[MASALAH KITA] FENOMENA GIG ECONOMY DAN DAMPAKNYA PADA KAUM PEKERJA: KERJA BEBAS ATAU KERJA (DI)TEBAS?

Oleh: Achmad Assifa Januar

Pada dasarnya kerja terbatas pada batas geografis karena terikat dengan letak tempat usaha atau kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Harvey (1989;19) kaum pekerja sulit sekali untuk menghindari kerja berbasis lokasi, karena tenaga pekerja musti diistirahatkan di rumah setiap malam.  Namun, semenjak teknologi internet muncul, kerja yang tadinya terbentur pada batas geografis mulai runtuh perlahan. Klien, bos, pekerja, dan konsumen produk akhir dapat saling terkoneksi dalam satu teknologi walau terpencar di lokasi berbeda di muka bumi. Dengan dunia yang semakin terkoneksi, maka permintaan pekerja digital yang dapat mengerjakan kerja-kerja remot (seperti penerjemahan, desain visual, marketing, dll) semakin tinggi. Kenaikan angka pekerja digital ini dipicu oleh dua tren. Yang pertama, rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor riil di beberapa negara, hal ini kini menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan, orang yang memiliki pekerjaan, dan orang yang mencari pekerjaan. Yang kedua, dunia semakin terkoneksi dengan adanya internet. Kita beranjak dari dunia yang 10 tahun lalu, di mana 15 persen penduduk bumi terkoneksi dengan internet, ke titik di mana 40 persen penduduk bumi saling terkoneksi dengan internet.

Jika kita lihat dalam laporan Statista, pengguna internet di Indonesia pada bulan Januari 2019 telah mencapai 150 juta orang, atau lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah terkoneksi dengan internet[1]. Semakin terkoneksinya penduduk Indonesia ke teknologi internet, juga memberikan peluang kepada kerja-kerja freelancesemakin berkembang. Tercatat, dari 127 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 30 juta penduduk Indonesia bekerja kurang dari 35 jam per minggunya[2]. Anggap saja 30 juta penduduk tersebut diasumsikan bekerja secara freelance, jika dikaitkan dengan laporan Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan 33% pekerja freelance menggantungkan gig platform sebagai salah satu sumber pendapatan dan 12% pekerja freelancemenggantungkan gig platform sebagi satu-satunya sumber pendapatan[3]. Angka tersebut dapat terus bertambah seiring naiknya angkatan kerja di Indonesia.



Namun dibalik kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi tersebut, terdapat retakan eksploitasi yang tak terlihat dan dianggap ‘normal’ oleh kita sebagai kaum pekerja. Sebelum saya memaparkan apa saja ‘eksploitasi yang (dianggap) normal’, saya akan membatasi penulisan ini pada koridor gig economy dan dampaknya pada kerentanan hidup kaum pekerja.

Ekonomi digital dan permutasiannya

Sebelum kita membahas lebih jauh apa itu gig economy, baiknya kita menelisik secara singkat awal mula kelahirannya dari wacana besar yaitu ekonomi digital. Istilah ekonomi digital (digital economy) pertama kali dipopulerkan oleh Don Tapscoott dalam bukunya yang berjudul The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence pada tahun 1995. Singkatnya, Don Tapscoott meramalkan bahwa di era mendatang, teknologi internet akan mengubah wajah ekonomi yang semula penyebaran arus informasi terbatas pada bentuk fisik menjadi pada bentuk digital. Dengan hadirnya era kecerdasan jaringan, nilai tambah ekonomi akan dibentuk oleh kerja-kerja kognisi bukan lagi kerja-kerja otot[4].

Cukup dengan bahasan singkat mengenai ekonomi digital, kita beralih untuk membahas  gig economy. Sebenarnya, cukup sulit untuk menemukan awal mula bentuk ekonomi ini. Makna ‘gig’ sendiri merujuk pada ungkapan musisi jazz di Amerika Serikat ketika melakukan konser pada tahun 1920-an. Namun sumber dari Business Insider mengungkapkan bahwa kerja seperti gig economy merupakan hal yang sudah lama terjadi bahkan sebelum era kecerdasan jaringan (internet) datang[5]. Dalam artikel tersebut menjelaskan kerja-kerja lepasan merupakan hal umum yang terjadi pada abad ke 19 sebagai cara untuk bertahan hidup dan mendapatkan status sosial[6].

Pada era internet seperti yang terjadi hari-hari ini, gig economy menjelma pada gig platform seperti Grab, Gojek, Mbakmu, AirBnB, dan lain-lain. Gig platform sendiri tidak dibuat sama. Terdapat struktur yang berbeda dan cara-cara yang ditawarkan seperti jenis pekerjaan yang ditawarkan, jenis freelancer yang mencari pekerjaan, dan sifat kontrak kerja. Platform tersebut cenderung memberikan garis batas yang jelas, sehingga dapat memberikan kepastian posisi hubungan majikan dan tenaga kerja. Terdapat dua cara yang biasa dilakukan platform gig tersebut, yang pertama si platform memberikan listpekerjaan dengan kontrak kerja yang saklekkepada freelancer sebagai upaya mendukung berjalannya platform secara operasional. Yang kedua, si platformmelakukan negosiasi mengenai listpekerjaan kepada freelancer. Lebih jelasnya bisa melihat gambar dibawah ini
 
Sumber: Boston Consulting Group

Jadi, anggapan bahwa kerja-kerja lepasan yang selama ini dilekatkan pada kerja-kerja otot (sebenarnya juga mikir) yang tidak perlu berpendidikan tinggi  seperti pengendara gojek, buzzer politik, bakul survei, dan lain-lain harus kita ubah. Kerja-kerja lepasan yang intensif pengetahuan seperti desainer web, analis data, pekerja rupa lepasan, penerjemah, dan lain-lain juga mulai mendapatkan tempat. Walaupun seakan-akan terdapat jurang pemisah antara kerja-kerja kognitif dan non-kognitif, namun dalam naungan kerja lepasan yang sama, kita musti memikirkan kembali upaya kemenyatuan pekerja menghadapi permasalahan kerja-kerja lepasan dalam gig economy ini.

Poin-poin Eksploitasi Gig Economy

Apa yang membuat kerja-kerja lepasan dalam gig economy ini bermasalah? Yang pertama, platform ini tidak memiliki regulasi yang jelas dan ketat dalam melindungi hak pekerja. Seperti yang telah kita ketahui pekerja yang menceburkan dirinya kedalam pusaran pasar tenaga kerja lepasan tidak mendapatkan akses informasi kontrak kerja, tunjangan kesehatan, dan operasional (biaya perawatan alat produksi, ongkos internet, dsb). Dengan demikian, segalanya ditanggung oleh pekerja dengan imbalan upah berdasarkan jam kerja yang juga sudah ditawar habis-habisan oleh platform. Lebih parahnya lagi, upah yang disepakati tidak dibayar sepenuhnya oleh penyedia kerja.  Pada intinya, fitur dari gig economy ini berupaya untuk meminimalisir regulasi dari luar yang menyangkut hubungan antara penyedia kerja dan pencari kerja. Pencari kerja ini dianggap sebagai kontraktor independentyang seolah-olah mempunyai posisi dan daya tawar yang setara (walaupun jika dilihat secara kritis, tetap saja berposisi sebagai buruh).

Penelitian Graham, Hjorth, & Lehdonvirta (2017) menunjukkan terdapat 4 permasalahan gig economy terhadap pekerja digital lepasan yaitu posisi daya tawar, intermediasi, pengembangan skill dan kapabilitas, serta eksklusi ekonomi. Pada poin yang pertama, posisi daya tawar erat kaitannya dengan tidak adanya regulasi yang mendukung pekerja digital lepasan. Dengan tidak adanya regulasi tersebut, para pekerja digital lepasan ini dengan suka rela membanting rate kerja mereka demi mendapatkan perhatian dari penyedia kerja. Akhirnya, akibat mengganasnya adu banting harga antar pekerja ini merembet hingga ketidak mampuan mereka dalam membayar kebutuhan pokok mereka seperti membayar tempat tinggal, membayar tanggungan keluarga, biaya operasional, biaya kesehatan, dan seterusnya. Tentunya ini tidak berdampak pada pekerja yang memiliki kualifikasi mentereng yang dapat melakukan negosiasi kepada penyedia kerja, namun bagi pekerja lepasan yang berkemampuan biasa saja permainan banting harga tentu saja berimbas besar dalam hidup mereka.

Poin kedua adalah intermediasi. Intermediasi dibagi pada dua cara, disintermediasi dan reintermediasi. Disintermediasi sendiri merupakan sebuah metode pemangkasan pada rantai pasok dari produsen ke konsumen tanpa melalui beberapa perantara. Sehingga peran-peran perantara yang sebelumnya dianggap penting untuk ikut memasarkan produk dari produsen, lambat laun tergantikan dengan platforminternet yang dapat memperamping jalur hubungan antara produsen dan konsumen. Sedangkan pada reintermediasi, merupakan metode rantai pasok yang tetap memasukkan perantara sebagai peran penting yang menjembatani produsen dengan konsumen.

Pada kasus pekerja digital lepasan, proses intermediasi ini membawa keuntungan dan kerugian. Yang pertama, disintermediasi memungkinkan pekerja digital lepasan ini untuk berhubungan langsung dengan perusahaan tertentu tanpa melalui websitepenyedia kerjaan lepasan seperti Sribulancer, Projects.co.id, 99Design, dsb. Dengan demikian, pada kasus disintermediasi sebenarnya terbuka bagi pekerja digital yang memiliki reputasi baik dan memiliki keahlian khusus yang benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Pada kasus reintermediasi, laporan artikel jurnal tersebut menunjukkan bahwa eksploitasi rantai pasok yang kerap terjadi adalah melalui antar pekerja digital lepasan sendiri! Jadi, skemanya begini, pada dunia freelancer (ternyata) terdapat hirarki antar pekerja digital. Pekerja yang memiliki kualifikasi mentereng dan reputasi yang ciamik di jagad digital memiliki peluang besar untuk diambil oleh perusahaan yang membutuhkan. Dengan adanya banyak permintaan, si pekerja yang ciamik itu kemungkinan besar mengambil beberapa job yang menurutnya menguntungkan. Namun, dengan kemampuan dan sumber daya yang terbatas, mau tak mau ia pasti akan melemparkan beberapa job ke pekerja digital lain yang kurang beruntung. Sekilas tampak dermawan karena membantu meringankan gundah hati pekerja yang kurang beruntung itu, tapi  permasalahannya adalah pekerja digital yang tak beruntung itu mendapatkan upah yang lebih rendah karena sebagian besar nilai proyek itu sudah diambil oleh pekerja digital ciamik jahanam[7].

Poin ketiga merupakan pengembangan skill dan kapabilitas. Kelihatannya tidak ada masalah pada poin ini, namun sebenarnya hal ini menjadi permasalahan ketika sebuah perusahaan penyedia pekerjaan tersebut tidak memberikan informasi yang utuh mengenai rantai nilai (value chain) sebuah pekerjaan yang diambil oleh pekerja digital lepasan. Dengan tidak adanya informasi yang utuh mengenai rantai nilai dan perusahaan tersebut, maka pekerja digital lepasan ini kesulitan untuk menerka skill dan kapabilitas apa yang musti dikembangkan demi menaikkan posisi daya tawar mereka dan memahami sistem kerja perusahaan tersebut. Sehingga yang terjadi adalah klusterisasi pekerja digital lepasan yang terpisah-pisah berdasarkan penawaran pekerjaan yang diambil di dunia maya.

Yang terakhir, adalah eksklusi ekonomi. Sebenarnya kehadiran gig platform memberikan peluang yang bagus untuk mengentaskan permasalahan ekonomi bagi individu yang tidak kunjung mendapatkan pekerjaan karena faktor jenjang pendidikan, dianggap tidak produktif (faktor umur atau faktor berganti kemampuan), diskriminasi SARA, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Karena gig platform dapat memberikan peluang kepada pekerja digital lepasan untuk mengakses pasar kerja yang ‘lebih baik’ dan dapat mengakses pasar kerja secara anonym untuk menutupi identitas pribadi[8]. Namun, ketika identitas pekerja tersebut terbongkar dari dunia ketiga yang terbelakang maka bisa jadi pemberi kerja tersebut berpikir dua kali karena sentimen penduduk dunia ketiga dianggap terbelakang, susah diajak berkomunikasi dengan bahasa inggris, dan dianggap akan mengerjakan segala sesuatu dengan upah yang sangat murah. \

Sumber: Processbliss


Refleksi Mengenai Fenomena Gig Economy Terhadap Kerentanan Pekerja.

Melihat poin-poin eksploitasi di atas, gig economy bisa jadi merupakan cara kapitalisme untuk meredam resistensi pekerja (supresi), sekaligus dalam meringkus lebih banyak lagi nilai kerja dari sang pekerja (eksploitasi) demi pertambahan profitnya[9]. Bentuk gig economy memungkinkan perusahaan kapitalis mengalihkan beban-beban operasionalnya kepada pekerja. Saat ini, jika kita melihat secara jernih, pekerja dituntut untuk memiliki dan memelihara alat produksinya sendiri sedangkan perusahaan tidak mau tahu apapun yang terjadi, yang penting upah atau komisi sudah tersalurkan. Upah atau komisi yang tersalurkan pun tidak dapat menutupi biaya-biaya dasar dan pada akhirnya menyeret pekerja dalam jurang prekarisasi[10]

Kerja-kerja digital lepasan ini selalu identik dengan otonomi pekerja yang dapat mengatur jadwal kerja secara fleksibel dan nomadik. Namun embel ‘fleksibilitas’ ini sebenarnya hanyalah mitos. Karena secara struktural, pekerja tidak memiliki posisi daya tawar yang setara sehingga berimbas pada waktu menyelesaikan sebuah pekerjaan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Konsekuensinya pengerjaan hingga larut malam untuk menyelesaikan sebelum tenggat waktu yang ditentukan.  Tak jarang, karena mepetnya waktu pengerjaan ini berakibat timbulnya depresi karena kurang waktu bersosial.

Nah, sayangnya, proses-proses eksploitasi di atas adalah hal-hal yang masih dianggap wajar, normal, dan seakan-akan sudah dari sananya. Kita musti melihat secara kritis dan proaktif untuk merancang strategi-strategi agar eksploitasi yang terus bergerak ini terkikis dan pada akhirnya para pekerja lepasan dapat merebut kemerdekaan kerja dari jerat ekonomi kapitalis ini. 

Akhirnya, artikel panjang ini mengarah pada satu pertanyaan yang (saya harap) dapat memancing diskusi dan imajinasi kita selanjutnya, bisakah pekerja lepasan baik digital maupun non digital dapat mengorganisir kerja-kerja produktif secara bersama-sama sehingga dapat mengatur lingkungan kerja yang tak mengeksploitasi satu sama lain dan berkelanjutan?


[2] https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-06/indonesia-s-booming-gig-economy-means-big-tradeoffs-for-workers?utm_source=twitter&utm_campaign=socialflow-organic&utm_content=economics&utm_medium=social&cmpid%3D=socialflow-twitter-economics
[3] https://www.bcg.com/publications/2019/new-freelancers-tapping-talent-gig-economy.aspx
[4] Don tapscoott lebih lanjut mengemukakan kerja kognisi tersebut merupakan cikal bakal bentuk ekonomi baru yang disebut knowledge economy. Pada knowledge economy, ide-ide masyarakat (tak peduli ia konsumen atau produsen) akan menjadi sumber kreasi dari sebuah produk. Ia mencontohkan kustomasi pada sebuah boutique bakery yang memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk mengutak-atik isi sandwich, melakukan order lewat jaringan computer, dan mengirimnya pada sore hari. Nilai  sebuah roti meningkat menjadi sebuah produk karya kerja kognisi dan mass-customized daripada hanya menjadi roti yang diproduksi masal.
[5] https://www.liveops.com/blog/brief-history-gig-economy/
[6] Ibid. Artikel tersebut memberikan contoh mengenai kerja-kerja dengan platform gig di Inggris pada abad ke-19. Di mana orang yang mengambil banyak kerja merupakan hal yang umum dan wajar demi bertahan hidup di kota. Menariknya, selain dilakukan untuk bertahan hidup, kerja-kerja gig tersebut juga dilakukan demi mendapatkan status sosial.
[7] Penelitian Graham, Hjorth, dan Lehdonvirta (2017) menambahkan tidak hanya eksploitasi berupa upah yang rendah yang menjadi masalah. Pekerja digital yang terjebak pada rantai reintermediasi juga tidak dapat memahami dan berkomunikasi dengan baik deskripsi kerja yang dinginkan oleh perusahaan.
[8] Walaupun banyak yang berpendapat dunia maya memrupakan dunia yang demokratis, namun ketika identitas pribadi kita menunjukkan satu identitas yang mencolok, maka bisa jadi peluang menjadi target diskriminasi dan rasisme masih terbuka lebar.
[9] https://indoprogress.com/2019/04/ekonomi-pengetahuan-atau-kognitarianisasi/
[10] Prekarisasi merujuk pada proses prekariat. Istilah prekariat merupakan perpaduan antara “precarious’ (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Istilah ini dipopulerkan oleh Guy Standing  ini merujuk pada para pekerja yang terlibat dalam pola ketenagakerjaan yang “tidak permanen” dan “fleksibel” seperti sistem kontrak, outsourcing, part-time, freelance, dan teleworking (Polimpung, 2018).

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...