Penulis: Any Sulistyowati
Kuba adalah satu-satunya negara di dunia yang menempatkan pertanian organis sebagai kebijakan pertanian nasional. Di tengah perdebatan internasional apakah pertanian organis mampu memproduksi cukup pangan untuk seluruh umat manusia, pertanian organis justru telah menyelamatkan Kuba dari krisis pangan hebat akibat hancurnya blok komunis Uni Soviet dan diperketatnya embargo Amerika Serikat. Pengalaman mereka ini sangat menarik untuk dipelajari; mungkin tidak cocok untuk diterapkan sepenuhnya di Indonesia, melainkan semoga dapat menjadi inspirasi yang menunjukkan bahwa model dunia yang lain juga mungkin dan masukan untuk membangun sistem ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan dalam konteks Indonesia.
Sebelum tahun 90-an, pertanian Kuba ditandai dengan pertanian skala besar, asupan impor berbasis minyak bumi dan monokultur ala revolusi hijau. Sistem ini telah membawa Kuba pada tingkat konsumsi pangan yang tinggi, yakni 2809 kalori per kapita per hari dan 77 gram protein per kapita perhari pada tahun 1989. Hal ini dimungkinkan dengan dukungan dari Uni Soviet yang mengimpor gula dari Kuba seharga lebih dari lima kali harga pasar internasional dan mengekspor minyak ke Kuba dengan setengah harga internasional. (Sinclair and Thompson, 2001. Laporan OXFAM America).
Hancurnya Uni Soviet menyebabkan Kuba jatuh ke dalam krisis besar, apalagi ditambah dengan diberlakukannya Torricelli Act (1992) dan Helms Burton Act (1996) oleh Amerika Serikat yang intinya adalah memperketat embargo, misalnya dengan memberikan sangsi kepada negara dunia ketiga yang berbisnis dengan Kuba dan pelarangan penjualan bahan makanan dan obat-obatan ke Kuba sejak 1994. (Romero, 2000. Laporan OXFAM Amerika).
Akibat krisis ini, terjadi kekurangan pangan besar-besaran akibat hilangnya impor pangan, minyak bumi dan asupan pertanian. Model pembangunan pertanian ala revolusi hijau tidak dapat dilanjutkan tanpa dukungan Uni Soviet. Dibandingkan tahun 1989, pada tahun 1992 tingkat import menurun masing-masing 53% untuk minyak bumi, 70% untuk pakan ternak, 77% untuk pupuk kimia dan sedikitnya 62.5% untuk pestisida. Pada tahun 1995, tingkat konsumsi kalori dan protein menurun sampai 40% dari tingkat konsumsi tahun 1989. Masa-masa ini dikenal sebagai Periode Khusus di Masa Damai (Special Period in Peacetime). (Rosset & Benjamin, 1994a).
Situasi di atas tidak membuat pemerintah Kuba menyerah terhadap kekuasaan Amerika Serikat dan mengubah pola pembangunan nasionalnya. Sebaliknya, desakan krisis justru memunculkan banyak alternatif baru baik di tingkat akar rumput maupun kebijakan nasional. Sebagai contoh, di bidang pertanian setidaknya ada tiga jenis reformasi kebijakan yang dilakukan, antara lain kebijakan teknologi, kebijakan produksi dan kebijakan distribusi. Reformasi-reformasi tersebut berhasil meningkatkan produksi pangan Kuba secara signifikan. Pada tahun 2000, bila dibandingkan dengan tahun 1988, produksi pangan meningkat masing-masing 767% untuk jagung, 113% untuk beras, 208% untuk umbi-umbian dan 351% untuk sayuran. Petani adalah yang paling diuntungkan dari reformasi tersebut. Penghasilan mereka menjadi salah satu yang tertinggi di negara tersebut. Kondisi ini mengundang banyak orang untuk kembali ke desa, ke sektor pertanian atau menjadi petani.
Berikut ini adalah ringkasan perubahan kebijakan tersebut:
1. Perubahan di bidang teknologi
Di bidang teknologi pertanian, Kuba mendeklarasikan model alternatif yang dapat diklasifikasikan sebagai pertanian organis. Pertanian ini dicirikan dengan penggunaan sumber daya lokal yang tinggi, termasuk penanaman kembali spesies-spesies lokal; sistem multikultur dan pengurangan besar-besaran asupan luar seperti pestisida dan pupuk kimia. (Rosset dan Benjamin, 1994a&b). Perubahan ini juga dibarengi dengan pengembangan sarana pendukung, misalnya pengembangan bioteknologi berbasis masyarakat dan perluasan lahan yang digunakan untuk memproduksi pangan antara lain dengan pertanian perkotaan.
1a. Pertanian Organis[1]
Mereka menggunakan teknik pengolahan tanah dengan prinsip minimum tillage, kompos dan pupuk kandang untuk menggantikan pupuk kimia, oxen sebagai pengganti traktor, rotasi tanaman dan multikultur. Pupuk kandang diperoleh dari limbah peternakan. Kompos dibuat dari limbah panen sebelumnya, sampah makanan, limbah perkebunan tebu dan pabrik gula. Kompos cacing juga cukup populer digunakan. Untuk pengendalian hama digunakan pengendalian hama biologis dengan produk-produk bioteknologi, musuh alami dan tanaman pengusir hama.
1b. Bioteknologi oleh Petani[2]
Tidak seperti di banyak negara di mana bioteknologi identik dengan perusahaan multinasional, di Kuba bioteknologi dikembangkan oleh masyarakat, di koperasi-koperasi yang dimiliki oleh petani. Petani dapat mengakses produk bioteknologi, yang merupakan ujung tombak pengendalian hama mereka, seperti entomophagus[3] dan entomopatogen[4] dengan harga relatif murah. Meskipun demikian, CREE (Centros Reproductores de Entomofagus y Entomopatogenos, pusat produksi entomofagus dan entomopatogen) tetap meraih keuntungan. Penghasilan mereka cukup untuk membiayai gaji staff, biaya produksi dan membayar angsuran ke bank.
1c. Pertanian Perkotaan[5]
Sebelum krisis, pertanian perkotaan tidak berkembang di Kuba. Di Havana bahkan ada aturan yang melarang masyarakat untuk menanam tanaman pangan di halaman depan rumah mereka karena dianggap identik dengan kemiskinan. Setelah krisis, justru pertanian perkotaan memegang peran yang sangat penting sebagai penghasil pangan masyarakat perkotaan yang selama ini tergantung pada produk impor dan kiriman dari desa. Bahkan pada tahun 1994, dibentuk dapartemen khusus yang mengurus pertanian perkotaan ini.
Di pusat Havana pertanian perkotaan mencakup areal seluas 15 ribu hektar yang memproduksi sekitar 30% kebutuhan sayur mayur (standar FAO = 300 gram perkapita perhari) sekitar 2 juta penduduk kota tersebut pada tahun 1999. Di kota-kota yang lain bahkan terjadi kelebihan produksi, misalnya di Cienfuegos (148%), Sancti Spiritus (121%), Ciego de Avila (134%) dan kotamadya Havana (117%). Bila dirata-rata untuk seluruh Kuba, produksi pertanian perkotaan ini mencukupi sekitar 72% kebutuhan sayuran penduduk perkotaan. Pengalaman mereka ini menunjukkan bahwa kota dapat berubah status dari konsumen menjadi produsen pangan.
Pertanian perkotaan di Kuba bervariasi dalam bentuk, ukuran, teknik bercocok tanam dan kepemilikan. Popular garden adalah yang paling mudah ditemui. Ukurannya bervariasi mulai dari beberapa meter persegi sampai beberapa hektar dan dikelola secara perorangan atau berkelompok. Sebagian untuk dikonsumsi sendiri, sebagian disumbangkan untuk makan siang di sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit atau untuk orang-orang yang tidak mampu dan sisanya dijual untuk mendapatkan keuntungan. Teknik yang paling banyak digunakan dikenal dengan istilah organoponico, yang menggunakan gundukan tanah subur sebagai bed, karena buruknya kualitas tanah di daerah perkotaan.
2. Perubahan di bidang produksi[6]
2a. Alokasi lebih banyak lahan untuk tanaman pangan
Sebelum krisis, sebagian besar tanah pertanian di Kuba digunakan untuk perkebunan tebu sebagai produk pertanian unggulan mereka. Sektor ini berkontribusi untuk memberikan 400 ribu lapangan kerja dan menghasilkan sekitar 600 juta dolar Amerika (80% dari total ekspor). Setelah krisis, pemerintah mengalokasikan lebih banyak tanah untuk tanaman pangan. Lahan-lahan tersebut antara lain digunakan untuk memproduksi pangan untuk konsumsi para pengelola (self provisioning plot).
2b. Distribusi tanah negara kepada koperasi-koperasi
Sebelumnya sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh perusahaan negara. Perusahaan ini disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Namun demikian, produktivitas mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan koperasi yang lebih sedikit mendapat subsidi dan apalagi bila dibandingkan dengan petani-petani kecil yang tidak disubsidi.
Setelah krisis, terjadi reformasi dalam pengelolaan lahan. Sebagian tanah perusahaan negara dibagi-bagikan ke koperasi (UBPC, Unidad Basica de Produccion Cooperative, semacam koperasi produksi unit desa). Para karyawan perusahaan negara tersebut diberi pilihan untuk tetap menjadi karyawan atau secara berkelompok membentuk koperasi. Tanah tetap dimiliki oleh negara, tetapi koperasi-koperasi memperoleh usufruct right, semacam hak guna lahan dalam jangka panjang. Pada tahun 1989, tanah yang dikelola oleh perusahaan negara mencapai 78%, sementara pada tahun 1997 tinggal 24%. Sementara luasan yang dikelola koperasi bertambah dari 10% (1989) menjadi 57% (1997).
2c. Pembagian tanah untuk mereka yang ingin menjadi petani
Pemerintah juga membagikan tanah bagi individu yang ingin menjadi petani. Misalnya di daerah perkotaan, mereka diijinkan mengelola lahan-lahan kosong yang tidak digunakan dengan usufruct right. Sebagai kompensasi kepada pemerintah, mereka diwajibkan memberikan sumbangan untuk masyarakat sekitar misalnya menyediakan bahan makanan untuk makan siang anak-anak sekolah di daerah tersebut, rumah sakit atau orang-orang miskin.
2d. Perubahan sistem insentif
Perusahaan pertanian negara telah lama dikritik karena ketidakefisienannya. Meskipun menikmati subsidi paling besar, banyak di antara mereka kurang produktif bila dibandingkan dengan koperasi dan petani kecil. Untuk memacu produksi, pemerintah mengubah sistem produksi antara lain dengan: mengubah sistem penggajian dari berdasarkan jam kerja menjadi berdasarkan hasil produksi, memberikan tanggung jawab luasan lahan tertentu kepada orang tertentu agar produktivitasnya lebih dapat dikontrol dan memberikan insentif pembayaran dengan harga yang lebih tinggi untuk hasil produksi di atas kuota. Hal ini ternyata memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pangan.
3. Perubahan di bidang distribusi[7]
3a. Pembukaan pasar produk pertanian: harga produk pertanian yang cukup tinggi
Sebelum krisis, pemerintah mengontrol seluruh sistem distribusi pangan. Ketika krisis sistem ini tidak dapat berjalan karena adanya pasar gelap, pencurian oleh distributor dan kerusakan-kerusakan di perjalanan. Tahun 1994 dibuka pasar produk pertanian untuk mengantisipasi permasalahan tersebut dan memudahkan akses masyarakat terhadap produk-produk pertanian, terutama pangan. Harga produk pertanian di pasar ini cukup tinggi sehingga para petani tergerak untuk menjual produk-produk mereka di pasar yang resmi dan lebih banyak orang tertarik untuk menjadi petani.
3b. Hubungan langsung antara petani dan konsumen
Sebelum krisis, distribusi pangan langsung ditangani oleh pemerintah secara sentralistik melalui ACOPIO (semacam BULOG untuk segala jenis produk pangan). Krisis menyebabkan sistem tersebut tidak dapat berlanjut dengan lancar antara lain akibat kurangnya bahan bakar menyebabkan produksi pangan seringkali tidak dapat diangkut tepat waktu dan akhirnya rusak. Sebagai alternatif, dibuat desentralisasi sistem distribusi dengan cara mendekatkan konsumen dan produsen. Dengan cara ini konsumen dapat menerima produk yang lebih segar, dalam waktu yang lebih cepat, harga lebih rendah (lebih sedikit rantai pemasaran) dan memotong kebutuhan transportasi.
Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Kuba:
Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konversi dari pertanian konvensional ke PO membutuhkan waktu 3-7 tahun. Masalahnya Kuba tidak punya sekian banyak waktu. Mereka butuh pangan pada saat itu juga, terutama di daerah perkotaan di mana 80% masyarakat bermukim. Berikut ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan cepatnya perubahan yang terjadi di Kuba.
1. Faktor internal:
1a. Solidaritas pemerintah pada rakyat, kompaknya birokrasi dan keberanian menolak dominasi asing dalam proses pembangunan
Kuatnya solidaritas pemerintah terutama terhadap mereka yang miskin tercermin dalam setiap kehidupan masyarakat. Jabatan tinggi di pemerintahan tidak menjadikan mereka kaya. Menjadi sama seperti mayoritas adalah ideologi negara. Seorang menteri yang lebih miskin dari guru sekolah dasar adalah fenomena umum di negeri tersebut.
Birokrasi cukup kompak dalam kerjasama lintas instansi. Ini pula yang menyebabkan penyebaran teknologi baru bisa terjadi dengan sangat cepat di tingkat basis. Poder Popular, semacam organisasi masyarakat tingkat rendah mengorganisir kerja sama ini dan menjamin keberhasilan mobilisasi massa.
Keberanian pemerintah untuk bertahan pada cita-cita revolusi, menyebabkan pemerintah cukup memiliki keberanian untuk menolak setiap dominasi asing, meskipun konsekuensinya negeri itu tetap "miskin" bila dilihat dari segi konsumsi barang-barang mewah. Di Kuba, sangat jarang ditemui orang dengan mobil BMW (kecuali turis) tetapi tidak ada seorang anakpun yang mati kelaparan atau putus sekolah karena tidak punya biaya ataupun orang mati karena tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Dengan sedikit yang mereka punya, mereka telah menempatkan prioritas utama untuk kebutuhan dasar masyarakat banyak: pangan, kesehatan dan pendidikan[8].
1b. Petani yang berkualitas
Faktor pertama adalah akumulasi pengetahuan para petani kecil. Petani kecil yang tidak pernah menerima subsidi asupan kimia telah lama menguasai teknologi ini. Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa dari mereka, apalagi yang telah bertani organis selama puluhan tahun, mereka berpendapat bahwa PO lebih produktif dalam jangka panjang dan lebih ramah lingkungan. Mereka yakin bahwa semakin mereka bertani organis, tanah akan semakin subur. Hal ini didukung dengan hasil panen mereka yang makin meningkat dan termasuk yang tertinggi bila dibandingkan dengan koperasi dan perusahaan pemerintah. Dengan dukungan pemerintah berupa kredit dan subsidi asupan organis mereka makin produktif lagi.
Faktor kedua adalah tingkat pendidikan di Kuba cukup tinggi, termasuk bagi para petani. Berdasarkan pengalaman saya berkunjung ke Kuba tahun 2001, kebanyakan dari mereka mengenyam sekolah tinggi pertanian. Pendidikan gratis untuk semua orang. Beberapa indikator pendukung antara lain: tingkat melek huruf 92%; terdapat satu peneliti untuk setiap 830 penduduk; satu dokter untuk setiap 190 penduduk. Faktor ini menyebabkan masyarakat Kuba termasuk para petani cukup kritis dan responsif dalam menerima dan mengolah informasi, termasuk teknologi yang akan mereka gunakan untuk memproduksi pangan mereka.
1c. Penelitian yang mendukung
Sebetulnya, teknologi PO telah dikembangkan di Kuba sejak lama oleh para peneliti Kuba telah sebagai persiapan jika hal-hal yang tidak diinginkan mengancam sistem keamanan pangan ala revolusi hijau mereka. Ketika krisis sungguh-sungguh terjadi, teknologi tersebut telah siap disebarkan melalui instrumen-instrumen kebijakan pendukung.
1d. Insentif untuk menjadi petani dan bekerja di sektor pertanian
Di Kuba berbagai upaya dilakukan untuk menarik orang bekerja di sektor pertanian, antara lain jaminan hak pengelolaan tanah yang cukup untuk petani, harga produk pertanian yang tinggi dan penghargaan terhadap profesi petani. Intinya, orang dapat hidup dengan layak dengan profesi ini; bahkan salah satu yang bepenghasilan besar.
Usaha untuk menghargai profesi petani dilakukan lewat sekolah; misalnya program kunjungan ke lahan pertanian untuk pelajar SD dan bekerja di daerah perdesaan, biasanya di perkebunan tebu selama dua minggu bagi para remaja dan program sukarelawan untuk bekerja di daerah pertanian selama beberapa bulan bagi pemuda/mahasiswa. Meskipun banyak orang tidak menyukai program ini, minimal mereka menjadi sadar bahwa petani adalah pekerjaan berat, berguna untuk semua orang dan wajib dihargai.
2. Faktor Eksternal:
2a. Tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional: IMF dan World Bank
Tidak seperti kebanyakan negara dunia ketiga yang terjerat hutang dengan lembaga keuangan internasional, Kuba relatif bebas untuk memilih model pembangunan mereka. Pada tahun 1997, Kuba hanya menerima US$ 67 juta; itupun melalui perjanjian bilateral dan dana-dana bantuan untuk NGO. Tidak ada hutang kepada World Bank, IMF dan bank-bank pembangunan Amerika. (Sinclair & Thompson, 2001). Karena itu, pemerintah Kuba lebih bebas dan dapat secara mandiri merencanakan program penyelesaian krisis tanpa intervensi lembaga-lembaga internasional tersebut.
2b. Bebas dari kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional
Akibat embargo Amerika, Kuba relatif bebas dari cengkeraman perusahaan multinasional. Pemerintah menguasai semua sektor strategis dan mensubsidi habis-habisan tiga sektor utama: pangan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dua sektor yang terakhir, fasilitas diberikan secara gratis untuk seluruh penduduk.
Krisis menyebabkan pemerintah tidak mampu lagi menyediakan pangan untuk seluruh penduduk, karena itu reformasi di bidang pangan di Kuba pada intinya adalah mengembalikan kedaulatan pangan pada petani sebagai produsen pangan.
Konsekuensi perubahan kebijakan
Konsekuensi dari sistem yang berlaku di Kuba adalah tidak ada yang akan menjadi terlalu kaya maupun terlalu miskin. Dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis untuk semua orang, semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju dan hidup layak.
Harga makanan yang tinggi menyebabkan sebagian besar penghasilan mereka digunakan untuk makanan (mencapai 66% dari penghasilan). Akibatnya tidak banyak yang tersisa untuk membeli barang-barang tersier atau menumpuk begitu banyak tabungan dan hidup dari bunga tanpa bekerja. Dalam sistem semacam ini orang lebih sulit untuk menjadi konsumtif; apalagi untuk produk-produk yang tidak mendesak.
Kedua, kurangnya minyak dan impor asupan pertanian, memaksa Kuba untuk melakukan desentralisasi sistem produksi dan distribusi. Lebih banyak digunakan sumber daya lokal dan masyarakat didorong untuk mengkonsumsi makanan lokal untuk meminimalisir kebutuhan energi untuk transportasi dan penyimpanan.
Ketiga, PO yang berdasarkan sumber daya lokal tidak membutuhkan institusi besar untuk memproduksi asupan pertanian dari luar, seperti pupuk kimia/pestisida. PO tidak membutuhkan konsentrasi modal, misalnya perusahaan multinasional sebagai produsen asupan tidak dibutuhkan keberadaannya. Akibatnya benefit dapat terdistribusi dengan lebih merata.
Keempat, perlu ada jaminan luasan lahan tertentu untuk petani. PO membutuhkan luasan lahan tertentu agar bisa dikelola secara efisien, tergantung dari kondisi lokalnya. Jika terlalu luas, maka petani tidak mampu mengelola seluruh lahannya. Sebaliknya jika terlalu sempit, maka cukup sulit untuk membangun keseimbangan ekosistem yang saling mendukung satu sama lain.
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia
PO telah menyelamatkan Kuba dari kelaparan. Krisis telah mendesak mereka untuk menghentikan pertanian ala revolusi hijau dan untungnya mereka telah memilih pola pertanian yang lebih berkelanjutan dan kebijakan nasional yang berpihak ke petani sebagai produsen pangan.
Dibandingkan dengan Kuba, Indonesia memiliki jauh lebih banyak sumber daya alam, terutama di sektor pertanian. Pertanyaannya, mengapa kondisi masyarakat Indonesia secara umum, terutama kaum tani jauh di bawah Kuba?
Semoga pertanyaan di atas menjadi tantangan bagi kita untuk memikirkan strategi ketahanan pangan Indonesia yang lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua orang; dan memberi semangat dan keberanian untuk mengusahakannya.
Literatur Utama:
Murphy, Catherine (1999). Cultivating Havana: Urban Agriculture and Food Security in the Year of Crisis. Oakland: Food First, Policy Brief, 50 pp.
Romero, Bernice (2000) The Case for Unrestricted Food and Medicine Sales to Cuba. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba as on 21/08/01.
Rosset, Peter (1997a). Cuba: Ethics, Biological Control and Crisis. Agriculture and Human Values 14:291-302.
Rosset, Peter (1997b). Food security and local production of biopesticides in Cuba. ILEA Newsletter 13(4):18-19.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994a) Two Steps Back One Step Forward: Cuba's National Policy for Alternative Agriculture. London: IIED.
Rosset, Peter and Medea Benjamin (1994b) The Greening of the Revolution. Cuba's experiment with Organic Agriculture. Melbourne: OCEAN Press.
Sinclair, Minor and Martha Thompson (2001) CUBA. Going Against the Grain: Agricultural Crisis and Transformation. OXFAM America Report. http://www.oxfamamerica.org/cuba/index.html as on 14/08/01.
Sulistyowati, Catharina Any (2001) Breaking The Myths: Lessons from Agricultural Policy Changes in Cuba during the nineties. Master Thesis. The Hague: Agriculture and Rural Development Program [1] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset & Benjamin, 1994b.
[2] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Rosset, 1997a dan b.
[3] Entomopagus adalah serangga yang memakan atau menjadi parasit serangga lain yang menjadi hama tanaman dan dengan demikian dapat dijadikan pengendali hama biologis. Sebagai contoh yang digunakan di Kuba antara lain Tricogramma dan Lixophaga (Rosset & Benjamin 94b:38-39).
[4] Entomopatogen adalah penyakit serangga, tetapi tidak menyebabkan penyakit pada manusia dan dengan demikian dapat digunakan sebagai penggendali hama yang tidak beracun. Termasuk di dalamnya bakteri, jamur dan virus. Di Kuba mereka menggunakan antara lain: Bacillus thuringiensis, Beauvaria bassiana, Metarhizium anisopliae dan Verticillium lecanii (Rosset & Benjamin 94b: 39-40).
[5] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Murphy, 1999.
[6] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[7] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat Sinclair & Thompson, 2001.
[8] Hal ini juga tercermin misalnya dari gaji. Yang secara resmi memiliki gaji terbesar adalah orang-orang yang berprofesi guru, petani dan dokter.
No comments:
Post a Comment