[PROFIL] KAIT NUSANTARA DAN SANDANG LESTARI

Oleh: Nita Roshita


Pakaian adalah kebutuhan sehari-hari dan bagi banyak orang menjadi wujud dari ekspresi pribadi. Tetapi pakaian dan industri fesyen memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan juga hilangnya nilai ekonomi dari sampah tekstil yang terbuang. Ellen MacArthur Foundation dalam rilis laporannya A New Textile Economy: Redesigning Fashion’s Future, di London November 2017 menyebutkan, setiap detik di seluruh dunia, ada satu truk besar membuang sampah tekstil atau yang dibakar. Nilai ekonomis yang hilang setiap tahun dari pakaian yang jarang dipakai dan tidak didaur ulang adalah 500 milyar dollar Amerika atau setara dengan 700 trilyun rupiah. Jika kondisi ini tidak berubah, maka di tahun 2050 Ellen MacArthur Foundation memperkirakan industri fesyen akan menggunakan seperempat dari batas jumlah maksimum emisi karbon yang boleh dilepas manusia ke lapisan atmosfer atau carbon budget. Industri ini juga menyumbang polusi karena pakaian melepas setengah juta ton mikrofiber ke samudera setiap tahun, atau setara dengan 50 milyar botol plastik. Mikrofiber ini sulit untuk dibersihkan dan sangat mudah masuk dalam rantai makanan. 

Di Indonesia, sektor fesyen menempati urutan kedua dalam kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada sektor ekonomi kreatif yang pada 2014-2015 pertumbuhannya tercatat 7.12 persen. Ekonomi kreatif berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian menyumbang tujuh persen terhadap PDB, atau sekitar 600 trilyun rupiah. Industri batik Indonesia selanjutnya menurut Kementerian Perdagangan menyerap 1.3 juta orang, dari sisi konsumsi penjualan di dalam negeri mencapai 5,9 trilyun rupiah dengan jumlah konsumen 110 juta orang.

Saat membuka Fashion Show “Beginning Ethical Fashion” pada Jakarta Fashion Week 2016, Menteri Perindustrian Saleh Husin mendorong diterapkannya konsep ramah lingkungan dalam industri fesyen di Indonesia. Saleh Husin bahkan mengatakan ethical fashion atau fashion beretika bukan lagi barang baru, karena secara budaya, fesyen tradisional sudah menggunakan bahan-bahan alami dan ini bisa menjadi keunggulan Indonesia. Produk fesyen yang memperhatikan dampak lingkungan lazimnya dibuat dengan ketelitian sejak pembuatan bahan baku, pemilihan motif, dan pewarnaan. Secara sosial, hubungan perancang dan pengrajin juga terjalin lebih personal dan bernuansa kekeluargaan. Secara ekonomis nilainya pun lebih tinggi karena memiliki unsur eksklusif. Para pembeli yang sadar akan lebih menghargai produk ini karena merasa memiliki dan ikut mendukung proses pelestarian budaya Indonesia.

Tetapi dalam praktiknya, fesyen beretika, atau fesyen hijau, masih jauh dari harapan. Secara produksi maupun konsumsi masih kalah besar dengan produk fesyen massal atau disebut juga fast fashion. Pewarna alami tergantikan dengan pewarna sintesis, batik tulis berganti dengan batik cetak yang diproduksi grosiran bahkan yang datang dari Tiongkok. Pada periode Januari-April 2015, Kementerian Perdagangan mencatat impor produk impor batik mencapai 24,1 persen atau senilai 34 juta dollar Amerika Serikat. Selanjutnya pemerintah memperketat impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Batik dan motif batik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Batik dan Motif Batik. 

Fesyen Hijau Dalam Keseharian

Tetapi pembatasan import tekstil bermotif batik saja tidak cukup tanpa dibarengi oleh kampanye fesyen hijau yang masif baik oleh organisasi masyarakat, individu, dan tentu saja pemerintah. Karena fesyen beretika atau fesyen hijau memang tidak murah karena proses produksinya yang alami dan memakan waktu lama.

Saya bertemu dengan Ibu Zara dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur di acara Meet the Maker ke 13 yang diselenggarakan oleh NTFP-EP Indonesia di Jakarta, 20 Oktober 2018. Sambil mencontohkan proses pembuatan kain tenun dari Sabu, dia bercerita bahwa untuk membuat kain sarung berukuran kurang lebih tiga meter yang sedang dipakainya, dibutuhkan waktu satu tahun pengerjaan.  Proses pembuatannya mulai dari pemintalan kapas menjadi benang, pewarnaan alami menggunakan akar pohon atau dedaunan dan proses menenunnya. Maka tidak heran jika kemudian kain hasil tenunan para perempuan pengrajin dari Pulau Sabu ini dihargai rata-rata lebih mulai dari harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung pada ukuran, motif, kualitas bahan, dan lama pengerjaan. 

Ibu Zara


Bagi saya sangat penting untuk mempelajari bagaimana sebuah produk kain yang saya gunakan dihasilkan dan darimana dia berasal. Kisah bagaimana tangan-tangan perempuan penenun bekerja sambil mengabadikan budaya dan alam sekitarnya ke dalam motif itu sangat penting, terbayar lunas dalam harga kain. Ketika saya membeli selembar kain, itu bukan sekedar helaian kapas yang saling mengikat, tapi saya membeli sebuah cerita budaya dan akan sangat berarti jika nilai rupiah itu ternyata bermanfaat bagi kehidupan mereka terutama untuk penyelamatan budaya dan alamnya. Seperti ketika acara pengumpulan dana untuk Yayasan Mama Aleta – Aleta Fund Agustus lalu, yang diselenggarakan untuk melestarikan Kain Tenun Adat di Molo dan sekitarnya. Selembar kain dari Desa Nunkolo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang ditenun dari kapas dan bermotif buaya, berhasil saya dapatkan dalam lelang di acara tersebut. Bangga betul rasanya menyelempangkan kain ini saat menghadiri acara-acara resmi. 


Nita dan Tenun
Sementara dalam pemilihan pakaian sehari-hari, saya membeli dari produsen lokal. Lemari Lila dari Yogyakarta adalah penyedia hampir setengah dari koleksi batik untuk bekerja di lemari saya, sedangkan kaos saya utamakan membeli dari produsen lokal. Memang tidak ada jaminan kalau produk pakaian harian ini diproduksi melalui proses alami dan tidak mencemari alam. Tapi setidaknya saya berusaha menghargai produk dan mengenal si perancang lokal ini. 

Kepedulian terhadap lingkungan melalui produk yang kita kenakan sehari-hari menjadi perhatian kami di Kait Nusantara. Perkumpulan yang digawangi oleh lima perempuan aktif ini berusaha semaksimal mungkin untuk memperkenalkan produk sandang lokal lewat penampilan dan perilaku kami sehari-hari. Pemilihan pakaian dan aksesoris yang memegang prinsip kelestarian adalah bagian yang secara inheren menyatu pada kami baik secara individual maupun organisasi. Kami percaya kampanye mengajak orang peduli pada lingkungan harus dimulai dan tercermin dalam penampilan kami sehari-hari. Sulit untuk mengajak orang berubah dan peduli pada pelestarian lingkungan tanpa memberikan contoh yang nyata.


Kait Nusantara dan Pelestarian Lingkungan

KAIT Nusantara

Kait Nusantara adalah perkumpulan yang secara legal didirikan oleh lima perempuan padaAgustus 2018. Sebelumnya empat anggota Kait Nusantara dipertemukan dalam sebuah proyek pembangunan pembangkit listrik dengan energi terbarukan berbasis masyarakat di tiga desa di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Keempat anggota Kait Nusantara berperan sebagai fasilitator untuk pengembangan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan energi terbarukan tersebut. Salah satu yang kemudian berpotensi untuk berkembang lebih baik adalah anyaman rotan untuk tas di Desa Teluk Sumbang yang memiliki kekhasan dengan lapisan dalam dari rotan yang membuatnya menjadi lebih kuat. Anyaman rotan ini yang kembali mempersatukan keempat fasilitator desa dalam Kait Nusantara untuk meneruskan program setelah proyek pembangkit listrik itu selesai. Satu perempuan terakhir bergabung dan melengkapi kelompok untuk membangun relasi dengan media dan riset.

Kait Nusantara dengan para pengrajin tas rotan.

Kami memiliki latar belakang yang berbeda tetapi justru saling melengkapi. Nita Roshita adalah spesialis gender dan pengembangan masyarakat dengan latar pendidikan komunikasi politik. Sarie Wahyuni adalah penggerak pendidikan lingkungan dengan latar pendidikan keuangan. Theophilia Aris Praptami fokus pada pengembangan dan pengelolaan bisnis sosial. Devita Triwibawa adalah penggiat seni dan terakhir, Dewi Ryanti adalah jurnalis dan pembuat film dokumenter. Kait Nusantara berdiri untuk mewujudkan ambisi kami berlima mengembangkan tas anyaman rotan dari Teluk Sumbang sebagai bentuk bisnis sosial yang sekaligus menjadi pintu masuk penyelamatan alam dan budaya di desa tersebut.


 
Tas Rotan dan paduan kain tenun nusantara.

Rotan hanya mampu tumbuh bersanding dengan pohon besar di sekitarnya, karena itulah keberadaan hutan sangat perlu dijaga. Tak hanya untuk memastikan bahan baku tersedia, lebih dari itu, hutan juga menjaga kehidupan di desa yang selalu menjadi incaran perusahaan sawit dan semen . Didukung pemerintahan desa dan perkumpulan remaja di Teluk Sumbang, Kait bekerja untuk membuktikan bahwa desa mampu mandiri dengan potensinya sendiri yang tak hanya rotan, tapi juga produk kelapa, pisang dan wisata alamnya yang kaya. 

Salah satu yang sedang kami kembangkan adalah memadupadankan tas rotan dengan kain tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Sedikit kreasi menyatukan selendang tenun dengan pewarna alami dari Lombok Utara sebagai tali tas rotan, membuat tas rotan yang tadinya polos ini memiliki tampilan lebih manis dan bernilai tinggi. Beragam model sedang kami kembangkan di Kait Nusantara dengan memastikan bahan yang kami gunakan bisa dilacak pembuat dan cerita di dalamnya. Kami ingin menjadi bagian besar dari gerakan fesyen hijau yang perlu terus dikampanyekan untuk menyelamatkan bumi dan seisinya. 

Tas Rotan dan paduan kain tenun nusantara.



Pustaka:

Ellen MacArthur Foundation, A New Textiles Economy. Redesigning fashion’s future, November, 2017,https://www.ellenmacarthurfoundation.org/publications/a-new-textiles-economy-redesigning-fashions-future

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Industri Fesyen Ramah Lingkungan, 26 Oktober 2016,  http://www.kemenperin.go.id/artikel/13395/Industri-Fesyen-Ramah-Lingkungan-Jadi-Unggulan

Mengantisipasi meningkatnya import tekstil motif batik, Antara Yogya, Senin, 3 Agustus 2015, https://jogja.antaranews.com/berita/333464/mengantisipasi-meningkatnya-impor-tekstil-motif-batik


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...