Penulis: Angga Dwiartama
Memperingati kemerdekaan RI ke-69, menarik untuk menilik makna kemerdekaan dalam kaitannya dengan pangan. Dalam pidato kepresidenannya di tahun 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa terdapat empat bentuk kemerdekaan yang harus melekat dalam setiap individu – kemerdekaan untuk berpendapat, untuk berkeyakinan, dari ketakutan, dan atas kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Penyelenggaraan pemerintahan hendaknya selalu didasari oleh semangat kemerdekaan ini.
Gambar 1, diambil dari http://inspirasifajardepok.com |
Dalam hal ini, ketahanan pangan juga patut mengemban semangat kemerdekaan ini. Ketika kita berbicara tentang ketahanan pangan, kita tidak hanya berbicara tentang tersedianya pangan bagi seluruh populasi. Kita berbicara lebih luas tentang kesejahteraan manusia dalam kaitannya dengan gizi, kesehatan, pengembangan diri dan kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang mendasari Michael Carolan[1], seorang pakar sosiologi pangan dari AS, untuk mempertanyakan hakikat ketahanan pangan (food security): apakah ketahanan atas pangan (secure of food), atau ketahanan melalui pangan (secure through food)?
Ketahanan: ‘atas’ atau ‘melalui’ pangan?
Bila kita cenderung pada definisi yang pertama (ketahanan atas pangan), maka pencapaian ini mungkin akan memuaskan kita. Pasca-Revolusi Hijau, produksi pertanian dunia di awal abad ke-21 telah mampu menghasilkan 17% lebih banyak kalori bagi setiap individu dibandingkan 30 tahun sebelumnya [2]. Indonesia telah berkali-kali mencapai swasembada pangan (sebut saja tahun 1984 dan 2008), meningkatkan konsumsi kalori penduduknya dalam 40 tahun terakhir, dan menurunkan persentase malnutrisi dari 22% di tahun 1991 hingga 9% saja di 2012 [3]. Terlebih, baik Indonesia maupun dunia tengah berupaya keras untuk mendorong produksi pertanian untuk menghasilkan lebih banyak lagi – sebut saja dengan pembukaan lahan pertanian baru, atau melalui teknologi rekayasa genetika yang dapat meningkatkan hasil panen hingga berkali lipat. Singkat kata, dunia telah jauh lebih baik dalam mencapai ketahanan ataspangan.
Apa yang salah dari argumen di atas? Pada kenyataannya, masalah ketahanan pangan lebih dari sekedar tersedianya cukup pangan bagi masyarakat. FAO melaporkan di tahun 2009 bahwa yang menyebabkansatu miliar penduduk dunia mengalami kerawanan pangan bukanlah produksi yang tidak mencukupi, tetapi minimnya aksesmasyarakat atas pangan, entah karena harga pangan yang terlalu tinggi atau penghasilan yang begitu rendah. Di sisi lain, konsumsi kalori yang meningkat tidak bisa menjadi patokan bagi ketercapaian ketahanan pangan. Di banyak negara maju, obesitas akibat pola makan berlebih dan tidak seimbang menjadi isu yang sangat krusial. Di AS, sebagai contoh, lebih dari 30% populasi mengidap obesitas, dan jutaan orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang terkait dengan obesitas (kolesterol, serangan jantung, diabetes, dsb.)[4]. Lebih lanjut, di banyak negara berkembang seperti Asia Pasifik dan Afrika, masyarakat dipaksa untuk mengubah jenis dan pola makan mereka (menjadi gandum) dengan dalih ketahanan pangan, yang mengakibatkan terjadinya transformasi budaya dan hilangnya kemandirian atas pangan.Jelas dari sini bahwa strategi pemenuhan pangan yang digembar-gemborkan tidak sepenuhnya dapat mewujudkan ketahanan melalui pangan – rasa aman (secure) untuk hidup secara sehat, layak dan utuh.
Berbagai definisi ‘ketahanan pangan’
Perdebatan tentang hakikat ketahanan pangan bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1992 saja, sudah terdapat ratusan definisi yang berbeda tentang ‘ketahanan pangan’. Ketahanan pangan semula didefinisikan dalam kerangka industri: ‘seberapa besar suatu masyarakat memiliki akses terhadap pangan untuk pemenuhan energi mereka’. Ketahanan pangan diukur melalui jumlah kalori yang tersedia dibandingkan dengan kalori yang dibutuhkan. Umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur, atau buah (masing-masing memiliki nilai nutrisi berbeda) direduksi menjadi suatu angka kalori. Hal ini mendorong terjadinya penyeragaman pangan, dan menyempitkan pilihan pangan di dunia menjadi beberapa komoditas saja.
Dalam Revolusi Hijau, peningkatan produksi pertanian dianggap sebagai solusi terbaik dalam mencapai ketahanan pangan. Saat itu, ‘ketahanan pangan’ seringkali disetarakan dengan ‘swasembada pangan’ – seberapa mampu suatu negara menghasilkan pangan untuk konsumsi warganya. Indonesia menggunakan definisi ini untuk menunjukkan pencapaiannya atas ketahanan pangan. Patut disayangkan karena swasembada kemudian dipersempit hanya sebatas pada komoditas ‘beras’ -- di saat kita cukup akan beras, kita tetap harus mengimpor gula dan kedelai dengan harga mahal.Di awal 1990-an, pandangan ini mulai banyak ditentang. Definisi baru untuk ketahanan pangan pun muncul: bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga akses terhadap pangan.
Agaknya, definisi ini menjadi dasar bagi munculnya perdagangan bebas atas pangan. WTO berargumen bahwa ketahanan pangan terletak bukan pada kemampuan suatu negara menghasilkan pangan bagi dirinya sendiri, tetapi pada perdagangan internasional yang memungkinkan pangan dijual dengan harga yang kompetitif, dan pada kemampuan negara untuk mengimpor pangan melalui eksporproduk unggulan mereka. Sederhananya, jika negara-negara bersaing untuk menghasilkan bahan pangan semurah mungkin, maka masyarakat miskin pun dapat mengakses pangan tersebut dengan mudah. Ini, tentu saja, tidak sepenuhnya benar. Negara-negara Afrika, misalnya, menanam tanaman ekspor (cash crops) yang tidak mereka konsumsi sama sekali – bahkan bukan dari keanekaragaman lokal mereka. Melalui logika perdagangan bebas, negara-negara ini mengimpor pangan yang (saat itu) murah sebagai gantinya. Pada kenyataannya, dengan perubahan iklim yang disertai krisis ekonomi di 2008, harga pangan dunia melonjak dan pertanian mereka gagal, menyebabkan terjadinya kelaparan dan kerusuhan di banyak tempat.
Pada tahun 1996, World Food Summit merumuskan definisi baruatas ketahanan pangan, yaitu “kondisi di mana semua orang, di setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan pangannya, untuk mencapai kehidupan yang sehat dan aktif”.Definisi ini terlihat lebih menyeluruh. ‘Bergizi’ berarti seimbang dalam nutrisi, dan tidak lagi hanya dalam kalori. ‘Pilihan’ berarti sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat. ‘Sehat dan aktif’ menunjukkan bahwa ketahanan pangan lebih dari sekedar ketahanan atas pangan, tetapi melalui pangan; bahwa pangan harus dapat membantu terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan pribadi dan sosial yang sehat dan aktif.
Gambar 2; diambil dari http://www.peuples-solidaires.org/ |
Penutup
Menjadi penting untuk disadari bahwa ketahanan pangan, sebagai suatu konsep, tidak bisa berdiri sendiri, dan karenanya tidak bisa dijadikan tolok ukur atas keberhasilan pangan. Ketahanan pangan adalah bagian dari konsep besar atas kemerdekaan dan keberdayaan masyarakat. Ia harus menjadi semangat bagi pemenuhan pangan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia, dan bukan pada kecukupan kalori; pada hidup yang penuh, dan bukan pada perut yang penuh; pada ‘ketahanan’, dan bukan pada ‘pangan’.Rujukan:
[1] Carolan, M. 2013. Reclaiming Food Security. Routledge.
[2]Dillon, H.S. 1999. Trade & Food security in Indonesia. IAMA Conference, Florence.
[3] FAOStat. 2014. http://faostat3.fao.org/
[4] WHO. 2014. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/
No comments:
Post a Comment