Memasuki bulan peringatan kemerdekaan Bangsa Indonesia, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Namun, sebelum beranjak lebih jauh, kami ingin mengajak pembaca semua untuk mempertanyakan kembali, sudahkah Anda memaknai kemerdekaan bagi diri Anda sendiri? Sudahkah hidup Anda berdaulat, di tengah hiruk pikuk perkembangan jaman saat ini?
Dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, Pro:aktif Online hadir untuk memaknai kemerdekaan dari aspek mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu pangan. Oleh karena itu, tema yang kami usung kali ini adalah “Bangsa Indonesia dan Kedaulatan Pangan”
Pangan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan sarana dasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk melanjutkan hidupnya. Sebagai sebuah sarana, hendaknya manusia memiliki kebebasan dalam proses pengadaan pangan, bebas mengolah bahan baku pangan menjadi makanan sehat yang memperkuat tubuh, bukan menjadi penyakit bagi tubuh itu sendiri.
Namun, bagaimana ketika kebebasan dalam proses pengadaan pangan itu justru membelit manusia dalam lingkaran ketergantungan yang merugikan? Dengan keadaan demikian, dapatkah dikatakan bahwa manusia telah berdaulat dalam hal pangan?
Pengertian kedaulatan pangan sebuah bangsa,menurut Serikat Petani Indonesia, adalah hak setiap bangsa untuk memproduksi pangan secara mandiri, serta hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan dan perikanantanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Mencermati definisi di atas, apakah Bangsa Indonesia telah berdaulat dalam hal pangan? Oleh karena itu, mari kita telusuri jawabannya bersama-sama dalam edisi Pro:aktif Online kali ini.
Pertama-tama, untuk mengetahui hakikat kedaulatan pangan itu sendiri, Anda dapat membaca rubrik Opini yang ditulis oleh Angga Dwiartama. Dalam artikelnya, ia membedakan antara ketahanan atas pangan (secure of food) atau ketahanan melalui pangan (secure through food).
Rubrik Opini yang kedua, ditulis oleh Anton Waspo, mengulik tentang fenomena impor bahan pangan di Indonesia yang telah mematikan produk pertanian lokal. Hal ini tentu saja mengurangi upaya bangsa Indonesia untuk berdaulat dalam bidang pangan. Bagaimana upaya mengurangi kecenderungan mengimpor bahan pangan, dapat kita cermati di dalam artikel ini.
Rubrik Pikir yang ditulis oleh Angga Dwiartama mengajak pembaca untuk merenungkan kembali mengenai cengkeraman kapitalisme terhadap proses pengadaan pangan. Rubrik Pikir yang kedua, ditulis oleh David Ardes.Dalam rubrik tersebut pembaca diajak untuk merenungkan secara khusus tentang kedaulatan pangan dalam skala Indonesia sebagai suatu bangsa.
Rubrik Masalah Kita, yang ditulis secara kolaboratif oleh Agustein Okamita dan Navita Astuti, mengulas tentang penurunan mutu pangan, mulai dari proses pengolahan di lahan pertanian, proses panen hingga proses pengolahan menjadi bahan pangan. Artikel ini mengajak kita semua untuk kritis mencermati proses-proses pengadaan pangan yang mengutamakan mutu serta mendukung kesejahteraan dan kesehatan konsumen.
Rubrik Media ditulis oleh Shintia D. Arwida, mengulas berbagai bacaan yang akan mencerahkan pembaca mengenai persoalan pangan.
Rubrik Tips ditulis oleh Maya Pujiati.Ia membahas tentang mudah dan murahnyamenghasilkan pangan sendiri dari kebun keluarga. Ia juga memberi contoh praktik-praktik yang dilakukannya sendiri di rumah, untuk menghasilkan makanan sehat tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Di rubrik Tips yang kedua, Melly Amalia mengulas berbagai tips memilih bahan makanan yang menyehatkan tubuh.
Any Sulistyowati membawakan rubrik Profil berisicerita tentang gerakan Koperasi Teikei. Keistimewaan koperasi ini adalah sistem pengadaan pangan secara langsung dan sehat yang diciptakan secara mandiri antara produsen dan konsumen di Provinsi Chiba, Jepang.
Melly Amalia membawakan rubrik Jalan-Jalan, yang mengulas tentang kegiatan sebuah organisasi bernama Bandung Berkebun. yang fokus pada pemanfaatan lahan untuk kebun. Rubrik ini hendak menunjukkan tentang berbagai keuntungan yang didapat dari berkebun.
Menilik artikel-artikel yang ada di edisi ini, satu hal yang perlu direnungkan bersama, bahwa kemerdekaan bukan sekedar status, atau sekedar angka-angka atau semata-mata standar yang telah dicapai, melainkan sebuah upaya atau gerakan, yang berawal dari hati masing-masing individu. Sudahkah kita sendiri membebaskan diri dari belenggu ketergantungan akan sesuatu? Terkait dengan tema ini, kita perlu bertanya kembali pada diri kita sendiri, sudahkah kita merdeka untuk menentukan sistem pangan sehat dan berkelanjutan bagi diri kita sendiri? Sudahkah Bangsa Indonesia memiliki kesadaran untuk mewujudkan itu semua?
Mari, berjuang untuk merdeka!