya kepedulian terhadap keluarga, feminis itu terlalu mandiri, feminis itu tidak perlu laki-laki, feminis itu lesbian, feminis itu keluarganya hancur. Saya sebisa mungkin mematahkan lah anggapan negatif tersebut. Bahwa seorang feminis ternyata bisa kokpunya anak, punya suami dan baik-baik aja. Bisa kok tetap heteroseksual.
Buat saya, motheringitu harus menyenangkan, jangan jadi beban.
Saya kemarin baru mengobrolkan hal ini dengan anak saya sebelum melepas dia campingbeberapa hari, “Kalau saya diberi umur panjang, sepanjang hidup ibu, ibu akan jadi ibu. Dan seumur hidup kamu, kamu akan jadi anak. Jadi kalau kita nggak fun, kita nggak enjoy, capek bangetkan. Jadi ya enjoy aja, gitu.”

B: Pengalaman bertemu orang-orang. Kayak Nophie tadi, saya ngomong apa, mereka masih ingat. Buat saya, di balik ketemu orang-orang itu, saya jadi diingatkan oleh banyak orang, untuk menjalani yang saya omongkan. Pengalaman bertemu orang-orang ini jadi semacam “pagar”, untuk umpan balik bagi saya. Kadang-kadang orang mendengar apa yang saya omongkan, “Wah ini bisa jadi inspirasi.”. Padahal sebenarnya kelihatannya waktu itu cuma ngobrol biasa saja. Saya kira itu, berbagi pengalaman hidup, proses, karena kita hanya bisa berbagi pada tataran itu.

Menurut Mbak Nophie dan Mas Black, hal apa yang perlu diingat dan diperhatikan oleh semua keluarga aktivis, atau oleh aktivis yang berniat berkeluarga?
N: Kita itu manusia biasa, dengan segudang aktivitas, dengan segudang rencana, dengan segudang mimpi yang kita punya. Kita tetap manusia dengan keterbatasan. Tetapi keterbatasan itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah kita, tapi kita harus pintar-pintar bersiasat, berstrategi dengan keterbatasan kita dan jangan menganggap itu sebagai beban. Kalau beban, ujungnya akan berat ke kita. Having fun saja. Karena kita beraktivitas untuk manusia, bersama manusia. Manusia itu punya banyak dinamika, punya banyak hal yang tidak bisa kita duga, termasuk anak, pasangan dan keluarga besar kita, akan banyak dinamika, up and down-nya. Jangan stres. Bagaimana  kita bisa beraktivitas kalau kita stres? Nikmati saja, jalani saja. Jangan pernah merasa kita harus sempurna. Tidak.  Jadi kalau ada yang tanya, “saya ibu yang baik tidak ya, saya ibu yang benar tidak ya”. Jawabannya, tidak ada tuh, ibu yang baik, ibu yang benar. Semuanya tergantung, mau pakai definisi mana, tolok ukur siapa. Semua itu kan balik lagi ke kita. Selagi anak senang, pasangan bahagia, semua baik-baik saja, ya sudah. Di tengah segala keterbatasan, kalau kita diskusikan, pasti ada jalannya.

B: Kalau menurut saya, cuma dua. Pertama, kerendahan hati dan kedua, kesediaan untuk berkorban. Kalau dua hal ini tidak dimiliki, pasti akan muncul pertengkaran, terjadi kesalahpahaman, kecurigaan. Ini kan bibit dalam proses berkeluarga ya, kalau kita mengobrolkan bibit, proses dalam berkeluarga ya, kalau tidak diperhatikan pasti amburadul. Kerendahan hati ya, misalnya sekarang saya mesti mengasuh anak, karena dia harus pergi. Lain waktu dia yang harus di rumah, mengurus anak-anak, giliran saya yang pergi. Rela berkorbannya ya tadi, misalnya saya sudah punya rencana, tiba-tiba harus batal karena anak sakit, misalnya. Dalam prosesnya, ya itu tadi, saling menutupi itu bukan saling menutupi kelemahan, tapi saling melengkapi.

N: Dan tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih tidak hebat ya. Bukan berarti yang di rumah lebih tidak hebat, yang pergi lebih hebat. Tidak. Karena yang di rumah juga “sakit kepala” juga, ngurus segala macam, dari A-Z.

B:  Satu lagi, yang kita perjuangkan, budaya kesetaraan. Ke mana-mana kita bicara soal kesetaraan, ya harus diaplikasikan, harus dipraktekkan. Ya seperti ini, kesetaraan itu begini. Tidak ada yang satu di atas, satu di bawah. Atau setara, tapi saling menutupi semuanya. Tidak begitu.

N: Dan itu kesetaraannya sampai di anak-anak, bukan hanya di kami saja. Karena generasi kami kan, generasi saya dan Black adalah generasi yang ngomongke mana-mana. Hasilnya kelihatan atau tidak itu di anak-anak kami. Itu juga salah satu tambahan pekerjaan kami ya. Kebetulan anak kami sepasang, laki-laki dan perempuan. Mereka punya tidak kesetaraan? Mereka punya atau tidak kesetaraan, punya tidak kesadaran, bahwa, nggak ada yang lebih hebat atau nggak ada yang lebih nggak hebat? Begitu.

Hmmm.. ini pertanyaan penutup, sekaligus konfirmasi. Jadi dinamika yang paling mewarnai keluarga aktivis itu kebanyakan soal pengaturan waktu, atau ada yang lain?
B: Yang paling mewarnai sebenarnya adalah dialog. Dialog itu kadang-kadang dengan nada tinggi, nada sedang, nada rendah. Biarpun misalnya dengan kesal apa ya, tapi tetap ada semacam pemberitahuan, konfirmasi. Ada berita, meskipun dengan nada tinggi, tapi konsepnya pemberitahuan.
N: Kalau menurut saya, komitmen ya.  Seperti saya bilang tadi, kalau yang satu sedang pergi, satu lagi di dalam, ya yang di dalam harus membereskan semuanya kan. Bukan hanya masalah waktu ya. Karena, misalnya, Black yang harus di rumah ya, artinya Black juga kan harus mengatur antara komitmen pekerjaan dia di manapun dengan urusan di rumah. Itu juga butuh komitmen kan, anak-anak butuh di mana, perlu diatur. Karena kami tidak mau menghentikan segala macam aktivitas mereka hanya karena aktivitas kami. Buat kami itu tidak adil sama sekali. Misalnya,“Karena kami harus pergi maka kamu tidak bisa les renang.” Tidak, tidak boleh begitu. Semuanya harus berjalan. Menantangnya di situ. Aktivitas kami dua-duanya jalan, tapi aktivitas anak-anak tidak boleh terabaikan. Nah itu komitmen, pengaturan, melibatkan orang. Siapa yang mau dilibatkan. Kita punya ojek pribadi yang bisa menemani anak-anak berkegiatan, yang kami sudah percaya sekali. Semua harus diatur.


[PIKIR] Menjadi Keluarga di Indonesia


Sumber: pelajaranilmu.blogspot.com
Sebagai manusia, kita semua terlahir dari sebuah keluarga, dalam bentuk yang paling sederhana yakni ayah dan ibu.

Keluarga…
Kita mengenal keluarga tertua di dunia ini adalah keluarga Adam dan Hawa, menurut cerita yang ada di dalam kitab suci agama samawi (Kristiani, Islam, Yahudi), di mana diyakini bahwa mereka adalah manusia pertama yang ada di muka bumi ini. Adam dan Hawa membentuk keluarga dengan kedua anak mereka yang bernama Kain dan Habel, jadilah mereka keluarga pertama di dunia. Tentunya menurut kisah kitab suci tersebut.

Terlepas apa pun keyakinan Anda, kita tahu bahwa dengan komposisi yang membentuk sebuah keluarga, tidak memiliki banyak perubahan dari jaman dahulu hingga sekarang. Sebuah keluarga pada umumnya terdiri dari seorang ayah dan seorang ibu, serta anak-anak, inilah yang disebut sebagai keluarga inti.
Kemudian ada juga yang disebut keluarga konjugal, di mana keluarga inti berinteraksi dengan kerabat lainnya dari salah satu atau kedua pihak orang tua, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Selanjutnya ada yang disebut sebagai keluarga luas yang ditarik berdasarkan garis keturunan yang ada di atas keluarga inti, artinya mencakup seluruh rantai keluarga dari ayah dan ibu.

Bentuk-bentuk keluarga demikian dihubungkan oleh pertalian darah ataupun perkawinan.

Perubahan Bentuk Keluarga
Namun kemudian seiring dengan perkembangan jaman ataupun dalam praktek di masa lalu, kita juga mengenal keluarga yang tidak melulu dikaitkan dengan pertalian darah ataupun perkawinan. Misalnya pengangkatan anggota keluarga, yang mungkin cukup lazim kita temukan adalah anak angkat-orang tua angkat. Pengangkatan di sini berbeda dengan adopsi, di mana proses adopsi melibatkan proses hukum sehingga ada persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh calon orang tua. Sementara pengangkatan keluarga biasanya bersifat informal hanya didasarkan pada kesepakatan verbal antara kedua belah pihak, yang (salah satunya) tercermin melalui panggilan.

Di sisi lain, faktor ekonomi telah menggerakkan masyarakat untuk berubah, baik gaya hidup maupun kondisi keluarga yang membentuk masyarakat itu sendiri. Dulu, dengan pola pembangunan yang cenderung berpusat di pulau Jawa, maka banyak pemuda-pemuda dari berbagai kampung merantau ke perkotaan yang ada di pulau Jawa. Tidak sedikit pula, para ayah ada di dalam rombongan perantauan yang terpaksa meninggalkan keluarga mereka di kampung demi mencari sesuap nasi ataupun mengambil peluang untuk mengubah peruntungan keluarga. Bahkan mereka yang tinggal di kota-kota pun kadang merasa harus merantau ke kota yang lain karena tidak menemukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan diri mereka. Kondisi tersebut mempengaruhi bentuk keluarga yang ada, di mana anak-anak tidak merasakan kehadiran “ayah” mereka pada salah satu episode hidup mereka. Di sini, kondisi keluarga tanpa ayah menjadi hal yang cukup wajar ditemukan.

Sementara di beberapa daerah tertentu, keluarga-keluarga malah harus kehilangan sosok ibu yang merantau ke negeri jiran menjadi asisten rumah tangga yang kita kenal sebagai TKI. Ketiadaan sosok ibu dalam keluarga, terutama dalam proses tumbuh kembang sang anak, tentu sangatlah berat di mana mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang dari sang ibu. Namun situasi yang sangat tidak ideal ini dijalani juga oleh sebagian keluarga di Indonesia.

Komunitas, Sebuah Keluarga Baru
Satu bentuk keluarga yang lain adalah keluarga yang sebetulnya merupakan komunitas atas dasar kesamaan pada satu atribut tertentu, misalnya daerah asal, suku, hobi, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Komunitas ini merupakan bentuk keluarga yang “baru”, namun tidak benar-benar baru, dalam artian bahwa bentuk ini sudah ada sebelumnya, namun semakin banyak di hari-hari ini. Komunitas ini disebut dengan keluarga karena dibentuk atas dasar kekeluargaan, ataupun rasa kekeluargaan yang melingkupi para anggotanya. Di kota-kota tertentu, komunitas atas dasar suku ataupun daerah asal merupakan kelompok yang cukup jamak terbentuk. Contohnya di kota-kota Sumatera memiliki perkumpulan PUJAKESUMA yang merupakan singkatan dari Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera. Anggota-anggota dari perkumpulan tersebut tampak sangat hangat bila berjumpa, laksana keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Yang mengikat mereka adalah kesamaan identitas suku Jawa yang hidup di pulau Sumatera. Kelompok ini terbentuk, melalui sejarah panjang negeri ini, di mana pada jaman penjajahan Belanda, orang-orang Jawa yang didatangkan ke Pulau Sumatera untuk “dipekerjakan” di perkebunan-perkebunan yang dibuka oleh Belanda.

Sementara kelompok-kelompok yang saat ini mulai banyak terbentuk adalah atas dasar kesamaan hobi atau kesukaan akan sesuatu. Ada kelompok gamer, yakni orang-orang yang memiliki kesukaan akan game berbasis komputer. Ada juga kelompok pecinta anak-anak, yakni orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak. Ada juga kelompok pecinta lingkungan, yang berhubungan dengan isu pelestarian lingkungan. Dan masih banyak lagi kelompok-kelompok yang didasarkan pada kesamaan hal yang disukai.

sumber: djepok.blogspot.com
Kelompok seperti ini dapat dikategorikan sebagai sebuah keluarga juga di mana anggota-anggota di dalamnya merasakan kenyamanan dalam interaksi.
Keluarga di masa kini, di satu sisi masih sama pada bentuk yang ada, namun di sisi lain juga memunculkan bentuk yang berbeda, yang tidak terkait dengan pertalian darah dan perkawinan. Bentuk-bentuk keluarga tersebut berusaha menyediakan interaksi yang nyaman bagi para anggota yang tergabung di dalamnya. Seperti halnya keluarga pada umumnya, interaksi antar anggotanya belum tentu berfungsi sebagaimana mestinya. Pada kondisi tertentu, interaksi di dalam keluarga dapat berjalan dengan dingin, sehingga menyebabkan konflik terselubung di antara anggotanya. Setiap keluarga pada umumnya berusaha memberikan kenyamanan bagi para anggotanya.

Dengan kenyamanan tersebut, anggotanya dapat bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang maksimal, terutama untuk memenuhi panggilan hidupnya. Kenyamanan tersebut terwujud dalam dukungan yang didapatkan oleh para anggotanya. Begitulah yang terjadi pada orang yang sukses menjawab panggilan hidupnya, salah satu faktor yang memampukannya adalah adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga kepadanya. Dukungan ini bisa didapatkan, baik dari keluarga biologis maupun dari keluarga komunitas.

Peran Keluarga Dalam Panggilan Hidup

Sumber: www.kaskus.co.id
Setiap orang sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya dalam menghadapi apapun persoalan hidupnya. Walaupun keluarga belum tentu dapat menjamin tuntasnya persoalan yang kita hadapi, tapi dukungan tersebut akan menguatkan kita untuk bertahan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Seorang aktivis tentu juga memiliki keluarga, paling tidak, berasal dari sebuah keluarga pula. Dalam menjalankan aktivismenya tentu menghadapi berbagai persoalan terkait dengan isu yang digeluti sehari-hari. Kadang isu tersebut menjadi begitu pelik dan menguras begitu banyak tenaga sehingga seorang aktivis bisa merasa begitu lelah luar biasa. Belum lagi masalah hidup lain yang tidak berkaitan langsung dengan isu aktivismenya, misalnya saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum lagi bila menjadi aktivis yang menikah dan mempunyai anak, maka persoalan tersebut menjadi kian kompleks.

Dukungan keluarga bagi seorang aktivis tentu laksana oase yang menyegarkan dan selalu dapat memulihkan semangat yang luntur karena aktivitas seharian. Percakapan yang intim dengan pasangan, bermain dengan anak, ataupun pertemuan dengan saudara/orang tua, tentu menjadi penghiburan tersendiri. Seorang aktivis akan semakin dikuatkan dengan dukungan dari keluarga, apa pun bentuknya.

Namun, kadangkala dukungan tersebut tidak selalu tersedia. Tidak semua keluarga berkenan memberikan dukungannya kepada pilihan hidup sebagai seorang aktivis, terlebih bila isu yang dikerjakan penuh dengan tekanan dari masyarakat ketimbang dukungan. Belum lagi bila dihadapkan pada kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, aktivisme mengalami tantangan terberatnya. Bayangkan, bilamana seorang aktivis terpaksa banting setir karena sang anak meminta untuk dibelikan seragam sekolah ataupun keluarga masih harus berpikir apa yang bisa dimakan besok. Atau ketika aktivis sakit, namun tidak memiliki biaya untuk berobat. Belum lagi hal-hal lain yang disebut dengan cermin sosial yang terpampang di mana pun mata memandang. Keteguhan untuk menjalankan aktivisme pun seolah menipis tanpa adanya dukungan keluarga.

Dukungan dari keluarga, baik orang tua maupun pasangan, akan membantu meringankan persoalan yang dihadapi. Namun bagaimana bila itu memang tidak tersedia sama sekali?

Ada keluarga lain yang siap ditemukan dan bisa “menggantikan” peran pendukung. Ya, komunitas. Komunitas adalah keluarga baru yang bisa kita temukan dan akan mendukung kita karena kesamaan visi/misi dalam hidup. Menemukannya memang persoalan lain, tergantung bagaimana kita memilih jalan dan pergaulan dalam hidup ini. Sederhananya, salah pergaulan hanya akan menambah persoalan yang tidak berguna dalam kehidupan kita. Bahkan tidak jarang, komunitas menjadi keluarga yang sangat suportif terhadap pilihan hidup kita, maka tak heran bila komunitas berbasis isu aktivisme mampu menjadi penopang bagi keteguhan hati seorang aktivis. Misalnya Walhi, yang menjadi salah satu corong pembela lingkungan Indonesia, bagaikan sebuah wadah bernaung bagi para pejuang lingkungan untuk tetap setia pada panggilan aktivismenya. Keberadaan komunitas demikian sangatlah membantu menjaga aktivis untuk tetap hidup di tengah kondisi yang berat.

Lalu, bilamana kita adalah keluarga, apakah kita siap untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan bagi aktivis selanjutnya ?


***

[MASALAH KITA] Keluarga Aktivis, Aktivisme, dan Kasih Sayang

Oleh: Kontributor Pro:aktif Online


Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
Buat saya seorang aktivis adalah sesorang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apa yang menjadi concern  seorang aktivis bisa bervariasi baik dari isu lingkungan, masalah keadilan sosial, isu pendidikan, dan sebagainya. Cara memperjuangkannya juga bisa berbeda-beda. Ada yang aktif di LSM, ada yang merancang gerakan politik, ada yang menjadi relawan di berbagai tempat, ada yang menulis melalui media, dan sebagainya.  Yang jelas, bagi seorang aktivis, apa yang diperjuangkannya  lebih dari sekedar untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas.

Saya sendiri tidak tahu apakah bisa mendefinisikan keluarga saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas, tidak semua anggota keluarga saya adalah aktivis. Kedua adik saya adalah profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta dan yang lain bekerja sebagai seorang arsitektur di sebuah perusahaan. Namun, jelas kedua orang tua saya adalah seorang aktivis. Namun aktivitas Bapak maupun Ibu (Almh) sedikit berbeda.

Ibu saya sebenarnya dulu seorang arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang menjadi reader tuna netra, mengurus anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso, dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena kanker. Beliau kemudian  mendirikan cancer support group untuk saling mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.

Bapak saya, jelas adalah seorang aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa, mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk menghibur Bapak selama di penjara.  Setelah keluar dari penjara, beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara (demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih baik.

Seperti apa rasanya tinggal di keluarga di mana kedua orang tua adalah aktivis? Menurut saya sih biasa-biasa saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yang tidak lazim terjadi di keluarga lain, di antaranya tamu yang terus menerus datang ke rumah, adanya ancaman dari pihak luar, dan waktu bersama keluarga yang terbatas.

 Teman saya menikahi seorang aktivis dan pernah bercerita bahwa banyak tamu di rumahnya. Saking seringnya ada orang yang menginap, anaknya yang berusia 2 tahun sangat terbiasa tinggal bersama orang selain keluarga. Hal yang sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah bercerita, bahwa waktu saya bayi, tamu yang datang ke rumah tidak habis-habisnya. Kopi, teh, dan gula harus selalu tersedia. Piring dan gelas pun terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi juga bisa berkunjung dari pagi sampai malam sampai pagi lagi, biasanya mereka datang untuk mendiskusikan berbagai hal.

Ketika saya mulai remaja, bapak saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah.  Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb), penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah. 

Tentu saja, meskipun banyak teman, seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain. Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu, beberapa kali saya menerima telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih 7 atau 8 tahun waktu itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut di dalam hati. Tapi lama-lama saya cuek saja. Namun, secara umum, saya merasa ancaman yang terjadi di keluarga saya tidak separah keluarga-keluarga aktivis lain. Saya pernah mendengar dari bapak, seorang temannya, perempuan beranak dua, rumahnya dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak dari keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun dibunuh penguasa. Karena tahu resiko-resiko semacam ini, kedua orang tua selalu meminta saya hati-hati, tidak sembarangan bicara. Mereka mengajari saya bahwa kadang manusia bisa menjadi kejam, tapi itu tidak berarti kita harus kehilangan kemanusiaan.

Karena kedua orang tua bekerja sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.  Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu digerakkan oleh kasih sayang.


Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism
Aktivisme selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain. Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa. Tidak habis-habisnya.

Rasanya akan sangat sulit menjadi aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan.  Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang sangat mendasar, kasih sayang.


[OPINI] Visi Keluarga Transformatif - Visi yang Berpihak Pada Masyarakat


Diskusi Keluarga
Sebuah keluarga terbentuk atas dasar ikatan dan komitmen bersama antara suami dan istri. Ikatan tersebut dilandasi oleh perasaan saling mengasihi, komitmen bersama untuk membentuk sebuah keluarga, serta memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai oleh pasangan tersebut. Seringkali, komponen yang terakhir disebutkan jarang dibahas oleh pasangan suami istri yang saling mengikat diri dalam ikatan pernikahan. Kebanyakan, pernikahan  diartikan semata-mata sebagai takdir hidup semata, hanya agar masyarakat menilai bahwa dirinya berada pada status aman dan dapat diterima oleh masyarakat.

Sebagaimana layaknya sebuah pesawat yang hendak lepas landas, dalam sebuah pernikahan diperlukan arah yang hendak dituju bersama oleh pasangan suami istri. Mau ke mana arah keluarga kami? Akan menjadi seperti apa keluarga yang akan kami bentuk? Begitulah kira-kira pertanyaan yang perlu dijawab sebelum pasangan suami istri membentuk keluarga.

Keluarga dan Tantangan Jaman
Akhir-akhir ini, begitu sering kita menemui keluarga yang retak oleh beberapa sebab. Pertengkaran yang berlarut-larut, sulitnya menemukan kata rujuk, ketidakcocokan di antara suami dan istri. Saling tidak memahami keinginan satu sama lain. Merasa paling benar sendiri. Semua itu berujung pada perpisahan dan perceraian.

Tuntutan hidup tinggi membuat setiap anggota keluarga mengejar materi. Anak-anak lebih sering diasuh oleh asisten rumah tangga, karena orang tua sibuk memenuhi kebutuhan materiil. Kedua orang tua jarang berkumpul bersama dengan anak-anak mereka . Tujuan awal pembentukan keluarga menjadi terlupakan karena kesibukan masing-masing anggotanya.

Perkembangan teknologi menyebabkan kurangnya sentuhan fisik yang sesungguhnya dibutuhkan oleh seorang anak atau anggota keluarga. Teknologi internet, komputer mungil dan ringan yang mudah dibawa ke mana-mana, hingga tablet yang hanya segenggaman tangan, membuat orang-orang terlena dengan hiburan maupun aplikasi online yang disajikan. Dengan fasilitas tersebut, orang-orang mengabaikan pentingnya kebersamaan secara fisik. Dengan kecanggihan teknologi seperti itu, orang juga dapat semakin larut pada pekerjaan. Mereka lupa pada orang-orang di sekitarnya. Esensi penting dalam keluarga untuk saling mengisi, mendukung dan membicarakan visi bersama menjadi terkesampingkan.


Membaca Bersama Keluarga
Ketika visi dan tujuan bersama yang menjadi pengikat kebersamaan dalam keluarga pudar, maka lahirlah ketidakcocokan, pertentangan, perselisihan antar anggota keluarga. Ada beberapa keluarga berujung pada perpisahan. Namun, keluarga lainnya ada pula yang mampu bertahan, memperbaiki diri, membina visi mereka kembali.    

Sebuah Visi yang Transformatif bagi Keluarga dan Masyarakat
Visi bersama merupakan syarat penting keutuhan rumah tangga. Tak hanya itu, ketika sebuah visi bersama dalam sebuah keluarga dapat dipelihara dan dikomunikasikan di antara setiap anggotanya, maka keluarga tersebut dapat memaknai maksud dan tujuan kebersamaan mereka dan dengan demikian, membuat hidup setiapanggota keluarga menjadi lebih berarti.

Sebagai bagian dari masyarakat, sebuah keluarga yang mampu menempatkan visi bersama mereka bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar mereka adalah keluarga yang memiliki visi transformatif.

Visi bersama yang transformatif memampukan sebuah keluarga melihat posisi mereka di tengah masyarakat. Visi tersebut membuat keluarga mampu mendorong setiap anggotanya untuk turut mengambil peran di dalam masyarakat secara nyata sesuai bakat dan panggilan hidup mereka masing-masing.

Sepasang suami istri, Febry dan Nat, keduanya mantan aktivis GMKI, menghidupi visi keluarga mereka : mengembangkan karunia dan bakat anugerah Sang Pencipta untuk memuliakan Sang Pencipta dengan melayani sesama manusia, tanpa membedakan latar belakang suku, agama, maupun ras.  

Dalam keseharian, dan dalam perbedaan karakter antara Febry yang cenderung cepat dalam mengambil keputusan dan Nat yang penuh pertimbangan dan sangat hati-hati dalam memutuskan, mereka menjalani visi bersama tersebut.

Visi tersebut mereka tanamkan pula pada buah hati mereka, Putra. Kepedulian Febry dan Nat terhadap masyarakat tercermin pada cara mereka mendidik Putra. Febry sebagai ayah berperan menumbuhkan karakter kepemimpinan pada diri Putra, sedangkan Nat sebagai ibu mendidik Putra dengan kelemahlembutan dan kepedulian kepada sesama dan lingkungan hidup. Visi yang mereka hidupi sederhana, namun transformatif sifatnya. Visi tersebut mampu keluar dari ruang kenyamanan pribadi dan mau peduli pada masyarakat maupun lingkungan hidup di sekitarnya.

Sepasang suami istri lainnya, Dien Fakhri Iqbal dan Permata Andhika adalah contoh keluarga yang memiliki visi transformatif. Mereka dipertemukan dalam visi keberpihakan bagi masyarakat korban bencana serta memiliki minat yang sama tentang terapi trauma dengan body movement. Atas dasar kesamaan visi tersebut, mereka bersepakat untuk menjalani hidup sebagai sebuah keluarga. Setelah keluarga mereka terbentuk, keberpihakan mereka bagi masyarakat korban bencana tetap terpelihara. Iqbal dan Mata (panggilan akrab mereka) saling dukung dalam aktualisasi diri masing-masing.

Tidak banyak keluarga memiliki visi transformatif seperti yang dipegang oleh keluarga Febry-Nat maupun Iqbal-Mata. Beberapa keluarga lain, mungkin terdiri dari pasangan yang visinya bertolak belakang sebelum akhirnya mereka dipersatukan di dalam mahligai perkawinan. Apakah yang terjadi pada visi mereka sebelumnya? Bisa jadi visi pribadi berubah seiring perkembangan yang dialami dalam keluarga mereka. Namun, sejauh itu disepakati, dinikmati dan mendukung aktualisasi diri setiap anggota keluarga, tetaplah merupakan visi bersama yang menguatkan sebuah keluarga.

Tantangan dan Solusi
Visi transformatif lahir dari proses keberpihakan dan keprihatinan keluarga akan masyarakat di sekitar mereka. Visi seperti ini tak jarang mendapat tantangan dari berbagai pihak, terutama di jaman yang semakin menjunjung individualisme seperti saat ini. Visi transformatif cenderung mendapat cemoohan, ejekan dan pertentangan. Tak jarang pula muncul sikap skeptis akan upaya yang diperjuangkan dalam visi transformatif tersebut.

Hal ini dialami oleh pasangan Iqbal dan Mata, yang mendapat ujian justru dari keluarga besar mereka berdua. Namun, karena visi tersebut lahir dari suara hati mereka yang terdalam, semua tantangan itu mereka hadapi dengan kepala dingin. Iqbal dan Mata berupaya menunjukkan kepada keluarga besar bahwa mereka konsisten pada perjuangan yang mereka lakukan.Perlahan namun pasti, keluarga besar menerima apa yang mereka perjuangkan.

Tantangan lainnya dapat muncul dari anggota keluarga inti itu sendiri, seperti yang dialami oleh Febry dan Nat.  Banyak faktor yang menjadi penyebab, antara lain latar belakang keluarga, perbedaan sifat hingga ego pribadi yang cukup kuat terbentuk sejak kecil. Juga, karena sudah membuka diri terhadap masyarakat sekitar, keluarga Nat dan Febry dituntut pula untuk banyak mendengar dan memahami permasalahan orang lain maupun masyarakat di sekitar. Dalam hal ini, dibutuhkan kesabaran dan pemahaman yang lebih terhadap orang lain, agar tidak tergesa-gesa menilai situasi maupun mengambil tindakan.

Oleh karena itu, visi transformatif perlu untuk direfleksikan secara bersama-sama. Kualitas komunikasi perlu ditingkatkan untuk merefleksikan capaian apa saja yang sudah dihasilkan oleh keluarga tersebut. Penting pula untuk melakukan apreasiasi satu sama lain atas apa yang sudah dilakukan. Segenap anggota keluarga perlu memiliki rasa syukur atas setiap langkah kecil yang sudah dicapai.

Merupakan tantangan bagi setiap pasangan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang dapat saling mengisi satu sama lain. Karena pada dasarnya suami dan istri merupakan sepasang pribadi dengan perbedaan sifat dan karakter serta memiliki ego pribadi. Namun, diperlukan keyakinan kuat bahwa energi positif akan terbentuk dari peleburan kedua sifat dan visi yang berbeda. Ini merupakan modal utama dari sebuah keluarga untuk maju mewujudkan visi transformatif. Pada titik ini, setiap anggota keluarga akan saling mendukung aktualisasi diri setiap anggotanya. Tentunya, aktualisasi diri yang dimaksud adalah aktualisasi yang tak hanya mementingkan diri sendiri. Aktualisasi diri yang dimaksud adalah aktualisasi diri yang berguna bagi masyarakat. Itulah visi transformatif di dalam keluarga.

 ***






[TIPS] Berbagi Waktu Antara Keluarga dan Aktivitas


Sebagai manusia, kita tentu merupakan bagian dari sebuah keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar.  Posisi dan peran kita di dalam sebuah keluarga pun berbeda-bada, misalnya sebagai istri, suami, anak, menantu, kakek, nenek, paman dan bibi dan sebagainya. Setiap peran tentu menuntut perhatian kita yang kita berikan antara lain dalam bentuk waktu.

Sebagai aktivis, kita juga perlu melakukan kerja-kerja penting kita untuk mewujudkan impian kita akan perubahan dunia ke arah yang lebih baik. Masalahnya, kerja-kerja penting kita tersebut banyak sekali membutuhkan waktu dari kita. Jangankan berbagi waktu untuk keluarga, banyak aktivis bahkan kekurangan waktu untuk mengurus dirinya sendiri.

Akibat situasi ini amatlah beragam. Banyak aktivis kemudian memilih untuk tidak menikah, sehingga mereka bisa fokus membaktikan diri mereka pada kerja-kerja penting untuk mewujudkan impian mereka. Ada yang menikah, tetapi memilih untuk tidak memiliki anak, agar masing-masing bisa fokus pada kerja-kerja aktivis mereka. Ada juga yang menikah, memiliki anak dan kemudian berbagi waktu dengan pasangannya agar masing-masing dari mereka dapat tetap beraktivitas dengan porsi waktu kerja yang lebih sedikit. Ada yang kebetulan cukup berada sehingga bisa membayar pembantu atau mengirim anaknya ke daycare, sehingga keduanya tetap bisa beraktivitas secara penuh. Apapun pilihan kita, semua memiliki konsekuensi.
Salah satu konsekuensi dari pilihan berkeluarga dan berkarir sebagai aktivis adalah pengelolaan waktu. Waktu adalah sumberdaya yang sangat unik dan berharga yang dimiliki oleh setiap orang. Semua orang memiliki 24 jam sehari, tidak lebih, tidak kurang. Jika tidak digunakan, waktu akan berlalu begitu saja. Tidak bisa kita simpan atau ditumpuk sebagai tabungan. Bagaimana dengan waktu 24 jam setiap hari tersebut kita dapat memenuhi semua tuntutan, baik untuk pekerjaan-pekerjaan penting kita maupun untuk keluarga yang kita sayangi. 

Setiap orang tentu bebas untuk menggunakan waktunya. Hanya saja setiap dari kita tidak bebas dari konsekuensi dari pilihan kita tersebut, termasuk dari cara kita menggunakan waktu yang kita miliki. Berikut ini adalah beberapa tips yang mungkin dapat berguna bagi para aktivis untuk mengambil pilihan-pilihan dalam pengelolaan waktunya.  Di luar tips ini mungkin ada banyak tips lain yang bisa digunakan. Silakan dimanfaatkan jika dirasa berguna atau cocok dengan kebutuhan anda. Atau anggaplah sebagai tambahan pengetahuan, jika ternyata anda sudah memiliki tips lain yang lebih cocok untuk kondisi anda masing-masing.

Langkah 1: Sediakan waktu untuk diri sendiri
Sebagai aktivis, seringkali kita perlu bertindak berbeda dari kebiasaan yang berlaku umum dan menjadi contoh agar orang lain meniru tindakan kita untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Kerja-kerja aktivis semacam ini menuntut energi yang besar, baik dari sisi fisik maupun mental. Untuk itu, kita perlu memperkuat diri sendiri, baik dari sisi fisik, intelektual, mental maupun spiritual. Untuk semua itu, kita membutuhkan waktu. Jika kita tidak menyediakan waktu untuk itu, yang terjadi ibaratnya seperti gergaji yang tumpul yang dipaksakan untuk memotong balok yang besar dan keras. 

Waktu untuk diri sendiri ibarat kegiatan mengasah gergaji itu. Ada waktu yang dibutuhkan untuk mengasah gergaji. Setelah diasah, gergaji menjadi tajam dan pekerjaan memotong kayu menjadi lebih cepat dengan gergaji yang lebih tajam. Sebaliknya jika gergaji tidak diasah, gergaji menjadi tumpul, dan akhirnya membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih besar untuk memotong kayu yang besar dan keras itu.

Banyak orang merasa enggan meluangkan waktu untuk diri sendiri. Merasa sayang untuk meluangkan waktu 20 menit setiap hari untuk berolahraga, atau membaca buku, atau sekedar bersantai untuk kesenangan diri sendiri. Mereka selalu menghabiskan waktu untuk orang lain, entah di pekerjaan ataupun di keluarga. Tidak ada waktu untuk diri sendiri. Kalau kebetulan hubungan di dalam keluarga dan pekerjaan baik, mungkin tidak terlalu masalah; tetapi jika kondisi tersebut tidak didapatkan, kemungkinan kita akan merasa kelelahan (burnt out). Dalam kondisi seperti ini tentu sangat sulit bagi kita untuk fokus melanjutkan kerja-kerja pelayanan kita. Bahkan kalau kita kelelahan, keluargapun dapat terkena dampak dari kondisi kita. Khususnya untuk orang-orang terdekat seperti anak-anak dan pasangan.

Menyediakan Waktu untuk Diri Sendiri
Kondisi kelelahan dapat memunculkan stress dan berbagai bentuk emosi negatif yang dapat mendorong kita menjadi lebih tidak sabaran dan tidak dapat berpikir jernih, sehingga tindakan kita justru berdampak negatif baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk orang-orang yang kita layani. Jika hal ini terjadi, tentu kualitas kerja-kerja aktivis kita menjadi menurun. Kita akan menjauh dari impian kita. Demikian juga dengan hubungan kita dengan rekan-rekan sekerja dan juga keluarga kita kemungkinan akan ikut terpengaruh.

Diri kita adalah aset terpenting dalam mewujudkan impian kita. Saya adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap diri saya. Begitu pentingnya diri kita, maka penting sekali bagi kita untuk merawat dan mencintai diri kita lebih dari kita mencintai apapun di dunia ini. Hal ini mungkin tampak egois menurut ukuran moral yang berlaku di masyarakat. Tetapi jika kita tidak memiliki cinta untuk diri kita sendiri, bagaimana kita dapat berbagi cinta yang tidak kita miliki kepada pekerjaan dan keluarga kita?

Bagaimana kita dapat mewujudkan cinta pada diri kita sendiri? Salah satu bentuk cinta pada diri sendiri adalah memberi alokasi waktu khusus untuk diri kita sendiri.

Pertama-tama, kita perlu mengenali diri kita sendiri dan kebutuhan-kebutuhannya. Kita perlu mencari hal-hal apa yang kita sukai. Ketika kita melakukan itu kita merasa bahagia. Tidak masalah apakah ketika kita akan melakukannya dibayar atau tidak, diketahui orang atau tidak, berhasil atau tidak. Kita hanya merasa bahagia dan berenergi lagi ketika sedang dan telah melakukannya. Jika ada kegiatan-kegiatan semacam itu yang dapat anda lakukan, mungkin anda perlu mengalokasikan waktu untuk melakukannya secara rutin sebagai cara untuk mengisi ulang batere energi anda. Dengan pasokan energi internal yang tinggi, kita akan siap lagi untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting kita dan juga memberikan perhatian yang dibutuhkan oleh keluarga dan orang-orang yang kita sayangi.

Berapa lama dan berapa sering kita perlu mengalokasikan waktu untuk diri sendiri, tentu berbeda-beda untuk setiap orang. Kita perlu mengenal diri kita sendiri untuk dapat memutuskan polanya. Ada orang yang mengambil waktu untuk diri sendiri setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, setiap lima tahun dan bahkan setiap sepuluh tahun.

Bentuk kegiatannya pun bermacam-macam. Ada yang mengambil berbagai jenis olah raga untuk kegiatan untuk diri sendiri harian, ikut klub hobi untuk kegiatan mingguan, atau berkunjung ke tempat-tempat menarik untuk belajar sesuatu untuk kegiatan tahunan. Apapun bentuk kegiatan tersebut, pastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut memang kita sukai, kita inginkan, dengan alokasi waktu yang memang kita luangkan dan biaya yang memang kita rela untuk keluarkan. Jangan sampai ketika melakukan kegiatan tersebut kita justru kepikiran beban pekerjaan atau keluarga yang ditinggalkan atau merasa rugi karena membayar terlalu mahal. Jika ini terjadi, tujuan awal melakukan kegiatan justru berbalik menimbulkan stress baru bagi kita.

Langkah 2 – Tetapkan orang-orang kunci dan alokasikan waktu untuk mereka
Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah mengenali peran-peran kita. Peran-peran kita ini lahir dari impian kita tentang hidup seperti apa yang ingin kita wujudkan. Untuk mencapai impian tersebut, peran-peran apa yang perlu kita lakukan. Untuk setiap peran kita, kita perlu mengalokasikan waktu yang cukup agar pelaksanaan peran tersebut bisa berjalan dengan baik.

Misalnya, saya adalah aktivis yang berkeluarga. Peran saya saat ini adalah aktivis di organisasi saya, ibu untuk kedua anak saya, pasangan hidup untuk suami saya dan anak untuk orang tua saya. Dalam peran-peran itu saya menemukan bahwa orang-orang kunci bagi saya adalah: kawan-kawan di organisasi, anak-anak, pasangan dan orang tua saya. Nah setelah itu, kita perlu membuat daftar tentang hal-hal penting apa yang perlu kita lakukan bersama dengan orang-orang kunci tersebut. Misalnya, untuk kawan-kawan di organisasi, saya perlu meluangkan waktu untuk mengerjakan berbagai proyek impian bersama-sama. Saya perlu mendata kebutuhan waktunya dan mendistribusikannya di dalam hari-hari saya. Demikian juga dengan anak-anak. Saya perlu mendata hal-hal penting apa yang perlu saya lakukan bersama dengan anak-anak dan kapan saya akan melakukannya bersama mereka. Hal yang sama berlaku untuk orang-orang dan peran-peran kunci lainnya.

Setelah semua terdata maka saya akan memasukkannya dalam kalender atau agenda. Dengan memasukkan seluruh daftar yang ingin saya lakukan berikut alokasi waktunya, saya akan tahu apakah waktu saya cukup untuk melakukan semua hal penting yang ingin saya lakukan? Berdasarkan data tersebut, saya dapat membuat keputusan apakah saya perlu melakukan penjadwalan ulang, atau perlu membuat alokasi baru kegiatan-kegiatan yang saya anggap penting untuk setiap orang kunci dan berbagai penyesuaian lainnya.

Dengan melakukan langkah di atas, kita akan memastikan bahwa orang-orang yang terpenting di dalam hidup kita telah mendapatkan alokasi waktu yang cukup dari diri kita. Orang-orang penting tersebut termasuk keluarga yang kita sayangi, baik keluarga inti, maupun keluarga besar.


Menyediakan waktu untuk orang-orang kunci
Berapa banyak waktu dan seberapa sering waktu yang perlu kita alokasikan untuk masing-masing peran dan orang-orang kunci tentu berbeda-beda untuk setiap orang. Hal pertama yang dapat dijadikan pertimbangan adalah kebutuhan. Hal kedua yang menjadi pertimbangan adalah ketersediaan waktu. Pada akhirnya waktu yang kita alokasikan adalah optimasi antara kebutuhan dan ketersediaan waktu.

Kadang-kadang kita perlu melakukan berbagai penyesuaian terhadap rencana, karena salah satu kegiatan yang sudah dijadwalkan ternyata berubah waktunya, sehingga perlu menggeser kegiatan yang sudah ada di waktu tersebut. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengkomunikasikan dengan baik rencana perubahan tersebut kepada pihak-pihak terkait. Hal penting yang perlu kita pertimbangkan adalah sikap hormat kita kepada pihak-pihak tersebut yang mungkin sudah mengalokasikan waktunya untuk kita juga.

Pihak-pihak tersebut termasuk juga anak-anak kita yang masih kecil atau pasangan kita, jika kebetulan kita berkeluarga dan memiliki anak-anak. Kebanyakan anak-anak sangat mengharapkan menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Mereka merasa disayangi ketika kita meluangkan waktu khusus untuk mereka. Ketika kita telah menjanjikan sesuatu, sangat penting bagi kita untuk memenuhi janji kita tersebut. Dan jika kita tidak dapat memenuhi janji tersebut, kita perlu berani meminta maaf dengan tulus kepada mereka. Dengan begitu, mereka dapat merasakan bahwa kita memang sungguh-sungguh menganggap mereka orang-orang penting di dalam hidup kita.  Banyak orang justru mengabaikan orang-orang terpenting dalam hidup mereka, karena mereka menganggap orang-orang terdekat tersebut otomatis mengerti dan memaklumi akan tindakan kita. Kalaupun memang demikian, tetaplah baik untuk memberitahukan perubahan jadwal kita yang menyangkut mereka kepada orang-orang penting tersebut.

Langkah 3 – Fokus pada waktu kini


Ketika kita telah menetapkan pilihan untuk melakukan apa pada setiap waktu kita, yang perlu kita lakukan adalah fokus pada waktu kini. Jika kita sudah menetapkan waktu untuk menulis laporan, fokuslah pada laporan itu dan lupakan yang lain. Dedikasikan seluruh konsentrasi, tenaga dan perhatian kita untuk sesuatu yang sudah kita putuskan. Pasrahkan yang lain pada perawatan Tuhan atau pemeliharaan alam semesta.

Hanya dengan cara demikian kita bisa menggunakan waktu kita secara efektif.  Akan sangat sulit ketika kita sudah memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak, tetapi pikiran kita melayang-layang ke pekerjaan yang belum selesai. Atau ketika kita sedang mengalokasikan waktu untuk bekerja, kita teringat anak-anak yang sedang ulangan umum. Dengan penggunaan waktu semacam itu, tentulah hasil yang kita capai malah tidak maksimal. Penggunaan waktu yang tidak maksimal artinya, kita akan perlu mengalokasikan waktu lagi untuk melaksanakan kegiatan yang terhutang. Bisa jadi akhirnya malah mengurangi waktu kita untuk mengurus hal-hal yang kita cemaskan.

Kemampuan berfokus pada waktu kini adalah salah satu kunci keberhasilan banyak orang. Cara-cara untuk membantu kita berfokus berbeda untuk setiap orang. Ada orang yang memerlukan waktu hening, tanpa suara untuk bekerja. Ada yang memerlukan musik atau suara pengiring untuk membantu fokus. Ada orang yang perlu kita tatap matanya saat kita bicara. Ada yang justru merasa nyaman ketika kita berbicara dengan mereka sambil melakukan sesuatu yang lain. Pilihan-pilihan untuk dapat berfokus perlu dikenali baik untuk kita sendiri maupun untuk orang-orang kunci. Dengan demikian, kita bisa saling membantu untuk fokus di dalam pertemuan-pertemuan kita dengan mereka. Mudah-mudahan dengan demikian, setiap waktu yang kita luangkan untuk orang-orang kunci tersebut menjadi waktu yang bermakna, baik bagi kita maupun bagi mereka.

Demikian beberapa tips berbagi waktu antara keluarga dan aktivitas. Semoga bermanfaat. Jika anda tertarik untuk mendalami lebih jauh tentang pengelolaan waktu anda, anda dapat menghubungi KAIL untuk mendapatkan layanan pelatihan dan pendampingan mengenai Pengelolaan Waktu Pribadi.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...