Dalam rubrik catatan pinggir Tempo edisi 6 Maret 1982, Goenawan Mohamad mengulas kisah Nathan karya Gotthold Lessing yang terbit tahun 1779 berjudul Nathan der Weise, yang setidaknya telah memberikan gambaran bahwa mempunyai pandangan yang berbeda dan penghargaan pada keanekaragaman, adalah sikap yang penuh resiko.
Latar belakang dalam karya tersebut adalah masa perang salib yang telah memasuki gelombang keempat, di mana perseteruan antara mereka yang Nasrani dan Islam, bahkan Yahudi masih terus berkobar.
Ada percakapan yang menarik dalam karya itu ketika Saladin, Gubernur Yerusalem yang Islam dan terkenal berbudi, bertanya kepada Nathan yang Yahudi dan terkenal bijak. Saladin menanyakan apa agama yang terbaik bagi Nathan. Pertanyaan itu tidak dijawab langsung oleh Nathan, tapi melalui ibarat. Ia mengisahkan seorang ayah yang mencintai ketiga puteranya dan memberikan mereka masing-masing cincin yang sebentuk dan sebangun. Masalah timbul ketika sang ayah meninggal, karena ketiga putra tersebut berdebat dan berselisih tentang cincin mana yang sejati. Itulah ibarat, ada cincin Yudaisme, ada cincin Nasrani, ada cincin Islam. Setiap cincin adalah sejati, kata Nathan, sepanjang ia membuat orang yang memakainya punya kemuliaan hati. Dan Saladin puas dengan amsal yang disampaikan Nathan tersebut.
Ceritanya memang tidak berakhir di situ, tapi dari kisah tersebut Lessing telah menyampaikan pesan bahwa yang bijak adalah yang tidak mengukuhi bahwa pihaknya saja yang paling benar. Lessing setidaknya telah mewakili mereka yang percaya pada pluralisme, walaupun dia ditentang keras oleh publik Jerman yang Protestan.
Pluralisme dewasa ini
Pandangan dan penafsiran tentang pluralisme memang sangat beragam, ada yang memandangnya secara positif tapi tidak sedikit yang memahaminya secara negatif. Pandangan negatif terhadap pluralisme, khususnya di Indonesia, seringkali disebabkan ketidakmampuan mengelola antara idealitas yang mereka miliki dengan realitas yang ada. Pluralisme mengandaikan pemahaman dan kesadaran terhadap adanya keragaman kelas sosial, aliran politik, budaya, agama, ras, dan sebagainya sebagai sesuatu yang niscaya dan alami. Dengan demikian, perjumpaan antara nilai-nilai yang berbeda dipandang sebagai sesuatu yang positif karena setiap nilai mempunyai kelebihan masing-masing.
Tetapi realitas yang plural dan nilai-nilai yang berbeda tersebut selama ini malah menjadi persoalan dan dijadikan alasan banyak kelompok atau negara untuk berkonflik. Konflik “abadi” antara Israel dan Palestina, India dengan Pakistan, Barat dengan Timur, konflik di bekas Uni Soviet, acapkali dilatarbelakangi dan diperuncing oleh perbedaan nilai-nilai yang dianut. Yang mencoba menjembatani malah diteror dan dibunuh, seperti yang dialami Gandhi dan Yasser Arafat.
Indonesia sebenarnya bisa menjadi medan percontohan bagaimana pluralisme itu tumbuh dan hidup. Telah menjadi realitas historis, adanya keragaman budaya, agama, ras, bahasa, aliran politik, dan juga kelas sosial di Indonesia. Tetapi keragaman itu selama ini malah menjadi bahan bakar konflik sosial dan politik. Apa yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, menandakan bahwa pluralitas yang ada tidak dipahami sebagai sesuatu yang positif. Untuk hal-hal yang lingkupnya lebih kecil sebenarnya konflik juga banyak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan juga kesadaran terhadap pluralitas, seperti konflik dalam keluarga, masyarakat kampung, organisasi politik atau organisasi massa, dan sebagainya
Pandangan negatif terhadap pluralisme tumbuh subur karena mereka mengukuhi bahwa nilai-nilai atau pihaknya saja yang paling benar dan semua yang berbeda dengan mereka adalah lawan dan harus dikalahkan. Mereka menganggap pluralisme menyembunyikan kedok atas ketidakadilan selama ini dan cenderung membenarkan semua hal.
Harapan ke depan
Realitas yang plural, nilai-nilai yang hidup yang menghargai terhadap keragaman dan sejarah perjumpaan nilai-nilai yang beragam akan menjadi bekal yang cukup bagi perkembangan pluralisme di dunia, khususnya di negeri ini. Nilai-nilai yang menekankan penghargaan terhadap kelompok lain yang bersumber dari ajaran agama harus lebih dimunculkan dan dikembangkan daripada nilai-nilai yang bertentangan dengan itu. Misalnya dalam ajaran Islam, dapat kita jumpai Firman Allah maupun sabda Nabi yang menekankan bahwa perbedaan adalah Rahmat dan dengan perbedaan itu seharusnya menjadikan manusia saling belajar dan saling kenal.
Sejarah pembentukan Republik ini juga bisa menjadi contoh sekaligus bekal bahwa perbedaan suku, ras, agama, bahasa, aliran politik, dan kelas sosial tidak menjadi penghalang bagi kehidupan bersama sebuah negara. Pendiri Republik ini telah mempunyai kesadaran, pemahaman, dan sikap pluralis dengan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan yang prosesnya dilalui dengan dialog.
Jika kesadaran akan realitas yang plural tumbuh dan juga nilai-nilai yang mengedepankan keragaman dipegang, maka sikap yang pluralis akan muncul. Dengan begitu, setidaknya harapan terhadap kehidupan dunia yang lebih baik, lebih toleran, tidak ada lagi luka dan duka terus-menerus, akan terwujud. (AU)