[JALAN-JALAN] DARI MANA BAJU KITA


Pernahkah kita mengetahui dari manakah asal baju yang kita kenakan? Atau pernahkah kita menanyakan bagaimana baju yang kita pakai dihasilkan dan bisa dijual dengan harga yang sangat murah ketika sedang ada diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan, pameran, atau toko-toko baju pinggir jalan

Baju yang kita kenakan terbentuk dari berbagai macam tekstil, yakni tekstil yang terbuat dari jalinan benang/serat dan ada juga tekstil yang dicetak seperti bahan plastik dan karet yang dibuat untuk baju-baju tahan air, tahan angin atau keperluan khusus lainnya. Berdasarkan tampilannya, jenis tekstil dapat terbagi menjadi tiga yakni reka latar, reka rakit, dan campuran keduanya. Reka latar adalah cara menampilkan corak pada tekstil setelah bahan tekstil sudah tersedia seperti batik, lukis kain, celup ikat, sablon dan printing mesin. Reka rakit adalah cara menampilkan corak pada kain bersamaan dengan proses pembentukan kainnya seperti tenun, rajut, anyam, macramé, dan tapestri. Berdasarkan material penyusunnya tekstil dapat terbagi menjadi tekstil organik dan anorganik. Tekstil organik yakni tekstil yang terbuat dari serat alami seperti sutera, katun, linen, rami, kulit, dan serat alami lainnya. Sedangkan tekstil anorganik adalah tekstil yang terbentuk dari material buatan seperti polyester, lycra, plastik, karbon, dan material rekayasa lainnya. Selanjutnya tekstil tersebut diolah oleh para penjahit untuk dijadikan sebagai busana dan didistribusikan ke para penjual.

Sebelum ditemukannya mesin pintal pada era revolusi industri di Inggris abad ke 17 oleh Richard Arkwright (mesin pintal dengan tenaga air), James Hargreaves (spinning jenny), dan Samuel Crompton (spinning mule), pembuatan busana masih membutuhkan waktu lama dan mahal karena pembuatannya masih manual. Setelah ditemukannya mesin pemintal maka bahan-bahan tekstil dapat dipintal dalam jumlah yang lebih besar dan kecepatan produksi busana meningkat. Semenjak era revolusi Industri mesin-mesin berperan dalam menggantikan tenaga manusia dan produksi menjadi semakin murah.

Perkembangan di dunia fashion dari abad ke abad terus meningkat dengan penemuan mesin jahit dan pola kertas pada abad ke-19. Dengan penemuan ini produk busana dapat dibuat dalam skala besar dengan tampilan yang persis sama. Hal tersebut menjadi pendorong munculnya industri busana dengan produksi massal. Salah satu produk massal pertama untuk jenis busana perempuan adalah shirtwaist yang diproduksi oleh lebih dari 450 pabrik yang mempekerjakan 40.000 orang. Namun dengan adanya produk massal, tidak semua perempuan membeli busananya, masih terdapat perempuan-perempuan yang menjahit sendiri dengan membeli mesin jahit rumahan. Skill menjahit menjadi skill rumahan yang diturunkan dari generasi ke generasi, disinilah tradisi membuat busana berubah yang tadinya manual dengan metode pintalan dan jahit tangan menjadi membeli kain di toko dan menjahitnya dengan mesin di rumah. Kemunculan industri busana juga membawa perubahan seperti tersedianya lapangan kerja baru bagi perempuan dan juga disiplin ilmu yakni ilmu tata busana. Salah satu sekolah yang mengajarkan tata busana yakni Iowa State College berdiri pada tahun 1871 yang mengajarkan para perempuan tentang Kurikulum Ekonomi Rumah yang mengajarkan memasak dan menjahit bagi para perempuan.

Desain Shirtwaist yang populer abad ke-19 (Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women’s History Museum)

Penemuan teknologi dan sistem kerja industri busana massal tersebut berkembang di Eropa dan Amerika dan kemudian menyebar ke negara-negara jajahan sebagai lokasi produksi dengan upah tenaga kerja yang lebih murah. Perkembangan tersebut  memunculkan Tiongkok sebagai negara dengan potensi ekonomi terbesar saat ini karena mereka mampu memproduksi dalam skala yang lebih banyak dan upah yang paling rendah. Situasi ini dikenal dengan istilah fast fashion, situasi di mana busana dihasilkan dalam waktu cepat dan harga busana menjadi sangat murah agar bisa terjual dengan mudah. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan di awal, busana bisa dijual dengan harga kurang dari Rp 50.000,- dengan corak batik di pasar-pasar grosir di Indonesia. Selama lebih dari satu abad, konsumen dididik untuk menjadi konsumtif tanpa melihat bagaimana produk yang mereka kenakan bisa sampai ke tubuh mereka sementara pusat-pusat perbelanjaan terus gencar memberikan promo-promo diskon banting harga tanpa memberikan informasi lebih akan produknya selain harga dan merk busana.




Gambar (kanan) diskon busana di salah satu pusat perbelanjaan dalam artikel berjudul “Cari Diskon Pakaian Anak di Bogor, disini Tempatnya” oleh Lingga Arvian Nugroho pada 11 Desember 2015;(kiri) diskon busana corak batik dalam artikel berjudul “8 hal menarik di INACRAFT 2015” oleh Johana Purba pada 9 April 2015.
Sumber kiri ke kanan:
https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/89434-8-hal-menarik-di-inacraft-2015

Bagaimana dengan dampak dari fast fashiontersebut? Industri busana adalah industri kedua dengan dampak polusi terbesar di dunia. Sisa pewarnaan busana yang dibuang ke tanah dan air menjadi racun bagi ekosistem di dalamnya dan selanjutnya berdampak ke manusia yang mengkonsumsi air serta tanaman yang tumbuh di area tersebut. Kebutuhan akan kain secara cepat memaksa lahan untuk dapat menumbuhkan pohon kapas sebagai bahan utama katun. Hewan seperti domba, sapi dan kambing menjadi hewan industri yang digunakan kulit dan bulunya untuk produksi berbagai produk seperti wool dan kulit. Hasil industri minyak dalam skala besar digunakan untuk menciptakan alternatif tekstil non-organik yakni polyester, meskipun hemat air, namun material ini membutuhkan minyak bumi dan ketika dibuang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai oleh bumi. Selain produk, industri fashion juga menimbulkan permasalahan lain seperti kemasan yang tidak ramah lingkungan serta isu-isu sosial seperti mempekerjakan anak di bawah umur untuk menekan biaya produksi dan juga memunculkan fenomena anoreksia yakni keadaan tubuh para model yang kurang gizi sebagai akibat tuntutan pola tubuh ideal menurut industri mode dalam menampilkan koleksi busana mereka.



Gambar (kiri) situasi ruang pemintalan kapas di salah satu pabrik tekstil di India, (kanan) foto citra satelit danau Aral pada tahun 1989 dan 2014. Kedua gambar diperoleh dari artikel berjudul “Crisis in our closets: The Environmental Impact of Fast Fashion” oleh prospectjournalucsd pada 24 Mei 2017.
Sumber:

Sebagai respon terhadap situasi ketidakberlanjutan ini, muncullah orang-orang dari berbagai background mencoba mengangkat isu ini ke permukaan dan mengembangkan disiplin ilmu dalam dunia fashion dikaitkan dengan isu lingkungan yakni Sustainable Fashion. Dalam keilmuan ini para ilmuwan mencari berbagai alternatif tekstil pengganti katun, seperti hemp, kain dari selulosa, kain dari endapan teh dan berbagai material lainnya. Pewarnaan dilakukan dengan cara eco-print yakni memanfaatkan warna-warna yang berasal dari alam seperti warna biru dari indigofera/ pohon tarum, warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit, warna hijau dari daun mangga, dan masih banyak pewarna alami lainnya yang ternyata sudah ada sejak lama namun tidak diketahui oleh masyarakat saat ini karena informasi tersebut tenggelam oleh industrialisasi selama berabad-abad. Bentuk respon terhadap isu negatif dunia busana terbagi menjadi dua yakni upaya penelitian dengan teknologi-teknologi dari negara maju dan pola hidup kembali ke alam bagi negara-negara yang masih memiliki tradisi pembuatan tekstil dan busana secara manual.

Sebagai bentuk kelanjutan dari respon tersebut, dalam beberapa dekade terakhir berkembanglah industri busana yang menyertakan informasi sebagai bagian dari penjualan produk mereka akan pembuatan produk yang lebih ramah lingkungan dan sosial, dimana para pekerja dipekerjakan dengan sistem yang sangat berbeda yakni memberdayakan masyarakat sekitar, pola produksi sesuai dengan ritme alam, serta menggunakan model seperti normalnya ukuran tubuh manusia. Industri busana ini tentunya tidak dapat menghasilkan busana secara massal dan bahkan tidak bisa sama persis tingkat kepekatan warna antar produk tekstilnya. Harga dari produknya dapat dihitung berdasarkan harga produksi normal satuan busana sebagai akibat dari pembayaran upah yang sesuai bagi para pekerjanya. Industri-industri ini muncul dengan skala rumahan dengan jumlah pekerja yang sedikit dan produk yang lebih eksklusif. Beberapa brand pelopor dari industri ini di Indonesia adalah Kana Goods dan Bixa Batik.

KANA  Goods muncul pada tahun 2007 dengan label awal bernama Kanawida dengan latar belakang mengisi waktu luang anak muda dengan kegiatan yang lebih berguna sekaligus dapat melestarikan warisan budaya. Dari inisiator Sancaya Rini yang biasa dipanggil Ibu Rini, mencoba mengajak anak muda di sekitaran rumahnya untuk mengisi waktu luang mereka dengan kegiatan membatik dengan gambar-gambar yang sederhana agar dapat dikerjakan lebih mudah oleh anak muda namun menggunakan pewarna alam indigo/ daun tarum. Pada tahun 2009, brand ini mendapatkan penghargaan KEHATI Awardkarena  hanya menggunakan warna-warna alam, kemudian label ini banyak hadir dalam berbagai pameran dan mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat. 

Pada tahun 2011, Kana Goods mengikuti ajang Indonesia Fashion Week dan menambah jenis produk mereka yang tadinya hanya menjual kain-kain saja menjadi label dengan produk ready-to-wear/ busana siap pakai. Inspirasi produknya berasal dari hal-hal yang sederhana seperti daun jatuh di halaman lalu dijiplak dan dikembangkan oleh anak-anak muda menjadi corak yang lebih variatif. Kana Goods semakin berkembang karena dapat melihat peluang bahwa Indonesia kaya akan potensi budaya dalam corak dan warna alamnya. Dengan target market lebih ke anak muda dengan tujuan mengedukasi anak muda dari sisi budaya dan lingkungan, label ini menawarkan produk dengan ciri khas corak sederhana yang dapat dengan mudah diterima oleh anak muda dan label Kanawida kemudian merubah namanya menjadi Kana Goods pada tahun 2013. Kana sendiri bila diartikan dalam berbagai macam bahasa sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu cantik. Keunggulan dari label ini selain ramah budaya dan lingkungan, label ini dibangun dengan berbagai keterbatasan yang dapat diolah sebagai keunggulan. Keterbatasan produksi dalam slow fashiondiolah kedalam desain-desain yang eksklusif dan bisa memberikan keunikan di setiap produknya hingga menambah nilai jual dari produk-produk Kana.


Label lainnya adalah Bixa Batik, yang diinisiasi oleh Hendri Suprapto dengan latar belakang peneliti pewarna alam di Balai Besar Batik. Dengan profesi tersebut Hendri Suprapto berkesempatan untuk mengunjungi banyak wilayah di Indonesia dan melakukan riset terhadap tanaman-tanaman lokal yang berpotensi menjadi pewarna alam tekstil. Setelah melakukan penelitian, Ia bertugas juga dalam melatih para pengrajin lokal agar dapat kembali menggunakan pewarna alam seperti kain-kain yang terdahulu sebelum ditemukannya pewarna kimia. Dalam riset-risetnya Hendri Suprapto melakukan berbagai eksperimen dengan penggolongan tipe pewarna alam untuk menemukan zat mordan/ zat yang berfungsi untuk mengikat warna dengan tekstil agar warna bisa tahan lama selayaknya tekstil dengan pewarna kimia. Sesuai dengan latar belakang tersebut, Hendri Suprapto yang awalnya membangun tempat pelatihan bagi anak muda di Yogyakarta yang tergabung dalam karang taruna untuk belajar membatik dengan proses pewarnaan dari bahan alami, kemudian berkembang menjadi industri yang memproduksi kain-kain batik dan tenun dengan pewarna alam dari berbagai tanaman di Indonesia. Di dalam rumah yang berlokasi di daerah Bantul, Yogyakarta tersebut siapapun bisa datang dan belajar tentang pewarna alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hingga saat ini tamu-tamu yang tertarik untuk belajar tidak hanya dari Indonesia namun juga dari berbagai negara seperti Inggris, Polandia, Jepang, dan berbagai negara lainnya. Nama Bixa pada label Bixa Batik sendiri berasal dari nama tumbuhan Bixa orellana yang dapat menghasilkan warna merah pada tekstil dan dulunya banyak tumbuh di daerah Pulau Jawa.

Gambar pelatihan yang dilakukan oleh Bixa Batik untuk para pengrajin songket di Sentra Industri Tenun Nagari Tigo Jangko, Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat (https://www.instagram.com/bixabatik/?hl=en)

Berkat adanya label-label yang tidak hanya sekedar menjual produk namun juga mengedukasi pasar memunculkan semangat baru dalam industri busana di Indonesia. Label serupa sebenarnya tidak hanya muncul di Indonesia, namun juga muncul di negara-negara lainnya karena latar belakang yang sama, yakni kekhawatiran terhadap dampak dari industri fast fashion. Label-label ini selain menjual produk juga berbagi keterampilan dalam menghasilkan produknya lewat pelatihan yang diadakan baik di tempat produksinya maupun di tempat-tempat lain seperti pusat-pusat pelatihan yang sekarang marak disebut dengan maker’s space. Keuntungan dari adanya maker’s space adalah masyarakat bisa mendapatkan akses untuk belajar membuat berbagai hal dari masing-masing ahlinya. Para ahli diundang dan memberikan workshop sesuai waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan produk/ mempelajari suatu teknik dan disiplin ilmu. Dengan mengetahui cerita dibalik proses pembuatan produk apapun tidak hanya fashion, masyarakat menjadi lebih menghargai keberadaan suatu produk serta dampak yang ditimbulkannya bagi bumi.

Sumber:
Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women’s History Museum

CRISIS IN OUR CLOSETS: THE ENVIRONMENTAL IMPACT OF FAST FASHION

Fast fashion: Inside the fight to end the silence on waste

https://www.bbc.com/news/world-44968561

 

Sancaya Rini: Lestarikan Budaya Lewat Personal Branding

https://titikdua.co/2017/08/07/sancaya-rini-lestari-budaya-lewat-personal-branding/

 

http://www.batik-bixa.com/

2 comments:

  1. Prediksi Togel Mekong 14 Juni 2020 <a href="https://indextogel.org/prediksi-togel/prediksi-togel-mekong-14-juni-2020/ </a> Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...