Editorial Edisi 11

Era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Itulah sebutan Noami Wolf, seorang feminis Amerika untuk abad 20. Gaung kebangkitan itu terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi di dalam sistem patriarkhi. Tidak terkecuali di Indonesia.
Aktivis-aktivis perempuan Indonesia seperti tidak kenal lelah berjuang. Dalam setiap perjuangan itu tentunya tidak hanya suka yang dialami, tetapi juga duka. Perihal Suka Duka Aktivis Perempuan itu juga yang Pro:aktif angkat sebagai tema edisi 11 ini. Pada rubrik Profil diangkat Nenek Della, seoarang pemimpin kampung di Jakarta, yang merupakan sosok aktivis perempuan yang tak tunduk pada usia, tak takluk pada hidup. Pada Masalah Kita, menampilkan Satu Episode Sedih Romantisme Aktivis Perempuan yang ditulis oleh teman aktivis perempuan dari Aceh, Yusmadaniar. Masih dari Aceh, Tabrani Yunis, Direktur CCDE Banda Aceh, menulis untuk opini berjudul Lelaki Aktivis Perempuan.
Pada rubrik Pikir, diulas tentang peran ganda perempuan di bawah judul tulisan Multi Beban atau Multi Peran: Ketidakadilan atau Anugerah?. Masih berhubungan dengan peran ganda perempuan, pada rubrik Tips, akan diulas bagaimana Sukses di Rumah dan di (Ber)kegiatan. Sementara untuk Media, diangkat dua jenis media yang tentunya berhubungan dengan perempuan; resensi film produksi GROOTs International yang berjudul From Disaster To Creativity (Dari Bencana Menuju Kreativitas) dan resensi buletin POTRET terbitan CCDE Banda Aceh. Dari Jalan-Jalan, mengulas Balai Perempuan yang dikembangkan oleh FSWW (The Foundation for the Support of Women's Work) sebuah LSM yang memperjuangkan perempuan di Turki.
Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan KAIL, Jangan lewatkan Bagi-Bagi Cerita dan Info Kegiatan. Oh ya, pada Info Associates, Anda akan berkenalan dengan dua associates dan dua staff baru KAIL, plus penawaran menarik dari KAIL. Sudah penasaran mau lihat penawaran apa ya??? Eit tunggu dulu, masih ada satu rubrik lagi yaitu si bontot alias new comer, yaitu rubrik Wawancara. Pada rubrik ini, akan disajikan hasil wawancara dengan beberapa aktivis seputar tema yang dipilih. Untuk edisi kali ini diangkat hasil wawancara tiga aktivis perempuan dengan tema Ketika Aktivis Perempuan Menjatuhkan Pilihan.
Silahkan mulai membaca dari artikel manapun. Bebas!
Selamat Membaca,
Redaksi

[Profil] Nenek Della; Tak Tunduk Pada Usia Tak Takluk Pada Hidup

Dalam satu masa kehidupan seseorang, ada kalanya seseorang ’terduduk kalah atas hidupnya sendiri’. Ada yang tetap ’duduk’, meratap, menangis meraung tanpa berusaha untuk bangkit melupakan penderitaan dan menatap masa depan. Namun, sosok lembek seperti itu tidak akan kita temui pada profil Proaktif kali ini, Nenek Della, seorang pemimpin kampung (community leader, CL) UPC Jakarta.
Penderitaan dan sedih bertubi-tubi sempat menghampiri Nenek Della yang dilahirkan pada hari terakhir (31 Desember) tahun 1950 di Palembang ini. Ia pernah merasa hidupnya hancur dan sudah tidak ada masa depan lagi buatnya. Beberapa teman, Rasdullah dan istrinya, selalu menyemangati Nenek Della untuk bangkit, untuk tidak selalu bersedih. Caranya yaitu dengan berorganisasi. Harapannya, dengan bertambahnya teman dan kesibukan, tentunya kesedihan lama kelamaan akan hilang. Nenek Della diajak bergabung dalam kegiatan-kegiatan UPC.

Akhirnya Nenek Della mulai ikut di kegiatan-kegiatan UPC. Pada awalnya ia susah menyesuaikan diri. Tapi lama kelamaan ia makin tertarik dengan kegiatan-kegiatan di UPC dan sedikit-sedikit mulai melupakan kesedihannya. Kegiatan pertama yang diikutinya adalah kelompok tabungan. Sekarang ia masuk ke bagian advokasi.
Pekerjaan sehari-hari Nenek Della selain aktif di UPC adalah, mengerik dan mencuci kemasan gelas air mineral. Untuk 2000 kemasan (1000 ngerik ditambah 1000 nyuci) ia dibayar sebesar Rp. 10 000,-. Uang ini tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk menghidupi satu anak, satu menantu dan tujuh orang cucu. (Satu orang menikmati Rp. 1000,-/harinya).
Nenek Della, sangat bangga kepada cucu-cucunya. Cucu-cucunya yang tidak hanya berpangku tangan melihat keadaan hidup mereka. Seperti cucunya yang tertua, Peggi, kelas 2 SMU, dibebaskan dari membayar uang sekolah karena tidak segan membantu pihak sekolah membersihkan kelas-kelas di sore hari. Bukan hanya Peggi yang tidak perlu membayar uang sekolah, seorang adiknya yang bersekolah di sana pun kecipratan.
Cucu Nenek Della yang lain, Angga, kelas 5 SD, tidak segan mencari ikan ke pelelangan di dekat rumah mereka yang berada di Kebon Tebu, Muara Baru, Jakarta Utara. Ikan-ikan tersebut lalu dijual dan biasanya Angga berhasil membawa uang Rp.6 000,- sampai Rp.7 000. Uang tersebut tidak digunakan untuk jajan, tetapi untuk membayar uang sekolah.
Kebanggaan dan sayang yang teramat untuk cucu-cucunya ini yang membuat Nenek Della tetap semangat untuk terus berjuang untuk melawan ketidakadilan ataupun perlakuan semena-mena dari penguasa terhadap rakyat miskin kota.
”Situasi yang membuatku tetap semangat untuk berjuang di UPC... Karena bukan hanya untukku, tetapi juga buat anak cucuku. ”
Meskipun, tanda-tanda tak muda lagi sudah sangat terlihat pada sosoknya. Rambut yang sudah tidak hitam lagi, kulit yang sudah banyak keriput atau pun gigi yang sudah tak lengkap lagi. Usia yang sudah senja dan fisik yang tak kokoh lagi itu, tidak mempengaruhi semangatnya, tidak mengurangi lantang suaranya ketika berorasi mendemo penguasa dan tidak mengurangi kegesitannya mengunjungi rakyat miskin kota lain yang menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa.
Tekad sudah bulat, ”selama masih bernafas, tidak akan berhenti berjuang”.
Nenek Della, sosok aktivis perempuan yang tak tunduk pada usia, pun tak takluk pada hidup. (Lola)

[Pikir] Multi Beban atau Multi Peran: Ketidakadilan atau Anugerah?

Tini (33th), adalah seorang perempuan yang telah menikah dan memiliki satu orang anak. Sebagai perempuan muda yang cerdas dan terampil, di tempat kerjanya Tini dipercaya sebagai manajer personalia. Setiap hari ia bangun pukul 04.00, lalu mulai mengerjakan pekerjaan rutinnya: memasak, membuatkan kopi dan jus untuk anak dan suami, menyiapkan pakaian anak dan suaminya, membangunkan dan memandikan anaknya, serta menyiapkan anaknya ke sekolah juga menyiapkan dirinya untuk ke kantor. Pukul 06.00 mereka sekeluarga pergi, suaminya ke kantor, anaknya ke sekolah dan dia sendiri ke kantornya. Pulang dari kantor, Tini langsung ganti pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makan malam, memandikan anak, menemani anak mengerjakan tugas dan belajar, serta menidurkan anaknya.
Rutinitas seperti ini ia jalani dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu biasanya ia isi dengan mencuci dan menyetrika, ikut pengajian dan arisan di RT, dan menemani anak bermain di taman kota. Sedangkan hari Minggu biasanya ada pertemuan ibu-ibu Dharma Wanita ataupun kelompok PKK. Tini mesti ikut pertemuan ini walaupun ia malas sebenarnya, karena Tono suaminya adalah pegawai negeri yang sedang dipromosikan jabatannya. Demi menunjang karier sang suami, Tini diminta untuk aktif dalam kegiatan Dharma Wanita dan juga kegiatan-kegiatan lainnya di kantor Tono.
Kisah Tini di atas adalah sebuah kisah ”biasa” yang dialami oleh banyak perempuan di Indonesia.
Sebagai seorang perempuan, sejak kecil telah dikonstruksi dan disosialisasi dengan peran gender tertentu. Peran gender perempuan adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif dan domestik, misalnya mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci, dll. Sebagai istri dan ibu, seorang perempuan sekaligus dituntut untuk berkorban dan melayani suami dan anak-anaknya. Walaupun ia bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah (biasa disebut kerja produktif), tetap saja sebagai perempuan ia dituntut untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (biasanya disebut kerja reproduktif). Sebagai warga RT dan umat agama tertentu, perempuan biasanya yang mengambil peran membangun relasi sosial dengan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan. Belum lagi jika sang suami adalah pegawai negeri atau pegawai di kantor tertentu yang menuntut istri untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan di kantornya sebagai upaya menunjang karier sang suami. Peran yang terakhir ini biasanya dikenal sebagai peran sosial.
Ketiga peran atau kerja ini, yaitu kerja reproduktif, produktif dan sosial, biasanya hanya di”harus”kan bagi perempuan. Kerja atau peran yang dikonstruksi dan disosialisasi ini menjadi beban yang bertumpuk bagi seorang perempuan. Dari seluruh pekerjaan, perempuan mengerjakan lebih banyak tapi dibayar lebih rendah. Jam kerja dan curahan tenaga kerja perempuan lebih banyak dari laki-laki. Bahkan, seorang ibu pernah berkata pada saya bahwa ia merasa sangat bersalah ketika ia ingin berjalan-jalan di pertokoan sekedar untuk bersantai sejenak. Ia merasa egois karena harus meninggalkan anak dan suaminya untuk ”bersenang-senang”. Hidup bagi seorang perempuan (ibu) adalah untuk membahagiakan keluarganya (yang berarti anak dan suaminya-seringkali tidak termasuk dirinya).
Kondisi beban yang bertumpuk ini biasanya dikenal sebagai istilah ”Multi Beban”, dan oleh kalangan feminis disebut sebagai salah satu dari lima bentuk ketidakadilan gender (Stereotiping/pelabelan/citra negatif, kekerasan, multi beban, marjinalisasi/peminggiran secara ekonomi, dan subordinasi/penomerduaan).
Sekarang, kita lihat kelanjutan kisah Tini-Tono dua puluh tahun kemudian:
Tono (65th) baru saja memasuki masa pensiunnya. Perayaan pelepasan diadakan besar-besaran di kantornya dan juga di rumahnya. Tini dan Sofie, anaknya sibuk memasak dan menyiapkan pesta di rumah. Semua kerabat dan handai taulan hadir untuk mensyukuri masa purna kerja Tono. Pada minggu-minggu awal masa pensiunnya, Tono sungguh menikmati kebebasan hidupnya. Kini ia terbebas dari kewajiban untuk berangkat kantor dan bekerja 8 jam sehari. Ia bisa berjalan-jalan dan tidur semaunya, menonton film dan berbelanja. Tapi, setelah satu minggu, semua tempat sudah ia datangi, semua film sudah ia tonton, tidurpun sudah puas. Ia mulai bosan dan kesepian di rumah sendiri, karena Sofie bersekolah sedang Tini sekarang menjadi asisten direktur yang semakin sibuk. Tono ingin beraktifitas lagi, ia mencari-cari kesibukan di rumah. Ia ingin membuat kejutan untuk istri dan anaknya dengan membuat pesta kecil-kecilan. Ia ingin mulai dengan membersihkan rumah dan mendekorasinya, kemudian masak makanan istimewa. Tapi, ketika ia memulai pekerjaannya, Tono kesulitan mencari alat-alat rumah tangga yang ia butuhkan. Ia juga tidak tahu caranya mengepel dengan alat pel yang mereka punya, tidak tahu dimana letak pisau dan alat dapur, tidak tahu cara menyalakan kompor, juga tidak tahu segala macam bumbu yang ada. Tono akhirnya frustasi, ia menggagalkan rencananya. Ia akan membuat kopi saja untuk dirinya. Tapi sekali lagi ia tidak tahu dimana Tini menyimpan kopi dan gula, dan berapa ukuran kopi dan gula yang biasa Tini buat untuk dirinya.
Ketika Tini pulang, Tono mulai bertanya-tanya banyak hal tentang urusan rumah tangga pada Tini. Dasar sudah mulai tua, Tono suka lupa hal-hal yang sudah dikatakan Tini sehingga kerapkali Tono mengulangi pertanyaan yang sama. Akhirnya Tini ikut frustasi juga.
Tono sekarang berpikir untuk mengalihkan kegiatannya di luar rumah. Ia yang biasanya menjadi pemimpin di tempat kerja dan rumahnya akan mati kebosanan kalau hanya duduk diam di rumah seperti orang jompo. Ia mencoba ikut kegiatan di lingkungannya, tapi kebanyakan kegiatan itu dihadiri oleh ibu-ibu.
Nah, kasus si Tono ini biasanya dikenal sebagai ”Post power syndrome”, yang memang seringnya berjangkit pada bapak-bapak yang sudah mulai pensiun atau tua. Mereka yang biasanya bekerja produktif-menghasilkan uang yang notabene simbol kekuasaan; dan juga biasanya menjadi pemimpin, sekarang harus kehilangan semuanya. Ketika mereka ingin beralih ke kerja reproduktif dan sosial, seringkali mereka ”kagok ” atau tidak terbiasa.
Pembagian peran gender yang berujung pada Multi beban bagi perempuan, ternyata punya dampak juga bagi laki-laki. Beban berlipat di satu sisi menjadi multi-ketrampilan di sisi lain, yang bisa menjadi bekal untuk bertahan hidup (jika si subyek belum keburu ’tewas’ karena keberatan beban- dengan kata lain jika ia menjadi survival). Sebaliknya, kekuasaan yang berlipat di satu sisi mendatangkan ’kuasa’ tapi juga keterpurukan ketika ia hilang. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan multi peran/kerja menjadi keterbatasan modal untuk bertahan hidup ketika kuasa tidak ada lagi. (ID)

[Masalah Kita] Satu Episode Sedih Romantisme Aktivis Perempuan

Oleh: Yusmadaniar Hanum - Manager Program LSM PERAK-Pidie
Mungkin semua orang pernah mengalami sedih, namun sedih yang kurasa agak berbeda. Pada saat seorang gadis beranjak dewasa banyak cerita yang ingin dia banggakan: cerita manisnya bersama teman juga sang kekasih. Persoalan-persoalan di masyarakat mungkin akan bisa segera terpecahkan (masyarakat pengungsian), ada berbagai jalan keluar yang bisa ditempuh. Namun, berbeda dengan persoalan yang kuhadapi. Pada saat Aceh ini dinyatakan sebagai daerah konflik, aku menjadi salah satu aktivis perempuan yang siap dengan konsekwensi apapun. Ketika itu, aku tidak pernah resah dengan keamananku, makan, pakaian dan penampilan. Aku hanya resah terhadap keadaan masyarakat / orang-orang yang terjebak diantara dua pilihan; dukung GAM mati, tidak dukung GAM juga mati. Lokasi rumah mereka menjadi ajang pertempuran dan akhirnya mereka mengungsi untuk mencari tempat aman bagi anak dan istri mereka ke sebuah jalan, yang juga merupakan jalan pintas tujuan kampusku. Aku kuliah di salah satu kampus swasta yang ada di Aceh.

Pada kondisi seperti itu, kebanyakan perempuan hanya berdiam di rumah, tanpa bisa melakukan apapun. Mereka hanya akan keluar jikalau diperlukan saja. Sebagai seorang anak perempuan, tentulah pada umumnya susah mendapatkan ijin untuk bisa terjun dalam kegiatan sosial, ditambah lagi aku dititipkan di tempat adik ibuku di sini. Selain bekerja sebagai relawan di pos mahasiswa, aku juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) walaupun pada saat itu masih sebagai anggota biasa.

Boleh dikatakan, langkah yang kutapaki berjalan dengan baik dan mulus. Tapi untuk semua itu, aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan orang tua, keluarga dan sekelilingku. Bahwa aku menjadi aktivis bukan berarti menjadi perempuan yang ngak benar. Keluargaku khawatir jika Aku nantinya akan diperkosalah, diculik GAM, atau dibuang mayatnya.

Itu hanya garis besar ketakutan keluarga besar ibuku saja. Namun langkahku tak pernah surut selangkahpun. Karena komunikasi yang terus kubangun dengan ibuku, akhirnya beliau mengizinkan dan mengikhlaskanku untuk membantu rakyat lemah dan melawan penindasan. Ibuku tidak pernah menyangka kalau Aceh seperti yang kuceritakan. Ijinnya di seberang kota yang tak berakses konflik, membuatku yakin terus untuk melangkah, berjuang melawan penindasan.

Terbukti sekarang, aku dikatakan orang sukses dari teman-teman seangkatanku yang dulu menjadi mahasiswa patuh terhadap orang tua. Tentu dibalik semua itu banyak persoalan yang kuhadapi. Disamping dari persoalan-persoalan yang ada di lapangan dan organisasi yaitu masalah hati / perasaan. Kondisi ini lama kelamaan membuatku terbiasa dan sudah kebal.

Ada beberapa kali hubungan yang terjalin, namun akhirnya putus di tengah jalan. Ini disebabkan beberapa hal, yaitu persoalan waktu, pandangan (aliran), penampilan / style dan juga pekerjaan. Namun yang menjadi persoalan utama dari retaknya hubungan itu antara lain dikarenakan pandangan dan pekerjaan. Sebagai seorang aktivis ternyata berbagai persoalan, apakah itu persoalan keluarga, lingkungan juga pribadi, harus siap kuhadapi. Ini sangat berat, karena keluarga calon pasanganku menolak bila berhubungan dengan seorang aktivis. Dari sang pujaan, juga agak berat atau sangat berat merelakan kekasih atau calonnya bekerja sebagai seorang aktivis / pekerja sosial di masyarakat. Hal ini, sempat membuatku hampir putus asa untuk meyakinkan tentang pekerjaanku.

Rasa percaya diriku tak luntur, meskipun Aku harus kehilangan sang pujaan hati, karena prinsipku, hidup hanya sekali dan apa yang bisa kulakukan selama kuhidup? Kalau kita tidak bisa berguna bagi orang sekitar/ lain, maka manusia itu akan rugi. Inilah yang membuatku terus mantap melangkah untuk terus berjuang membela rakyat kecil, lemah tuk melawan ketertinggalan. Aku yakin suatu saat Aku akan menemukan orang yang pantas dan sesuai denganku. Insya Allah.

[Opini] LELAKI AKTIVIS PEREMPUAN

Oleh Tabrani Yunis
Director Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Dalam acara Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jakarta, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, tanggal 28-31 Agustus 2006, terdapat beberapa laki-laki sebagai peserta dan juga panitia. Kehadiran beberapa lelaki di tengah – tengah lebih kurang 300-an peserta aktivis perempuan tersebut, memang seperti mengundang sedikit perhatian bagi beberapa perempuan yang hadir. Namun, bagi para aktivis perempuan kehadiran atau keterlibatan beberapa lelaki sebagai peserta dan panitia dalam acara tersebut, bukanlah hal yang asing. Karena kehadiran laki-laki dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan yang termarginalkan oleh berbagai faktor tersebut, sudah lazim ditemukan. Khususnya dalam dunia LSM, kini sudah banyak kaum laki-laki yang secara langsung dan sadar berjuang bersama kaum perempuan untuk mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan marginal baik yang berada di perkotaan, maupun di pedesaan. Ada yang secara individu aktif di dalam masyarakat dan ada pula yang memperjuangkannya melalui organisasi-organisasi seperti organisasi non pemerintah ( ORNOP). Pendeknya, baik secara individu maupun melalui institusi Ornop, kini banyak laki-laki terlibat langsung memperjuangkan perbaikan nasib kaum perempuan yang terpuruk.

Kehadiran laki-laki dalam gerakan perjuangan perempuan di tanah air maupun dalam konteks global, memang belum sepenuhnya bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari perjuangan perempuan. belum semua pihak yakin dan bisa menerima kehadiran laki-laki dalam pergerakan itu, apalagi yang disebut dengan lelaki aktivis perempuan atau lelaki feminist. Lelaki aktivis perempuan atau laki-laki yang feminist, memang belum sepenuhnya bisa dipercaya atau diyakini dengan sungguh-sungguh oleh para perempuan. Penolakan atau ketidakpercayaan tersebut karena banyak perempuan yang melihat citra diri laki-laki dalam perspektif yang penuh dengan rasa was-was. Bahkan ada yang berkata, bagaimana seorang laki-laki aktivis atau laki-laki feminis bisa memperjuangkan hak dan nasib perempuan. Dalam perpekstif ini laki-laki dikatakan akan tetap laki-laki. Artinya, laki-laki akan kembali pada ego kelelakiannya. Benarkah demikian?
Kiranya, pandangan demikian tidak selamanya bisa dikatakan benar. Namun, juga tidak bisa secara serta merta dikatakan salah. Dikatakan demikian, karena dalam realitas keseharian, pandangan yang radikal terhadap laki-laki tersebut memang sering terbukti. Ketika, para perempuan merasa sangat kagum terhadap seorang laki-laki yang dalam kehidupannya sangat concern memperjuangkan perbaikan nasib perempuan, memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, banyak yang tidak konsisten dengan perjuangan tersebut. Lelaki yang dipandang dan dilabelkan sebagai lelaki feminist atau lelaki aktivis perempuan, ada yang tidak bisa mengontrol komitmen yang telah dibangun. Seorang laki-laki aktivis perempuan atau seorang laki-laki yang feminist, sebenarnya memiliki rambu-rambu yang harus dijaga dan dipatuhi, kalau ingin menjadi seorang aktivis atau feminist. Misalnya, menjaga hal-hal yang tidak merugikan atau melecehkan perempuan. Idealnya, seorang aktivis perempuan atau lelaki feminist memang secara totalitas menjalankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai aktivis dan feminist yang dianut. Seorang aktivis perempuan dan atau lelaki feminist, diharapkan bisa menyelaraskan antara kata dan perbuatan. Artinya, menjadi seorang aktivis atau seorang lelaki feminist, bukan hanya ada pada ujaran atau ucapan-ucapan yang diekspresikan secara lisan, tetapi juga sesuai dengan perbuatan atau pendeknya, diimplementasikan dalam rutinitas atau kehidupan keseharian.
Seorang aktivis perempuan dan lelaki feminist, juga sangat diharapkan tidak berucap atau melakukan tindakan yang menyakiti perempuan, baik yang bersifat pelecehan, tindak kekerasan maupun tindakan lain yang merugikan kaum perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah tindakan poligami. Karena poligami adalah sebuah tindakan yang merugikan dan melemahkan posisi perempuan. Poligami yang dibenci oleh banyak orang baik laki-laki, apalagi kaum perempuan dan aktivis serta lelaki feminist. Maka, apabila ada di antara aktivis perempuan yang melakukan poligami, para aktivis perempuan dan perempuan secara umum akan mempersoalkan dan menjadikan kasus ini sebagai sebuah tindakan yang sangat menyakitkan. Oleh sebab itu para perempuan akan mengecamnya.
Sebuah perbincangan yang sangat hangat mengenai kasus poligami di mailing list perempuan, bukan lagi kasus poligami yang dilakukan AA Gym. Tetapi kali ini para aktivis perempuan saat ini merasa sangat dikecewakan oleh sikap dan tindakan seorang Ade Armando yang selama ini dianggap sangat concern dengan masalah perempuan. Kekecewaan para perempuan dan aktivis perempuan terhadap sikap dan tindakan Ade Armando yang melalukan poligami bisa kita baca dalam tulisan Adriana Venny , Direktur Jurnal Perempuan di mailing list perempuan pada tanggal 15 Februari 2007 yang menulis dalam tulisannya, Berpoligami di hari kasih sayang. Tulisan itu mendapatkan banyak tanggapan dari peserta yang pada umumnya sangat kecewa terhadap Ade Armando yang sudah terlanjur dianggap pro perempuan.
Berpoligami atau melakukan hal-hal yang merugikan perempuan oleh pihak aktivis dan lelaki feminist memang sangat dikecam. Karena ini sangat dikecam, maka persepsi dan tindakan aktivis perempuan dan lelaki feminist yang merugikan perempuan sering menjadi dilematis apabila tidak bisa berlaku konsisten. Sehingga, tatkala terperangkap dalam jaring keterlanjuran, yang dilakukan adalah berusaha mencari alasan-alasan pembenaran. Dan apabila tidak, maka jalan akhir yang ditempuh adalah jalan akhir dengan ucapan “Aku juga manusia.” Nah, kalau sudah ini jawabanya, maka habislah upaya kita dalam mencari argumentasi. Kondisinya pun menjadi sangat kontroversi.
Agaknya, memang seorang lelaki menjadi aktivis perempuan atau lelaki feminist, memang tidak gampang. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Seorang lelaki aktivis perempuan atau lelaki feminist bisa dipandang miris terutama dari kalangan laki-laki yang kental dengan sifat kelelakiannya. Tantangannya semakin berat ketika tingkat kepercayaan akan keberadaan lelaki aktif dan feminist masih sangat rendah. Dan semakin berat tantangannya tatkala ada orang-orang atau tokoh-tokoh sekaliber Ade Armando, Masdar dan yang lainnya melakukan hal-hal yang kontroversial dengan apa yang seharusnya. Karena dalam realitas yang sedang berjalan, kala kaum perempuan sangat mengecam poligami, kecaman itu seperti disiram dengan tindakan aktivis dan feminist dengan tindakan poligami. Mengecewakan bukan ? Barangkali, sangatlah wajar, kalau kualitas lelaki aktivis dan lelaki feminist diragukan. Wajar pula kalau ada sebuah organisasi atau lembaga dana tidak percaya terhadap lelaki pemimpin sebuah Ornop yang memberdayakan dan menguatkan perempuan.
Dalam kondisi ini, walau keraguan itu masih tinggi, Kita memerlukan keberadaan laki-laki sebagai aktivis perempuan atau sebagai lelaki feminist. Ini perlu agar keterlibatan banyak laki-laki dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas. Dengan membangun sikap laki-laki aktivis perempuan, akan banyak laki-laki yang sadar akan perlunya gerakan bersama membela perempuan. Kalau hilang satu, akan ada laki-laki aktivis perempuan lain yang masih bisa tetap berjuang. Bagaimana rekan-rekan?

[Media] POTRET: Majalah khusus Perempuan di Aceh

Di dalam konstruksi masyarakat yang patriarki, perempuan ditempatkan sebagai obyek. Sebagai obyek, tentunya perempuan hanya dijadikan sebagai ‘si penderita’, ‘ si pelengkap’ ataupun sasaran. Fenomena ‘pengobyekan’ perempuan ini kita lihat hampir di semua sektor, domestik ataupun publik. Untuk yang terakhir, salah satu contohnya di media.
Hal inilah yang dijadikan dasar pemikiran CCDE (Center for Community Development and Education) Banda Aceh, untuk menerbitkan buletin POTRET. Di dalam sebuah edisi, redaksi POTRET mengungkapkan bahwa Perempuan hanya dieksploitasi untuk kepentingan sebuah media yang menafikan potensi dan akses serta kontrol perempuan terhadap media. Idealnya, perempuan adalah sebagai subyek atau pelaku media yang dapat mengembangkan potensi menulis mereka.
Oleh karena itulah POTRET dijadikan sebagai Media Perempuan Aceh, sebuah media pembelajaran bagi perempuan Aceh untuk mengasah kemampuan dan keterampilan menulis. Perempuan diyakini memiliki potensi menulis yang sangat besar. Selain itu perempuan memiliki banyak problema yang penting dan menarik untuk ditulis.

POTRET adalah buletin bulanan yang diterbitkan CCDE dan didukung oleh Hivos. Pada setiap edisinya, POTRET mengangkat tema-tema yang memang sangat menyentuh perempuan. Dari tema Pendidikan yang publik sampai ke tema Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang domestik.
Rubrik-rubrik POTRET terdiri dari: Salam Redaksi, Surat Pembaca, Sorot, Bingkai, Potret Utama, Blitz !!, Profil, Tips, Sastra, Info Program dan rubrik English Version. Isi pada rubrik Salam Redaksi dan Surat Pembaca, sama seperti yang terdapat di dalam buletin / majalah lain. Pada Sorot, menampilkan artikel yang menggambarkan tema edisi yang bersangkutan dan bersifat lebih teoritis. Sedangkan pada bagian Bingkai, yang biasanya terdiri dari beberapa artikel, memuat pendapat, pandangan ataupun pengalaman – pengalaman penulisnya, umumnya bersifat subyektif. Bagian Potret Utama, masih menggambarkan tentang tema utama dan memasukkan langkah-langkah strategis seputar permasalahan dari tema utama. Pada bagian ini terkadang memuat beberapa artikel dan selalu ada artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris (English Version). Blitz ! berisi tulisan-tulisan singkat tentang info Pelanggan, Tips, Agenda Kegiatan CCDE, ataupun pengumuman-pengumuman dari luar CCDE. Sedangkan isi Info Program seperti laporan kegiatan yang dilakukan CCDE. POTRET juga menampilkan rubrik Sastra, yang biasanya memuat cerpen ataupun puisi, yang isinya sesuai tema POTRET.
POTRET yang dimaksudkan sebagai wadah / tempat bagi perempuan Aceh untuk berlatih menulis, meningkatkan kapasitas perempuan Aceh dan hadir dalam rangka membangun budaya menulis di kalangan perempuan Aceh*, kiranya dapat terwujud.
Kemudian, POTRET diharapkan melahirkan "POTRET-POTRET" perempuan Aceh yang tangguh dan cerdas. (Lola)
* Diambil dari Salam Redaksi POTRET edisi September 2006.

[Media] Resensi Film: DARI BENCANA MENUJU KREATIVITAS

Judul : From Disaster To Creativity (Dari Bencana Menuju Kreativitas)
Produksi: GROOTs International
Durasi : 15 menit
Bencana! Kita, masyarakat Indonesia tentu sudah sangat akrab dengan kata tersebut. Bahkan untuk masyarakat di beberapa daerah, kata itu menjadi momok yang menakutkan dan juga menimbulkan trauma. Ya, negara kita memang sering sekali terkena bencana, entah itu tsunami, gunung meletus, badai, gempa, banjir, tanah longsor, dll. Walaupun demikian, tentunya kita tidak boleh larut dalam kesedihan, yang hanya akan membuat kita berputus asa menghadapi masa depan.
Kita tidak sendiri. Bukan Indonesia saja yang pernah mengalami bencana. Honduras, Turki dan India adalah contoh negara-negara yang juga pernah terkena bencana. Namun mereka, khususnya para perempuan di sana, tidak tinggal diam, tidak berpangku tangan saja. Para perempuan juga ambil bagian, para perempuan membangun kembali kehidupan mereka paska bencana. Hal tersebut didokumentasikan oleh GROOTs, sebuah LSM internasional yang peduli terhadap permasalahan perempuan akar rumput di seluruh dunia, ke dalam sebuah film pendek yang diberi judul From Disaster To Creativity / Dari Bencana Menuju Kreativitas”.

Film ini dibuat GROOTs dua atau tiga tahun setelah bencana terjadi. Film ini terbagi atas beberapa bagian. Bagian pertama menggambarkan tentang bencana serta dampaknya di Honduras, Turki dan India. Pada tahun 1998, Honduras mengalami badai dan sekitar 9000 orang meninggal dan ribuan orang luka-luka. Berikutnya digambarkan tentang gempa yang berkekuatan 7,6 skala richter di Turki pada 17 Agustus 1999, yang menyebabkan 17 000 orang meninggal, 44 000 terluka dan 250 000 kehilangan rumah. Kemudian, digambarkan tentang bencana di Gujarat, India. Gempa di sana menyebabkan 20 000 orang meninggal, 267 000 terluka dan 600 000 kehilangan tempat tinggal. Selain dampak fisik, para korban yang selamat juga harus menghadapi masalah sanitasi yang buruk, hidup di tenda sementara yang memprihatinkan untuk beberapa bulan, kesehatan dan makanan yang buruk.
Di bagian berikutnya, terlihat bagaimana para korban, terutama perempuan, setelah bencana bangkit dan mulai menata hidup mereka kembali. Pada saat setelah bencana, banyak sekali bantuan yang datang dan ada ketidakadilan dalam pembagian bantuan, bantuan yang salah sasaran, tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Ditambah lagi, bantuan-bantuan itu tidak berlangsung lama. Menyikapi hal ini, para perempuan pun mengorganisir diri mereka sendiri untuk menghadapi berbagai masalah tersebut. Mereka membentuk kelompok tabungan, kelompok simpan pinjam, mendirikan pusat kegiatan perempuan , tempat penitipan anak, dll.
Pada bagian ketiga, film ini memperlihatkan cara-cara yang diambil oleh komunitas-komunitas perempuan agar mereka bisa aman jika nantinya ada bencana lagi (tindakan-tindakan antisipatif yang mereka lakukan). Di Turki, mereka meminta informasi kepada pemerintah tentang bagaimana cara membangun rumah yang tahan gempa. Setelah itu, mereka berjalan keliling kampung untuk mengontrol kualitas rumah-rumah yang sedang dibangun, sudah tahan gempa atau tidak. Di Honduras, komunitas perempuan mencoba mengajak masyarakat lain untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi, karena mereka selalu was-was akan terkena bencana jika tetap tinggal di daerah yang rendah.
Bagian terakhir film ini, memperlihatkan perubahan-perubahan apa yang diperlukan supaya komunitas-komunitas perempuan bisa bertahan. Langkah awal adalah, perempuan harus belajar dari komunitas perempuan lain, contohnya Turki belajar dari India. Dengan kata lain, terlihat bahwa ternyata perempuan bisa berperan banyak dalam proses penanganan bencana.Namun, peran perempuan itu tidak terjadi secara alamiah, tidak secara otomatis, perlu adanya pertukaran pengalaman dan pengetahuan.
Film yang memperlihatkan keberhasilan-keberhasilan komunitas perempuan di Turki, India dan Honduras ini, kiranya bisa dijadikan sebagai media untuk proses pembelajaran bagi yang lain, bagi komunitas-komunitas perempuan di Indonesia misalnya.

[Tips] SUKSES DI RUMAH SUKSES DI (BER)KEGIATAN

Dalam pengantar sebuah buku, Karlina Leksono, seorang aktivis perempuan, mengungkapkan bahwa dikotomi perempuan dan laki-laki berlanjut ke pemilahan tajam antara dunia publik laki-laki dan dunia domestik perempuan. Hal ini juga yang ‘mengurung’ perempuan di rumah. Pengurungan ini juga berarti pengurungan terhadap kebutuhan perempuan untuk bersosialisasi/untuk bisa juga mengekspresikan dirinya di masyarakat.

Dengan kata lain, ketika para perempuan / ibu-ibu ingin aktif berkegiatan di luar rumah, sering mereka berhadapan dengan keluarga (terutama) suami yang melarang, dengan alasan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk dan juga pakem-pakem lain di masyarakat yang ‘melarang’ perempuan ke luar rumah.

Padahal sebenarnya, perempuan bisa menjalankan peran ganda, di rumah dan di (ber)kegiatan di masyarakat dengan sukses lho... Asal tahu resep dan rumusnya. Berikut di antaranya;
Bagi waktu, buat perencanaan …..pilihlah kegiatan yang benar-benar bermanfaat
Berkegiatanlah di komunitas-komunitas yang lokasinya dekat dari rumah.
Pergi beraktivitas ketika anak-anak ke sekolah dan suami berangkat beraktivitas juga (ketika tugas-tugas rumah sudah selesai).
(Jika harus meninggalkan anak) beri anak-anak pengertian, bahwa berkegiatan itu penting artinya bagi ibu, bahwa dapat membantu menunjang keluarga.
(Jika mendapatkan tantangan dari suami) buktikan kepada suami bahwa dengan aktif di kegiatan tidak akan mengurangi kualitas perawatan terhadap anak-anak, keluarga ataupun ke suami itu sendiri. Malah, setelah aktif berkegiatan, lebih ahli dan mahir melakukan semua perawatan-perawatan tersebut.
Nah, melihat semua itu tentunya si suami akan luluh dan mengizinkan para istri aktif di luar rumah.
(Jika masih belum dapat izin dari suami) bolehlah lakukan sebuah bohong ‘putih’. Misalnya; tempat berkegiatan berada di dekat play group anak. Bilang ke suami bahwa akan pergi ke play group mengantar anak. Setelah tugas mengantar anak selesai, para ibu juga bisa mampir dan berkegiatan di komunitas mereka yang berada tidak jauh dari tempat play group anak.

Poin penting dari semuanya adalah niat dan motivasi yang kuat untuk bisa meningkatkan kemampuan diri.

Selamat berkegiatan...Wahai para aktivis perempuan, kita pasti bisa! (Lola)

[Jalan-jalan] Balai Perempuan Ala Turki melongok pengalaman FSWW - Turki

Segera setelah gempa bumi di Marmara tahun 1989, FSWW (The Foundation for the Support of Women's Work), sebuah yayasan yang mendukung kerja perempuan, mendirikan “Pusat Kegiatan Perempuan dan Anak”.
Kegiatan awal FSWW adalah pendampingan ibu-ibu untuk mengembangkan tempat penitipan anak, pusat pendidikan anak dan pusat kegiatan perempuan di kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan-perempuan di daerah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tersebut bisa menjadi aktor utama di setiap tahap penanganan bencana, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama dengan perempuan-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif di dalam program pembangunan daerah dan di dalam proses pengambilan keputusan.

FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
didirikan tidak berapa lama setelah terjadinya gempa bumi yang menghancurkan segalanya dan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Mereka berpindah dari tenda-tenda penampungan ke tempat-tempat pengungsian sebelum rumah permanen mereka rampung. Di saat ‘kritis’ tersebut, para perempuan sudah mampu membangun sebuah sistem untuk bersama-sama merawat anak-anak, mendistribusikan dan memperpanjang bantuan-bantuan jangka panjang, dan untuk memahami dan mengakses bantuan pendataan rumah dan kegiatan ekonomi mereka. Saat ini, sudah ribuan perempuan ambil bagian dalam proses negosiasi mengenai rumah-rumah mereka, mengumpulkan secara bersama-sama tabungan untuk melunasi rumah permanen yang resmi dan untuk menekan pemerintah lokal agar mau bekerja bersama mereka untuk membangun semua yang telah dirusak oleh gempa bumi.
Yayasan ini didirikan oleh seorang aktivis perempuan yang berasal dari komunitas rakyat miskin di Turki, Sengul Akcar, pada tahun 1986. Tujuan yayasan ini adalah mendukung usaha-usaha perempuan agar bisa mandiri secara finansial, untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan Turki, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.
Kegiatan awal FSWW adalah pendampingan ibu-ibu untuk mengembangkan tempat penitipan anak, pusat pendidikan anak dan pusat kegiatan perempuan di kota Istambul. FSWW juga bekerja sama dengan perempuan-perempuan di daerah bencana, misal di daerah Marmara, agar komunitas-komunitas perempuan di daerah tersebut bisa menjadi aktor utama di setiap tahap penanganan bencana, mulai dari waktu tanggap darurat sampai pada proses rekonstruksi. Sedangkan di bagian tenggara Turki mereka bekerja sama dengan perempuan-perempuan lokal agar lebih berpartisipasi aktif di dalam program pembangunan daerah dan di dalam proses pengambilan keputusan.
FSWW memfasilitasi dan mendukung perempuan untuk mendefinisikan masalah-masalah mereka, menghasilkan pemecahan-pemecahan untuk masalah-masalah tersebut dan untuk membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para perempuan itu sendiri. Kemudian mereka mendirikan “Ruangan Perempuan” (Women’s Rooms), di mana perempuan dapat berkumpul bersama, mendiskusikan masalah-masalah mereka dan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Ini adalah sebuah pintu masuk bagi perempuan untuk menuntut pengadaan sebuah ‘ruang’ untuk memecahkan masalah bersama, menjalankan program penitipan anak, program pelatihan untuk kerajinan tangan, pelatihan tentang pemasaran, simpan pinjam dan bisnis-bisnis kecil lainnya. Di dalam setiap kegitan yang mereka lakukan, perempuan belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan pemerintah untuk membuka peluang partisipasi bagi mereka, baik secara fisik maupun politis.
FSWW adalah salah satu yayasan lokal utama di dalam jaringan GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together in Sisterhood) yang tertarik untuk mendukung dan mendirikan program-program pelatihan, perawatan anak dan peningkatan kegiatan perekonomian oleh perempuan akar rumput sendiri tanpa pengawasan pihak luar yang profesional ataupun dari pemerintah. (Lola)
Sebagian besar informasi diperoleh dari situs GROOTs (Grassroots Organizations Operating Together In Sisterhood). www.groots.org

[Wawancara] Ketika Aktivis Perempuan Menjatuhkan Pilihan

Seseorang adalah teman bagi dirinya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri: dia sendirilah yang menentukan segala sesuatu tentang dirinya.
(Mahabaratha)
Ungkapan di atas, sejalan dengan sikap para aktivis perempuan. Para aktivis perempuan sepertinya sangat paham bahwa setiap langkah / keputusan yang diambil, lahir dari diri mereka sendiri karena memang mereka yang menginginkannya dan siap dengan segala konsekwensinya. Salah satu contohnya, sikap mereka terhadap pernikahan dan memiliki anak.
Para aktivis perempuan menjatuhkan pilihan mereka. Ada sebagian aktivis perempuan yang memilih melajang dan sebagian lagi memilih menikah / berkeluarga. Untuk fenomena yang kedua, terbagi lagi atas tiga kelompok: ada yang memilih menikah dan meninggalkan aktivitas-aktivitas mereka sebelumnya, memilih menikah namun memilih untuk tidak mempunyai anak dan menikah dan memiliki anak.
Tim redaksi berhasil menghubungi beberapa aktivis perempuan dan membicarakan tentang pilihan yang mereka jalani.


Indrasari Tjandraningsih (Mbak Asih,Peneliti Bidang Perburuhan AKATIGA, Bandung)
Mbak Asih menikah dan mempunyai anak. Ia tetap beraktivitas setelah menikah dan memiliki anak. Sebagai seorang peneliti bidang perburuhan dan sering bepergian ke luar kota atau luar negeri, Mbak Asih sering meninggalkan anak-anaknya. Anak-anak tinggal bersama suami dan pengasuh.
Mbak Asih memberikan pengertian kepada anak-anaknya bahwa, seorang ibu harus bekerja. Bukan untuk kepentingan finansial semata, tetapi juga perihal aktualisasi diri si ibu. Namun kerja itu macam-macam. Nah, diberi pengertian lagi ke anak, bahwa ibu mereka peneliti dan akan sering meninggalkan kalian. Mbak Asih juga menjelaskan ke anak-anaknya bahwa ketika ia meninggalkan mereka itu bukan untuk tamasya, tetapi bekerja. Intinya anak tahu kegiatan ibunya. Apa, kapan, di mana dan bagaimana-nya.
Wardah Hafidz (Mbak Wardah,Koordinator UPLINK, Jakarta)
Seperti halnya Mbak Asih, Mbak Wardah memutuskan untuk menikah. Namun, berbeda dengan Mbak Asih, Mbak Wardah memutuskan untuk tidak memiliki anak. Memutuskan di sini memang setelah melewati pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan.
Mbak Wardah mengatakan bahwa di awal-awal pernikahan, dirinya dan suami memang ingin mempunyai anak. Namun, ketika semakin sibuk dengan aktivitas masing-masing, mereka kembali mempertanyakan keinginan mereka untuk punya anak tersebut. Apakah di tengah kesibukan keduanya yang sedemikian padat, mereka bisa mengurus anak? Anak, menurut Mbak Wardah, selain sebagai hadiah atau anugrah juga adalah amanah. Sebagai amanah, merawat dan mendidik anak itu harus sebaik mungkin. Kalau bisa malah seratus persen waktu dan perhatian. Mbak Wardah dan suami tidak mau setengah-setengah. Kembali melihat kesibukan keduanya, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak. Perhatian dan tenaga seratus persennya, dicurahkan ke aktivitas-aktivitas sosial.
Evelyn (Eppel), Bandung
Sebelum menikah, Eppel sempat aktif sebagai relawan di beberapa LSM. Kemudian, ketika “ada lamaran yang datang”, ia memutuskan menikah dan mempunyai anak. Pada awalnya, Eppel sempat mencoba tetap beraktivitas. Namun, ia merasakan bahwa ruang geraknya dalam beraktivitas jadi terbatas karena ada anak dan ia juga belum rela melepas perawatan anaknya ke orang lain (orang lain di sini bukan hanya pengasuh, tetapi juga anggota keluarga yang lain, seperti ayah ibu atau mertua). Hal ini karena ia ingin membesarkan anaknya dengan cara yang menurutnya terbaik, yang mungkin cara-caranya agak berbeda dengan orang lain. Misalnya dengan home-schooling.
Namun, Eppel mengungkapkan bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa ia akan kembali beraktivitas, di bidang apapun.
Dari ‘curhatan’ tiga perempuan aktivis di atas, tergambar bahwa ternyata tidak terdapat keseragaman pilihan. Hal ini tentunya juga berlaku universal. Pilihan, akhirnya tetap menjadi persoalan personal, masing-masing, berikut alasan-alasan dan konsekuensi-konsekuensinya. Dan yang terpenting adalah apakah pilihan itu benar-benar merupakan pilihan bebas, sadar yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan sekedar mengikuti tuntutan sosial semata (Tim Redaksi)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...