Kota besar yang penuh sesak seperti Jakarta sesungguhnya merupakan pilihan terakhir bagi gadis kelahiran Jember ini. Keterlibatan dalam aktivitas kemasyarakatan seperti GMNI dan Organisasi Perempuan sudah dijalani oleh seorang Budhis Utami sejak di bangku kuliah.
Merasa tertantang oleh tawaran seorang teman untuk bekerja di Komisi Migran KWI, ia akhirnya memutuskan untuk datang ke Jakarta.
Ketertarikannya yang besar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, membuatnya tidak bisa lepas dari rekan-rekannya yang bergerak di Organisasi Perempuan.
Setelah bekerja kurang lebih satu tahun di KWI, pada bulan April 2001 ia memilih untuk bergabung dengan Organisasi Perempuan yaitu Kapal Perempuan yang kebetulan saat itu masih baru. Di tempat itulah ia merasa aktivitasnya lebih menarik, aktif, dan dinamis. Di sana juga lah ia menemukan bidang garap yang menjadi ketertarikannya, yakni perempuan dan pendidikan. Kini ia bertanggung jawab sebagai Koordinator Program Orientasi Pendidikan Alternatif di Kapal Perempuan.
Setelah bekerja kurang lebih satu tahun di KWI, pada bulan April 2001 ia memilih untuk bergabung dengan Organisasi Perempuan yaitu Kapal Perempuan yang kebetulan saat itu masih baru. Di tempat itulah ia merasa aktivitasnya lebih menarik, aktif, dan dinamis. Di sana juga lah ia menemukan bidang garap yang menjadi ketertarikannya, yakni perempuan dan pendidikan. Kini ia bertanggung jawab sebagai Koordinator Program Orientasi Pendidikan Alternatif di Kapal Perempuan.
Sejak awal didirikan, Kapal Perempuan memiliki concern terhadap isu perempuan, pendidikan alternatif atau pendidikan kritis dan pluralisme. Ketiganya itu bukan hal yang terpisah. Dalam kegiatan yang dilaksanakannya, Kapal Perempuan mencoba mengcover ketiga hal tersebut.
Dasar pendirian Kapal Perempuan itu sendiri berangkat dari keprihatinan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia, terutama setelah runtuhnya Soeharto, kemudian adanya penerapan otonomi daerah, serta semakin banyaknya konflik yang diakibatkan oleh menguatnya primordialisme agama dan suku.
Dalam kondisi-kondisi itu seringkali posisi perempuan semakin terpuruk. Dalam konteks pluralisme, entah itu isunya agama ataupun suku seringkali perempuan dijadikan sekedar simbol untuk mencapai tujuan. Kalau suatu daerah ingin menguatkan kelompok keagamaannya, maka kaum perempuan lah yang pertama kali harus diatur., misalkan dalam penerapan Syariah Islam. Kemudian dalam konflik-konflik itu, perempuan juga sering dipakai sebagai simbol untuk menghancurkan atau menjatuhkan kelompok lawan, misalnya dengan perkosaan-perkosaan.
Menanggapi hal itu, Kapal Perempuan membuat Pendidikan Pluralisme untuk pencegahan konflik dan upaya perdamaian. Kapal Perempuan melihat bahwa perempuan juga mempunyai potensi untuk menjadi juru damai atau rekonsiliator dalam konflik-konflik yang terjadi.
Sebagai pribadi, pluralisme bukanlah hal yang asing bagi Budhis. Perjalanan dalam mencari keyakinannya merupakan suatu pengalaman tersendiri mengenai suatu pluralitas. Demikian pula dalam memilih organisasi dan aktivitas yang dijalani, Ia pun mempertimbangkan pluralitas sebagai suatu hal yang harus diterima bahkan menjadi suatu seruan untuk mau terbuka kepada orang atau kelompok yang berbeda.
Ia memaknai pluralisme sebagai keterbukaan diri bagi orang-orang yang berbeda atau suatu penghargaan terhadap perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Baginya pluralisme itu sendiri bukan hanya perbedaan agama, tetapi juga cara pandang, jenis kelamin, ideologi, bahkan orientasi seksual yang berbeda.
Dalam proses interaksi yang yang plural, memang perlu adanya penghargaan terhadap perbedaan nilai yang ada. Namun menurut Budhis, itu tidak berarti bahwa kita berhenti untuk mengkritisi persoalan yang ada di dalamnya. Penghargaan yang diberikan terhadap perbedaan itu harus memiliki dasar nilai tertentu. Jika di dalamnya ada nilai-nilai kekerasan atau ketidakadilan, maka kita perlu mempertanyakan itu.
Untuk mencapai suatu masyarakat yang penuh penghargaan namun tetap kritis, diperlukan suatu ruang dialog. Bisa jadi perbedaan pandangan mengenai suatu hal itu terjadi karena suatu asumsi tertentu. Memang dialog itu tidak harus dalam bentuk yang formal.
Berbagai kendala dalam upayanya memperjuangkan pluralisme, dianggapnya sebagai tantangan. Pandangan bahwa keberagaman sebagai sesuatu yang indah membuatnya terus memperjuangkan pluralisme. Kenangan akan perjuangan dan pengorbanan Sang Ibu dan keluarganya selalu menjadi spirit baginya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment