Duhsasana had to subdue Draupadi by force. He dragged her out of the women’s quarters and into the assembly hall by her hair. And there, in front of all the kings and the defeated Pandavas, he mocked her, called her whore for having five husbands, and vowed to have his way with her. Then, as Draupadi stood helpless, clad only in a nightgown, weeping with shame and rage, Duhsasana ripped her gown from her to expose her nakedness.
But she was not naked. She was still clad in her simple shift. Cursing, Duhsasana reached out again and ripped it off.
And Draupadi was still not naked.
Again and again Duhsasana ripped Draupadi’s clothes away, until the floor of the assembly hall was littered in a rainbow of gowns. And she was still not naked.
Absolute silence descended on the assembly hall. There were only two people in the whole world. There was Draupadi, clothed in the lawfulness of her rage. There was Duhsasana, exhausted and suddenly afraid.
Sabha Parva LXVII, Mahabharata
Draupadi, sumber: www.alamy.com |
Terhadap identitas kita sandang itu memang rapuh, tetapi di situ juga terletak kekuatannya. Sandang menyandang daya terpenting dalam kemanusiaan kita, yakni kecenderungan beradaptasi. Dengan sandang manusia dapat mengatasi keterbatasannya, memasuki laut dalam, menjelajah antariksa, atau pun melindungi diri pada kondisi ekstrim. Sandang itu membungkus tubuh untuk memperluas horizon keberadaannya, mendukung manusia untuk bereksplorasi dan melakukan kolonisasi atas dunia.
Sandang berdaya mengubah manusia karena itu ia lalu dikapitalisasi menjadi sarana klasifikasi manusia baik dari segi strata kultural mau pun sosial, penanda peran dalam sistem kemasyarakatan, atau pun sebagai tanda pengkhususan kultural mau pun religi. Pakaian yang disandang menentukan derajad dan kasta, mengenalkan peran dalam sistem fungsional kemasyarakatan seperti dokter, tentara, polisi, guru atau anak sekolah. Para penganut agama menandai kaumnya lewat pakaian yang khas,seperti pada biarawan, kiai, pandita, dan seterusnya. Bahkan pakaian pun bisa memberikan ciri pada momentum tertentu seperti gaun pengantin, pakaian upacara agama atau pun pakaian adat pada berbagai ritual.
Sandang dengan demikian secara paradoksal melampaui manusia penyandangnya. Tanpa sandang, manusia menjadi telanjang dan terbatas. Ia kehilangan atributnya, ketiadaan predikat dan lumpuh dalam sistem sosialnya. Sandang dengan demikian menelanjangi manusia. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan manusia jadi melekat pada sandang yang dikenakan, bukan tertanam dalam manusia itu sendiri.
Di satu pihak manusia itu takut pada ketelanjangannya. Maka ia berusaha menegaskan keberadaannya secara spesifik di tengah dunia dengan menyandang pakaian yang bisa mengusung identitas peran yang ia anggap sesuai. Tetapi sering ketelanjangan itu menjadi paranoia yang mengubah manusia menjadi konsumen terus menerus. Sandang menjanjikan pemenuhan identitas yang tak pernah tuntas. Manusia berusaha memperkaya atribut, mempertahankan dan meningkatkan predikatnya, mengejar sandang yang semakin menaikkan nilainya di masyarakat.
Di lain pihak, karena sandang menjadi penyandang martabat, nafsu kolonisasi, kecenderungan menguasai dan menindas manusia menyasar pada penelanjangan manusia lain. Dalam epos Mahabharata, Kurawa berusaha mempermalukan Pandawa yang kalah bermain dadu dengan merenggut pakaian Drupadi. Dalam aula raja-raja di Hastinapura keserakahan akan kekuasaan politik mengarahkan kekuatannya pada kain sari seorang perempuan.
Epos Mahabharata menjanjikan optimisme yang mendasar bagi kemanusiaan yang tidak dapat ditelanjangi. Sandang itu memang bernilai, meskipun ia tipis dan bersahaja seperti selembar sari atau kain batik, ia memuat keyakinan manusia bahwa dirinya bermartabat. Sandang bukanlah pemilik nilai tersebut, ia adalah penanda citra kultural manusia, pembawa pesan tentang harkat manusia, dan bukan harkat itu sendiri. Seperti keajaiban dalam cerita Mahabharata di ruang permainan dadu, martabat manusia tak bisa digerus meski keserakahan berusaha menanggalkan semua atribut kemanusiaan.
Drupadi yang bersimpuh di lantai aula para raja, tetap terjaga dalam keutuhan kemanusiaannya dan pada gilirannya keserakahan dan nafsu menguasai politik Sengkuni dan Kurawa akan tergerus oleh ketakutannya sendiri sebab kemanusiaan tak bisa ditelanjangi.
No comments:
Post a Comment