[PIKIR] Menilik Realita Anak Jaman Sekarang


Sesuai judulnya, tulisan ini mengajak kita mengamati situasi anak kita melalui perspektif waktu. Kalau kita ingin bicara mengenai realita anak-anak kita jaman sekarang, tentunya kita perlu melongok bagaimana hal-hal yang sama terjadi di waktu-waktu yang lalu– setidaknya sewaktu kita kecil dulu. Hari ini, kita ada di dalam situasi di mana teknologi sudah merasuk ke segala sisi kehidupan dan juga menjangkau berbagai sisi kehidupan anak-anak kita. Tulisan pendek ini akan menyoroti apa dan bagaimana dampak-dampak yang muncul dari berbagai perubahan yang ada bagi proses tumbuh kembang anak-anak kita saat ini.
Kita coba mulai dari telaah singkat situasi dulu dan sekarang. Sewaktu saya duduk di bangku SD dulu, tidak banyak ditemui rumah yang memiliki pesawat telepon sendiri.
Hari ini di kota-kota kecil bahkan di pelosok, kita sudah melihat anak-anak memegang telepon genggamnya sendiri. Perangkat yang tidak hanya bisa menelepon tapi dengan layar sentuhnya sudah bisa mengakses internet dan segala konten yang terhubung melaluinya. 
Dulu hanya beberapa keluarga yang cukup mampu yang memiliki televisi di rumahnya, di mana di sore hari keluarga bisa asyik menyaksikan tayangan dari satu saja kanal siaran yang tersedia: TVRI, itupun dalam tayangan hitam dan putih. Saat ini, banyak rumah sudah bisa menyaksikan tayangan dari pilihan puluhan kanal TV kabel di layar datar pesawat TV lengkap dengan audio surround ibarat di ruang bioskop.  
Dulu sewaktu kecil, saya begitu beruntung bisa bermain menjelajah sawah dan tegalan, serta tidur-tiduran di saung milik pak Tani. Sekarang untuk berkegiatan di luar rumah-pun menjadi sulit karena banyaknya motor lalu lalang, dan ruang ruang terbuka di perkotaan yang berubah menjadi bangunan. Anak-anak kita sekarang mengisi waktu luangnya di rumahnya, di ruangan tertutup kamarnya sendiri atau di mal-mal sewaktu akhir pekan. 
Situasi sudah begitu berubah, hanya dalam tempo kurang dari satu generasi. Sebuah rangkaian perubahan yang luar biasa cepat sehingga kita pun manusia tergopoh-gopoh memahami dan memaknainya. Apakah hal-hal tersebut yang lazimnya kita pandang sebagai kemajuan kemudian menjelma menjadi kebaikan, tentunya sangat menjadi pertanyaan. 

Dunia Bermain dan Belajar Anak-anak

              Anak-anak kita yang tinggal di kota (kita bicara dalam konteks kota Bandung) setidaknya kehilangan sangat banyak hal. Ruang terbuka yang aman dan memadai adalah salah satu di antaranya. Padahal proses tumbuh kembang mereka membutuhkan ruang gerak dan eksplorasi jasmaniah yang kaya. Anak-anak di usia 0-7 tahun perlu mendapat kesempatan memahami tubuh dan lingkungan sekitarnya secara jasmani. Mereka perlu banyak sekali berlari-lari, memanjat pohon, tersandung dan terjerembab. Mereka perlu mengalami bersentuhan langsung dengan alam sekitarnya, bermain batu-batuan dan dedaunan, melangkah di atas tanah dan kerikil, menapak di atas rumput dan dedaunan…


KEGIATAN BERKEBUN DI SEMI PALAR | DOK : SEMI PALAR    
                 Saat ini, anak-anak bahkan di usia 2-3 tahun sudah banyak kita lihat duduk tenang memangku gadget, memainkan permainan di atas layar datar menggunakan jari-jemarinya. Alih-alih bermain bola sepak di lapangan, anak-anak kita duduk diam di dalam ruangan. Jari-jarinya yang bermain ‘winning eleven’ di atas layar tablet. Hilang sudah pengalaman bermain yang begitu kaya. Pengalaman multisensori yang mereka dapatkan dari menendang dan mengoper bola, tersandung jatuh terdorong, berlari sekencang-kencangnya mengejar bola sudah hilang. Begitu juga kesempatan untuk mengalami derasnya arus emosi yang meruap bersama teman satu tim saat menang maupun bagaimana berdamai dengan dirinya untuk menerima kekalahan. Hal-hal seperti ini yang sekarang semakin menghilang dari alam belajar anak-anak kita. 



ANAK BERMAIN LAYANGAN DI ATAS ATAP RUMAHNYA, DI SISI SUNGAI CIKAPUNDUNG | DOK : PRIBADI 

Waktu dan Ruang Bertumbuh yang Menghilang

Di sisi lain, anak-anak kita juga banyak kehilangan waktu bersama orangtuanya. Saat ini sudah ada layanan-layanan ‘pendidikan’ yang ditawarkan bagi anak mulai dari usia 6 bulan. Usia anak bersekolahpun semakin muda. Di usia 2 tahun, orangtua sudah sibuk menemukan sekolah bagi anaknya. Jam sekolah-pun semakin lama semakin panjang. Kalaupun tidak, anak-anak pergi dari satu les privat ke les privat lainnya – dimulai dari usia TK. Di sisi lain tuntutan kehidupan modern, terutama secara ekonomi juga membuat orangtua serba sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarga – belum lagi menanggapi kebutuhan gaya hidup yang tak habis-habisnya. Semakin tipis sudah kesempatan orangtua membagikan waktu, kebersamaan dan perhatian bagi anak-anaknya. 
Sementara itu tayangan TV dan filem-filem dengan beragam tema serta tampilan serba menarik telah menjauhkan  anak-anak kita dari dongeng sebelum tidur dan bermain bersama orangtua. Perubahan-perubahan ini sudah mengikis habis alam dongeng dan imajinasi yang dulu banyak dihantarkan oleh orangtua kita saat sebelum tidur ataupun di kesempatan-kesempatan lain. Kakek dan nenek yang dulu senang sekali mendongeng dan berbagi cerita kepada cucunya, saat ini tergantikan oleh tokoh-tokoh lucu yang direkayasa industri hiburan lengkap dengan baju, boneka dan tasnya sekaligus. Kita lupa bahwa banyak sekali nilai kehidupan dan hantaran keindahan yang dibawakan oleh dongeng cerita rakyat dan sejenisnya. Tanpa disadari orangtua semakin terlena membiarkan anak-anak mereka hidup di dalam ruangan di hadapan layar kaca dan berbagai perangka elektroniknya.

Pergeseran di Dunia Pendidikan

Sekarang ini semakin banyak lembaga pendidikan yang menawarkan hal-hal yang umumnya dikorelasikan dengan kecanggihan / kemajuan pendidikan. E-learning adalah salah satunya. Anak-anak di sekolah diajak belajar dengan menggunakan komputer atau tablet di usia semuda mungkin. Seakan hal itu adalah sesuatu yang canggih dan modern. Sebelum kita bersepakat dengan hal tersebut, kita perlu menelaah dulu hal tersebut secara kritis. Apakah betul media digital tepat untuk anak-anak? Apa dampaknya bagi mereka? Kapan sebaiknya mereka bersentuhan / berkenalan dengan hal itu. Apa yang kurang dengan media yang kita kenal selama ini – buku-buku, misalnya. Apakah memang buku-buku perlu digantikan dengan media komputer. 
Saya akan coba ulas dari satu sisi, bagaimana media belajar sangat memengaruhi terbangunnya pola pikir anak. Media digital memang menawarkan banyak kemudahan bagi penggunanya. Media ini memiliki kemampuan untuk mengindeks, mencari teks (search) dan lain sebagainya. Penggunanya dapat mencari informasi dengan cepat (instan). Perlu kita sadari betul bahwa hal ini dapat sangat memperlemah terbangunnya pola pikir anak. Padahal di era sekarang di mana anak-anak kita kebanjiran informasi, mereka perlu punya kemampuan untuk menyaring dan mengolah informasi. Hal lain yang sering tidak disadari adalah bahwa komputer dan perangkat sejenisnya beroperasi dalam mode multi tasking dan multimedia. Saat bermain komputer, anak dengan mudah beralih aplikasi / atau mereset permainan saat mereka kalah atau menghadapi kesulitan. Hal ini juga sangat melemahkan kemampuan anak untuk bisa memusatkan perhatian dan menyelesaikan satu hal sampai tuntas.
Di sisi lain, buku adalah media paling tepat untuk bisa membangun pola pikir anak dengan baik. Melalui buku, anak dapat banyak berlatih untuk fokus, memusatkan perhatian dan merangkai makna. Melalui buku, anak harus bergerak dari baris kalimat ke baris kalimat  berikutnya, dari halaman ke halaman berikutnya. Berpikir secara runut dan terstruktur dan mengimajinasikan apa yang terekam dalam teks agar dapat bermakna bagi dirinya. Walaupun tampak sederhana, buku adalah media pembelajaran yang sangat kaya bagi anak.


JABA WASKITA : JAM BACA WAWASAN KISAH DAN CERITA DI SEMI PALAR | DOK : SEMI PALAR 


Penutup

Kecanggihan-kecanggihan teknologi yang seringkali kita korelasikan dengan kemajuan, ternyata berdampak sangat besar pada proses tumbuh kembang anak-anak kita. Proses yang semestinya berjalan alamiah dan penuh kewajaran. Kita jangan pernah melupakan bahwa alam punya tempo dan ritmenya sendiri. Kita dan anak-anak kita – manusia - adalah juga bagian dari alam. Anak-anak kita punya tempo dan ritmenya sendiri dalam menumbuhkembangkan segala aspek kediriannya secara utuh dan seimbang. 
Proses perubahan yang sangat cepat memang membuat kita semua, juga sebagai orangtua, menjadi gamang menanggapi dan merespon situasi dengan tepat. Dalam hal pendidikan anak-anak kita, kita perlu sangat berhati-hati merespon perubahan. 
Ruang tulisan ini memang sangat terbatas untuk membahas masalah ini secara memadai, mudah-mudahan apa yang tertuang di atas ini memberikan gambaran tentang situasi kita, terutama anak-anak kita, di dunia yang sedang berubah dengan cepatnya. Bagaimanapun pilihan untuk merespon perubahan ini ada di diri kita masing-masing. 


Bandung, 9 September 2013

(Andy Sutioso)



Andy Sutioso, lahir dan tinggal di Bandung, bersama istri dan dua orang anak. Latar belakang pendidikan adalah bidang arsitektur, sejak 14 tahun yang lalu memilih bergiat di komunitas dan memperdalam tentang pendidikan, khususnya pendidikan holistik. Memiliki banyak minat termasuk di dalamnya seni budaya, lingkungan hidup, spiritualitas, sejarah dan teknologi. Waktu luangnya diisi bersepeda, membaca, blogging dan potret memotret. Sejak 2004 merintis Rumah Belajar Semi Palar, (www.semipalar.sch.id) sekolah formal dengan pendekatan pendidikan holistik di Bandung.     


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...