Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, dan satu-satunya perempuan adalah Munawiyah, seorang perempuan petani dari Pidie, Aceh. Ia adalah seorang petani perempuan yang sekaligus adalah aktivis. Saat ini ia dipercaya menjadi ketua PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).
Sosok dari profil kita kali ini menarik untuk disimak bagaimana perjalanan hidupnya dari seorang petani yang menjadi korban, kemudian malah menjadi aktivis petani dan perempuan. Perjuangan ini tidak mudah karena harus berhadapan budaya, kekuasaan negara dan kapital.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana ia mampu bertahan dalam visi misinya ini? Bagaimana sebagai aktivis ia bertahan hidup dalam kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita bisa menemukan sebuah semangat radikalisme yang bergabung dengan kesederhanaan.
Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) dengan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M
: Karena saya sudah sering di lapangan mengorganisir masyarakat, turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yang menjadi korban, yang menjauh di kita, ya…kita mendampingi mereka sejauh kemampuan saya.
H : Korban yang biasanya ditangani korban apa?
M :Ya, korban kekerasan, baik yang dilakukan oleh keluarga, atau negara atau lingkungan. Itu yang sering kita dampingi.
H : Ini lewat lembaga Permata ini ya?
M : Yang saya dampingi lewat lembaga itu khususnya petani. Tapi ada yang secara pribadi saya tangani, yaitu ada yang korban kekerasan keluarga, ada yang negara. Itu yang secara pribadi, atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Tapi seringkali secara pribadi.
H : Kalau sehari-harinya ngapain aja?
M : Ya kalau yang hari-hari rutinnya buat sementara karena setelah konggres 2 Permata kita dipercaya sebagai ketua umum di Permata, ya kita tinggal separuh bulannya di kantor, separuh bulannya di lapangan. Bagi waktu. Kalau misalnya minggu pertama itu kita di kantor, minggu ke dua di lapangan, minggu ke tiga di kantor, minggu ke empat lapangan.
H : Boleh crita ngak tentang Permata, kegiatannya apa aja? Kalau di lapangan ngapain?
M : Permata itu kan Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh, ya jelas gimana…Sekarang yang kita lihat, bukan hanya di Aceh saja, semua kalau kita lihat, kan banyak sekali hak-hak petani yang tidak terpenuhi, terutama kan akses pasar, kemudian informasi-informasi tidak sampai kepada petani. Kalaupun sampai informasinya adalah informasi yang salah. Sekarang kita lihat di Indonesia yang sedang moneter (krisis moneter, red) ini, saat petani-petani ini menggarap lahannya butuh modal yang banyak. Butuh modal yang besar. Sementara hasil produksinya ketika dijual itu sangat murah. Sementara menggarap lahan, mengerjakan ladangnya atau sawahnya itu, pupuknya mahal. Serba mahal lah! Harganya (harga jual produk, red) cukup murah. Dan di situ masuknya renternir-rentinir, yang membuat petani-petani itu terlilit oleh hutang. Mau tak mau dia harus ambil modalnya, karena tidak ada yang bantu. Kemudian barangnya pun atau hasil produksinya harus dijual kepada renternir itu untuk bisa membiayai hutangnya. Ternyata ketika dijual ke renternir itupun masih juga tidak sanggup, tidak mampu membayar hutangnya itu. Jadi di situ kita mengorganisir mereka bagaimana caranya agar mereka keluar, paling tidak sedikit berkurang bebannya gitu.
H : Jadi konkretnya apa yang dilakukan di lapang terhadap masalah-masalah petani? Apakah misalnya bentuk-bentuk pendampingan atau apa?
M : Ya konkretnya…Kalau misalnya sekarang petani, apakah dia tanam cabe, kacang, pokoknya jenis palawijaya, dulu ya yang sering palawijaya. Sekarang kan pupuknya, obat-obatannya sangat mahal. Petani kita kesulitan, apalagi Aceh sekarang daerah konflik, jadi di sini paling tidak kami bisa untuk membantu, tapi tidak bisa sepenuhnya. paling tidak kami memberikan pengetahuan atau praktek-praktek untuk bisa mengurangi beban mereka. Misalnya dalam pertanian tadi, misalnya dengan kembali kepada budaya nenek moyang kita dulu, itu kita gunakan pupuk organik itu, atau obat-obatan yang tradisional yang untuk pertanian. Kemudian ada juga yang untuk obat-obatan tradisional untuk kesehatan. Paling tidak misalnya, karena banyak desa yang jauh dari kota, atau jauh dengan rumah sakit, misalnya seperti ibu-ibu hamil atau yang lain, paling tidak di sekitar rumahnya menanamkan sejenis tanaman yang untuk bisa jadi obat-obatan. Buat sementara, sambil menunggu ke dokter. Karena tempatnya jauh dan transportasinya pun terbatas.
H : Mbak Muna sendiri boleh dibilang petani ya? Punya lahan, menanam gitu?
M : Iya.
H : Boleh cerita tentang kehidupannya sebagai petani selain sebagai aktivis?
M : Kalau saya gini, memang dari dulu, memang keluarga kami dari petani semua, yaitu memang kami mengerjakan lahan sendiri. Lahannya tidak luas, cuma sedikit. Kalau sementara ya kami tidak punya lahan lagi, lahannya cuma tinggal separuh lagi. Separuhnya sudah untuk irigasi dan pembangunanlah, tanpa ganti rugi. Dan waktu itu kita tidak tahu hak-hak kita apa, jadi kita tidak perdebatkan. Ngak tahu. Orang bisa ambil dengan mudah.
H : Sekitar tahun berapa itu?
M : Kejadiannya sebenarnya sudah tahun 80-an ke atas, tapi yang terakhir lahan, sawah kami diambil itu tahun 94. Th 94 itu untuk bangunan sekolah, di gerung-gerung. Kalau misalnya profesi saya di petani itu, pengalamannya di keluarga itu, eh..kami paling tidak di pekarangan rumah bisa untuk nanam pertaniannya itu untuk kebutuhan keluarga. Selain untuk kebutuhan keluarga, ya kami pasarkan. Yang lebih dari untuk kebutuhan keluarga kami pasarkan gitu.
H : Tanam apa aja di rumah?
M : Tanam apa, ya misalnya ada pisang, ada ubi, ada palawija seperti kacang panjang, tomat, cabe. Untuk kebutuhan keluargalah. Kebutuhan dapur gitu.
H : Cukup ya?
M : Cukup. Mudah-mudahan…
H : Tidak perlu lagi beli keluar?
M : Ya, Untuk sementara begitu.
H : Kalau berasnya?
M : Kalau berasnya sekarang kami beli, karena sawah kami udah ngak ada lagi, karena diambil untuk irigasi, bangunan jalan raya itu, transportasi dan sekolah, ya sekarang berasnya kami beli.
H : Itu trus gimana ceritanya kok sampai dari yang tadinya belum tahu ya waktu hak-haknya diambil belum ngerti, sampai sekarang bisa jadi aktivis yang memperjuangkan hak-hak petani, ceritanya gimana?
M : Ya pertama karena masuk sebuah lembaga mendampingi desa kami, kebetulan waktu itu kita sebagai pengurus desa, jadi tamu yang masuk itu apa…kita kan perlu cari tahu informasinya apa sebenarnya yang mereka lakukan, apakah itu membawa hal-hal yang positif bagi masyarakat atau negatif. Karena saat itu siapapun yang masuk saat diberlakukan DOM di Aceh, yang kena pertama kali kan yang konflik Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie kan. Jadi wajar kalau kami curigai, siapapun. Jangankan yang dari luar, yang sesama keluarga pun saling mencurigai. Jadi waktu itu masuklah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi kami (Flower Aceh). Trus sering dibawa untuk ikut-ikut training. Dari situ ikut training yang pertama, CO. CO yang diadakan oleh Forum LSM Aceh. Ketika situ saya bingung, karena kita bukan anak sekolahan gitu, memang betul-betul petani gitu kan. Apa yang dibicarakan bingung, ngak nyambung. Akhirnya apapun ceritanya saya terpaksa harus belajar untuk bisa. Lama-kelamaan ya…karena Flower-pun banyak kali kegiatan, diundang ke Medan untuk ikut HAM, yang ngadakan PBHI Medan. Di situ belajarlah, belajar, belajar… Kemudian 2 minggu kemudian diundang oleh LP3ES ke Jakarta, Flower yang kirim kan. Flower Aceh yang kirim. Dari situ, ini…kan HAM juga 2 minggu, dari situ saya tahu bahwa ini adalah Hak hidup, ini adalah hak petani. Dari situ saya tertarik, tertarik untuk belajar. Kalau kita ngak merubah nasib kita sendiri, itu jelas orang lain ngak akan merubah kan. Kan ada niatnya dari saya, kehidupan saya ini ingin merubah. Kalau kita terus-menerus seperti ini, ya tak akan berubahlah kehidupan kita. Gimana dengan masa depan kita?
H : Dari situ ya terus ada semangat untuk…?
M : He-eh. Dan banyak diskusi dengan kawan-kawan. Ketika di training itu saya diskusi dengan kawan-kawan yang berbagai daerah kan. Tertarik dengan kasus-kasus yang diceritakan oleh-oleh kawan. Dari situ saya tertarik. Sebenarnya saya alami, saya sendiri mengalami hal seperti itu, kenapa saya harus tinggal diam. Kenapa saya harus berjuang. Ternyata saya pikir-pikir lagi, kalau saya berjuang sendiri, itu tidak berhasil. Saya akan membangun kelompok dan membangun aliansi atau jaringan, paling tidak kita ya…biarpun tidak semua masalah selesai, paling tidak sedikitnya akan ringan bagi saya.
H : Trus, sebelumnya tuch, pengurus desanya itu apa maksudnya? Jadi kepala desa atau ..?
M : Sekretaris desa.
H : O, sekdesnya ya. Tapi memang semua harus lewat sekdes kalau masuk?
M : Tidak mesti lewat sekdes. Karena waktu itu kan kita…gimana ya, bukan…kita kembali pada sejarah. Kalau perempuan saja yang kerja tidak berhasil, kalau laki-laki saja tidak berhasil. Maksudnya harus kerjasama. Jadi semua informasi itu…memang saat itu biar kepala desa laki-laki, tapi yang menguasai desa kami. Yang menguasai desa, semua peraturan desa, kami yang aturkan, kami yang perempuan, bergabung dengan organisasi PKK.
H : Itu memang kulturnya di sana seperti itu memang? Perempuan yang punya banyak kekuasaan, kekuatan untuk mengatur?
M : O tidak, sebenarnya perempuan tidak diberikan peluang sedikitpun untuk menguasai jabatan. Jangankan untuk menguasai jabatan, untuk musyawarah saja ngak bisa. Saya berjuang. Waktu itu, di situ memang di desa, khusus desa saya dan banyak desa-desa yang lain, perempuan kelas 6 SD sudah dikawinkan. A, saya berjuang di situ. Memang saya tamat PGA kan. Tamat PGA berjuang. Saya berjuang harus bisa kuliah gitu, harus sekolah. Waktu saya berjuang, macam-macam simbol (stigma, red) yang diberikan oleh masyarakat, tapi saya ngak open, yang penting saya harus sekolah, harus memperbaharui desa saya. Akhirnya setelah saya mempengaruhi orang-orang tua di situ, di desa itu, sekarang udah banyak perempuan yang sekolah. Malah ada yang udah kuliah, kerja. Biarpun saya ngak sempat kuliah, tapi saya mempengaruhi kawan-kawan untuk kuliah.
H : Sampai berapa lama perjuangan itu akhirnya baru bisa berhasil?
M : Saya SMP, itu tergantung gimana ya, strategi apa yang kita pakai. Saya masuk SMP, kelas 1 SMP, itu yang lain udah..kelas 2 SMP udah ada yang ikutan saya untuk masuk SMP, yang sekolah. Sampai sekarang.
H : Jadi sekarang boleh dibilang posisi perempuan di desa situ sudah cukup lumayan setara ya?
M : he-eh.
H : Kenapa sich motivasinya mbak Muna, kok bisa sampai jadi aktivis, berjuang seperti itu?
M : Karena kita merasa diri kita, hak-hak kita tidak diinikan..jadi kita berjuanglah untuk mendapat hak-hak kita, gitu.
H : Ada kendala atau apa sich, menjadi aktivis selama ini kendala terbesarnya apa?
M : Ya kendala terbesarnya, karena kita bekerja di daerah konflik, malah nyawa saya terancam. Ada desa, ada berapa kecamatan yang saya tinggalkan, saya tidak bisa masuk lagi, karena saya memang orangnya keras gitu. Saya ngak mau… Keras kan kita lihat situasinya. Karena kita kan minta ini itulah oleh pihak-pihak tertentu. Kita ngak mau memenuhinya. Kalau kita udah penuhi sekali, pasti orang itu akan minta lagi. Jadi saya dari pertama ngak akan memberikannya. Sampai sekarang ya…
H : Ngak menyerah gitu ya?
M : Ya.
H : Takut ngak sich ketika nyawa jadi taruhan, di daerah konflik seperti itu?
M : O, kalau bagi saya itu ngak. Hidup sekali, mati sekali. Itu, ngak ada kata istilah takut ini itu ngak ada bagi saya ya.