Berbeda dengan Yati, Aviva Nababan (biasa dipanggil Avi atau Iva oleh orang-orang terdekatnya) adalah seorang jebolan Fakultas Pendidikan Sastra Inggris dari Universitas Atmajaya. Sedari kuliah Avi sering terlibat dalam kehidupan aktivis. Menapaki trotoar panas dan mengeluarkan aspirasi mahasiswa di era Reformasi ikut digelutinya. Setelah lulus, sedikit melenceng dari jurusan yang diambilnya saat kuliah, Avi sempat terlibat cukup dalam di ELSAM, sebuah LSM yang menyoroti persoalan Hak Asasi Manusia. Tak cukup di ELSAM, Avi pun turut membidani kelahiran suatu Yayasan baru yang keprihatinannya adalah pendidikan kritis bagi kaum muda. Di yayasan yang diberi nama Association for Critical Thinking ini, Avi mendedikasikan waktu dan energinya secara cuma-cuma.
Menunggu dua tahun selepas lulus kuliah S1, Avie berhasil menggondol beasiswa ke London untuk mempelajari International Relationship melalui Chevening Scholarship. Minatnya pada transitional justice mulai terwadahi. "Gue selalu merasa transitional justice itu penting dalam mensukseskan transisi suatu negara dari dictatorship ke demokrasi," tuturnya lugas. Minat dalam hal inipun sudah dipendamnya sejak dia masih belajar untuk menjadi guru.
Entah karena minat yang dia miliki sejak kuliah, semenjak lulus, Avie belum pernah terjun ke dunia 'coorporate'. Sampai sekarang dia masih bergabung di ACT. Namun satu organisasi belum cukup memuaskan sosok Avie yang tak bisa diam. Dia pun bergabung di ICTJ dan Human Rights Centre Berkeley. Meskipun sejarah hidupnya diwarnai dengan kehidupannya dari satu LSM ke LSM lain, Avie mengakui bahwa dia hanya ingin bekerja part time di berbagai organ??organisasi?? yang dia geluti sekarang. "Agar tidak bosan dan punya keleluasaan memilih dalam proyek," alihnya. Dengan statusnya sekarang, Avie bebas menentukan jam kerja dan berapa lama dia bekerja sehari. Terkadang ketika jiwa workaholicnya kumat, dia bisa bekerja lebih dari 12 jam sehari. Namun, disaat tertentu, dia bisa berdiam seharian di rumah untuk menikmati dirinya sendiri.
Dari kedua tempat dimana Avie berafiliasi, dia berhasil mendapatkan keamanan finansial. "Cukup, cukup.." tuturnya. Tanpa perlu mendapatkan subsidi malahan justru memberikan subsidi pada keluarganya, seorang Avie membeberkan manajemen keuangannya. Dari jumlah 2-5 juta/bulan yang pasti dia dapatkan (belum termasuk pekerjaan lepasan yang bersifat per proyek yang tidak tentu nominalnya), 30% dia berikan untuk keluarga, 30% untuk tabungannya dan sisanya untuk keperluan sehari-hari.
Salah satu saluran pembuangan keuangannya adalah buku. Beberapa juta pasti dia habiskan pertahun untuk membeli buku. "Tak pernah ada budget pasti, namun ada beberapa juta." urainya. Beredar di TIM, ISAI dan Q-B untuk mencari buku-buku bagus sering dilakoninya. Dia sendiri mengatur buku-bukunya di rumah, ada buku-buku hukum (tentunya), sastra, novel suspense dan berbagai jenis buku lain yang dia beli tergantung moodnya saat itu.
Waktu di luar pekerjaannya sering di habiskan untuk menjaga kesehatannya di fitness center. Selain itu dia masih sering berkunjung ke tempat kuliahnya dulu. Avi juga dapat ditemukan di warung-warung indomie tempat temannya nongkrong atau di café-café karena dia adalah sesosok penggemar kafein.
Orang tuanya tidak berkeberatan melihat anaknya berkecimpung di dunianya sekarang ini. Begitupun seorang lelaki yang dekat dengannya beberapa tahun ini. Malahan ujarnya, "kekasihnya yang bergerak di bidang BUMN terlihat ingin bekerja sepertinya." Itulah sosok seorang Avie, yang sampai saat ini masih tetap konsisten menjalani minatnya, menuju negara yang demokratis.
No comments:
Post a Comment