Kebanyakan dari kita yang tinggal di kota besar tentu tidak pernah kesulitan memperoleh pangan. Tinggal jalan sedikit ke warung, atau jauh sedikit ke pasar, atau mau yang lebih keren mentereng tanpa becek, di mall-mall, di situ menumpuk makanan berlimpah. Berbagai jenis dan ukuran. Semua tersedia. Padahal kalau kita melihat kota kita, apa yang kita lihat di sekeliling kita. Bangunan, mobil, jalan raya! Mungkin ada satu dua pohon, tetapi bukan pohon yang menghasilkan makanan yang kita lihat di pasar atau supermarket itu.
Bagaimana semua makanan itu bisa ada di kota, padahal kota sama sekali bukan penghasil pangan?
Kekuatan uanglah yang membuat itu terjadi. Kekuatan uang yang dimiliki masyarakat kota, membuat semua makanan terbaik di desa pergi ke kota. Para petani menjual produk terbaiknya ke kota dan memakan sisa-sisanya. Demikian juga halnya di tingkatan internasional, Indonesia mengekspor semua produk pangan terbaiknya ke negara maju dan mengirim produk kualitas duanya ke supermarket di kota-kota besar dan menyisakan yang tidak terjual untuk di makan oleh petani, yang menanamnya.
Kekuatan uanglah yang membuat itu terjadi. Kekuatan uang yang dimiliki masyarakat kota, membuat semua makanan terbaik di desa pergi ke kota. Para petani menjual produk terbaiknya ke kota dan memakan sisa-sisanya. Demikian juga halnya di tingkatan internasional, Indonesia mengekspor semua produk pangan terbaiknya ke negara maju dan mengirim produk kualitas duanya ke supermarket di kota-kota besar dan menyisakan yang tidak terjual untuk di makan oleh petani, yang menanamnya.
Pernahkah kita terbayang, kalau suatu saat para petani di desa serentak berubah pikiran. Daripada kujual produk terbaikku, lebih baik kumakan sendiri. Apa jadinya kalau tidak ada yang menyediakan makanan ke kota kita? Bisakah kita hidup tanpa makanan? Pasti kita yang di kota ini yang kelaparan, bukan? Pastilah ada kerusuhan!
Mengapa ada pemikiran bahwa petani akan berubah pikiran?
Pertama, penggunaan pupuk kimia dan pestisida selama puluhan tahun telah membuat tanah-tanah petani makin rusak. Jadi produktivitasnya makin menurun. Kalau petani menghasilkan begitu sedikit, tentulah ia mementingkan untuk menyimpannya sendiri untuk di makan daripada di jual. Lalu kita yang di kota akan makan apa?
Kedua, pertanian yang menggunakan bahan kimia itu bisa berjalan dengan adanya minyak bumi yang disubsidi. Saat ini kita sudah melihat bagaimana pemerintah sedikit demi sedikit mengurangi subsidi minyak bumi dan kita telah melihat bagaimana itu berpengaruh terhadap harga pangan dan produk lain. Kenaikan yang sekarang sebetulnya tidak terlalu menguntungkan petani, karena sebagian besar untuk kenaikan BBM yang mengangkut makanan itu dari desa ke kota. Dan banyak ahli telah menghitung bahwa sebetulnya harga yang diterima petani itu sangat murah, artinya sebetulnya tidak cukup untuk mendukung kehidupannya secara layak. Jadi, kalau kita mau adil kepada para petani yang telah mendukung hidup kita melalui produksi pangannya, maka sebetulnya kita harus membayar pangan kita lebih mahal dari yang kita bayar sekarang.
Bagi mereka yang tinggal di kota dan kebetulan kaya, mungkin pengeluaran pangan tidak terlalu masalah. Apalagi bagi mereka yang terbiasa keluar masuk kafe. Yang pengeluaran sekali makannya mungkin sama dengan pengeluaran untuk makan satu keluarga di batas garis kemiskinan sebulan! Yang sengara tentu mereka yang rata-rata, apalagi yang miskin, yang pengeluaran untuk makannya lebih dari 50% dari seluruh penghasilannya. Kerasa deh, pengetatan ikat pinggang kalau harga pangan naik.
Sebetulnya, mungkin nggak sih kota menyediakan pangannya sendiri? Jawabannya bisa. Berikut ini ceritanya.
Mungkin cerita ini seperti mimpi, tetapi itu beneran terjadi di satu negara bernama Kuba dan terutama di ibu kotanya yang bernama Havana.
Tahun 90-an, Kuba menghadapi krisis pangan besar-besaran. Pasalnya, pada tahun itu Soviet runtuh dan tidak mampu mendukung lagi perdagangan dengan Kuba seperti sebelumnya. Sebelumnya, pertanian Kuba sangat berorientasi ekspor dengan produk unggulan utama tebu. Jadi semua lahan pertanian ang subur-subur ditanami tebu. Tebu ini dibeli oleh Soviet, sebagai sekutunya sesama negara komunis sebagai dukungan politik. Soviet juga menjual minyak ke Kuba dengan harga setengah harga pasar internasional dan menyediakan bahan pangan bagi Kuba. Dengan dukungan Soviet ini, Kuba hidup berkelimpahan dan kalau dilihat dari indeks pembangunan manusia, Kuba termasuk salah satu yang tertinggi di dunia, dapat disejajarkan dengan negara-negara maju dan apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Minyak impor dari Soviet inilah salah satu sumber enerji yang menghidupi pertanian modern Kuba yang bisa disetarakan dengan pertanian di Eropa atau Amerika.
Tanpa dukungan Soviet, Kuba tidak punya minyak, tidak ada pupuk kimia, tidak ada pestisida, tidak ada impor pangan lagi. Singkatnya, Kuba kelaparan. Satu-satunya produk yang masih ada adalah tebu karena memang semua lahan terbaik diperuntukkan untuk tebu. Pedesaan Kuba memang masih menghasilkan makanan, tetapi makanan itu tidak bisa diangkut ke kota karena tidak ada BBM. Rakyat Kuba ada dalam masalah besar.
Krisis memang membuat orang menjadi kreatif. Dengan dorongan untuk bertahan hidup, orang-orang di perkotaan mulai menanami halaman rumahnya dengan tanaman pangan. Padahal sebelumnya menanam tanaman pangan di halaman depan rumah adalah terlarang hukumnya di kota Havana karena dianggap identik dengan potret kemiskinan. Setelah krisis ini, pemerintah mencabut larangan itu dan justru memberikan dukungan penuh kepada masyarakat yang ingin memproduksi pangannya sendiri. Pertanian perkotaan mulai merebak di Havana.
Saat ini, kalau kita berjalan-jalan di Havana, kita akan dengan mudah menemukan lahan-lahan pertanian di sela-sela gedung bertingkat. Pohon buah-buahan di taman-taman kota dan sayur-sayuran sebagai pengganti tanaman hias di depan rumah. Havana yang dulu menjadi penerima pangan dari desa-desa di seluruh Kuba, kini mampu memproduksi setidaknya 60% dari seluruh kebutuhan pangannya. Semua di produksi dengan cara organis. Bukan untuk “gaya” ataupun alasan ramah lingkungan, tetapi memang karena bahan-bahan yang dibutuhkan untuk bertani ala kimia sudah tidak tersedia lagi.
Dalam setiap lahan di perkotaan, kita akan menemukan bahwa dalam setiap petakannya ditanam berbagai jenis tanaman pangan. Kombinasinya dipilih sehingga semuanya bisa hidup berdampingan saling berbagi dan mendukung kehidupan satu sama lain. Demikian juga antara petani dan konsumen. Di Kuba tidak dikenal pajak. Pajak para petani ini diberikan sebagai apa yang disebut “community service”, layanan kepada masyarakat. Bentuknya, adalah menyediakan bahan makanan yang diambilkan dari sebagian hasil produksinya untuk anak-anak sekolah atau rumah-rumah jompo di daerah tersebut. Siswa-siswa tersebut sesekali mereka berkunjung ke kebun untuk belajar Biologi dan Pertanian serta untuk mengenal lebih dekat kehidupan petani yang menyediakan pangan mereka. Para siswa tersebut merasa memiliki kebun dan lebih menghargai kerja para petani.
Setiap lahan kosong yang tidak ditanami dibagikan kepada rakyat yang mau bertani. Siapa pun yang ingin memproduksi pangan berhak mendapatkan lahan. Lahan-lahan tebu terbaik diubah menjadi lahan tanaman pangan. Satu lagi yang menarik, Kuba tidak lagi menggantungkan pangannya pada satu jenis makanan pokok, seperti beras untuk Indonesia. Rakyat Kuba tidak lagi hanya makan roti yang gandumnya diimpor dari negara-negara subtropis, tetapi juga kembali ke makanan-makanan asli seperti talas dan umbi-umbian lainnya. Mereka tidak lagi tergantung pada daging, tetapi mulai lebih banyak makan sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dengan kebijakan baru ini Kuba bisa kembali bangkit dari keterpurukannya. Tingkat konsumsi pangan meningkat setelah sempat terpuruk di tahun 90-an. Kuba menjadi makin mandiri dalam penyediaan produksi pangannya, tidak tergantung pada sedikit jenis pangan, kembali ke beragaman pangan yang diperoleh dari tanaman asli dan pertaniannya dilakukan selaras alam. Kota Havana menghijau dengan kebun buah dan sayuran. Tidak sekedar koleksi dinding beton semata.
Bayangkan kalau ini terjadi di Indonesia. Jakarta, katakanlah. Bayangkan kalau di lapangan Monas, rumput-rumputnya diganti menjadi kebun aneka buah-buahan dan di bawahnya kebun aneka talas dan umbi-umbian. Mungkin pemda kota Jakarta tidak perlu mengeluarkan biaya operasional sekian banyak untuk menjaga agar rumputnya tetap pendek sementara pada waktu yang sama dapat menyediakan pangan dan penghasilan bagi banyak orang. Bayangkan kalau halaman-halaman rumah mewah ditanami makanan atau tanah-tanah kosong ditanami tanaman pangan. Mungkin hasilnya bisa cukup untuk membantu orang yang busung lapar. Apalagi kalau lapangan golf, apartemen mewah dan real estate yang tidak berpenghuni digusur menjadi lahan untuk pangan. Indonesia dijamin tidak akan kelaparan. Jadi tidak ada lagi satu gedung mewah tingkat sepuluh yang hanya dihuni satu atau dua hari per bulan sementara kolong jembatan penuh sesak orang-orang mencari penghidupan.
Di banding Kuba, Indonesia sebetulnya punya lebih banyak pilihan. Dari sisi sumber daya alam sebetulnya kita jauh sekali di atas Kuba. Minyak ada, kenaekaragaman hayati hanya bersaing dengan Brazil yang punya Hutan Amazone. Sangat aneh, kalau kita mendengar ada orang yang sampai kelaparan. Ada begitu banyak anak yang kurang gizi. Apalagi mereka itu adalah anak-anak petani yang di atas kertas merupakan produsen pangan. Jelas-jelas ini masalah negara salah urus. Yang akhirnya jadi masalah kita semua. Entah bagaimana penyelesaian akhirnya. Yang pasti, setidaknya, kita bisa menanam tanaman pangan mulai dari halaman rumah sendiri. Jadi, kalau nanti ada krisis seperti di Kuba atau setidaknya pemerintah menaikan lagi harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga pangan, sebagian pangan sudah kita produksi sendiri.
Jadi, tunggu apa lagi…ayo kita mulai!
No comments:
Post a Comment