[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 23/ AGUSTUS 2019



Salam Semangat Kemerdekaan!

Di bulan Agustus, bulan kemerdekaan ini, Proaktif Online kembali terbit. Kemerdekaan kali ini diterjemahkan sebagai kemandirian dan kedaulatan diri untuk memilih berbagai hal penting dan kebutuhan mendasar dalam kehidupan. “Mandiri Memilih: Berdaulat untuk Memenuhi Kebutuhan Diri” menjadi tema yang dipilih untuk Proaktif Online edisi no.23/2019 kali ini. Bisa memilih berarti merdeka untuk meningkatkan kualitas hidup, meski pilihan yang diambil tidak umum dipilih oleh masyarakat. Peningkatan kualitas hidup berarti tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun meningkatnya juga kepedulian pada makhluk lain dan keselarasan hidup dengan alam semesta. Para aktivis yang menjadi penulis di edisi kali ini menyadari betul akan hal ini.

Pada rubrik MASALAH KITA, Kristien Yuliarti menceritakan kegelisahannya tentang upaya menjaga kebersihan tanpa mencemari lingkungan. Ia yakin, ada bahan lokal yang ramah lingkungan yang dapat digunakan sebagai alternatif sabun pabrikan. Berkenalanlah ia dengan lerak, berdirilah Omah Hijau sebagai jalan baginya mensosialisasikan lerak. Namun demikian, bergerak sendiri, ternyata tidaklah mudah. Seringkali tanpa teman menjadikan perubahan sulit dilakukan. Inilah permasalahan yang dialami Karina Adistiana, penulis dalam artikel kedua pada rubrik MASALAH KITA. Ternyata kemandirian memilih tidak serta merta membuat perubahan jadi mudah. Psikolog dan aktivis pendidikan ini memaparkan bahwa keberadaan teman dalam melakukan perubahan menjadi aspek penting bagi keberhasilan kita dalam upaya memperjuangkan kedaulatan pangan dan hidup selaras alam.

Di rubrik PIKIR, ada Mayang Manguri yang mengajak kita berpikir bersama dalam memilih gaya hidup. Apakah memilih gaya hidup yang tren di masyarakat membuat kita menjadi berdaulat? Atau pilihan gaya hidup yang lain dan tidak populer, seperti frugal living membuat kita menjadi lebih sejahtera? Ternyata kemandirian dalam memilih pun ada resikonya. Karena, menjadi mandiri berarti bertanggung jawab dengan pilihan hidup kita. Hal inilah yang disampaikan Any Sulistyowati dalam Rubrik OPINI.

Di rubrik TIPS kali ini, Fitri Kusnadi berbagi kiat-kiat berdasarkan pengalamannya ketika memilih menyelenggarakan pendidikan mandiri bagi keluarganya. Konsekuensi bahwa kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan dan anak adalah salah satu tips yang disampaikannya. Sedangkan penulis artikel selanjutnya di rubrik TIPS, Rensti Raharti, memaparkan cara-cara menjalankan gaya hidup minim sampah yang sederhana dan dapat dimulai dari rumah, sekaligus memberi contoh gaya hidup ini kepada anak, agar kemandirian dan kedaulatan hidup dapat dilanjutkan pada generasi selanjutnya.

Siapa yang tak kenal SHINE?  Platform pendidikan informal yang memberdayakan masyarakat dengan pelatihan-pelatihan terutama produk sehari-hari yang selama ini menimbulkan ketergantungan masyarakat pada produk berkemasan. Dalam rubrik PROFIL, Kandi Sekarwulan mengangkat sepak terjang Ines Setiawan, pendiri dan penggerak SHINE. Kita tentu dapat belajar dan menerima inspirasi dari Ines tentang bagaimana ia bisa sampai kepada pemikiran dan lakunya untuk menjadikan sebanyak mungkin orang berdaulat atas dirinya untuk memenuhi kebutuhan diri.
Sedangkan pada tulisan yang kedua pada rubrik PROFIL, Kukuh Samudra mengangkat kisah Mbah Paiman, seorang petani “kolot” di daerah Karanganyar, yang mempertahankan cara bertani dengan berdaulat: organik, menanam dari bibit hasil panen serta membuat kompos sendiri. Keputusan ini diambil secara mandiri oleh Mbah Paiman, sekalipun dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya.

Pada rubrik MEDIA, Sally Anom Sari mengangkat beberapa film yang mengangkat kemandirian hidup dan pemenuhan kebutuhan diri. Dalam rubrik JALAN-JALAN, Debby Josephine mengajak kita ke sebuah tempat yang mengupayakan kemandirian dan kedaulatan pangan, sebuah tempat di perbatasan Kota Bandung dan Cimahi, yang bernama Kebun Belakang.

Terakhir, Navita Kristi Astuti bercerita tentang bagaimana selama ini KAIL menjalankan kemandirian di Rumah KAIL, dengan memanfaatkan bagian rumah dan kebun. Masih banyak tantangan untuk mewujudkan KAIL sebagai rumah nol sampah (zero waste). Namun ada beberapa sistem yang telah berjalan di Rumah KAIL yang secara perlahan-lahan tapi pasti ikut mendukung peningkatan kualitas hidup anggota KAIL, relawan dan mitra yang berkunjung maupun makhluk hidup yang lain yang juga tinggal di Rumah KAIL.

Semoga artikel-artikel di dalam edisi ini menambah permenungan bagi para pembaca terkait kemerdekaan dan kedaulatan dalam menentukan kehidupan yang sehat dan selaras alam.
Editor:

[PIKIR] PILAH PILIH BERDAULAT

Oleh: Mayang Manguri Rahayu

Tuntutan kemajuan jaman yang mengacu pada kepraktisan dan majunya iklim bisnis, yang eksponensial dengan perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah, mendorong iklim konsumsi beranjak naik. Negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia mengalami percepatan. Menurut Anggraeni (2019), mengutip apa yang dijabarkan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani bahwa tahun 2010, kelas menengah kita berjumlah 45 juta orang. Dan kini terus bertambah. Berbagai lembaga yang melakukan studi lalu menggolongkan kelas menengah dalam tiga bagian, yaitu di atas kemiskinan, masih rapuh, dan sebagian sudah establish. Tahun ini, kelas menengah sudah naik mendekati 60 juta orang. Tahun 2020, diperkirakan 80 juta orang. Negara lain di ASEAN tidak sebesar ini. Jadi ini akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Kelas menengah memiliki daya beli yang baik, namun konsumerisme tinggi tidak dapat dielakkan.

Produktivitas tinggi menyebabkan iklim konsumsi ingin yang serba praktis. Apapun tinggal beli, bungkus, kemudian ‘tidak sempat’ memikirkan tanggung jawab buangan konsumsi. Hal ini mengakar selama beberapa dekade di Indonesia. Sebelum Indonesia dinyatakan darurat sampah, karena kejadian Longsor Sampah di TPA Leuwigajah tahun 2005, terjadi penutupan di banyak TPA-TPA akibat over-kapasitas. Belum lagi, masalah pelik di TPA Bantar Gebang, kota-kota mengalami darurat sampah, ledakan dan longsor di TPA Supit Urang Malang 2019, juga pernyataan tentang Indonesia merupakan pembuang sampah plastik nomer 2 dunia. Gaung zero waste  belum terlalu menjadi sesuatu yang dekat dan populer di masyarakat.

Walau kesadaran mengenai pengelolaan sampah yang juga masih terbatas, telah banyak kampung-kampung atau wilayah yang inspiratif di Indonesia yang menerapkan zerowaste secara komunal, seperti Kampung di daerah Cibunut Bandung, dan Jodipan Malang. Keduanya memanfaatkan rakyat dalam menghimpun kekuatan dan menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya bisa melakukannya. Namun banyak yang terlupa, jika kesadaran komunal berasal dari kesadaran  individu, kemudian berkembang pada kesadaran keluarga berbasis rumah untuk memilah dan memilih sisa konsumsi.
Tentunya, untuk memilah dan memilih sisa konsumsi dibutuhkan kecermatan yang dimulai dari dalam diri. Manusia pada dasarnya tidak dapat terhindar dari konsumsi pangan, sandang, dan papan baik secara bahan baku atau bahan jadi.  Sisa hasil konsumsi, atau yang terkenal dengan sebutan sampah. Sebenarnya, apa itu memilah sampah? Sekadar memilah, atau memilih apa yang akan kita konsumsi?

Sisa hasil konsumsi seperti ini dapat diolah menjadi kompos.

Praktisi Zero Waste, Bea Johnson telah merumuskan bahwa hidup minim sampah dilakukan atas prinsip 5 R, yaitu:
1. Refuse, menghindari, dalam hal ini menghindari konsumsi yang tidak perlu. Misalkan menghindari konsumsi teh dalam kemasan, karena akan menimbulkan sampah botol plastik dan akhirnya memilih membawa bekal teh dari rumah.
2. Reduce, dalam hal ini mengurangi, misalnya masih tergantung dengan beras yang kemasannya masih berbungkus plastik. Kita dapat mengurangi pembelian produk tersebut misalkan diselang-seling dengan beras yang bisa kita dapatkan di bulk store , dan /atau pasar tradisional dengan berbelanja tanpa kantong plastik dan membawa kantong sendiri.
3. Reuse, memakai kembali barang-barang yang masih berdaya guna, misalkan memakai baju/alat-alat lama yang layak tanpa membeli barang baru
4. Recycle, daur ulang hasil konsumsi baik kita sendiri yang melakukan, atau pendaur ulang lain. Namun perlu dicatat, tidak semua bahan dapat didaur ulang.
5. Rerot, membusukkan kembali sampah basah/ organik dengan membuat komposter untuk kesuburan tanah. Bisa dilakukan juga dengan membuat lubang biopori.
Kurangi sampah plastik dengan membawa tas belanja sendiri.

Well, lima hal di atas menjadi produk pop seolah-olah merupakan teori baru, yang sebenarnya telah nenek moyang kita lakukan. Saya ingat di tahun-tahun 1990 awal, ingatan saya tentang buyut saya yang hanya memiliki minim pakaian, beberapa stel kebaya untuk keseharian, tiga pasang daster, dan empat pasang selendang kerudung.Di halamannya terdapat banyak sekali tanaman buah, lubang-lubang khusus menaruh sisa sampah makanan, membawa kantong belanjaan setiap ke pasar, membuat mie sendiri, selalu menaruh daging atau ayam di besek, membuat makanan sehari-hari sendiri dengan lalaban dari kebunnya. Apakah beliau tinggal di desa? Tidak, beliau tinggal di Hegarasih Bandung sebelum ada pembangunan Sultan Plaza (Sekarang Grand Tjokro). Hidup apa adanya namun tanah di mana-mana. Akhirnya saya pelajari korelasinya. Minim konsumsi, minim sampah, hidup sehat, dan berdaulat.

Jika buyut saya hidup di era kolonial 1903- 1992, saya yang menerima tren di akhir 1980-an hingga sekarang merasa sungguh pola hidup manusia sudah sangat berbeda. Alasan-alasan yang dikemukakan ketika saya bertanya mengapa seseorang mengalami ketergantungan produk-produk instan yang akhirnya menciptakan sampah adalah alasan kepraktisan.Tidak salah, namun secara tak sadar tren tersebut menjadi senjata makan tuan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Plastik, yang hanya terolah sekitar 14% (Data Waste4Change, 2019) menyebabkan masalah besar mulai dari mikroplastik, dioksin dari pembakaran plastik, kimia B3 dari pembuangan domestik yang tidak terurus, dan akhirnya berbalik kepada tubuh manusia dengan meningkatnya angka penyakit termutasi, degeneratif, hingga kanker. Apakah sebagai kaum urban saya pernah termakan tren juga? Ya, sering. Namun setelah punya anak, saya langsung berpikir mengenai masa depan bumi, pangan, dan kelestariannya. Cukuplah, dengan hidup cukup dan merdeka dari rumah sendiri.

Merdeka artinya berdaulat. Berdaulat dari rumah bisa apa saja dilakukan yang penting berawal dari suatu niat. Untuk saya, niat yang paling kuat adalah mengurangi sampah. Organis maupun non organis. Selain masalah lingkungan dan kesehatan, sampah telah menjadi masalah politis. Negara dunia ketiga termasuk Indonesia banyak disalahkan, namun di sisi lain Indonesia harus memiliki bargaining power  yang mumpuni untuk mengembalikan sampah kiriman luar negeri. Bargaining power  inilah yang membuktikan wibawa akan kedaulatan kita, Indonesia. Dari mana kekuatan kedaulatan bisa kita ciptakan? Dari diri sendiri dan dari rumah.

Kedaulatan dimulai dari diri sendiri, sesederhana membawa botol minum sendiri saat bepergian.
Niat mengurangi sampah dari sisa hasil organis yang merupakan penghasil gas metan dan etilen penyebab pemanasan global tidaklah sulit asalkan ada niat Misalkan, nasi, sering sekali ada sisa nasi dari cucian piring atau dari penanak nasi yang bisa dijemur dan dijadikan kerupuk tanpa takut bahan kimia dari kerupuk yang ada di pasaran.

Ingin susu kacang, bisa kacang kedelai, kedelai hitam, kacang merah, kacang hijau, kenari atau mede, yang terpenting kacang lokal. Saya harus membuatnya tanpa sampah, ampasnya saya jadikan tempe gembus. Dapat makanan, dapat minuman untuk beberapa hari. Saya ingin memberikan nutrisi dari labu untuk anak saya, misalkan, kulitnya masuk kompos, dagingnya untuk bubur labu, bijinya untuk saya makan kuaci yang terkenal dengan pumpkin seeds  yang terkenal menyehatkan. Konsumsi sehat rutin yang lainnya adalah buah-buahan. Sebelum masuk kompos, saya memilih memperpanjang umur sisa konsumsi dan menambah gunanya. Dengan bermodal 2 kg gula di setiap bulan, pandan dan sereh Rp 5000,- beserta 6 kg kulit buah konsumsi bulanan, saya berhemat pembersih serbaguna untuk lantai, kaca, baju, piring,  pupuk cair untuk tanaman, hingga 3-5 bulan ke depan jika siklus itu penuh dijalankan. Begitu juga dengan konsumsi jus apel, kulit dan bagian tengahnya dijadikan cuka apel. 

Tentu saja, uang yang dahulu dialokasikan untuk snack sehat, makanan, pembersih dan cuka apel, sekarang dapat menjadi tabungan emas setiap bulannya (Jumlah minimal tabungan emas Rp. 150.000) untuk anak dan menabung untuk hal lain, terutama ekoproyek dari rumah, yang menghasilkan sayuran, buah-buahan, ikan air tawar, unggas, daur air, dan investasi tenaga surya untuk listrik (yang terakhir ini akan dilaksanakan tahun 2020). Ada perasaan yang berbeda ketika memetik tomat, berry, pisang, ubi, kacang kapri, oyong,  singkong, bayam yang berasal dari kebun sendiri (di halaman dan di lahan sewa yang diurus sendiri) juga telur ayam kampung. Jika hasil panen sedang banyak, bisa dibagikan pada tetangga atau tukang sayur. Perasaan puas, dan syukur tidak akan tergantikan. Kelak kita akan memberi contoh kepada generasi penerus, untuk berdaulat secara sederhana, hanya beberapa langkah di rumah dalam menghasilkan gizi. Selain itu dengan mengumpulkan sampah yang masih bernilai di lingkungan sekitar yang tidak terkendali, menyetornya pada bank sampah, hasilnya untuk charity. Jika sudah banyak memberikan pengaruh, bentuklah sistem ini bagi masyarakat sekitar.

Banyak manfaat dari kehidupan yang terkenal dengan gaya frugal ini. Kita yang menjalani akan terkesan aneh, dalam pandangan masyarakat urban. Tapi dengan memberikan contoh yang telah dilakukan  suatu saat akan menularkan kebiasaan pada orang lain lalu berdampak pada lingkup yang lebih besar. Bersatu, berdaulat, adil dan makmur adalah tujuan yang akan tercapai, bukan hanya paradoks belaka. 

Inspirasi saya dalam menjalankan frugal living yang terintegrasi dengan zero waste dan homegardening concept awalnya adalah Nicole, yaitu penggagas blog frugalchiclife.com . Ketika itu saya sedang mengalami kebangkrutan usaha. Uang pegangan tinggal Rp. 80.000 untuk satu minggu dan butuh pencerahan mengenai manajemen finansial. Sudah pasti, untuk masak sehari-hari kami makan sayur yang berasal dari kebun sendiri. Begitu pula dengan bumbu-bumbuan. Tak ada bawang putih dan bawang merah yang ranum, maka saya mencoba memasak hanya dengan daun bawang, salam, jahe, sayur-sayuran, daun pucuk mangga, daun kedondong, dan tempe tahu yang saya beli, untuk seminggu seharga Rp. 20.000,- lalu jalan kaki sejarak 4-10 km menuju tempat kerja. Merasa miskinkah saya? Awalnya iya, lama-lama saya melihat dan berpikir, pola kehidupan ini menghasilkan sedikit sekali sampah karena memang hampir tidak membeli apa-apa (akibat rumah kami berhenti menggunakan jasa tukang sampah untuk menghemat), lebih sehat karena berjalan kaki, serta memetik keuntungan bertani rumahan. Keuangan malah surplus bersisa di akhir bulan sehingga saat itu tidak ada istilah bulan tua, sejalan dengan adanya kembali pemasukan. Jadilah, saya dan suami bersepakat untuk menyumbangkan uang sisa kami.

Kompos yang berasal dari sisa material organis dari kehidupan manusia sehari-hari
Saat kita mendefinisikan kaya-miskin, atau sekedar memandang hidup dari makna ‘secukupnya’, pernahkah kita berpikir jika rasa itu tidak dapat diukur oleh angka, bahkan lebih bermakna untuk menyelamatkan bumi, berdaulat pangan selama kita mempersiapkannya, adil untuk keadilan sosial masyarakat yang membutuhkan, makmur secara batiniah? Jika kita bisa menularkan kebiasaan ini untuk komunitas lebih luas dan mempersatukan berbagai kalangan, maka bersatu, berdaulat, adil dan makmur bukan hanya menjadi cita-cita Indonesia yang tersurat.

[MASALAH KITA] KEMANDIRIAN SABUN, SEBUAH UPAYA MENUJU KESELARASAN HIDUP DENGAN SEMESTA


Kehidupan manusia amat bergantung pada semesta. Salah satunya pada ketersediaan sumber air, yang menjadi kebutuhan vital dalam mendukung aneka keperluan manusia sehari-hari. Sebagian besar orang bergantung pada air hujan untuk memenuhi kebutuhan airnya. Ketika curah hujan rendah, terlebih saat musim kemarau panjang, mereka akan berupaya mencari sumber air lain, yang umumnya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ada pula sebagian orang yang memenuhi kebutuhan airnya dari sungai terdekat tempat mereka tinggal. Sementara bagi penduduk kota besar, kebutuhan air terfasilitasi melalui aliran air yang diupayakan sebuah perusahaan. 

Sebagai salah satu kebutuhan vital, maka kualitas air tentu perlu mendapat perhatian.Terutama air yang diperlukan untuk kebutuhan minum dan memasak. Lalu bagaimanakah kita menjaga serta mengupayakan kualitas air hingga layak dikonsumsi?

Salah satu penyebab tercemarnya air adalah hamparan busa yang menutup permukaan air. Tudingan kerap ditujukan pada buangan limbah industri sebagai penyebab utama meluapnya busa tersebut. Namun, adakah peran aktivitas keseharian manusia yang punya andil cukup penting dalam hal ini?
Sejatinya air mengalami siklus. Maka air bersih yang kita nikmati di rumah, sepatutnya bisa dijaga kebersihannya saat mengalir dari rumah, usai pemakaian. Namun, aktivitas manusia ternyata memberikan beban yang cukup berat pada air buangan. Kegiatan cuci-bersih dengan bantuan sabun/pembersih/detergen, tanpa disadari, telah menjadi faktor penting dalam pencemaran air (air sungai/air tanah).

***

Entah sejak kapan, manusia menggunakan dan menjadi bergantung pada sabun/deterjen/pembersih dalam kesehariannya. Tidak kurang dari lima jenis sabun/pembersih yang dimiliki/digunakan dalam rumah tangga. Saya mendata jenis sabun/pembersih yang saya gunakan beberapa tahun yang lalu.
Sabun mandi dan shampoo menjadi perangkat bersih diri yang utama. Kemudian bertambah dengan sabun khusus wajah dan kondisioner (pelembut) rambut. Lalu sabun cuci pakaian, yang dilengkapi dengan pewangi, sabun cuci piring, sabun cuci tangan, pembersih lantai, pembersih kaca, pembersih kamar mandi. Sabun/pembersih sebanyak itu memberikan kenyamanan pada manusia, karena mampu menjawab kebutuhan manusia untuk selalu bersih, wangi, ataupun sehat terbebas dari kuman.

Kenyamanan yang dinikmati manusia dengan penggunaan sabun/pembersih –terlepas dari dampak negatifnya- sepatutnya juga dinikmati oleh semesta, karena hidup manusia bergantung pada semesta. Pemikiran inilah yang mengusik saya untuk mempertanyakan dampak pemakaian sabun/pembersih pada lingkungan.

***

Sabun/pembersih pabrikan mengandung sejumlah bahan kimia. Dan tidak terbersit sedikitpun keingintahuan atas fungsi dan dampak dari bahan-bahan tersebut, meski telah amat lama menggunakannya. Merk sabun/pembersih tertentu dipilih, dan selanjutnya digemari, karena –yang terutama- seruan iklan di media. Kesadaran pada kondisi lingkungan hidup, khususnya air, telah menggugah saya untuk mencari tahu bahan-bahan pembuat sabun/pembersih.

Bahan utama pembuatan sabun adalah SLS (Sodium Lauryl Sulfate), SLES (Sodium Laureth Suflate), atau ASL (Ammonium Laurel Sulfate). Ketiga senyawa kimia ini adalah bahan utama pembentuk busa yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencucian dengan cara menonaktifkan mineral pembentuk kesadahan air. Berpadu dengan surfactan (surface active agent) –yang umumnya adalah senyawa fosfat-  busa yang dihasilkan sabun/pembersih akan menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran dan lapisan minyak. Banyaknya busa dapat menjadi indikator kadar SLS pada sabun. Kandungan SLS/SLES/ALS yang cukup tinggi dapat menyebabkan kulit tubuh menjadi kering. Dan pada sebagian orang akanmenyebabkan iritasi.

Busa yang dihasilkan sabun/deterjen yang menggunakan SLS/SLES/ALS sebagai komponen utamanya menjadi salah satu unsur penyebab eutrofikasi (pengayaan unsur hara yg berlebihan) pada sungai/danau yang bisa menyebabkan ledakan pertumbuhan eceng gondok dan algae sehingga menyebabkan pendangkalan sungai. Keberadaan busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian menyebabkan organisme air kekurangan oksigen.

Lapisan busa pada permukaan air sungai/danau memiliki ikatan molekul yang sulit diuraikan. Perlu perlakuan khusus ataupun penambahan senyawa kimia tertentu untuk memecah hamparan busa tersebut. Ini artinya, ada bahan kimia lain yang ditambahkan untuk menjernihkan air sungai/danau yang selanjutnya menjadi sumber air bersih bagi banyak orang.
Paparan di atas hanya menguraikan dampak dari satu bahan yang terdapat pada sabun/pembersih pabrikan. Bagaimana dengan bahan lainnya? Sudah banyak kajian tentang hal tersebut, yang sebagian merujuk pada dampak bagi kesehatan manusia. Tetapi, sebagai kesatuan ekosistem, perilaku hidup kita hendaknya selaras dengan semesta, memelihara kelestarian ibu bumi beserta isinya.

***

Hasil penelusuran atas dampak sabun/deterjen bagi semesta mengarahkan saya pada pertanyaan, “Sejak kapan sabun ada? Ketika belum ada produksi sabun, bahan apakah yang dipakai sebagai sabun/pembersih? Mengapa dampak dari bahan pembuat sabun tidak diketahui oleh sebagian besar orang?” Keingintahuan ini menjadi awal perkenalan saya dengan LERAK/KLEREK.
Lerak/klerek adalah jenis tanaman yang tumbuh di daerah tropis, salah satunya di Indonesia. Tanaman ini, yakni bagian buahnya, mengandung senyawa saponin, yang memiliki daya bersih seperti sifat sabun/deterjen. Sebagian masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengenal lerak sebagai sabun pencuci kain batik dan perhiasan. Hanya sebatas itu. Padahal pencarian saya atas manfaat lerak melalui internet menemukan khasiat lerak sebagai sabun pencuci untuk semua keperluan. Namun tulisan-tulisan itu umumnya berbahasa Inggris.

Maka keheranan saya pun menimbulkan pertanyaan, “Kenapa lerak terabaikan di negeri ini? Benarkah lerak bisa menggantikan aneka sabun/pembersih yang selama ini saya pakai?” Jawaban atas rasa penasaran itu diperoleh setelah saya menggunakan lerak sebagai sabun/pembersih untuk keperluan sehari-hari, yang dimulai sejak  5 (lima) tahun lalu.

Ketika ditanyakan alasan menggunakan lerak sebagai sabun/pembersih, maka alasan yang amat mendasar –bagi kami- adalah pilihan untuk mengurangi pencemaran air dan tanah. Alasan berikutnya, yakni pemakaiannya yang mudah dan pemanfaatan produk lokal yang merupakan kearifan budaya negeri ini. Tentu aneka pertanyaan pun dialamatkan pada kami, “Bersih gak? Wangi gak? Bebas kuman gak? Harganya mahal gak?” Pertanyaan wajar yang dilatarbelakangi pengalaman penggunaan sabun/pembersih yang selama ini digunakan.

Sejumlah pertanyaan tersebut menjadi latar belakang proses edukasi yang kami lakukan saat mengenalkan manfaat lerak ke sejumlah teman maupun berbagai komunitas.

***

Awalnya, pengalaman menggunakan lerak sekadar dibagikan melalui cerita-cerita singkat di media sosial. Menarik sekali tatkala mengamati cukup banyak orang yang belum mengenal lerak. Kalaupun sudah mengenalnya, hanya sebatas penggunaannya untuk mencuci batik. Ini tentu amat memprihatinkan, mengingat lerak adalah sabun alami yang sesungguhnya digunakan oleh orang-orang tua kita. Alasan kepraktisan, yang disertai tanpa adanya aroma wangi, telah menjauhkan lerak dari minat sebagian orang. Dan akhirnya, lerak terabaikan, terlupakan di negeri penghasilnya sendiri.

Kuliah umum tentang lerak

Ketika mengetahui bahwa lerak justru amat terkenal di luar Indonesia, maka ini juga menjadi pemicu semangat saya untuk semakin giat berbagi cerita manfaat lerak, dan dampaknya yang cukup luas di berbagai bidang kehidupan.

Cerita tentang manfaat lerak di media sosial memunculkan reaksi positif. Cukup banyak teman yang tertarik, dan selanjutnya memesan lerak. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa, cukup antusias untuk dapat  menggunakan lerak sebagai pengganti sabun/detergen. Bagi sebagian orang, diperlukan penyesuaian yang tidak mudah ketika memulai penggunaan lerak. Inilah alasan Omah Hijau menyelenggarakan pelatihan dengan tema “Sabun Sehat”, baik berupa kelas tatap muka maupun kelas online. Pengenalan lerak, pertama-tama, menekankan pada tanggung jawab manusia atas limbah busa pada perairan. Juga dampaknya terkait penghematan dan siklus air. Penggunaan lerak sebagai sabun tidak memerlukan banyak air saat pembilasan. Air bekas cucian pun bisa ditampung untuk menyiram tanaman ataupun dikembalikan ke tanah untuk mempertahankan ketersediaan air tanah. Sesudah itu, tentang dampak bahan-bahan pada sabun/detergen bagi tubuh. Proses ini membuka wawasan masyarakat tentang fungsi sabun dan indikator bersih yang selama ini hanyalah ciptaan iklan/produksi semata.

Omah Hijau pertama kali menyelenggarakan kelas online pada 15 Januari 2018, dengan 50 peserta. Sebagian besar, 95% peserta, adalah kaum ibu. Antusiasme mereka amat bagus. Merekalah yang selanjutnya aktif menggaungkannya di media sosial. Maka kelas online pun diadakan lagi, karena banyaknya peminat. Hingga saat ini, kurang lebih telah terselenggara kelas online sebanyak 8 (delapan) kali. Selanjutnya terselenggara pelatihan/workshop karena adanya permintaan dari komunitas tertentu: di Malang, Surabaya, Solo, Jakarta, Pontianak.

Workshop pembuatan sabun lerak
Pemanfaatan bahan alami untuk menggantikan produk pabrikan tentu melahirkan pertanyaan, yang beberapa di antaranya, memerlukan kajian ilmiah dan penelitian laboratory, seperti yang sudah dituliskan di bagian sebelumnya. Maka ini menjadi semacam tantangan yang selalu saya tawarkan ke kelompok mahasiswa, saat mendapat kesempatan mengedukasi mereka. Sampai saat ini, Omah Hijau sudah memaparkan manfaat lerak pada kelompok mahasiswa di tiga Perguruan Tinggi.

Adakah catatan terkait peningkatan pemakai lerak? Dan dampak nyatanya bagi kualitas air dengan dilakukannya edukasi tentang lerak? Pertanyaan yang tidak bisa saya jawab secara kuantitatif. Saya hanya bisa mengamati tingginya ketertarikan pada lerak di media sosial melalui tanggapan atas paparan saya tentang lerak. Juga munculnya teman-teman yang mulai dan terus menggunakan lerak hingga saat ini. Jawaban pada pertanyaan itu kerap saya jawab dengan nada bercanda, “Pemesanan lerak ke Omah Hijau meningkat terus. Itu indikator sederhana bahwa pemakai lerak bertambah dan konsisten menggunakannya.” Di sisi lain, perlu dipahami bahwa perubahan adalah proses yang tidak bisa dipaksa berjalan cepat. Terlebih untuk melepas ketergantungan yang amat sangat pada wangi, busa, dan kepraktisan.

***

Seperti dituliskan di bagian awal, lerak adalah tanaman lokal negeri ini, dan dipakai oleh orang-orang tua kita sebagai sabun/pembersih. Ini adalah sebuah kearifan lokal, kekayaan perilaku hidup negeri ini, yang tanpa disadari, memiliki keselarasan dengan ibu bumi. Bukankah hal luhur ini harusnya dihidupi terus? Kalau tetap diabaikan, maka lerak hanya akan menjadi komoditas eksport, dan masyarakat negeri ini hanya sekadar penonton tanpa pernah tahu manfaat lerak yang amat banyak.

Bahkan di beberapa tempat yang memiliki pohon lerak, buahnya dibiarkan begitu saja. Ini bukan melulu persoalan lerak yang seharusnya bisa menjadi komoditas dagang. Tetapi semestinya masyarakat di daerah itu tidak perlu bergantung pada aneka sabun/pembersih pabrikan. Mereka perlu dikenalkan pada manfaat lerak, bagi tubuh dan semesta, agar selanjutnya mengoptimalkan potensi alam di sekitar mereka. Dan dengan demikian akan ikut pula memelihara kelestarian air dan tanah di daerah tersebut.

Peserta praktek membuat sabun lerak

Pengenalan potensi lerak memang menuntut adanya  perubahan pola pikir tentang ‘sabun’. Juga pemahaman yang benar tentang indikator bersih, seperti busa dan wangi. Hal lainnya, masyarakat diajak bergeser dari pola hidup praktis ke pola hidup yang lebih mandiri dan lebih bersahabat dengan semesta. Dari sekadar beli sabun/pembersih yang sudah tersedia dan siap pakai ke pola hidup yang menggunakan sabun alami, tidak instan, perlu sedikit upaya dalam penyiapannya, tetapi tidak menambah beban pencemaran ibu bumi.

***

Edukasi tentang manfaat lerak, secara online melalui sarana WA ataupun pelatihan, memang tidak serta merta mengubah banyak orang untuk beralih ke lerak. Tujuan utamanya lebih terarah pada tersebarnya informasi ini secara meluas. Informasi yang berimbang perlu didapat oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya beroleh informasi sebuah produk pabrik dari media televisi atau media cetak, tetapi juga tentang hasil alam lokal yang memiliki kesamaan fungsi. Dampak positif dan negatif keduanya akan menjadi pertimbangan dalam mengambil pilihan.

Dengan makin banyaknya orang yang mulai mengenal lerak, maka diharapkan ada cukup banyak orang yang tergerak menggunakan lerak, mengalami langsung manfaatnya, dan selanjutnya menjadikan lerak sebagai sabun/pembersih utama di rumahnya. Ini tentu sebuah perubahan yang berarti bagi ibu bumi. Ajakan mengenal lerak juga ingin memberikan kesadaran pada semua orang untuk membangun sebuah kemandirian, dalam hal ini kemandirian sabun. Masyarakat tidak perlu lagi bergantung pada sabun/pembersih pabrikan, tetapi mampu mengupayakan sendiri (mandiri) kebutuhan sabunnya dengan mengoptimalkan potensi lokal negeri ini. Potensi lokal yang selama ini diabaikan, seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Jangan sampai lerak menjadi barang mahal, yang terlahir sebagai sebuah gaya hidup sehat yang hanya dinikmati segelintir orang. Inilah yang menjadi salah satu semangat hadirnya Omah Hijau, yang merupakan sarana berbagi pengalaman hidup selaras dengan semesta dari keseharian pola hidup kita, yang bisa dijangkau banyak orang.

[MASALAH KITA] TEMAN DALAM PERUBAHAN


Oleh: Karina Adistiana
  
Beberapa tahun terakhir ini saya tertarik pada gaya hidup zero waste. Dimulai dari melihat video tentang Bea Johnson, seorang perempuan Prancis yang tinggal di California dan mengadopsi gaya hidup bebas limbah sejak 2008. Ketertarikan pada gaya hidup ini turut didorong oleh keterkejutan melihat data tentang timbunan sampah di Indonesia. Dari web Badan Pusat Statistik, saya membaca laporan yang menyebutkan bahwa timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebanyak 65.200.000 ton per tahun. Timbunan ini rupanya cukup mengagetkan bagi pemerintah mengingat kemudian di tahun 2017 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden yang menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebesar 30% dan penanganan sebesar 70% (Sumber: www.bps.go.id). 

Saya perlu berperan dalam mengurangi sampah dan sepertinya gaya hidup yang ditunjukkan Bea Johnson tampak sangat mudah dilakukan. Yang penting niat dan terus mencoba. Demikian motivasi awal saya. Akhirnya, saya pun mencoba gaya hidup ini. Saya mulai berusaha mengubah pola konsumsi saya dalam membeli barang. Setelah mencoba beberapa waktu, saya menemukan banyak kesulitan. Tulisan ini adalah hasil observasi terhadap proses yang saya alami sendiri maupun melihat bagaimana teman-teman dekat mencoba gaya hidup yang sama.  

Tantangan awal saya dimulai dari mencari informasi yang tepat untuk memulai gaya hidup ini. Kesalahan saya adalah melihat grup komunitas yang sudah menjalankan gaya hidup ini secara penuh sejak lama. Maka mulailah saya membeli barang-barang yang kira-kira dibutuhkan berdasarkan paparan para senior di grup media sosial komunitas tersebut. Saya ingat barang yang saya beli di awal adalah wadah plastik aneka ukuran. Saya beli untuk mempermudah belanja di pasar agar tidak pakai kemasan. Lalu saya juga membeli tas kain untuk mempermudah proses belanja. Waktu saya bercerita tentang hal ini pada seorang teman, ia lalu mengingatkan untuk pakai saja barang yang ada di rumah, dan tidak menambah sampah lain. Barulah saya pelan-pelan merencanakan kembali proses yang sedang dijalani. 
 
Wadah plastik aneka ukuran

Tantangan lain yang saya alami adalah ketika harus membeli aneka kebutuhan sehari-hari yang lebih ramah lingkungan. Tak ada bulk store atau toko yang menjual kebutuhan sehari-hari tanpa kemasan di dekat rumah saya. Ketika saya mempertimbangkan membeli kemasan yang lebih ramah lingkungan, saya dihadapkan pada kenyataan pahit, yaitu soal perbedaan harga yang cukup besar pada beberapa barang. Contoh sederhana adalah ketika saya hendak membeli mentega. Suatu hari di tahun 2017, saya melihat harga yang tertera: kemasan sachet plastik 200 gram: Rp. 6.600; wadah plastik 250 gram: Rp. 11.100; wadah kaleng 1 kg: Rp. 51.600; wadah kaleng 2 kg: Rp. 96.100

Sekarang bayangkan apabila saya butuh membeli 2 kilogram mentega, dari perhitungan ekonomi tentulah membeli kemasan sachet plastik jauh lebih menguntungkan dibandingkan membeli wadah kaleng. Harganya hampir 1,5 kali lipat. Mau tak mau saya jadi lebih memperhatikan perbedaan harga ini pada aneka barang. Saat bercakap-cakap dengan beberapa teman, saya mendapat info bahwa teman-teman saya lebih senang membeli beragam kebutuhan dalam bentuk sachet dengan berbagai alasan. Lebih hemat, makan tempat lebih sedikit, dan lain-lain. Selain urusan harga, kemasan besar justru mendorong pemakaian lebih banyak, demikian salah satu alasan yang membuat saya tercenung. Contohnya apa? Saya tanya pada mereka. Contohnya odol yang mulut tubenya semakin besar seiring semakin besar pula tubenya. 

Mentega dalam kemasan


Mencoba memisahkan sampah menjadi tantangan baru lain. Setelah berhasil mengurangi dan memilah sampah, saya harus mengurut dada melihat sampah di truk pengangkut sampah kembali menyatukan semua sampah yang sudah dipisahkan. Betapa senangnya hati saya ketika muncul Bank Sampah di perumahan kami. Namun, baru beberapa minggu beroperasi ternyata tutup. Alasannya? Diprotes warga karena bau sampah yang menyengat. Beberapa contoh tantangan ini, ditambah dengan pesimisme akan kebermaknaan tindakan saya terhadap berkurangnya masalah sampah di negara tercinta membuat perlahan-lahan motivasi untuk tetap menerapkan gaya hidup zero waste mulai mengendor. Terkadang keyakinan akan kemampuan untuk bertahan dengan gaya hidup ramah lingkungan juga turut berkurang ketika melihat para pegiat zero waste yang sepertinya benar-benar bersih dari sampah dalam kehidupan sehari-harinya. Rasanya terlalu jauh dan terlalu sulit untuk mengikuti perilaku tersebut.

Semangat untuk kembali menjalankan gaya hidup yang lebih sehat dan ramah lingkungan perlahan-lahan terkumpul kembali justru karena sering bertukar pikiran dengan dua orang kawan dekat yang juga menerapkan hal serupa. Dalam berbagai pertemuan, kami banyak berdiskusi tentang kesulitan dan bagaimana mengatasinya. Kami saling mengapresiasi untuk setiap kemajuan langkah yang dilakukan oleh setiap orang. Dan terutama kami saling berbagi pengalaman, tips dan informasi berkaitan dengan zero waste ini. Dari diskusi-diskusi ini saya juga belajar bahwa komunitas tak selalu cocok untuk semua orang yang baru mencoba membuat perubahan terhadap gaya hidupnya. Terkadang semangat berbagi yang begitu menggebu di anggota komunitas justru dapat memunculkan tekanan pada mereka yang baru mencoba dan disalahartikan sebagai kompetisi. Persepsi ini terutama muncul karena tak selalu terlihat proses dalam sebuah perilaku yang ditampilkan oleh anggota komunitas ketika berbagi. Dari pengalaman awal tersebut, saya melihat bahwa teman dalam perubahan adalah faktor yang penting. Pendekatan-pendekatan pribadi serta contoh-contoh yang dekat dengan kondisi awal adalah hal yang terkadang menjadi lebih efektif dalam menjaga motivasi. Peran teman dalam perubahan ini terutama adalah untuk menjadi model bagi mereka yang baru mulai berkomitmen dalam mebuat perubahan.
                
Dalam bidang psikologi belajar, ada Social Learning Theory atau Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura, seorang psikolog Kanada-Amerika yang juga menjadi profesor ilmu sosial di Stanford University. Teori ini menyatakan bahwa seseorang bisa belajar perilaku baru dari orang lain melalui observasi, imitasi, dan modelling. Beberapa faktor yang turut berperan dalam pembentukan perilaku baru ini adalah karakter model (orang yang perilakunya diobservasi), karakter pembelajar (orang yang mengamati model), dan situasi serta reaksi terhadap perilaku yang dimunculkan. Karakter model berkaitan dengan konsistensi model terhadap perilaku dan kedekatan dengan pembelajar, seberapa mirip pengalaman model dengan pembelajar, seberapa mirip latar belakang model dengan pembelajar, dan bagaimana pembelajar menghargai model sebagai individu. Karakter pembelajar berkaitan dengan motivasi dan perhatiannya terhadap pentingnya perilaku, dalam hal ini bagaimana ketertarikan pembelajar terhadap perilaku sehat dan ramah lingkungan maupun zero waste. Sedangkan situasi dan reaksi berkaitan dengan proses pembelajaran tentang perilaku. Apakah perilaku sehat dan ramah lingkungan maupun zero waste yang dilakukan pembelajar mendapat apresiasi atau justru sebaliknya mendapat pandangan negatif dari orang-orang di sekitarnya, dengan kata lain, apakah perilaku tertentu dipersepsi merugikan atau menguntungkan bagi dirinya. Pada orang dewasa, penerapan teori belajar sosial ini tak harus dengan melihat langsung perilaku, namun juga melalui tanya-jawab, kolaborasi, dan juga diskusi untuk saling berbagi ilmu.

Menularkan kesadaran akan perilaku sehat dan ramah lingkungan ataupun zero waste adalah hal yang penting. Namun semangat untuk melakukan hal ini juga perlu diiringi dengan pemahaman akan tidak idealnya sistem sehingga tidak empatik bila beban membuat dunia lebih baik diletakkan sepenuhnya pada seberapa keras usaha setiap individu. Rasanya kita perlu lebih banyak menerapkan konsep teori belajar sosial dengan memunculkan lebih banyak model yang empatik untuk mendorong kesadaran ini dan memberi lebih banyak teman pada mereka yang sudah memiliki motivasi awal untuk melakukan perubahan, kita pun juga perlu menjadi model bagi orang lain sekaligus menjadi pembelajar di saat yang sama.

Menerapkan konsep teori belajar sosial dalam komunitas juga perlu dan dapat dilakukan. Mendorong ruang diskusi dan tanya jawab serta kolaborasi adalah hal yang esensial untuk disepakati bersama, sehingga komunitas tak melulu menjadi ajang pamer yang kompetitif. Budaya saling mengapresiasi setiap kemajuan yang dibuat oleh anggota juga diharapkan dapat menjadi pendorong semangat para anggota baru. Diskusi-diskusi seputar prinsip rasanya juga perlu terus digaungkan agar perilaku sehat dan ramah lingkungan ini tak sekadar menjadi gaya hidup yang salah kaprah. Salah satu fungsi teman dalam perubahan adalah sebagai model yang memunculkan ataupun memperkuat konsistensi perilaku sehat dan ramah lingkungan. Tanpa model yang empatik dan paham akan konsep zero waste, bisa jadi prinsip zero waste justru tak terpenuhi. Saya melihat hal ini terjadi. Contoh sederhananya adalah soal membeli banyak tas-tas belanja dan wadah-wadah untuk mengurangi pemakaian plastik bila tidak dipertimbangkan baik-baik justru dapat meningkatkan jejak karbon pada produksi dan distribusinya. Saat ini semua orang berlomba-lomba membeli dan memberikan tas-tas kain ini. Trend souvenir pernikahan pun turut bergeser menjadi tas-tas ini. Tidakkah peningkatan produksi besaar-besaran ini turut menyumbang limbah?

Sepanjang pengetahuan saya, gaya hidup sehat dan ramah lingkungan berkaitan erat dengan kedaulatan pangan dan sumber daya alam. Rasanya diskusi terkait hal ini juga perlu terus dikumandangkan dan dikaitkan dengan komunitas. Kita perlu mengingat kembali aneka kearifan lokal di negara yang kaya akan keberagaman ini. Seringkali kita masih menemukan upaya dan gaya hidup sehat yang masih menggunakan aneka bahan pangan yang belum banyak ada di Indonesia, misalnya membuat keju dengan rennet impor ataupun membuat kain pembungkus dengan bees wax dari luar negeri.  Saya pun masih menemukan ini di beberapa toko berkonsep zerowaste yang pernah saya datangi di beberapa daerah. Alangkah terkejutnya saya ketika menemukan kemiri, chia seed, dan kapulaga yang diimpor dari negara-negara lain di toko-toko ini dengan alasan permintaan pasar. Tidakkah kita sebaiknya mengeksplorasi kembali kekayaan ragam sumber daya kita dan mencoba menerapkannya dalam gaya hidup ini? Bukankah itu yang menjadi salah satu prinsip zero waste? Menggunakan apa yang ada di sekitarmu.  

Ada banyak kekayaan alam dan budaya yang dapat dieksplorasi, dan itulah salah satu fungsi komunitas, di mana kita bisa saling bertukar informasi. Berbagi peran dan barter menjadi bagian penting dalam komunitas. Misalnya, mungkin tak perlu semua orang belajar membuat sabun ataupun keju sebagaimana tren belakangan ini. Bisa saja tak semua orang punya waktu dan kesabaran untuk melakukannya. Dan tak semua orang juga dapat berkebun dengan segala keterbatasan, terutama di kota besar. Di sinilah kearifan lokal kita yaitu budaya gotong royong berperan. Paling tidak, inilah yang saya dan kedua kawan saya biasa lakukan.Misalnya saya yang memang sedang tertarik pada tanaman yang dapat diolah jadi makanan menukar biji maupun aneka hasil kebun dengan sabun buatan kawan yang memang sedang tertarik mempelajari pembuatan sabun.


Sabun ditukar dengan bunga telang

 

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengapresiasi mereka yang sudah menunjukkan bahwa gaya hidup sehat dan ramah lingkungan ini dapat dilakukan secara bertahap dengan seru dan menyenangkan, walaupun tetap serius dan dilakukan dengan tujuan mulia. Mereka inilah model yang rasanya dapat mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya perilaku yang sama pada orang lain, baik yang belum memiliki pengetahuan akan hal ini maupun yang baru memulai. Semoga semakin banyak model seperti ini yang menjadi “Teman dalam Perubahan” bagi  banyak orang.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...