[PIKIR] Belajar dari Pengalaman Pahit, Mungkinkah?


Ketika tsunami di Aceh terjadi pada tahun 2004,  seorang teman saya kehilangan seluruh keluarganya. Dia sedang menuntut ilmu di pulau Jawa sehingga tidak mengalami diterjang tsunami. Tetapi semua orang yang dikasihinya, khususnya sang Ibu meninggal dunia. Teman saya itu sangat dekat dengan ibunya. Saya masih ingat betapa keras teriakannya saat mendengar kabar duka tersebut. “Saya ingin ibu saya kembali!”

Cerita di atas hanya salah satu contoh dari pengalaman pahit seseorang. Setiap orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit meski dengan cara yang berbeda.
Mengalami bencana alam, mengalami kekerasan psikis maupun fisik, kekurangan uang, melihat orang yang dikasihi jatuh sakit, kehilangan orang yang dikasihi, dikhianati, patah hati, kelaparan, diperlakukan tidak adil, digusur dari tempat tinggalnya, sakit, dikhianati, keluarga pecah, gagal, diabaikan, tidak dihargai, dan lain-lain. Semuanya pengalaman pahit.

Pengalaman pahit adalah hal yang sangat menyebalkan. Rasanya sakit dan tidak pernah mudah untuk dilewati. Kadang butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan rasa sakit yang ada. Dan tidak semua orang bisa melewatinya.

Apakah seseorang bisa belajar dari pengalaman pahit? Ozlem Ayduk, seorang ahli psikologi dari Universitas California, Berkeley menyatakan bahwa ada beberapa orang yang berhasil belajar dari pengalaman pahit dan beberapa orang yang tidak[1]. Menurutnya, salah satu cara untuk bisa belajar dari pengalaman pahit adalah dengan mengambil jarak dari perasaan kita terhadap pengalaman pahit tersebut. Dalam penelitiannya, Ayduk dan Kross meminta sejumlah orang untuk membayangkan pengalaman pahitnya. Satu kelompok diminta melihat pengalaman tersebut dari dari kacamatanya sendiri sedangkan yang lain diminta membayangkan pengalaman pahitnya dari kacamata seekor lalat yang melihat pengalaman tersebut.
Ternyata, kelompok kedua lebih mampu menganalisis pengalaman pahit mereka secara lebih konstruktif sehingga mampu mengambil pelajaran dari pengalaman pahit tersebut. Jadi, untuk bisa belajar dari pengalaman pahit, salah satu hal yang harus dilakukan adalah mencoba berjarak terhadap perasaan kita terkait pengalaman tersebut. Tapi, bagaimana caranya? Memangnya mudah? Dari pengalaman sendiri, saya bisa mengatakan bahwa untuk bisa berjarak terhadap pengalaman pahit bukan perkara mudah. Kadang kita membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa melakukannya.

Perlunya Supporting System

Tahun 2007 saya berada dalam keadaan yang tidak baik karena mengalami beberapa masalah. Tak lama kemudian saya diajak untuk mengikuti support group visi dan misi pribadi yang diselenggarakan oleh KAIL. Salah satu kegiatannya adalah saya dan peserta lain (hanya ber-5) diminta untuk menggambarkan sungai kehidupan masing-masing. Sungai kehidupan adalah sebuah gambar yang merepresentasikan titik-titik penting dalam hidup kita. Hal ini berarti kita perlu mengingat pengalaman baik yang menyenangkan maupun pahit yang menjadikan diri kita seperti sekarang ini. Setelah menggambar, masing-masing peserta diminta bergantian menceritakan sungai kehidupannya. Peserta yang lain harus mendengarkan dan bisa mengajukan pertanyaan.
Proses tersebut memungkinkan saya untuk mengingat kembali pengalaman pahit saya, memvisualisasikannya, menceritakannya kembali, dan menjawab pertanyaan orang lain tentang pengalaman pahit tersebut. Ternyata proses itu memungkinkan saya belajar dari pengalaman pahit saya. Saya belajar bahwa diri saya yang sekarang tidak terlepas dari pengalaman yang saya alami di masa lalu, yang baik maupun yang buruk. Meskipun tidak selalu, beberapa isu yang saya pedulikan beririsan dengan pengalaman pahit saya sendiri. Misalnya, saya pernah mengalami bullying.Hal ini membuat saya cukup peduli dengan isu bullying.
Bullying, sumber : www.crapmama.com

Saya juga belajar bahwa pengalaman pahit memungkinkan saya bisa lebih memahami perasaan orang lain yang punya pengalaman sejenis. Pemahaman ini sangat berharga. Sebagai analoginya orang yang pernah terkena penggusuran pasti lebih mudah memahami orang yang juga pernah terkena penggusuran. Pemahaman ini akan sangat membantu, misalnya saat dia mau membuat gerakan untuk mendukung orang-orang yang terkena penggusuran.
Sekarang, saya bisa menuliskan segalanya tentang pengalaman pahit saya. Tapi bertahun-tahun yang lalu, mungkin saya tidak bisa melakukannya. Mungkin saya hanya bisa merasakan sakitnya tanpa bisa belajar darinya. Saya beruntung karena dengan mengikuti suport group visi dan misi KAIL, ada sebuah sistem yang memungkinkan saya bisa lebih mudah belajar dan berefleksi dari pengalaman pahit saya.
Belajar dari pengalaman pahit bukanlah hal yang mudah. Sebuah pengalaman pahit bisa terjadi jauh sebelum hari ini, misalnya belasan tahun yang lalu tetapi rasa sakitnya masih terasa hari ini. Enid Vazquez, seorang konselor HIV pernah mengatakan bahwa setiap orang membutuhkah support system  atau sistem bantuan. Semakin berkualitas support system tersebut, kita akan menjadi lebih baik. Jadi, mari memperbanyak support system yang memungkinkan lebih banyak orang bisa menjadikan pengalaman pahitnya sebuah pelajaran yang berharga!

[MASALAH KITA] Aktivis Menghadapi Cermin Sosial



Nama saya, Novi. Selepas kuliah, orientasi saya sangat berbeda dengan apa yang saya lakukan sekarang. Selayaknya fresh graduate lainnya, orientasi hidup saya saat itu adalah bekerja untuk mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya. Kebetulan pekerjaan yang tersedia saat itu adalah menjadi marketing sebuah perusahaan swasta.

Tuntutan yang saya hadapi untuk bertahan di pekerjaan tersebut adalah saya harus tampil menarik, seragam, rapi, teratur dan tentunya profit. Pada awalnya saya melihat itu sebagai hal yang saya impikan dan seharusnya saya lakukan karena setiap wanita seumuran saya dan di lingkungan saya, ya seperti itu.



Saya ingin belajar menjadi yang terbaik di bidang saya, tetapi hasil yang saya dapatkan ternyata malah terbalik. Performance saya dalam pekerjaan tidak pernah baik karena tuntutan pekerjaan dan ekspektasi orang lain terhadap diri saya sangat bertolak belakang dengan pribadi saya. Puncaknya, saya memutuskan untuk mencari tahu apa yang saya sukai, mulai dari buku-buku yang telah saya beli, film-film yang saya tonton, pengalaman menyenangkan yang pernah saya alami sewaktu kuliah maupun teman-teman yang nyaman saya ajak berdiskusi.

Proses tersebut membantu saya membayangkan pekerjaan seperti apa yang diinginkan di dalam hidup saya. Akhirnya, saya mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan (walaupun itu sudah terlambat 2 tahun) yaitu menjadi seorang pekerja sosial. Menjadi pekerja sosial saat itu jauh dari kesan keren dan menjanjikan prosperity, bahkan beberapa teman dan keluarga tidak setuju pada awalnya. Tetapi restu dan dukungan pada akhirnya datang dari mereka karena terdapat perubahan pada diri saya. Saya tidak tahu pastinya apa yang mereka lihat, tetapi perasaan yang saya rasakan saat bekerja adalah lebih bersemangat, bahagia, kreatif, tenang, tanpa beban dan punya tujuan. Mungkin pancaran seperti itulah yang pada akhirnya terpantul dari cermin saya sendiri untuk melawan cermin sosial di lingkungan terdekat saya.
Di dunia ini, Anda dapat menemukan banyak kisah seperti Novi. 
Ketika kecil kita hidup berdasarkan harapan-harapan orang tua kita. Saat remaja kita hidup berdasarkan harapan-harapan kawan-kawan kita. Saat dewasa, kita hidup berdasarkan harapan-harapan pasangan kita. Di masyarakat kita hidup mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat yang memiliki perspektif tertentu tentang apa yang disebut berhasil dan apa yang disebut baik. Masalahnya apakah yang disebut berhasil dan baik oleh seluruh entitas di luar diri kita sesuai dengan keinginan-keinginan terdalam kita? Apakah memenuhi tuntutan-tuntutan dari luar dan memperoleh status “orang yang sukses” membuat kita benar-benar bahagia, hidup penuh dan bermakna? Apakah kita mau terus hidup di dalam cermin sosial?

Apa sih definisi cermin sosial?

Stephen Covey dalam bukunya “The Seven Habits of Highly Effective People”,   memperkenalkan konsep proaktivitas. Menurut Covey, proaktivitas berarti bertanggung jawab penuh akan hidup kita sendiri. Bertanggung jawab berarti siap mengambil konsekuensi dari pilihan-pilihan hidup kita. Dan pilihan hidup tersebut haruslah didasarkan pada keempat anugerah kodrati, yaitu imajinasi, kesadaran diri, kehendak bebas dan suara hati.
Bila mengikuti definisi tersebut, maka, hidup dalam cermin sosial berarti, hidup yang dijalani tidak menggunakan anugerah kodrati kita sendiri. Kita tidak menggunakan seluruh imajinasi, kesadaran diri, kehendak bebas dan suara hati kita. Hidup kita ditentukan oleh kehendak orang lain, sebagai upaya memenuhi harapan-harapan orang lain, atau karena terpaksa, atau tidak sesuai dengan suara hati kita.


Apa sih resiko hidup dalam cermin sosial?

Sebetulnya, yang paling tahu apakah kita hidup berdasarkan cermin sosial atau tidak adalah diri kita sendiri. Jika kita mengalami konflik batin yang tertuang dalam berbagai perasaan negatif seperti rasa jenuh,capek, bodoh, malas, tidak kreatif (pikiran mentok), muak karena menjalani rutinitas tanpa nilai apapun, atau perasaan bersalah karena terpaksa melakukan berbagai hal yang tidak sesuai dengan diri sejati kita; ada kemungkinan hidup kita telah ditentukan oleh cermin sosial. Kita merasa tidak puas terhadap hidup kita sendiri.

Mereka yang hidup dalam cermin sosial seringkali justru merupakan orang-orang yang dipandang sukses di dalam masyarakat. Di dalam kesuksesannya, mereka justru tidak merasa puas atau merasa salah di dalam hidup mereka. Jika kita mengalami hal-hal semacam ini, kemungkinan kita mulai menyadari bahwa hidup kita belumlah seperti yang benar-benar kita inginkan.

Apakah resiko melepaskan cermin sosial dan hidup berdasarkan keinginan-keinginan terdalam kita?

Merujuk pada Covey, melepaskan cermin sosial berarti hidup dalam proaktivitas. Hidup proaktif berarti mengambil pilihan dengan kehendak bebas. Kita akan menerima konsekuensi pilihan tersebut dengan gembira dan lapang dada. Hidupku adalah pilihan yang kupilih sendiri. Pilihanku tidak tergantung dari pendapat orang tuaku. Pilihanku tidak ditentukan oleh anakku, pasanganku, kawanku atau tetanggaku. Aku mengambil pilihan karena aku sungguh-sungguh menginginkannya.
Pilihan-pilihan bebas yang diambil tersebut juga didasarkan pada kesadaran diri yang tinggi. Aku tahu yang aku mau, aku tahu apa yang aku cari, bukan aku merasa aku mencari sesuatu karena seseorang menganggapku baik untuk itu. Aku mengenal diriku sendiri dengan baik, termasuk harapan-harapan terdalam dan impian-impianku terhadap hidupku ini.

Kesadaran diri yang tinggi dapat diasah dengan melatih diri untuk selalu mendengarkan suara hati kita sendiri, mengenali panggilan-panggilan jiwa kita, dan keinginan-keinginan terdalam kita. Dan yang terakhir pilihan proaktif tentu didasarkan pada imajinasi maksimal tentang apa yang mungkin terjadi akibat pilihan-pilihan kita. Resiko melepaskan cermin sosial adalah mungkin kita akan kehilangan cap sukses di mata orang lain yang memiliki tuntutan/gambaran/harapan tertentu terhadap hidup kita, tetapi kita akan merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Kita mungkin dianggap sebagai orang yang aneh, keras kepala, atau tidak mau menurut pada orang tua atau aturan masyarakat. Kita mungkin akan merasa telah mengecewakan orang-orang yang kita cintai.

Jurus-jurus keluar dari Cermin Sosial

Ada resiko-resiko yang harus kita tanggung ketika kita hidup dalam cermin sosial .  Jika kamu saat ini sedang berada dalam cermin sosial dan ingin melepaskan diri darinya, berikut ini adalah jurus-jurus yang perlu kita lakukan
1.    Kenali Dirimu yang Sejati dan Impian-impian terdalammu
2.    Jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain
3.    Ungkapkan dirimu dan impian-impianmu dengan jujur
4.    Konsisten dengan apa yang sudah dipilih
5.    Siap menghadapi konsekuensi pilihan hidup kita
Hidup dengan cermin sosial ataupun tidak adalah pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Nah, sekarang, kita ingin hidup kita seperti apa?

***
 (Any Sulistyowati & Anggraeni)

[OPINI] Takut Untuk Sukses, Sumber Kegagalan Terbesar


Sebuah pertanyaan yang biasa ditanyakan orang tua kepada anak-anaknya adalah, “Kalau sudah besar mau jadi apa?”, lantas anak-anak akan memberi beragam jawaban mengenai cita-cita mereka. Bahkan walikelas saya di SD pada suatu hari pernah menanyakan kepada seluruh siswa, apa cita-citanya. Jawaban yang diutarakan kurang lebih sama, menjadi dokter, astronot, atau pilot.
Terlepas dari apa yang menyebabkan adanya keseragaman jawaban tersebut, cita-cita merupakan salah satu indikator kesuksesan yang hendak diraih. Sukses, adalah kata yang akan kita bahas bersama di sini.



Kalau setiap orang ditanya “Apakah Anda ingin sukses?”, kita bisa mendapatkan jawaban, bahwa sebagian besar orang menginginkannya. Namun, keinginan tersebut tidak serta merta membuat kesuksesan itu tercapai begitu saja, ada beberapa faktor yang menyebabkan tercapainya kesuksesan tersebut. Apapun faktor yang mendasari tercapainya kesuksesan tersebut, ternyata salah satunya terkait dengan ketakutan. Ketakutan? Ya, walaupun seseorang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya, rupanya ada faktor di dalam diri setiap orang yang justru takut terhadap kesuksesan tersebut. Ketakutan ini terkait dengan keyakinan (belief) yang kita miliki terhadap kesuksesan. Keyakinan tersebut menurut Antonius Arif merupakan limiting belief ataupun mental block.

Ada 3 tipe keyakinan (belief)yang terkait dengan ketakutan untuk sukses (Robert Dilts, 1990) :

1.     Hopelessness (tidak ada harapan)

Tipe ini dimiliki oleh seseorang yang merasa tidak memiliki harapan terhadap impian yang diinginkan. Perasaan tiada harapan ini biasanya terkait ketiadaan pengetahuan tentang kemungkinan untuk sukses tersebut. Orang dengan tipe ini biasanya selalu beralasan macam-macam terhadap kerja keras. Orang dengan tipe ini akan berkata, “Orang lain saja tidak bisa, apalagi saya”. Tipe orang dengan keyakinan seperti ini terbentuk karena sepanjang hidup orang tersebut melihat kerja keras tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapat. Untuk tipe ini, pernahkah Anda melihatnya atau mengalaminya sendiri?

2.     Helplessness (tidak berdaya)

Keyakinan ini terdapat pada diri seseorang yang melihat orang lain bisa melakukannya, namun dia sendiri merasa tidak mampu melakukannya. Keyakinan akan ketidakmampuan ini kemudian membentuk perasaan tidak berdaya, atau sebaliknya. Apabila kedua hal tersebut saling menguatkan maka akan semakin membuat seseorang tidak bergerak ke mana-mana. Hidup orang seperti ini akan menjadi stagnan. Pernahkah Anda mendengar seseorang yang mengatakan bahwa kesuksesan itu adalah milik orang-orang yang punya uang saja? Ataukah Anda pernah merasakan tidak bisa sukses karena Anda bukanlah orang yang pintar?
Situasi ini sebetulnya seringkali kita dapati dan sepertinya memang kondisi yang umum terjadi. Sebagai contoh, ungkapan ini, “Ya, karena bapaknya dokter, makanya dia pintar belajar kedokteran”.
Adanya kepercayaan tentang faktor keturunan, akhirnya membatasi suatu pekerjaan tertentu hanya pantas dikerjakan oleh orang-orang dari keturunan tertentu. Sehingga keyakinan yang muncul adalah “Mana mungkin saya bisa menjadi seorang dokter, saya kan anaknya seorang penarik becak.” Dengan keyakinan seperti ini, orang tersebut terjebak dengan pemikiran bahwa mimpinya dibatasi oleh siapa orang tuanya. Padahal, mungkin saja dia memiliki bakat dalam memahami dunia kesehatan. Akibat keyakinan tersebut, maka peluang yang ada menjadi hampir tidak ada.

3.     Worthlessness (tidak berharga)


Keyakinan  ini terjadi jika seseorang merasa bahwa walaupun hal tersebut mungkin dan bisa dilakukan, namun dirinya merasa tidak pantas dan tidak layak. Contoh yang sering terjadi adalah pada percintaan, misalnya seperti ini, “Saya mencintai pasangan saya dan  yakin sebenarnya bisa berdamai dengannya . Hanya saja, saya merasa tidak pantas dan tidak layak untuk bersama dengan dia.”

Contoh lain yang bisa kita lihat adalah dalam pertemanan. Apakah Anda pernah lihat orang-orang yang menarik diri dari pergaulan sehari-hari? Terlepas dari kemungkinan adanya faktor lain yang mempengaruhi, pikiran bahwa “Saya tidak pantas berteman dengan mereka” atau “Saya tidak layak mendapatkan perhatian dari mereka” merupakan salah satu penyebab yang muncul dalam pergaulan di masa kini.
Saya sendiri pernah mengamati pola ini terjadi pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi dalam waktu yang cukup lama. Kepercayaan diri yang sedang menurun, diimbuhi oleh manajemen stress yang kurang cakap, cenderung membuat mahasiswa tingkat akhir menarik diri dari pergaulan untuk sementara waktu. Ditambah pemikiran “Ah, sudah bukan jamannya saya lagi”  membuat keyakinan itu bertambah kuat.
Semua tipe keyakinan di atas tidak lahir begitu saja, namun dibentuk oleh lingkungan seseorang, baik melalui nilai yang ditanamkan oleh orang tua maupun institusi pendidikan. Pendidikan seseorang secara tidak langsung memberikan sumbangsih terhadap pembentukan keyakinan-keyakinan seperti itu, hingga secara tidak sadar  seseorang tidak sungguh-sungguh mengejar kesuksesan yang  diinginkan. Lebih parah lagi apabila seseorang mengejar kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain dan ia tidak sadar sedang melakukannya.

Saat saya masih kuliah, saya berteman dengan seseorang yang mengambil kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi, sebetulnya dia lebih menginginkan kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Ini disebabkan karena orang tuanya berpendapat tidak ada masa depan untuk seniman. Dia pun terpaksa memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya program tersebut yang masih mungkin ia sukai. Di kemudian hari, dia tidak pernah serius menjalani kuliahnya dengan berbagai alasan yang kemudian membuat dia memutuskan untuk mundur di batas akhir waktu perkuliahannya.

Cerita serupa cukup mudah didapati pada mahasiswa-mahasiswa yang prestasi belajarnya rendah (kalau indikatornya adalah IPK), walaupun belum tentu hal ini terkait dengan faktor intelektual. Ada banyak mahasiswa yang memilih program studi tanpa mempertimbangkannya dengan matang berdasar hati nuraninya. Banyak yang belum menyadari, bahwa untuk mencapai panggilan hidupnya, dia harus menjalani perkuliahan di perguruan tinggi tertentu sesuai dengan minat dan bakatnya. Tidak banyak orang yang akhirnya kemudian bisa berkembang hingga potensi terbaiknya.

Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, bahkan jauh sebelum duduk di bangku kuliah, paradigma masyarakat di Indonesia tentang pendidikan tidak membiasakan peserta didik untuk memilih berdasarkan hati nuraninya. Paradigma pendidikan di masyarakat kita membatasi masa depan yang hanya bisa diraih berdasarkan jurusan-jurusan yang tersedia di perguruan tinggi. Lebih parahnya lagi pendidikan yang dianggap baik terbatas pada perguruan tinggi bergengsi.
Dampak dari paradigma pendidikan tersebut adalah terkuburnya impian-impian luhur bagi dunia yang lebih baik. Impian-impian, yang kita sebut juga sebagai visi hidup tidak pernah dapat tercapai, bahkan  tidak mampu memikirkannya. Mengapa? Karena memang kita tidak pernah dididik untuk memikirkan sesuatu dalam perspektif waktu yang panjang, kita dibatasi oleh apa yang kita miliki sekarang, sehingga apabila kita memikirkan sesuatu yang tidak ada, kita dianggap “gila”.


Paradigma masyarakat, baik melalui pendidikan maupun kehidupan sehari-hari, telah lama menyumbangkan ketakutan pada keyakinan individu, serta menutup kenyataan bahwa sesungguhnya kesuksesan itu unik bagi setiap orang dan merupakan hak setiap orang. Ketika berbagai tipe keyakinan tumbuh dan semakin mengakar di dalam diri seseorang, sangat sulit baginya untuk menemukan kesuksesan yang “sesungguhnya” di dalam hidupnya.

Namun demikian, setiap manusia dapat membebaskan diri dari keyakinan yang menghalangi kesuksesannya itu. Berikut ini adalah tips untuk keluar dari belitan keyakinan tersebut :

1      Kenali; bagaimana pandangan kita terhadap diri sendiri? Apakah ada salah satu jenis ketakutan tersebut?

2      Lepaskan; hal-hal yang memang tidak kita butuhkan, sudah saatnya untuk kita lepaskan, berikan “ruang” untuk hal-hal yang baik dalam hidup kita.

3      Berdamailah dengan segala “keburukan” di masa lalu kita, terimalah itu sebagai bagian yang indah dari keutuhan diri.

4      Tanamkan ide ke dalam diri, “saya berhak untuk sukses dan bisa mencapainya”.
5      Fokus pada apa yang kita inginkan.
Meski sulit, tetapi dengan kemauan yang keras, setiap orang bisa membebaskan diri dari belitan keyakinan tersebut, dan berlari mengejar kesuksesannya.

Jadi, bisa kita lihat bahwa penghalang bagi kesuksesan bisa berasal dari dalam, yaitu keyakinan kita sendiri tentang kesuksesan. Lalu keyakinan ini dipengaruhi oleh pendidikan yang ditanamkan, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Ditambah dengan pandangan masyarakat (orang-orang di sekitar) yang berlaku di masa itu, maka keyakinan itu akan semakin mengakar kuat di dalam diri orang.

“Jikalau ingin sukses, keinginanmu untuk sukses harus lebih besar dari rasa takutmu terhadap kegagalan” – Bill Cosby, komedian berkebangsaan Amerika Serikat.



(David Ardes Setiady)

[MEDIA] Petualangan Banyu dan Elektra Menyalakan Kota


Judul : Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota
Tahun : 2012
Kategori film : Animasi
Konsep & Skenario : Kandi Sekarwulan, M. Bijaksana
Produksi : Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota
Produser Eksekutif : WWF Indonesia
Produser : BNI, The Body Shop, Hilo
Durasi : 9 menit 58 detik
Bahasa yang digunakan : Indonesia


Yuk, hemat penggunaan energi!



Film animasi berjudul “Petualangan Banyu dan Elektra Menyalakan Kota” merupakan seri ketiga dari rangkaian film petualangan Banyu tentang kepeduliannya terhadap kota di mana ia tinggal. Serial film animasi pertama diproduksi pada tahun 2009, dengan judul “Petualangan Banyu Bersama Titik Air”. Seri kedua berjudul “Petualangan Banyu di Negeri Sampah”, diproduksi pada tahun 2011.

Pembuatan film animasi “Petualangan Banyu & Elektra Menyalakan Kota” ini merupakan kolaborasi antara Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota. Greeneration Indonesia adalah sebuah organisasi kewirausahaan yang bergerak di isu lingkungan, sedangkan Sahabat Kota  adalah sebuah komunitas di Bandung yang memiliki kepedulian terhadap tumbuh kembang anak-anak perkotaan dalam mengenal, berinteraksi dan peduli lingkungan.

Film animasi ini diawali dari kebiasaan Banyu yang menghidupkan semua alat elektronik di rumah saat malam hari. Ibu Banyu sudah mengingatkan untuk tidur, tetapi Banyu masih saja menonton televisi. Sementara itu, lampu meja, kipas angin dan radio masih terus menyala. Meski kipas angin menyala, Banyu tetap merasa kepanasan. Ia pun memutuskan untuk menyalakan pendingin ruangan. Tepat saat Banyu menekan remotependingin ruangan, semua alat elektronik berhenti berfungsi. Seluruh ruangan menjadi gelap! Tak hanya di rumah, ternyata listrik di seluruh kota juga padam. Banyu semakin terkejut ketika sekonyong-konyong muncul seorang anak perempuan dengan kain berkibar di punggungnya, seperti super hero. Anak perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Elektra. Elektra hadir bersama teman ciliknya, bernama Ion.

Dengan gelembung udara, mereka mengajak Banyu untuk berpetualang mengelilingi kota dan menyelidiki mengapa listrik di kota tersebut mati. Banyu melihat seluruh rumah dalam kondisi gelap. Kota kehabisan listrik. Bagaimana bisa, kota kehabisan listrik? Elektra pun menjelaskan, bahwa hampir semua masyarakat di kota tersebut sangat boros dalam menggunakan listrik. Itu sama artinya dengan menggunakan energi secara berlebihan. Padahal kebutuhan listrik untuk setiap alat elektronik cukup besar dan beragam.Misalnya, untukmenyalakan radio dan lampu belajarmembutuhkan listrik sebanyak 12 watt/jam. Kipas angin butuh 103 watt/jam, TV butuh 68 watt/jam dan AC butuh 430 watt/jam. Dapat dibayangkan, bila dalam waktu bersamaan masing-masing rumah menyalakan beberapa peralatan elektronik, berapa jumlah kebutuhan energi listrik dalam satu RT, RW, kelurahan bahkan satu kota?

Akhirnya Banyu dan Elektra memadamkan peralatan listrik yang tidak diperlukan, lalu menghitung kebutuhan energi listrik kota tersebut dengan ketersediaan energi yang ada. Hasilnya? Listrik di kota Banyu menyala!

Pagi harinya, Banyu terbangun dari tidur dan memulai hari dengan menyalakan listrik secukupnya. Saat ia berangkat ke sekolah, ternyata Banyu bertemu dengan Elektra yang sesungguhnya.

Inti dari film ini adalah mengenai ajakan untuk menghemat listrik. Oleh karena itu, WWF sebagai produser film ini sekaligus pencetus kampanye gerakan Earth Hour, memasukkan muatan kampanye gerakan Earth Hour ke dalam dialog antara Elektra dan Banyu sebagai berikut : "Kita juga bisa ikutan gerakan Earth Hour lho, semua orang diseluruh dunia mematikan lampu secara bersamaan untuk hemat energi."

Gerakan Earth Hour ini telah berlangsung dalam kehidupan yang sesungguhnya sejak tahun 2007, diawali di Kota Sydney, Australia. Ini merupakan ajakan bagi seluruh dunia, baik perumahan maupun perkantoran untuk memadamkan listrik selama satu jam, setiap hari Sabtu terakhir di bulan Maret.

Hal lain yang menarik di film ini, Banyu menganalogikan gerakan menghemat listrik dengan cara mengatur uang jajan. Kalau uang jajan dipakai berlebih, maka akan cepat habis. Bagi anak-anak, analogi yang sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari tentu lebih mudah diingat. Film animasi ini sangat mengedukasi dan menarik, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga kita semua. Bisa jadi, setelah menonton film ini anak-anak akan mengingatkan orang tua atau orang-orang di rumahnya untuk menghemat penggunaan energi listrik.

Selain itu, Greeneration Indonesia dan Sahabat Kota juga membuat modul tentang isu hemat energi yang sudah diujicobakan di sekolah-sekolah sekitar Bandung. Akan digunakan secara subsidi silang agar banyak pihak yang bisa mendapatkan manfaat dari film dan modul ini.

Karena film ini ditujukan untuk anak-anak, ada baiknya dibuat ilustrasi proses tentang bagaimana sumber energi ini berasal, diambil dan dimanfaatkan oleh manusia. Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa energi listrik berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti batu bara, air dan gas. Artinya, jumlah sumber daya alam penghasil energi listrik ini terbatas dan bisa habis. Dari gambaran ini, anak-anak akan memahami pentingnya menghemat penggunaan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, diharapkan timbul kesadaran tinggi dari setiap orang untuk berhemat energi (apapun itu), agar tidak menghabiskan lebih cepat dari dihasilkannya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui di bumi ini.

Hemat energi itu juga bisa dilakukan dengan menyalakan listrik secukupnya, dan mematikan selebihnya. Tidak cukup hanya satu jam, satu hari atau satu tahun. Tapi untuk seterusnya, selama bumi ini masih ada dan manusia tidak serakah.

Kami anjurkan pula untuk menonton petualangan Banyu episode sebelumnya, yang tidak kalah seru dan asyik. Semuanya ini untuk membangun kesadaran dan kepedulian anak-anak terhadap isu air, sampah dan energi.
Selamat menikmati.

(Melly Amalia)

[TIPS] Pengembangan Diri Aktivis


Aktivis, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah seseorang dengan jabatan tertentu, seperti anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita, lingkungan, ataupun pendidikan yang bekerja aktif dan mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Menjadi aktivis adalah sebuah pilihan, pilihan untuk mengembangkan hal-hal yang menjadi fokus keberpihakannya untuk “ditularkan” kepada masyarakat luas bersama dengan komunitas atau organisasinya. Misalnya, seorang aktivis lingkungan akan terus berusaha untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bisa diterapkan dalam masyarakat luas agar lingkungan lestari dan berkelanjutan sampai masa yang akan datang. Contoh konkritnya, suatu LSM lingkungan hidup akan melakukan kegiatan kampanye Zero Waste(nol sampah) kepada masyarakat luas beserta solusi-solusi yang ditawarkannya, dengan harapan setelah kampanye tersebut selesai, masyarakat yang telah
dibinanya tersebut dapat mengurangi atau bahkan menerapkan gaya hidup “nol sampah” dalam kegiatan sehari-harinya.
Akan tetapi bagi seorang aktivis, untuk mendorong keberpihakannya menjadi keberpihakan masyarakat luas tentu tidak mudah. Banyak hal yang perlu ditingkatkan untuk mencapai visi misi organisasi. Salah satunya, adalah dalam  hal pengembangan diri aktivis itu sendiri agar mampu menjadi orang yang penuh dengan ide-ide segar, inovatif, kreatif, serta berwawasan luas.
Sumber : http://notes.fredkhos.com/2012_05_01_archive.html

Bagaimanakah cara melakukan pengembangan diri bagi aktivis itu? Berikut tips yang bisa teman-teman aktivis lakukan untuk pengembangan diri tersebut:
1.     Perbanyaklah membaca. Pepatah mengatakan, “membaca adalah gudangnya ilmu”. Dengan membaca, selain wawasan keilmuan kita lebih meningkat,  ide untuk melakukan suatu hal yang sebelumnya tidak terpikirkan menjadi terlintas dalam pikiran kita, dan ide tersebut muncul salah satunya ketika kita membaca.
2.     Berdiskusi dan observasi. Melakukan diskusi, observasi, serta brainstorming dengan para pakar, teman, masyarakat, tentunya juga akan menambah wawasan keilmuan kita. Kita biasanya akan lebih peka dan memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat ketika kita telah berbaur dengan mereka, salah satunya adalah dengan melakukan diskusi dan observasi (pengamatan). Jadi, selain menambah wawasan keilmuan ataupun ide, berdiskusi dengan banyak orang juga bisa menambah pertemanan ataupun networking.
3.     Mengikuti training/workshop/seminar dan mempraktekkannya. Dengan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan fokus kegiatan komunitas/organisasi masing-masing aktivis, kiranya para aktivis dapat menambah intelektualitas diri  sebagai salah satu cara untuk mengembangkan diri. Salah satu contoh adalah ketika seorang aktivis lingkungan mengikuti pelatihan menulis, dan kemudian mempraktekkannya dengan cara menuliskan ide-idenya  di media sosial seperti blog. Hal tersebut dilakukan supaya orang lain tahu apa yang menjadi cita-cita seorang aktivis lingkungan sekaligus mengampanyekan isu pelestarian lingkungan hidup dan berharap cita-cita atau ide tersebut menjadi panutan yang lain.
4.     Selalu bersifat terbuka terhadap kritik dan saran yang disampaikan oleh orang lain. Ambillah selalu hikmah terhadap masukan dari orang lain, jangan cepat tersinggung.
5.     Mampu mengevaluasi diri dan kekurangan diri.
6.     Berteman dan bergaul dengan siapapun yang sekiranya bisa memberikan dampak positif terhadap perkembangan diri kita.
7.     Bergabung dengan komunitas yang memperkaya motivasi dan wawasan terkait dengan isu yang sedang teman-teman aktivis perjuangkan.
Masih banyak lagi cara untuk mengembangkan diri bagi masing-masing aktivis, karena tips ini masih hanya sebagian kecil saja. Semoga ke depannya aktivis semakin mampu mengembangkan dirinya, termasuk visi misi yang ia miliki, sehingga tercapai transformasi masyarakat ke arah yang lebih baik.


SRI RATNA WULAN
Pemegang Beasiswa Unggulan Kemdiknas 2011
Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Unpad
Konsentrasi Manajemen SDA/LH
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...