[OPINI] Ayah: Bukan Sekadar Pencari Nafkah, Tapi Pengemban Amanah.


Zaman terus berganti dari waktu ke waktu. Mulai dari era pra sejarah, postmodernisme, era revolusi industri bahkan hingga saat ini. Banyak perubahan yang terjadi, mulai dari perubahan tata pemerintahan, sistem sosial, dan lain sebagainya. Namun demikian ternyata ada satu yang tidak pernah berubah: sosok ayah dalam keluarga.

Dahulu laki laki dikenal hanya sebagai orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Pekerjaannya adalah berburu, mencarikan makanan untuk keluarga. Urusan meramu makanan dan merawat keluarga adalah urusan para kaum wanita. Termasuk mendidik anak.

Tapi tampaknya paradigma tersebut mulai berubah, meskipun baru perlahan-lahan. Maraknya tindak kejahatan, kekerasan pada remaja, pelecehan seksual, narkoba dan berbagai bentuk tindak kriminalitas lainnya menuntut para orangtua bertindak lebih hati-hati dalam mendidik anak. Peran ibu saja kini tak cukup untuk mengawal tumbuh kembang anak.

Menurut psikolog anak Elly Risman, peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam mendidik serta mengasuh anak. Adanya keseimbangan pengasuhan oleh ayah dan ibu akan membentuk perilaku yang positif bagi anak. Sisi feminis dan maskulin pada diri anak, baik anak laki laki maupun perempuan perlu ditumbuh-kembangkan secara optimal agar tidak terjadi 'kelainan kepribadian' pada diri anak. Agar tidak ada anak laki laki yang lebih feminim dan anak wanita yang lebih tomboy.

Pentingnya peran ayah juga menjadi catatan penting dalam sebuah penelitian internasional yang dimuat di situs artikel sains, Science Daily edisi 12 Juni 2012. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kasih sayang ayah sama penting—bahkan bisa lebih penting—dengan kasih sayang ibu dalam pembentukan kepribadian anak.

Oleh sebab itu semestinya sudah tidak ada lagi alasan bagi setiap ayah untuk cuci tangan dalam pengasuhan serta pendidikan anak. Ayah perlu mengambil peran dalam mendidik anak baik secara langsung atau tak langsung. Demi terciptanya generasi berikutnya yang lebih baik dan kokoh.

Beberapa waktu yang lalu sempat diluncurkan sebuah buku berjudul Ayah Ada Tapi Ayah Tiada' yang diterbitkan oleh lembaga Ayah Untuk Semua. Buku itu berisi tulisan tulisan anak anak tentang apa yang mereka rasakan terhadap keberadaan ayah di rumah. Buku itu bercerita tentang jeritan hati anak anak usia 6-12 tahun yang 'memprotes', kecewa, marah dan sedih atas ketiadaan orangtua mereka dalam kehidupan mereka.

Berikut ini nukilan puisi yang dituliskan olehsalah seorang anakdalam buku 'Ayah ada, ayah tiada' yang disunting oleh Irwan Setiadi,

AYAH KEMANA

Kantukku telah tiba
Ayah dan bunda ada dimana 
Aku ingin kita bertatap muka 
Kenapa setiap hari begini saja
Kantukku telah tiba 
Aku kembali bertanya 
Kenapa aku dibiarkan tidur sendiri saja 
Padahal aku ingin berbagi cerita
Kantukku telah tiba 
Tempat tidur yang sepi tanpa cinta
Selimut yang dingin tanpa kata-kata 
Bantal dan guling tak bisa bicara

Adanya fenomena ayah ada tapi ayah tiada seperti yang dikutip oleh Irwan Rinaldi - praktisi pendidikan  keayahan- seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua tentang betapa mirisnya kondisi pengasuhan oleh ayah saat ini. Fenomena ayah yang pergi sebelum Matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam yang semakin lumrah terjadi semakin memperparah keadaan. Besarnya tuntutan pekerjaan memang membuat kondisi semakin dilematis. Antara tanggung jawab menafkahi keluarga yang 'mengharuskan' para ayah terjebak dalam rutinitas tersebut dan tanggung jawab mengasuh serta mendidik anak yang juga harus dipenuhi. Tidak mudah memang. Tapi kita yakin akan selalu ada solusi atas setiap permasalahan.


Sumber gambar: http://www.deanthebard.com/blog/
wp-content/uploads/2014/04/father-and-daughter-silhouette-494x329.jpg
Sebagai seorang ayah yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap kehidupan dan keberlangsungan keluarganya saat ini di masa yang akan datang, maka sudah semestinya kita tidak memisahkan begitu saja antara kewajiban mencari nafkah dan mengayomi keluarga (termasuk mengawal istri kita mendidik anak). Tidak bijak rasanya menjadikan kewajiban mencari nafkah sebagai alasan untuk cuci tangan dari kewajiban mendidik anak. Sebab bagaimanapun masa depan anak dan keluarga adalah tanggung jawab kita juga. Sebab bagaimanapun kelak kita juga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupan mereka.

Mari kita luangkan waktu meski sejenak untuk menyapa, menemani, memeluk, mengecup buah hati kita, sesibuk apapun urusan kita mencari nafkah. Mari kita luangkan sedikit saja waktu untuk menelponnya, berbincang dengannya, menanyakan apa kabarnya hari ini, apa aktivitas yang baru ia jalani, dan pertanyaan pertanyaan ringan lainnya, di sela sela padatnya aktivitas kita. Mari luangkan waktu sebentar saja untuk  membacakannya sebuah cerita yang sarat akan makna kejujuran, kebaikan, ketegasan dan mengantarkan tidurnya hingga ia terlelap.

Rasanya tak muluk muluk untuk bisa meluangkan waktu meski hanya 5 menit saja untuk melakukan aktivitas aktivitas itu. Sekalipun tentu akan lebih baik jika kita meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik anak kita.


Apalah artinya meluangkan 5 menit di antara ratusan menit yang kita sisihkan untuk pekerjaan? 
Apa gunanya bersikukuh dengan pekerjaan jika anak sendiri tak mampu kita bahagiakan? 
Jika kita berdalih mencari nafkah untuk mereka, lantas mengapa kita tak luangkan hati dan waktu yang kita punya untuk mereka meski sedikit saja? 

Materi masih bisa kita cari bahkan kita beli, tapi kebahagiaan, masa depan anak dan istri takkan dapat terganti.

Sebab tanggung jawab kita tak hanya sekedar mencari nafkah, melainkan mengemban amanah.


Renungan atas diri sendiri, 

Anggayudha A. Rasa

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...