[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

Rumah kecil ini seringkali penuh dengan teman-teman yang sering berdiskusi dan bahkan bermalam disana. Wah, kadang saya suka berandai-andai untuk membangun rumah ini jadi dua lantai sehingga ada privasi bagi kami. Setidaknya agar begitu anak kami lahir, tidak perlu saling mengganggu antara asap rokok dengan tangis bayi. Tapi, mengingat pekerjaan suami, rasanya juga butuh waktu lama untuk mewujudkan impian itu. Karena untuk makan sehari-hari saja, seringkali saya harus lebih sering memutar otak kiri (untuk belanja) daripada otak kanan (untuk meracik menu) agar kebutuhan itu tercukupi. Sementara untuk menghentikan kegiatan diskusi mereka, rasanya juga tak mungkin. Karena itulah jadwal malam hari kalau suami saya ada di rumah selama 10 hari dalam sebulan. Yang 20 hari dia bagikan untuk teman-teman di kota-kota lain dalam seminar-seminar, ceramah, lokakarya atau lainnya.
Itulah pengalaman saya menikah dengan seorang aktivis. Mungkin delapan bulan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa saya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya. Atau, siapa tahu memang persoalan yang lebih pelik belum datang menimpa kami. Tapi melihat diri saya yang juga ‘sempat’ menjadi aktivis sebelum menikah (dan masih ingin tetap menggeluti aktivitas sosial setelah menikah), saya melihat setidaknya ada pengalaman berbeda yang dialami oleh kawan saya, yang notabene bukan aktivis, menikah dengan seorang aktivis. Dia seorang wanita karir yang cukup mapan secara ekonomi, namun pada akhirnya dia kesulitan mengikuti gaya hidup suaminya yang kelewat sederhana (sementara dia sangat trendy dan modis!). Untuk membeli barang baru pun ia harus berdiskusi panjang atau mendapat ceramah dari suaminya itu.
Lalu, apakah kemudian menikah dengan aktivis (baik itu akhirnya menjadi sepasang aktivis maupun satu aktivis dan satu bukan) menjadi penuh konsekuensi di banyak sisi?
Apakah aktivis sosial itu? Apakah yang sebenarnya dia lakukan? Apakah menjadi aktivis adalah “panggilan”? atau sekedar gengsi-gengsian? Saya pribadi mencatat, dari pergumulan saya dengan berbagai aktivitas sosial, aktivis dilihat sebagai sebuah ‘simbol kepahlawanan’ di jaman ini. Ia muncul dalam bentuk perlawanan, mulai dari sekedar mengambil tempat sebagai oposisi sampai yang sangat radikal sekalipun, terhadap ketidakadilan. Namun ironisnya, juga dalam catatan saya, aktivis yang selalu menjadi tumpuan semua pekerjaan melawan ketidakadilan itu tidak pernah mendapat apa-apa. Apakah ini kodrat sejatinya para aktivis sosial?
Aktivis Indonesia masih berkabung atas meninggalnya Munir, seorang pejuang HAM. Namun kematiannya masih menyisakan banyak pertanyaan ketika orang mulai mengkaitkan peristiwa kematian ini dengan sejumlah aktivitas yang ia jalani sebelumnya sebagai pilihan hidup. Sampai saat ini pun berbagai media seringkali diwarnai dengan berbagai tulisan mengenai hilangnya aktivis buruh, penculikan dan penyiksaaan aktivis, teror dan ancaman yang sedikit banyak menjelaskan situasi yang dihadapi oleh para aktivis tadi.
Namun sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, seingkali menjadi aktivis itu bukanlah cita-cita semenjak awal. Menjadi aktivis, seringkali dimulai dari sebuah ‘keterjebakan’, atau ‘kesadaran’ yang melahirkan ‘panggilan’. Suami saya bercita-cita menjadi masinis (ketika masih kecil), insinyur teknik nuklir (sebelum kuliah) dan bahkan seniman musik (ketika kuliah). Saya sendiri juga bercita-cita menjadi insinyur yang bekerja di pertambangan minyak dan punya banyak duit. Kini, tak satupun dari ‘cita-cita’ kami itu tercapai.
Suami saya ‘tersadar’ dalam perjalanan hidupnya bahwa ada nilai yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi insinyur teknik industri. Dia pun mengolah ‘panggilan’ itu (dan harus rela berjarak dengan hobi musiknya) untuk kemudian memilih jalan hidup sebagai aktivis sosial dan seorang pengajar hingga kini. Saya sendiri ‘terjebak’ ketika ingin mengenal dunia LSM lebih jauh. Bekerja sebagai peneliti di LSM, mau tak mau saya dihadapkan pada segunung fakta akan ketidakadilan dunia ini. Menutup mata? Tak mungkin. Itu hanya akan menipu hati nurani saya sendiri, yang sebenarnya sudah tergerak sejak kuliah. Maka, ya sudah, saya terima ‘keterjebakan’ itu, dan kini malah menghidupinya.
Secara umum saya temukan, baik ‘kesadaran’ maupun ‘keterjebakan’ yang kini diolah menjadi ‘panggilan hidup’ aktivis itu bersumber karena melihat kondisi ketidakadilan tadi merambat ke segala bidang. Dalam penelusuran data-data ketika saya menjadi peneliti, ketidakadilan itu melanda bidang politik, ekonomi, agama, pendidikan, kesehatan, dan masih dalam banyak bidang hidup lain yang berkembang di negara kita. Berikut ini hanya contoh dari apa yang bisa saya cerna secara terbatas: agama dijadikan institusi konfliktual, pendidikan hanya dimiliki anak-anak berduit, kesehatan hanya menjadi hak mereka yang beruang (betapa tidak, hanya orang kaya yang bsia membayar dokter-dokter terbaik dan mendapatkan perawatan kesehatan karena harga obat acapkali mencekik!). Itu baru sebagian. Belum lagi soal harga beras yang merugikan petani atau upah buruh yang demikian rendah.
Keprihatinan semacam ini baik secara intelektual, emosional dan bahkan dalam keseharian hidup, ditunjukkan dengan jelas oleh banyak aktivis. Menjadi aktivis tak bisa tidak harus ditunjukkan dalam sikap egaliter, demokratis dan partisipatoris, yang harus mereka hidupi. Karenanya tak heran jika sebutan aktivis itu dibarengi dengan gelar idealis. Kata idealis sendiri seharusnya berkonotasi baik. Cuma, pada tahap berikutnya, idealis diidentikkan dengan ‘mengambil pilihan untuk memperjuangkan cita-cita atau keyakinan, meski ganjarannya adalah kemiskinan, setumpuk masalah, penolakan, teror, dan ancaman’. Bahkan banyak aktivis kemudian melakukan ‘bunuh diri kelas’ untuk lebih dalam ‘mengalami’ penderitaan bagi yang didampingi dan meningkatkan solidaritas dalam perjuangannya.
Dari pengalaman saya dan suami saya, perdebatan panjang dan terkadang melelahkan dalam membangun proyek-proyek perubahan sosial, sering melanda banyak aktivis termasuk kami. Apalagi, ketika teori yang dibicarakan dalam satu diskusi ke diskusi lainnya kadang tidak relevan atau tidak secara nyata mengurangi jutaan orang yang kini semakin mengalami keterpurukan hidup. Perjuangan ini tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Dan secara pribadi, banyak aktivis mendapat penolakan baik dari orang terdekat maupun keluarga. Tidak banyak orang mampu mengerti mengapa pilihan ini diambil dan bukan pilihan yang lebih baik, lebih mapan atau setidaknya lebih tidak beresiko.
Keluarga atau pasangan aktivis, dalam banyak hal, tentu saja akan sangat merasa keberatan untuk ‘terlibat’ di dalam aktivitas yang dirasakan menjadi demikian menuntut. Menjadi sebuah dilema tersendiri bagi banyak aktivis ketika mengalami hal seperti ini. Bahkan saya sendiri, yang cukup merasa dekat dengan pesoalan-persoalan sosial, terkadang masih merasa sulit untuk juga untuk ‘merestui’nya. Karena konsekuensinya adalah hilangnya waktu bersama, atau hilangnya kenyamanan-kenyamanan yang sepantasnya saya dapatkan kalau saja saya tidak lebih jauh mengingat bahwa hidup kami juga satu dari bagian yang sedang diperjuangkannya. Namun dalam renungan saya, mungkin ini adalah sesuatu yang ‘menyatukan’ saya dengan apa yang diperjuangkan oleh suami saya, sehingga apa yang kami alami dalam suka-duka hidup perkawinan tidak menjadi meaningless dan sia-sia.
Belajar dari pengalaman pribadi, berelasi dengan seorang aktivis memang tidak selalu mudah dan menyenangkan. Relasi selalu akan menuju pada proses melahirkan pemahaman yang terus menerus dan integral tentang permasalahan dunia kerja masing-masing selain, tentu saja, persoalan relasi karakter interpersonal. Upaya untuk menjadi pendorong perkembangan integritas dan mendukung setiap pengembangan kompetensi pasangan juga seharusnya menjadi sebuah keseimbangan dengan pengembangan hidup keluarga itu sendiri. Menjadi aktivis atau pasangan aktivis, saya yakin, bukanlah sesuatu yang mudah kalau kita ingin, nilai perjuangan itu tidak menjadi surut. Sekali ini menjadi pilihan hidup, siaplah untuk menyanding tongkat konsekuensinya sampai akhir.
Melihat perjalanan saya bersama suami dalam berkeluarga yang sebenarnya masih sangat pendek ini, saya sudah sering bertanya: inikah jalan hidup saya seterusnya nanti? Benarkah saya ini ‘tulang rusuk yang hilang’ dari suami saya yang adalah seorang aktivis? Benarkah dia orang yang tepat bagi saya? Benarkah ini hidup berkeluarga yang saya mau? Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, menyadari rumitnya ini semua, saya kini malah terdorong memberanikan diri punya cita-cita baru: menulis novel. Ya, novel tentang hidup seorang aktivis. Ide yang bagus, bukan?
***
Dominika Oktavira Arumdati
Program Koordinator (2002-2004) dan Mitra Peneliti (sejak 2004) pada The Business Watch Indonesia dan calon ibu.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...