[MASALAH KITA] Konflik Peran Ganda Ibu Aktivis

Oleh: Anastasia Levianti

Ibu aktivis menjalankan setidaknya dua peran, yakni peran domestik sebagai ibu dari anak-anaknya ataupun istri, dan peran sosial sebagai agen perubahan di masyarakat. Di samping idealisme yang intensif, kedua peran ini menuntut pemberian waktu, pikiran, perhatian, dan tindakan dari ibu. Ada kalanya, kedua peran menuntut pemberian yang sama banyaknya pada saat bersamaan, sehingga ibu mengalami konflik.
Saat menghadapi situasi konflik, ibu dihadapkan pada setidaknya 3 pilihan, yakni : (1) mendahulukan peran domestiknya, (2) mengutamakan peran sosialnya, atau (3) mencari cara untuk memadukan keduanya. Yang paling sering terjadi adalah ibu mengedepankan salah satu peran dan mengebelakangkan peran yang lain. Sebagai akibatnya, ibu merasa bersalah karena salah satu peran tidak ia jalankan secara optimal.

Ibu lalu melakukan evaluasi dan merencanakan langkah perbaikan, mulai dari penetapan skala prioritas, manajemen waktu, strategi mengelola stamina dan emosi, serta hal lain-lainnya. Rencana perbaikan tidak langsung berhasil dijalankan. Rangkaian konflik, langkah solusi, evaluasi, dan rencana perbaikan pun menjadi siklus berulang yang dialami ibu. Perubahan terjadi sedikit-sedikit, lambat, kurang signifikan, dan melelahkan. Oleh karena itulah Rubrik “Masalah Kita” mengangkat topik ini, untuk menguraikan permasalahan dari konflik peran ganda ibu aktivis, dan memperoleh gambaran tentang alternatif solusinya.      
Berikut jawaban 7 responden untuk konflik peran ganda yang dialami.







# Marah kepada anak karena ibu tertekan oleh aktivitas padat dalam waktu sempit
# Merasa bersalah kepada anak karena ibu mendahulukan pekerjaan
# Merasa ragu apakah aktivitas sosial tetap perlu dipertahankan
# Tak ada masalah, yakin anak didukung lingkungan eksternal saat ibu beraktivitas di luar
Dari hasil rekap di atas, tampak bahwa salah satu keluhan utama ibu adalah perasaan terhimpit oleh banyaknya tugas yang perlu ia selesaikan dalam waktu terbatas. Perasaan terhimpit lahir akibat desakan keinginan untuk mewujudkan hasil sempurna di kedua bidang secara cepat dan tepat. Keterhimpitan ibu biasanya disalurkan dalam bentuk perilaku marah kepada suami yang dianggap kurang kooperatif, maupun anak-anak yang rasanya sulit diatur dan menuntut perhatian lebih. Perilaku marah terjadi semakin sering, semakin intens, dan semakin sulit dikendailkan, meski perasaan menyesal selalu datang setelah amarah reda. Mengapa demikian?
Ibu mengalami frustrasi berulang-ulang. Pikiran ibu tentang “apa yang seharusnya” berkebalikan dengan kenyataan di depan mata. Tanpa sadar, ibu terjebak pada idealismenya sendiri.  Ditambah dengan cermin sosial yang terbentuk selama ini bahwa seorang ibu haruslah sempurna, senantiasa sabar, telaten merawat dan mengasihi keluarganya. Dari sinilah pangkal mula seorang ibu mengharuskan dirinya memenuhi kondisi tertentu, dengan dalih, “Berperilaku marah-marah itu tidak baik. Segala perilaku kurang optimal harus diperangi, tidak boleh dibiarkan begitu saja” Ibu menolak untuk menerima diri dan lingkungannya secara apa adanya, karena segala hal yang tidak sesuai idealismenya dianggap buruk dan merasa wajar untuk diperbaiki. Dalam hal ini, ibu telah mencintai diri sendiri secara berpamrih. Artinya, ia hanya mampu merasa bahagia ketika idealismenya tercapai.
Pamrih atau cinta bersyarat ibu terapkan secara otomatis juga pada lingkungan di luar dirinya. Anak, suami, rekan, atau lingkungan harus memenuhi idealismenya, barulah mereka semua itu dapat ibu balas sikapi dengan baik. Padahal kenyataannya, setiap orang itu  beranekaragam, dengan cara mereka masing-masing untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan memenuhi keinginan mereka sendiri, baik dengan cara yang kasar maupun dengan cara yang halus. Kenyataan ini sungguh buruk bagi ibu, karena bertentangan dengan konsep idealnya mengenai manusia sebagai makhluk berbudi tulus. Ibu tidak mau melihat mereka secara transparan. Ibu belum bisa mencintai mereka secara apa adanya. Ibu mudah dikecewakan.
Akar masalah yang perlu ibu aktivis pahami ialah ketidakmauan mencintai diri sendiri secara apa adanya, yang berkembang menjadi ketidakmauan mencintai realita dan lingkungan yang lebih luas secara apa adanya juga. Seperti wanita yang menutupi perasaan jeleknya dengan berdandan, apapun upaya yang dilakukan, sekedar menimbulkan ria sesaat, dan tidak berdaya melahirkan perasaan cantik dari dalam dan cinta.
Alternatif solusi yang perlu ibu aktivis pertimbangkan adalah berhenti memoles diri dan orang lain, ataupun kenyataan di depan mata. Berhenti mencocokkan keadaan diri sesuai cermin sosial. Setiap yang ada pada suatu saat sudah hadir dengan kesejatiannya yang penuh, tanpa perlu perbaikan ataupun sekedar pelengkap kemasan. Getaran cinta tanpa syarat akan melahirkan tindakan memelihara, bukan memerangi, seperti wanita yang menyayangi fisiknya dan merawat kondisinya. Karena tanpa pamrih, ibu akan terbuka menerima keadaan chaos dan spontanitas pihak lain, tidak lagi memaksakan perwujudan idealisme pribadi. Tindakannya bersifat merespon kebutuhan bersama dari hatinya, bukannya membalas atau re-aksi. Sebaliknya, aksi yang ibu lakukan akan menggugah hati pihak lain untuk memberikan respon sesuai kebutuhan bersama, bukannya memancing balasan atau re-aksi mereka.       
Bagaimana menahan dorongan untuk memoles diri, mengingat dorongan tersebut datang secara kuat dan cepat, nyaris seperti refleks saja sifatnya? Cara utama adalah, menyadari momen 1-2 detik saat dorongan itu muncul, menerimanya hadir di dalam diri, lalu melepaskannya, dorongan itu secara alamiah akan reda.
Di samping keluhan perasaan terhimpit dan respon amarah, ada juga keluhan tentang kelelahan dan ketidakberdayaan, serta keraguan untuk tetap menekuni kedua peran atau ketakutan untuk melepas salah satunya. Saat ibu merasa lelah dan tak berdaya, secara jujur tubuh ibu mengungkap kebutuhannya akan istirahat. Namun jujur pula diakui bahwa pikiran ibu tak mampu menghentikan semua aktivitas rutin dari kedua peran yang sudah ia jalani selama ini. Ibu seperti robot pekerja yang mulai aus dimakan usia. Orientasi utamanya adalah produktivitas. Tindakan ibu berlandaskan prediksi logis dan mengabaikan dorongan perasaan. Tanpa sadar, ibu menyikapi kehidupannya sebagai proses bisnis yang perlu ia kelola, bukan sebagai misteri yang perlu ia hidupi.
Di tengah-tengah itu, ada kalanya, ibu merasa bimbang. Ibu ragu apakah kedua peran perlu ia pertahankan, ataukah lebih tepat fokus menekuni salah satu peran dan peran lain sekedar sebagai pengisi waktu luang. Berbagai pro kontra muncul di balik setiap peran, seakan saling ingin mengalahkan satu sama lain dan hanya akan ada satu peran yang muncul sebagai pemenang. Ragam pertimbangan semakin berseliweran, dan semakin sulit dipilah, mana yang kebutuhan sejati dan mana yang perangkap pembenaran. Berbagai ketakutan merintangi itikadnya melepas anak pada penyelenggaraan lingkungan sekitar. Ibu juga khawatir kelompok masyarakat binaannya akan telantar bila ia menghentikan peran sosialnya. Sementara tetap menjalankan keduanya tanpa prioritas jelas membebani ibu.
Akar masalah dari keluhan-keluhan ibu ini adalah rasa takut atau kurang percaya terhadap situasi ketidakpastian. Sebagai aktivis, keberanian ibu sebatas menghadapi situasi pasti, yakni memperjuangkan idealisme yang ia yakini benar dan memerangi perihal yang sudah jelas dianggap negatif oleh lingkungan. Situasi terus mempertahankan produktivitas meski dibebani kelelahan juga merupakan situasi pasti, yang enggan diubah karena khawatir menimbulkan chaos.
Alternatif solusi yang perlu ibu pertimbangkan adalah mengembangkan courage, more than brave. Ibu perlu berani mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya. Bagaimana mendeteksi suara hati yang perlu diikuti? Suara hati memiliki kuasa, yang mendorong manusia secara alamiah untuk bertindak, meski menghadapi macam-macam rintangan. Dan begitu keputusan ditetapkan, semua kemudahan bergulir memenuhi kebutuhan semua pihak.       
Berikut sikap yang diambil responden atas konflik peran ganda yang dialaminya.







# Membuat rencana lebih baik, melakukan evaluasi berkala, dan menerima apapun hasilnya
# Memilih alternatif yang dapat membuat ibu bahagia, dan menularkan kebahagiaannya
# Percaya pada lingkungan, saat menyerahkan anak ke dalam perlindungan “rahim dunia”
Ketidaksempurnaan ini, sungguh, sudah sempurna. Selamat Menikmati Harimu, Ibu!

Sumber gambar: http://www.noormafitrianamzain.com/2012/03/prestasi-dan-prestise.html







No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...