“No river can return to its
source, yet all rivers must have a beginning”.
Begitulah salah satu pepatah orang Indian[1].
Ketika kita melihat dalam keseharian kita, banyak permasalahan sosial yang
membuat hati kita terusik, mulai dari ranah pribadi seperti depresi hingga yang
mampu menghasilkan kerugian pada kalangan yang luas seperti korupsi dan
penindasan. Semua permasalahan yang telah terjadi memang tidak akan mampu kita
kembalikan ke titik awal. Namun, di bawah pohon masalah yang kita lihat
tersebut, kita dapat menelusuri hingga ke akarnya di masa lalu. Begitulah yang
diyakini oleh seorang aktivis yang bergiat di isu kesadaran diri (self
awareness) untuk transformasi diri dan dunia, Nenden Vinna Mutiara
Ulfa.
Ceu Nden, begitu dia biasa disebut, menamakan profesi yang dia jalani
saat ini adalah life care taker. Dia bersama rekan-rekannya di
Initiatives of Changes (IofC) menggagas suatu program bernama Sekolah
Rekonsiliasi. IofC adalah suatu gerakan dunia yang mulai lahir paska perang
dunia kedua di Oxford dan diinisiasi oleh seorang pastor bernama Frank Buchman.
Dilatarbelakangi oleh kegelisahannya saat melihat banyaknya korban kemanusiaan
akibat perang, beliau memiliki inisiatif untuk menggagas gerakan rekonstruksi
moral dan spiritual yang dinamai Moral Re-Armament (MRA). MRA ini kemudian
berubah nama menjadi IofC[2].
Gerakan ini banyak menginspirasi orang-orang di seluruh dunia dengan metodenya
yang sangat menyentuh, terutama Quiet Time atau waktu hening. Quiet
time hanyalah metode sederhana untuk mengambil jeda sejenak dan berdialog
dengan diri.
Quiet Time, metode untuk berdialog dengan diri |
Seiring berjalannya waktu, IofC ini digerakkan oleh anggotanya di
seluruh dunia dengan gagasan yang berbeda-beda sesuai dengan tiga misi yang
IofC perjuangkan, good governance, sustainable living, dan trust
building. Di Indonesia, lahir Sekolah Rekonsiliasi delapan tahun yang lalu
untuk mencapai misi trust building sekaligus sebagai ruang alternatif
bagi individu yang ingin belajar mengolah rasa dan menyembuhkan luka di masa
lalu. Ceu Nden menceritakan bahwa gagasannya ini muncul dari pengalaman masa
lalunya yang sangat menantang bersama keluarga dan lingkungan sekitar. Dia juga
melihat banyaknya luka yang dihidupi orang lahir dari keluarga yang disfungsi,
pengalaman dirundung, dan memori masa kecil lain yang menyakitkan. Luka
tersebut bisa saja tidak disadari namun mempengaruhi kepribadian dan bagaimana
kita merespon pengalaman hidup sehari-hari. Secara metaforis, psikologi
mengenal istitah inner child, yaitu sisi kepribadian anak kecil yang
seringkali terabaikan dan menyimpan luka-luka di masa lalu. Manusia dapat
tumbuh secara biologis dengan baik, namun belum tentu psikologinya demikian.
Diri kita bisa saja masih menyimpan jiwa anak kecil yang merasa diabaikan,
dibuang, dan kekurangan cinta. Jiwa anak kecil ini membangun hubungan dengan
orang lain, menjadi pemimpin, bahkan menjadi orangtua.
Pengalaman di masa lalu juga mempengaruhi bagaimana kita menerima rasa
dan merespon konflik yang terjadi. Misalnya, ketika kita marah, keluarga dan
lingkungan mengajarkan kita bahwa marah itu adalah sesuatu yang tidak baik.
Maka, jika kita berada dalam keadaan marah, kita dianjurkan untuk memendam
perasaan tersebut dan mengingkarinya. Padahal, rasa marah bukan sesuatu yang
tidak boleh kita miliki. Kita dianugerahi rasa marah untuk mempertahankan diri.
Jadi, rasa marah harus dilepaskan. Marah berbeda dengan marah-marah. Ketika
seseorang menyakiti kita, kita perlu mengekspresikan rasa marah dan memintanya
bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun, cara
mengekspresikannya harus dengan baik, tidak dengan cara memaki-maki dan
melakukan kekerasan.
Rasa lain yang kerap kali dianggap mengganggu adalah rasa sedih. Ketika
seseorang bersedih, tak jarang ada perasaan malu untuk mengakuinya. Hal ini
kerap kali dialami oleh laki-laki. Laki-laki memiliki kesempatan yang sedikit
untuk mengekspresikan kesedihan karena pandangan masyarakat yang menganggap
laki-laki yang menangis dianggap merusak citra “maskulin”. Alhasil, laki-laki
harus menutupi kesedihannya dengan bersikap tegar dan seolah-olah dia baik-baik
saja.
Kemudian, orang juga seringkali mengingkari rasa takut yang dimiliki.
Banyak persepsi dari keluarga dan lingkungan sekitar menganggap rasa takut
adalah tanda kurangnya kepercayaan atau iman seseorang. Orang yang merasakan
ketakutan dilihat sebagai orang yang tidak punya masa depan. Padahal
sebaliknya, rasa takut adalah mekanisme kita untuk mengevaluasi diri dan
melihat kesempatan hidup yang lebih baik. Jika kita memiliki rasa takut akan
ketidakstabilan finansial di masa depan, kita dapat menjadikan itu energi untuk
bekerja lebih baik dan menabung. Jika kita merasakan ketakutan untuk tidak
memiliki pasangan, kita dapat mengevaluasi diri dan menjadi pribadi dengan
karakter yang baik.
Menurut Ceu Nden, segala rasa yang bergejolak dalam hati kita hanyalah
sensasi yang lewat. Rasa itu hanya perlu kita akui. Di Sekolah Rekonsiliasi,
setiap peserta belajar untuk mengolah rasa dan mencintai diri kita sendiri
melalui berbagai metode sederhana yang dapat dilakukan orang lain secara
mandiri. Contohnya adalah indepth healing. Kita menulis surat sebagai inner
child untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan di masa lalu. Kemudian,
kita membalas surat tersebut sebagai orangtua dari inner child untuk
merespon perasaannya. Metode ini adalah bagian dari latihan berdialog dengan
diri untuk menelaah permasalahan yang kita alami dan bagaimana kita seharusnya
merespon. Jadi, pertanyaan dan jawaban datang dari diri sendiri. Metode lain
adalah membuat genogram. Peserta membuat silsilah keluarga hingga tiga generasi
(anak, orangtua, kakek-nenek) dan mencari tahu bagaimana mereka dibesarkan.
Sejarah perkembangan mereka akan turut mempengaruhi bagaimana mereka mendidik
kita saat kecil.
Sekolah Rekonsiliasi telah berjalan selama delapan tahun dan memiliki
program yang berbeda-beda, di antaranya workshop satu hari, sekoci (sekolah
cinta), sepasang (sekolah pasangan), dan sekota (sekolah orangtua). Sekoci
berfokus untuk mempelajari bagaimana mencintai diri sendiri). Sepasang adalah
sarana mengenal pasangan dan mengelola konflik sehingga tercipta hubungan yang
harmonis. Sekota (sekolah orangtua) untuk mempersiapkan sistem bagi anak
belajar tentang keteladanan.
Sesi sekolah cinta |
Tantangan yang selama ini dihadapi adalah proses menerima diri yang
sangat berat dan tidak jarang menyakitkan. Peserta harus membuka kembali
luka-luka lama yang sudah ditutupi sedemikian rupa berpuluh tahun lamanya. Ada
pula mereka yang harus secara terbuka berkonfrontasi dengan orang terdekat
mereka, baik orangtua, pasangan, maupun sahabat yang telah berkontribusi pada
luka yang mereka miliki. Maka dari itu, program ini hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang secara sadar mau berproses. Meskipun demikian, kesakitan yang
diperoleh selama berproses lambat laun akan terpulihkan dan pada akhirnya kita
belajar memaafkan. Kita dapat memaafkan apabila kita merasa marah dan
mengetahui penyebab kemarahan kita. Setelah memaafkan, kita dapat mengambil
pembelajaran berharga dari apa yang telah kita lalui.
Proses mengenal diri, baik fisik, mental, maupun spiritual menjadi penting agar kita memiliki kesadaran diri. Kesadaran diri ini akan menjadi energi bagi kita untuk berusaha mencintai diri sendiri. Proses menerima diri akan mengajarkan kita banyak hal: bagaimana memperjuangkan keadilan dari rasa marah, bersikap empati dari rasa sedih, dan menjadi pribadi yang optimis dari rasa takut. Perubahan dunia yang lebih baik akan muncul dari seseorang yang telah selesai berdamai dengan dirinya sendiri dan siap berkontribusi bagi lingkungan yang lebih luas.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny