[MEDIA] Resensi Film: Membunuh Hari


Judul : Membunuh Hari (Killing the Days)
Tahun : 2002
Produksi : Institut Sosial Jakarta & Minima, 2002
Durasi : 31’26”
Direktur/Produser : J.Sudrijanta
Cameraperson : Adeline M.T.
Editor : Adeline M.T., Hendar Putranto
Editing operator : Hendra
Media : MiniDV, VCD, DVD
Film dokumenter yang dipersembahkan oleh Institut Sosial Jakarta ini mengajak kita untuk melihat secara langsung dan turut merasakan apa saja yang dialami oleh sebagian korban penggusuran di Teluk Gong, Jakarta.

Cerita diawali dengan kisah yang membawa mereka hingga tinggal di daerah tersebut. Sesungguhnya tinggal di bantaran sungai bukanlah pilihan yang menarik. Pekerjaan yang tidak tetap dan pendapatan yang begitu minim membuat mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun.

Kebijakan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggusuran semakin menghimpit warga Teluk Gong. Penggusuran yang dilaksanakan berdasarkan Perda No.11/Thn. 1988 tersebut benar-benar menjadi monster yang memporakporandakan hari-hari warga Teluk Gong. Warga Teluk Gong dianggap telah melanggar Perda tersebut karena mendirikan bangunan di pinggir kali.

Sekalipun mereka dianggap ilegal, bukan berarti pemerintah boleh melakukan penggusuran dan pembakaran tanpa ganti rugi seperti itu. Untuk kesekian kalinya warga Teluk Gong harus menyaksikan penghancuran dan pembakaran rumah dan harta benda mereka di depan mata mereka. Tidak banyak yang bisa diselamatkan karena penggusuran tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Perasaan marah, sedih, dan kecewa benar-benar memenuhi diri warga yang menjadi korban. Belum lagi ditambah tindakan aparat yang sering kali menggunakan kekerasan dalam melakukan tugasnya. Tidak cukup harta bendanya saja yang musnah, namun keselamatan warga Teluk Gong pun ikut terancam.

Perda yang dipakai sebagai alasan untuk melakukan penggusuran nyatanya hanya mempunyai kekuatan untuk menggempur gubuk-gubuk reyot di sekitar bantaran sungai tersebut. Gedung dan tempat tinggal mewah yang juga mengambil lokasi di sekitar bantaran sungai tidak pernah tersentuh Perda tersebut sedikit pun. Lebih hebatnya lagi, warga Teluk Gong yang digusur itu juga dijadikan kambing hitam ketika banjir terjadi. Sedangkan penghuni rumah megah di sekitar bantaran sungai tersebut tidak pernah diusik. Sungguh ironis melihat pembedaan perlakuan tersebut. Padahal warga Teluk Gong juga harus membayar pajak untuk tanah becek yang mereka tempati.

Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk kepentingan siapakah penggusuran ini dilakukan? Kepentingan rakyat kecilkah (rasanya mustahil), kepentingan pemerintah, atau kepentingan para pemilik modal? Kasus penggusuran di Teluk Gong seperti memperlihatkan bahwa hak manusia diukur dari banyak sedikitnya harta atau modal yang dimiliki. Alangkah menyedihkan jika memang demikian adanya.

Warga Teluk Gong pun tiada habisnya meneriakkan suara mereka untuk meminta pertolongan atau sekedar meminta perhatian dari Pemerintah, aparat polisi, mahasiswa dan masyarakat umum mengenai nasib mereka. Perjuangan keras mereka untuk memperoleh hak-hak mereka, memperoleh simpati dari Komnas HAM dan beberapa elemen masyarakat. Mereka masih berjuang bersama untuk memperoleh hak ekonomi dan sosial atas perumahan yang layak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 15 mengenai dan Konvenan Internasional tentang hak ekonomi, sodial dan budaya, Pasal 11.

Wajar kalau warga Teluk Gong menuntut hak mereka. Menurut resolusi PBB No. 77/Thn. 1993 penggusuran paksa seperti yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga Teluk Gong itu dapat dimasukkan dalam kategori kejahatan berat melanggar HAM. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia pun telah membuat patokan yang sangat jelas berkaitan dengan hal ini yaitu untuk warga yang menempati tanah secara ilegal selama lebih dari 3 tahun, berhak untuk memperoleh ganti rugi untuk memperoleh pemukiman kembali serta kompensasi atas aset yang hilang. Sedangkan untuk yang kurang dari 3 tahun, jumlah ganti rugi disesuaikan dengan sifat kerugian yang dialami oleh setiap rumah tangga.

Terlepas dari itu semua, warga Teluk Gong harus mulai membangun kembali hidup mereka. Menanti hari depan yang tak pasti karena keputusan mengenai ganti rugi atau pun relokasi tak kunjung mereka dapati. Penggusuran yang terjadi berulang kali mungkin membunuh sebagian hari-hari warga Teluk Gong. Namun mereka tetap menjalani hidup mereka dan hari-hari panjang yang masih tersisa. Mungkin saja setelah warga Teluk Gong yang bertahan di lokasi tersebut berhasil mendirikan kembali gubuk-gubuk mereka, pemerintah akan melakukan penggusuran kembali.

Penggusuran tersebut bisa dikatakan tidak berhasil. Terbukti bahwa setelah penggusuran pun 85 % warga masih tinggal di daerah tersebut dalam radius 5 Km, 10 % warga menyingkir ke daerah pinggiran Jakarta, dan 5 % sisanya masih tinggal di tempat semula. Penggusuran tidak akan pernah berhasil selama pemerintah hanya melakukan penggusuran dan tidak melakukan penanganan paska penggusuran seperti pemenuhan hak-hak korban penggusuran.

Film yang berdurasi singkat ini cukup menarik untuk ditonton. Tontonan yang menampilkan kejadian riil saat penggusuran dan kesaksian langsung dari korban ini, mampu membuka mata kita tentang secuil ketidakadilan di negeri ini. Film ini menyajikan realita yang sangat dekat dengan kita namun sering kali luput dari perhatian kita. Melalui film ini kita dapat melihat bukti nyata bagaimana kebijakan pemerintah itu sangat tidak berpihak kepada rakyat kecil. Mungkin film dapat menjadi bahan refleksi yang baik untuk kita, seberapa besar perhatian kita untuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. (Lisa Ekawati)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...