Editorial Pro:aktif Online, edisi Desember 2013

Salam inspiratif dan transformatif!

Di penghujung tahun ini, Pro:aktif Online hadir di tengah-tengah Anda dengan tema “Seni Untuk Perubahan”.

Telah kita ketahui bersama, seni merupakan proses kreativitas manusia, yang berasal dari ide, gagasan, luapan perasaan yang diekspresikan melalui media tertentu, sehingga orang lain dapat turut menikmatinya dan dapat turut mengapresiasi pesan yang disampaikan oleh pembuat karya seni tersebut. 

Dalam edisi ini, kami ingin mengajak pembaca untuk mengulik lebih jauh mengenai seni maupun karya seni yang berperan serta dalam menyuarakan tema-tema yang menjadi keprihatinan masyarakat, antara lain : kemanusiaan, lingkungan dan sosial.

Pada rubrik Pikir yang dibawakan oleh David Ardes Setiady, pembaca diajak untuk merenungkan bersama mengenai pengaruh seni dalam kehidupan manusia. Pembaca diajak pula untuk merenungkan tentang bagaimana apabila ekspresi untuk berkesenian itu dibungkam dari manusia itu sendiri.

Berlanjut ke rubrik Opini, Selly Agustina berpendapat bahwa seni untuk perubahan sebaiknya menyatu dengan masyarakat. Hal ini didukung pula oleh jawaban para responden Kail yang dipaparkan di rubrik Masalah Kita, bahwa sebuah karya seni merupakan media yang tepat untuk menyuarakan keprihatinan sosial, kemanusiaan maupun lingkungan.

Untuk melihat contoh nyata dari seni untuk perubahan, di rubrik Media pembaca dapat melihat berbagai aksi seni yang berperanserta dalam menyuarakan keprihatinan masyarakat, yaitu Arpillera, Seni Perca untuk Perubahan yang ditulis oleh Melly Amalia dan Rubrik Jalan-Jalan berisi sekelumit kisah tentang pendidikan seni di Kuba yang ditulis oleh Dhitta Puti Sarasvati.

Pada rubrik Profil, Pro:aktif Online melalui artikel yang ditulis oleh Dayan D. Layuk Allo, memotret seorang seniman dan sepak terjangnya dalam menyuarakan keprihatinannya, yaitu R. Soehardi, seorang seniman pelukis yang lantang meneriakkan kegelisahannya terhadap fenomena sosial politik yang terjadi di negeri ini.

Pada rubrik Tips, melalui tulisan Ibu Tini MF, pembaca akan disuguhkan pengalaman nyata dirinya sebagai aktivis yang berjuang untuk perubahan nyata di lingkungan sekitarnya, melalui karya seni yang dihasilkannya.

Semoga dengan edisi ini, pembaca semakin terbuka wawasannya terutama dalam hal  seni, dan bagaimana seni dapat digunakan untuk mendorong ke arah perubahan sosial dan lingkungan.

Selamat menikmati!

[Profil] Pelukis Hardi : Wangsit Perubahan Melalui Seni


Seneca menulis, semua seni adalah tiruan alam. Tiruan dari alam, yang dikenali semua manusia melalui proses berkesadarannya menjadi mahluk berbudaya. Selain alam raya di kekinian kita, juga boleh ‘alam-alam’ lain yang dikenal oleh sang seniman.

‘Seni sebagai peniruan’ menjadi alat penggambaran alam oleh para manusia berkesadaran, yang kita sebut seniman. Ada kalanya menampilkan fenomen-fenomen proses alam semata, namun lebih banyak yang menjadikan bumi dan langit sebagai ruang untuk menyorot jejak-jejak keberadaan manusia. Lewat para seniman, perubahan makin nyata tergambar dan terabadikan di bumi.

Seni lukis gua jaman purba melaporkan musim-musim perburuan hewan. Arsitektur Borobudur
menatahkan jalan hidup menuju nir-vana. Tugu Selamat Datang diciptakan Henk Ngantung untuk menyambut masa depan sebuah bangsa muda. Tak boleh lupa, hidup berkesenian para ‘peniru alam’ itu sendiri dapat dibaca sebagai bukti eksistensi seniman untuk perubahan.

Saya beruntung dapat berkenalan secara pribadi dengan salah satu ‘peniru alam’ itu. Pelukis senior yang amat kreatif dan energetik, Hardi. Baru saja, sejak September 2013 lalu.

Sama seperti banyak orang, yang merasai Orde Baru, saya hampir selalu mengkaitkan nama Hardi dengan lukisan potretnya yang menghebohkan, sang pelukis berbusana Presiden RI. Belakangan baru saya tahu, lukisan yang dibuat pada masa jaya Pak Harto itu sengaja ia beri judul Presiden RI Tahun 2001, Suhardi.


Perkenalan memberi kesempatan, juga kemudahan, memahami sosok yang hampir tiap dasawarsa meninggalkan catatan perubahan yang bermakna untuk dunianya. Di era 1970-an ia menolak ‘wajib’ Realisme-Sosial dalam praktek pendidikan seni rupa yang sedang ia jalani. Di era 1980-an menolak status-quo kepemimpinan nasional, berakibat dirinya ditindak penguasa.

Hardi kembali dengan semangat perubahan di era 1990-an, lewat pemunculan organisasi Himpunan Pelukis Jakarta. Kemudian di era  2000-an mendeklarasikan pembaruan pada aliran seni lukis yang ditekuninya melalui gagasan Neo Pop-Art.

Di puncak kematangannya, Hardi yang telah berusia kepala enam, kembali lagi dengan beberapa gebrakan beruntun. Tahun 2010 ia mengingatkan bangsa dan penguasa akan pusaka budaya yang makin asing, melalui pameran ‘Keris for the World’. Tahun 2011 di muka para wakil rakyat yang berlalu-lalang, Hardi melukiskan gedung DPR sebagai sebuah WC umum, sebagai tanda protes atas parlemen yang bermewah-mewah.

Pelukis Hardi dan keris rancangannya. Sumber: www.antarafoto.com 

Tahun 2013 ia menggebrak dengan buku berwarna ‘Wayang for the World’ karya pertama putera bangsa. Masih belum cukup, pada Oktober 2013 dalam Masamoan Budaya Pusaka Pakuan di Bogor, Hardi mempresentasikan karya seni Jangker (Kujang-Keris). Sebuah wangsit dari seorang empu Majapahit mendorongnya menggagas rekonsiliasi retak budaya antara Sunda dan Jawa pasca Perang Bubat .

Pada Hardi, berkesenian tampak sebagai proses yang berkelanjutan dalam menanggapi situasi sosial kemasyarakatan dan proses bernegara. Seringkali cukup dengan menggambarkannya dalam kanvas dua dimensi. Namun pada waktu yang tepat ia segera tahu posisi kepemimpinan strategis yang harus diisinya demi sebuah perubahan.

Tidaklah cukup dengan mengekor tren atau patuh doktrin anti kemapanan untuk mampu menyuarakan perubahan dalam kurun 40 tahun di tengah menjamurnya kelas menengah yang kurang peka sosial. Diperlukan intuisi murni seniman pemberani dan jiwa merdeka seorang yang berkesadaran dewasa untuk dapat melakukan hal tersebut.

Hardi telah dan masih melakukannya. Ia tak ragu mengucapkan dan menuliskan ungkapan lugas di ruang publik, semisal: tidak terjadi sinkronisasi antara yang memimpin dan yang dipimpinsekelompok orang merasa paling benarpartai politik memproduksi koruptortelevisi kerjanya mengadu domba para tokoh palsu; dan sebagainya. Ungkapan yang menyegarkan para pencinta perubahan.

“Maka setiap hari terjadilah ‘goro-goro’, yaitu instabilitas makro dan mikrokosmos,” demikian Hardi menyimpulkan hari-hari kekinian kita bersama. Sang pelukis senior tetap sadar panggilannya ‘meniru alam semesta’. Bila perlu, dengan disemangati oleh wangsit dari leluhur yang berada di alam lain. (Bogor, Enam Desember 2013)

Dayan D. Layuk Allo:
Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005. Sempat belajar di ITB dan STF Driyarkara.
Menjadi LEAD International Fellow sejak 2000.
Kini turut dalam Sustainable Bogor Initiatives (SuBI) yang dirintis sejak 2013 oleh YPB/LEAD Indonesia.

[Pikir] Pengaruh Seni Dalam Hidup Manusia


Oleh: David Ardes Setiady

Seni untuk individu berguna untuk mengasah rasa sehingga hidup menjadi berwarna-warni dan lebih bersemangat. Sementara di sisi lain, seni memiliki fungsi sosialnya sebagai media komunikasi, yaitu untuk menyebarkan pesan-pesan sosial. Bilamana kemudian posisinya di tengah masyarakat, apakah memihak rakyat atau menjadi alat propaganda penguasa semata, menjadi hal lain yang dapat diperdebatkan. Namun, seni perlu dilihat lagi dalam perspektif manfaat bagi perkembangan diri manusia, di mana manusia semakin menemukan dirinya melalui seni.

SENI DAN MANUSIA


Seni merupakan proses kreativitas manusia, yang berasal dari ide, gagasan, luapan perasaan
yang diekspresikan melalui media tertentu, sehingga orang lain dapat turut menikmatinya dan dapat turut mengapresiasi pesan yang disampaikan oleh pembuat karya seni tersebut. Manusia sangat erat dengan pesan-pesan, yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui seni, manusia mewariskan pesan-pesan kehidupan, sebuah kebijaksanaan untuk mengatasi tantangan kehidupan. Metafora alam diceritakan dengan penuh pesona dalam sebuah cerita legenda, ataupun diterjemahkan ke dalam tari-tarian ataupun juga nyanyian. 







Seni adalah produk budaya manusia yang usianya sudah sangat tua, di setiap peradaban pasti menunjukkan bentuknya. Memang tidak semuanya mengalami nasib yang cukup baik untuk bisa sampai di tangan generasi masa kini, sebagian rusak tidak terawat, bahkan sebagian dimusnahkan karena alasan kepercayaan. Namun, seni terus mengalir dari generasi ke generasi, memperbaharui bentuknya yang kontekstual terhadap jaman. Misalkan, lakon Odiesus yang tersohor dari jaman Yunani kuno, hingga masa kini kerap dipentaskan oleh grup-grup teater. Ataupun, cerita Romeo dan Juliet yang hingga hari ini menjadi simbol kisah percintaan yang tragis. Karya seni tersebut berjalan menembus ruang dan waktu, mendapatkan tempatnya di generasi masa kini.



SENI VS KEKUASAAN

Seni yang sejatinya adalah kegiatan mengekspresikan ide, gagasan, bahkan perasaan, terkesan tidak memiliki hubungan apapun dengan yang namanya politik. Namun, sejarah di beberapa tempat, memperlihatkan betapa seni bisa terasa menakutkan bagi pihak berkuasa hingga ia dirasakan perlu untuk dibungkam. Larangan diberlakukan dengan tegas dan keras, yang melanggar akan langsung ditahan tanpa proses peradilan, atau bahkan dihilangkan seolah-olah tidak pernah lahir.

Seni sangatlah subjektif, namun memiliki kekuatannya yang masif ketika ia disebarkan untuk dinikmati dan diresapi pesan yang terkandung. Tak heran, pihak berkuasa berulang kali mengupayakan sebuah pengendalian terhadap seni, hasilnya?

Marilah kita melihat sejenak ke belakang, apa yang pernah terjadi pada seni di negeri ini.


Majalah TEMPO edisi 30 September 2013, menurunkan edisi khusus tentang LEKRA, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang dalam perjalanan sejarah disalahpahami sebagai bagian dari PKI. LEKRA, dalam ulasan TEMPO, disebutkan memiliki sikap kebudayaan bahwa seni untuk rakyat. Lebih lanjut, dipaparkan aktivitas para seniman dan pendidikan seni yang dilakukan kepada para pelaku seni dengan “turun ke bawah”, yang kemudian disingkat menjadi “turba”. Hal ini bertujuan agar seniman terhubung dengan realitas kehidupan masyarakat sehingga dalam berkesenian, karya seninya memiliki arti yang sungguh hidup. Memang prinsip yang dipegang LEKRA cukup keras, karena pendirinya menganggap “bila seniman hanya menghasilkan seni untuk dirinya sendiri, ia tidak memiliki arti”. Pada masa itu, LEKRA mendorong seni benar-benar hidup di masyarakat dan hidup untuk masyarakat. Berbagai pagelaran dan pameran diadakan pada hari-hari peringatan besar seperti HUT Kemerdekaan, HUT PKI, dan HUT LEKRA. Dari catatan TEMPO, kehidupan seniman berada pada taraf yang “layak” karena disokong oleh LEKRA, tentu dengan aturan yang harus diikuti.

Sayang seribu sayang, ketika seni dijadikan sebagai alat propaganda dan kehilangan ruhnya sebagai media ekspresi jiwa, bahkan fungsi sosialnya pun dikebiri. Ketika Orde Baru mendapatkan panggungnya di negara yang waktu itu sedang bergolak, LEKRA diberangus dan seni dikendalikan oleh pemerintah melalui lembaga sensor. Seni tidak lagi bebas, dibendung atas nama keamanan. Seniman yang karyanya dianggap mengancam kekuasaan akan diciduk, dipenjara, atau bahkan dibunuh. Pemerintah mengecilkan peran dan fungsi seni menjadi hanya sekedar hiburan, seniman direduksi sebagai penghibur semata. Posisi seni makin lama mengambang dalam posisinya yang eksklusif kepada mereka yang secara khusus mengabdikan diri untuk seni, seni tidak lagi menjadi bagian di dalam kehidupan manusia Indonesia.

Cerita lain, yang sudah cukup sering didengar adalah kisah seorang Pramoedya Ananta Toer, novelis yang telah diakui oleh dunia luar. Novel almarhum sarat nilai historis dan unsur budaya yang kental, memotret feodalisme yang kerap membelenggu masyarakat Indonesia. Sayang, pemerintah malah menganggap novel-novel Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer) sebagai ancaman, sehingga diberangus dan bahkan Pram sendiri dipenjara tanpa proses peradilan. Pramoedya Ananta Toer, masih memiliki hubungan dengan LEKRA karena ketika masih muda pernah bergabung dengan tim redaksi Harian Rakjat, harian yang berada di bawah naungan LEKRA. Hidup Pram mungkin tidak pernah tenang pada rezim Orde Baru, namun produktivitasnya tetap tajam pada masa “pembuangan” oleh pemerintah. Goresan pena menggurat tajam menjadi novel Bumi Manusia, yang dijadikan salah satu bahan belajar mengenai sastra Indonesia. Pemerintah bisa berupaya membungkam kegiatan seni Pram, namun kreativitas terus mengalir bahkan di balik jeruji besi. Novel-novel yang dituliskan oleh Pram berisikan pesan yang kuat tentang kesewenang-wenangan pemerintah. Novel tersebut bukan sekedar hiburan semata, yang membuat pembaca terenyuh lalu menutupnya tanpa kesan yang mendalam. Novel Pram meninggalkan kesan yang mendalam untuk para pembacanya, mengingatkan para pembacanya tentang salah satu episode kehidupan di bumi Indonesia pernah ada kesewenang-wenangan.

Masih banyak kisah pembungkaman terhadap seni yang dilakukan oleh para pihak berkuasa, biasanya karena menganggap karya seni tersebut adalah ancaman bagi kekuasaan. Para pelaku seni ditangkap, bahkan dibunuh hanya demi membungkam seni yang bisa memacu gelora perubahan. Kepekaan dan kegelisahan para pelaku seni terhadap situasi yang memasung kreativitas, dikhawatirkan memantik semangat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Seni pada masanya tidak pernah hanya sekedar seni yang dikagumi semata, namun menghadirkan kesadaran tentang apa yang terjadi pada lingkungannya.

SENI DALAM KEHIDUPAN

Seni pada posisi tertentu memiliki dimensi yang begitu luas, sedangkan bagi mata yang awam, mungkin seni dipandang hanya pada produk lukis semata. Padahal, produk seni begitu beragam. Namun yang paling penting bukanlah produk seninya, melainkan proses kreatif yang terjadi. Seni membantu manusia untuk memahami dirinya, sesamanya, dan dunianya. Mungkin akan ada pihak-pihak yang merasa terganggu dengan karya seni yang dihasilkan, dengan berbagai alasan. Namun, kita harus ingat bahwa proses kreatif sejatinya tidak dapat dibendung.

Memang di masa sekarang ini, produk teknologi sedang diagung-agungkan, begitupun dengan aktivitas ekonomi yang menjadi kegiatan utama kehidupan dari sejak lama. Ketika manusia abai terhadap seni yang menjadi wadah untuk meneduhkan jiwanya yang sedang gundah dan penuh tanda tanya, manusia menjadi sakit karena tidak mampu mengendalikan amarahnya. Kita lihat di kota-kota besar seperti Jakarta, sangatlah mudah untuk memantik kerusuhan, sedikit gesekan yang dibumbui dengan embel-embel penistaan agama sudah bisa menjadi kekacauan sosial. Masyarakat Indonesia saat ini sering goyah karena jarang berkesenian, seni jauh dari keseharian. Kebanyakan memosisikan diri sebagai penonton ketimbang pelaku, banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari tidak berbakat, tidak mampu, tidak pantas, dll.

Sesungguhnya berkesenian tidak memerlukan kemampuan atau keterampilan khusus, karena untuk mengekspresikan ide, gagasan dan perasaan bisa dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Tidak ada yang berhak untuk menghakimi, menilai apakah karya seni kita bagus atau tidak. Kita harus berkesenian karena di dalamnya adalah proses pertumbuhan, pematangan diri dengan mengekspresikan ide, gagasan, perasaan yang ada di dalam diri secara berkala. Tanpanya, manusia akan menjadi makhluk yang “kosong” karena tidak mampu mengekspresikan dirinya.


David Ardes Setiady

Lahir di penghujung tahun 1984. Tertarik dengan tema pengembangan diri, menyadari memiliki sisi introvert yang cukup kuat. Menjejakkan kaki di Bandung sejak tahun 2003 untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Pernah belajar tentang hipnoterapi yang seutuhnya dipergunakan membantu orang-orang yang membutuhkan. Saat ini menjadi staff KAIL, secara khusus sebagai trainer Cara Berpikir Sistem.

[Masalah Kita] Mengangkat Seni Sebagai Ekspresi Keprihatinan Masyarakat


Oleh: Navita Astuti

“Kesenian sekarang 90% bisu. NIR POLITIK. Lembaga seni dikuasai birokrat jejadian, atau seniman mediocre, sehingga mereka menjadi hamba sahaya.”

Pernyataan tersebut dicetuskan oleh seorang seniman pelukis dan budayawan, R. Soehardi (62 tahun) dalam jawaban kuesioner yang kami sebarkan ke sekian banyak seniman di Indonesia. Sebuah pernyataan yang mengkritik dunia seni jaman sekarang, terutama di nusantara ini. Apa pasal dunia seni Indonesia menjadi bisu?

Gaya hidup masa kini yang serba instan dan praktis bisa saja menjadi salah satu penyebabnya. Sesuatu yang instan, didapatkan secara cepat,
namun dinikmati sementara saja. Kenikmatan yang dihasilkan pun hanya menyentuh permukaan, tak membekas hingga ke dalam sanubari. Karya seni pun dipandang dari permukaannya saja. Orang lebih suka membahas kecanggihan alat, kerumitan pembuatan maupun kecanggihan teknik yang digunakan dalam sebuah karya seni. Orang-orang mengabaikan pembahasan mengenai roh dan latar belakang yang menggerakkan seniman dalam menghasilkan karya seni tersebut.

Di sisi lain, gerusan arus komersialitas turut mempengaruhi karya para seniman. Seniman-seniman tak lagi berkarya sesuai idealisme masing-masing, melainkan mengejar keuntungan demi memuaskan selera pasar.

Anggapan masyarakat luas bahwa berkiprah di bidang seni itu tak menjanjikan masa depan, turut mempengaruhi kebisuan karya seni di Indonesia. Karya seni dianggap tak ada manfaatnya, selesai dinikmati, lalu dibuang begitu saja. Karya seni adalah sampah. Inilah anggapan umum yang turut menyumbang pada kebisuan dunia seni Indonesia.

Karya Seni yang Peduli
Meski kesenian di Indonesia mengalami kebisuan, namun ada beberapa seniman yang justru menjadikan seni sebagai ‘senjata’ untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap fenomena sosial kemasyarakatan. Mereka menganggap karya seni merupakan media yang tepat untuk menggerakkan masyarakat untuk peduli pada isu sosial, politik maupun lingkungan hidup. Sejumlah 4 orang seniman dari sekian banyak seniman yang kami kirimi kuesioner, menyatakan hal tersebut.

Vivera Siregar (fotografer), sebagai salah satu responden kami menjelaskan, dalam fotografi terdapat genre human interest, yang mengabadikan fenomena sosial kemanusiaan. Karya fotografi seperti ini dapat menjadi media yang tepat untuk menggambarkan kondisi lingkungan, serta beragam manusia dengan segala aktivitasnya.

Fotografi human interest, karya Vivera Siregar

Responden lainnya menyuarakan keprihatinan mereka melalui seni lukis. Namun, tak hanya sekedar corat-coret di atas kanvas, karya lukis yang mereka hasilkan menyiratkan makna. Pelukis Hardi, responden kami yang lain misalnya, pada tahun 1978 membuat karya grafis berupa foto dirinya sebagai presiden sebagai bentuk kritiknya terhadap tekanan pemerintah Orde Baru yang represif dan militeristik. Tetap konsisten dengan suara hatinya, di tahun 2011, beliau melakukan demo melukis di depan gedung DPR sebagai pernyataan menolak dibangunnya gedung baru.  

Dari Pergulatan Hingga Solusi untuk Masa Depan
Berbagai dampak dituai atas hasil karya seni yang dimaksud di atas. Ada banyak apresiasi maupun geliat masyarakat atas karya seni tersebut, namun tak jarang mendapat kecaman, bahkan penangkapan karena karya seni yang dianggap terlalu vokal. Pelukis Hardi pun mengalami penangkapan tersebut di tahun 1978, ketika ia memasang lukisan grafis foto dirinya dengan pakaian jenderal serta mengenakan bintang, serta memberi judul lukisan tersebut “Presiden tahun 2001”.

Aksi Melukis R. Soehardi di depan gedung DPR. Sumber : www.portaltigaimage.com

Tantangan lainnya yang dihadapi antara lain adalah kurangnya apresiasi dari masyarakat terhadap karya seni yang dihasilkan. Patricia Siswadi, responden kami menyatakan, “…tingkat kegencaran dalam menggulirkan kreasi seni yang mengangkat masalah-masalah keprihatinan (sosial kemasyarakatan, red.) tersebut kurang. Tantangannya adalah bagaimana pelaku seni yang memiliki keprihatinan sosial memiliki kreativitas untuk mengajak masyarakat luas lebih menyukai dan lebih memilih seni –seni yang bernuansa keprihatinan sosial daripada isu-isu romantika saja.

Ungkapan senada juga diucapkan oleh Vivera Siregar sebagai seniman fotografi, “Tidak semua orang mempunyai kepekaan terhadap seni, tidak semua orang bisa memahami pesan yang terkandung dalam sebuah foto. Dan tugas fotografer lah untuk menyampaikan pesan tersebut, mengemasnya dengan cara terbaik, agar pesan dapat diterima oleh masyarakat.”

Menjawab tantangan tersebut, maka para responden kami memberikan saran-saran agar karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial kemasyarakatan dapat semakin menggugah keberpihakan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

Baiknya, para pekerja seni itu down to earth, mensosialisasikan "seni"-nya kepada lingkungannya; membumikannya, mengajak sekitar untuk turut "merasakan" seni. Dengan demikian, seni akan menjadi baur dengan masyarakat umum dan bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.” ~ Vivera Siregar, fotografer human interest.
“… yang jelas, para penggiat seni harus peka terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat, dan secara intensif mengadakan event-event kesenian untuk meningkatkan apresiasi masyarakat.” Buletin Kamuning, seni lukis.

“… berkarya dengan cerdas, populer, dan berani menyebut dirinya SENIMAN.” ~ Pelukis Hardi.

Peduli pada persoalan sesama dan lingkungan adalah hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan bermasyarakat. Bentuk kepedulian pun bermacam-macam bentuknya. Entah itu dalam bentuk aksi solidaritas yang sesuai dengan profesi setiap orang, memberikan donasi maupun sumbangan, atau mengekspresikannya dalam media tertentu seperti seni.

Segala bentuk solidaritas tentu memiliki tantangannya masing-masing. Namun demikian, bukanlah perjuangan jika tanpa hambatan maupun tantangan. Jika perjuangan tak dijalani, maka ia tak akan membawa makna dan perubahan bagi pelakunya. Oleh karena itu, meski jalan yang ditempuh terjal dan mendaki, inilah tugas yang sebaiknya diemban oleh para seniman Indonesia. Menjadikan karya seni mereka sebagai karya yang membumi dan menyatu di masyarakat. Membuat masyarakat mencintai karya-karya seni di sekitar mereka, agar turut serta bergerak dan berpihak kepada kaum tertindas dan terpinggirkan.

Semoga.




Navita Kristi Astuti
Penulis adalah ibu dari dua anak. Menyenangi dunia tulis menulis dan craft. Ia ingin sekali dapat berbagi kepada orang lain melalui tulisan.



[Opini] Seni yang Merakyat


Oleh: Selly Agustina

Bagi saya, sebagai pengamat dan pelaku seni, adalah  suatu kesenangan dan  kepuasan hati ketika dapat menuangkan ekspresi diri saya dalam kegiatan melukis, bermain musik atau menulis. Kenikmatan dalam mengekspresikan diri melalui seni tentu dialami oleh orang lain juga. Orang-orang yang menyebut dirinya seniman, mengekspresikan diri melalui seni, dan mencapai aktualisasi di bidang ini.

Namun demikian, pernahkah pembaca  berpikir bahwa seni bisa mempengaruhi suatu tatanan politik dan sosial di dalam masyarakat? Meski banyak kalangan seniman mempertahankan karya seninya bebas nilai, namun perkembangan seni kontemporer saat ini  tidak terlepas dari pengaruh sistem sosial dan politik yang ada. 

Kita ingat pada masa revolusi kemerdekaan di tahun 1945, bahwa
seni muncul di tembok-tembok bangunan dengan kata-kata bersifat agitatif seperti: “Merdeka ataoemati!” “Oesir Kompeni!” dan lain-lain. Kata-kata dengan esensi yang sama juga muncul pada karya Affandi yaitu “Boeng, ajo Boeng!” Kekuatan perpaduan antara gambar dan kata-kata bisa menggerakkan kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Di sini kita lihat fungsi seni sebagai media komunikasi.



Seni kontemporer muncul dari sekelompok seniman yang mencetuskan jalan alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap seni modern yang terkesan ekslusif. Meskipun hanya sebagai alat atau media, seni ternyata juga berperan dalam propaganda atau advokasi yang berpotensi mempengaruhi perubahan sosial.  Akhir-akhir ini, kita sering melihat seni pertunjukan (performance art) pada kegiatan demonstrasi para aktivis, dan hal ini mengundang rasa ingin tahu khalayak.

Seni mural atau graffiti adalah bentuk perlawanan lainnya. Namun, ada pihak tertentu menganggap bahwa seni mural adalah bentuk vandalisme, merusak estetika bangunan dan fasilitas umum. Ada yang menganggap graffiti lahir karena kurangnya ruang publik untuk berekspresi di tengah arus komersialisasi oleh korporasi atas ruang-ruang publik.  Di sisi lain, saat ini ruang-ruang publik kita sudah dipenuhi oleh polusi visual berupa baliho caleg ataupun iklan-iklan produk yang mendorong pada budaya konsumerisme.


Seni Mural di Babakan Siliwangi, Bandung. Sumber : www.bandungview.info


Seni yang disebut di atas muncul dan berkembang pesat di belahan bumi lain seperti Eropa dan Amerika sejak tahun 80-an, yang dikenal dengan istilah street art. Salah satu yang menjadi favorit saya yaitu Banksy, seorang seniman jalanan sekaligus aktivis yang vokal menyuarakan isu politik maupun lingkungan melalui karyanya di jalanan London. Seniman graffiti tersebut tidak pernah diketahui wujud aslinya tetapi ketenarannya melebihi selebriti sehingga karyanya memiliki nilai jual sampai jutaan dolar.  

Di Bandung sendiri ada nama Arman Jamparing yang mengundang kekaguman saya berikutnya. Seniman yang sudah aktif turun ke jalan sejak masa reformasi itu lebih memilih untuk menyalurkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial-politik lewat coretan-coretan di ruang publik. Akhir November lalu saya berkesempatan menghadiri pameran seni karya Arman Jamparing di sebuah galeri seni besar dan terkenal di Bandung.  Pameran seperti ini tentu memberi peluang bagi keprihatinan Arman Jamparing untuk disebarluaskan kepada khalayak, bahwa ruang publik pun dapat dimanfaatkan secara elegan untuk meneriakkan keprihatinan sosial politik melalui seni. Keprihatinan tak lagi hanya dimiliki oleh seniman tersebut, tetapi meluas ke audiens yang menghadiri pameran tersebut.

Di bidang musik, ada Kartika Jahja atau lebih dikenal dengan panggilan Tika, seorang vokalis dari sebuah grup musik Tika and The Dissidents. Selain menjadi vokalis, Tika dikenal sebagai aktivis perempuan yang concern terhadap isu gender dan persamaan hak. Tika menulis sendiri lirik dalam lagu-lagunya. Sebut saja lagu “Mayday” yang bermuatan kritik politik yang tajam dalam membela kaum buruh. Mungkin banyak yang kurang mengenalnya di dalam negeri, tetapi lagunya menarik perhatian banyak orang di mancanegara bahkan menjadi lagu resmi serikat buruh di Detroit pada hari buruh. Tidak perlu disangsikan lagi kualitas musikalitas dan intelektualitas Tika yang merupakan lulusan Seattle ini. Dia mendapat banyak pujian dari para kritikus musik karena berhasil menggabungkan berbagai macam aliran music seperti jazz, blues, dan tango, dengan lirik yang kritis.

Yayak Yatmaka, seorang seniman lukis yang juga menciptakan lagu-lagu yang berpihak pada masyarakat. Lukisan-lukisannya mencerminkan kritik kerasnya terhadap pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru. Lagu-lagu ciptaannya dinyanyikan dan disebarluaskan oleh para aktivis mahasiswa maupun pendamping masyarakat, bahkan sering dinyanyikan pada saat demonstrasi untuk menyalakan semangat para demonstran, seperti lagu “Topi Jerami”, “Rakyat Bersatu”, “Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan” dan lainnya.

Beliau tahu betul, bahwa media seni, dalam hal ini ia menggunakan media gambar sebagai ‘senjata’nya untuk berjuang menyuarakan keprihatinan sosial dan politik. Berikut adalah cuplikan tulisan dari buku yang ditulisnya, “Aku berharap segala pemahaman yang diperoleh dari buku ini bisa menjadi landasan untuk menentukan pilihan keberpihakan dan penyadaran diri serta selalu awas. Setidaknya menjadi bahan untuk katarsis. Jadi tahu, bahwa di sebalik gambar, memang nyata persoalan hidup mati manusia. Bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kehidupan bersama menjadi lebih bermartabat.”

Karya Yayak Yatmaka. Sumber : yayak-yatmaka.blogspot.com 

Tak sedikit karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial maupun lingkungan mendapat kecaman dari pihak yang merasa digugat. Bahkan tak sedikit pula yang dikejar-kejar oleh pihak berwenang di jaman itu, dengan maksud untuk membungkam ekspresi seniman tersebut.  Penguasa yang diktator tentu tak ingin rakyat bangkit melawan penindasan dan ketidakadilan.Seniman yang berpihak pada rakyat lemah  memandang seni sebagai corong ekspresi jiwa, meneriakkan kegelisahan yang mereka rasakan. Mereka turut peduli dengan fenomena sosial, lingkungan maupun politik melalui karya seni mereka. Kesemuanya itu adalah ekspresi kegelisahan jiwa mereka atas peristiwa maupun fenomena yang tengah berlangsung di sekitar mereka.

Di sisi lain, masyarakat memang perlu diajak untuk peduli. Masyarakat perlu menuntut hak mereka untuk terlaksananyapemerataan keadilan, terhindar dari penindasan dan terlepas dari perbudakan. Menggugah masyarakat melalui sebuah karya seni adalah salah satu pilihan, dan sesungguhnya adalah suatu bentuk kebebasan dalam berekspresi setiap warga negara.

Adalah pekerjaan rumah bagi kita semua, untuk mempertahankan karya seni yang mampu menyuarakan keprihatinan masyarakat. Para seniman dengan karya seninya bersama-sama dengan rakyat perlu bersatu pada arah perjuangan yang sama. Seni dan masyarakat perlu saling melengkapi, karena seni merupakan ekspresi yang otentik dari jiwa manusia. Seni sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Seni yang hakiki adalah seni yang peduli pada pemerataan keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia.



[Media] ARPILLERA : Sebuah Seni Perca Untuk Perubahan

Oleh: Melly Amalia

Jarum jahit, jarum pentul, benang sulam, kain perca dan kain dasar menjadi rangkaian bahan pembuatan Arpillera. Dalam proses pembuatannya, biasanya kita berimajinasi dulu, membayangkan akan membuat apa dan pesan apa yang ingin disampaikan, lewat sebuah pola gambar yang bercerita. Bukan hanya sekedar memanfaatkan kain perca, tapi ada suatu maksud di balik itu. Melainkan seni perca untuk melakukan perubahan.

Penulisan Arpillera yaitu A-r-p-i-l-l-e-r-a, tapi pengucapannya menjadi ‘Arpiyera’. Arpillera adalah sarana menyampaikan pesan, mengekspresikan suatu maksud melalui media kain perca. Arpillera umumnya melukiskan kehidupan sehari-hari, kejadian atau peristiwa tertentu baik dari pengalaman pribadi maupun dari orang lain. Bisa juga mengandung rekaman suatu peristiwa sejarah. Dalam dunia aktivis, Arpillera biasa digunakan untuk mengatasi trauma
dan menjadi bagian dalam proses fasilitasi. 


Bagaimana asal muasal munculnya Arpillera? Arpillera berasal dari Chile, Amerika Latin. Bermula pada tahun 1973, ketika pemerintah yang sah, presiden sosialis Salvador Allende digulingkan oleh Augusto Pinochet melalui sebuah kudeta militer. Ribuan aktivis pro-Allende ditangkap dan sebagian besar dibunuh, dan ribuan orang hilang. Pembunuhan dan penculikan itu dilakukan terhadap kaum lelaki yang dicurigai sebagai pemberontak. Amnesty International di Amerika Latin, memperkirakan sebanyak 90.000 orang hilang di masa kediktatoran Pinochet dalam 20 tahun terakhir.

Akhirnya tinggal kaum perempuan, terutama para ibu yang merasakan dampak kehilangan suami atau anak lelakinya. Saat mencari informasi kehilangan sanak saudaranya, mereka saling bertemu dan bercerita satu sama lain mencurahkan isi hatinya. Pihak Gereja Katolik mulai menyadari kegelisahan ini dan lewat Vikariat Solidaritas menjadi wadah berkumpulnya para aktivis HAM, yang berani menyerukan pelanggaran HAM di masa kediktatoran militer.


Kaum ibu terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mencari nafkah dengan menjahit. Jadi mereka bisa bekerja sambil mengasuh anggota keluarga yang masih kecil. Mereka menjahit sambil berbagi cerita dan berbagi informasi tentang anggota keluarganya yang hilang.

Dari sinilah lahir seni sulam Arpillera. Arti sesungguhnya Arpillera adalah 'kain goni', namun demikian dalam proses pembuatannya menjadi kain perlawanan. Curahan hati ibu-ibu yang dituangkan ke dalam potongan kain yang bercerita ini, kemudian diselundupkan ke luar negeri dan akhirnya meluas ke dunia internasional. Dalam Arpillera tersebut ada gambaran tentang bangunan yang hancur, proses penculikan yang terjadi, demo kaum ibu, juga harapan mereka tentang perdamaian, cinta dan keadilan.



Tahun 1990, rezim diktator Pinochet runtuh. Meskipun begitu, ibu-ibu pembuat Arpillera tetap melanjutkan perjuangan mereka, dengan menuliskan sejarah lewat kain perca, agar menjadi bukti bagi generasi mendatang.


Di Indonesia, dari beberapa cerita teman-teman aktivis, Arpillera digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap korban bencana alam Tsunami dan gempa di Aceh, korban gunung Merapi di Jogja dan korban penggusuran di Jakarta. Pengalaman saya sendiri pertama kali membuat Arpillera bercerita tentang pemisahan tempat sampah. Latar belakang saya membuat ini karena rasa keprihatinan dengan sistem pengelolaan sampah yang ada. Kalaupun ada tempat sampah, pembuangannya selalu tercampur. Jadi pesan yang ingin saya sampaikan sangat sederhana, yaitu pisahkan sampah dari awal.

  




Pengalaman David, salah seorang staf Kail lain lagi. Dia pernah membuat Arpillera dengan tema kehidupan malam di perkotaan. Yang ingin dipaparkan adalah aktivitas manusia di malam hari, ada yang sudah tidur lelap dan di sisi lain ada yang masih hura-hura dengan datangnya malam. Ini menjadi pengalaman belajar tentang seni untuk menyuarakan kepedulian sosial. Walaupun pembuatan Arpilleranya belum selesai, tapi ini menjadi pengalaman belajar, dimana dia jadi tahu tentang adanya gerakan perubahan yang lembut namun sangat kuat. 



Membuat Arpillera tidak perlu keterampilan khusus, cukup dengan keterampilan menjahit menggunakan tusuk feston sebagai dasar ilmu menjahit dan keterampilan memadupadankan warna. Saya yakin setiap pasti bisa membuat Arpillera. Seni perca yang bukan sekedar berkreasi dengan kain, melainkan memiliki maksud dan pesan yang ingin disampaikan untuk membawa perubahan.





Melly Amalia
Penulis adalah ibu dua orang putri Rahima dan Raifa.
Aktivitas keseharian bermain bersama anak-anak, menjadi bagian keluarga besar Kail sebagai koordinator Pelatihan dan Lokakarya dan juga terlibat dalam kampanye zero waste YPBB.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...